Selasa, 09 Oktober 2012

Usul Juara

Cerita Remaja
USUL JUARA 
Toto Endargo

Di suatu hari. Di tahun 1985. Di saat siang menyengat. Ada kelas tanpa guru. Saya memasuki kelas. Sekedar membuat agar siswa tidak gaduh, tidak mengganggu kelas lain. Di samping itu ingin sekedar menatap siswa putri yang penampilannya membuat saya setiap kali ingin mengulang menatap dirinya.
Sebuah kelas, tidak hanya terisi putra-putri dari negeri Amarta, ada juga yang dari Astina. Ada yang harum bagai melati ada juga seharum bunga wora-wari, ladep dan yang lain. Kutatap isi kelas. Beruntung, ilhlas tidak ikhlas siswa mau memperhatikan saya. He, he, he! Saya pun berceritera.
“Ada sebuah ceritera tentang seekor kancil yang merasa resah” saya mengawali ceritera, “Karena kehadiran gerombolan lembing atau kepik, hewan kecil bersayap keras yang baunya langu. Lembing telah berkumpul di dekat rumah kancil dan sangat mengganggu. Bahkan ada yang sempat tergigit saat Kancil mengunyah rumput. Kancil sangat kesal dan marah . Dicobanya untuk mengusirnya namun alih-alih pergi malah si Kancil sendiri yang perutnya semakin mual”
Sepasang mata bulat milik siswa putri menatap saya, bibir sedikit menguncup. Penuh perhatian.
“Berpikir tujuh menit, akhirnya kancil menemukan ide bagus. Ia akan mengadakan lomba. Barang siapa yang dapat mengusir gerombolan lembing maka akan mendapatkan timun, munthul (ubi jalar) dan sayuran sekeranjang. Diumumkannya ke seluruh pelosok hutan dan desa sekitarnya”
Gadis berambut panjang berhati lembut itu masih menatap saya.
“Oh, luar biasa. Beberapa hewan pun mengikuti lomba mengusir lembing ini. Tidak saja karena ingin sekeranjang timun dan sayuran sebagai bentuk prestasi tapi juga karena prestise, agar namanya mencuat sebagai sang juara. Hari dan cara lomba pun ditentukan”
Remaja putri bernama Henny ini masih tampak berminat mendengar ceritera saya.
“Peserta pertama kuda. Namun ketika Kuda mendekat ada seekor lembing terbang dan hinggap di telinganya. Kuda meringkik, khawatir lembing masuk ke telinganya. Kuda pergi. Kalah. Peserta kedua Harimau. Ia menggeram, mengaum, ketika dia mengambil nafas dalam-dalam sampailah bau langu menyengat ke hidungnya. Seketika kepalanya seperti berputar. Harimau kalah”
Henny menundukkan kepala saat saya menatapnya. Tampak ujung bibir atas setinggi ujung hidungnya.
“Peserta berikutnya angsa, kera, kerbau, bahkan gajah pun kalah. Semua tidak tahan terhadap bau lembing. Ketika senja turun, perlombaan dihentikan. Menjelang malam ada gerombolan lembing yang ikut bergabung. Maka bau langu semakin menyengat. Dan daya tarik lomba semakin luas diketahui oleh hewan dan manusia” He, he, .. saya harus melibatkan mereka dalam ceritera ini maka saya bertanya.
“Apakah di antara kalian ada yang ingin usul, siapakah yang kira-kira menang dalam lomba mengusir lembing ini?”
“Singa Pak!” suara anak perempuan
“Kambing, Pak!” suara anak laki-laki.
“Ratum, Pak” ini jelas suara Mansyur Gozali mengusulkan salah satu temannya.
“Sumin, Pak!” ini suara siswa putri. “Mungkinkah suara Henny?” batin saya.
“Baik, baik!” Dan kemudian saya melanjutkan ceritera sesuai usulan mereka.
“Singa mendatangi gerombolan lembing. Mulutnya dibuka lebar. Seekor lembing kebetulan masuk kedalam mulut singa. Hap. Singa gelagapan dan lari masuk hutan. Kambing maju ke depan, luar biasa! Puluhan lembing terbang menghindari kambing. Namun hanya tiga menit. Kambing tidak tahan bau lembing, kambing dengan rasa hormat menyatakan kalah” Kutatap semua penghuni kelas.
“Nah, sebaiknya anak yang ikut jangan dua. Salah Satu saja! Pilih Ratum atau Sumin!”  Respon pendukung Ratum dan pendukung Sumin berimbang.
“Baiklah. Saya akan tanya kepada Henny. Dengan pertimbangan, menurut saya Henny memiliki perasaan yang lebih peka dibanding dengan perasaan kalian”  Semua terdiam. Mata Henny berbinar.
“Ayo Heny, menurutmu siapa yang pantas maju ke lomba Sang Kancil!”
“Sumin saja, Pak!” jawabnya pelan sambil melirik Sumin. Sumin tersenyum lebar. Bangga.
“Kenapa?”
“Yaa, biar, sekali-kali dia jadi juara” Dada Sumin semakin mekar. Dia tersenyum lebar lagi.
“Baiklah, saya setuju dengan usul Henny. Wakil dari kelas kalian dalam lomba ini adalah Sumin! Tepuk tangan untuk Sumin!” anak-anak bertepuk tangan. Sumin juga. Ceritera saya lanjutkan.
“Sumin pun datang ke tempat si kancil. Ajaib begitu Sumin mendatangi gerombolan lembing, masih berjarak satu meter, namun seketika itu juga para lembing bubar berterbangan. Luar biasa! Hidup Sumin!” teriak saya, “Tepuk tangan untuk Sumin” He, he, anak-anak tepuk tangan lagi. Sumin tertawa. Henny tersenyum.
“Yah, semua hewan pun, bertepuk tangan”
“Hah ..! Bukan hewan! Semua anak pak!”
“Hidup Sumin!” seru saya
“Hidup Sumin!” seru anak-anak.
“Sumin pun mendapat sekeranjang timun, ubi dan sayuran dari si kancil. Lalu diwawancarai sama wartawan TV. Disiarkan dalam berita.
“Bagaimana Sumin, kalau kamu benar-benar jadi juara!” tanya saya sambil mendekatinya.
“Ya, senang Pak. Bangga!”
“Demikianlah anak-anak. Wajah Sumin ada di layar TV. Dan esok harinya wajah Sumin tertera juga di sebuah koran lokal. Ada kutipan wawancara dengan Sumin” Sumin tersenyum malu-malu.
“Seperti juga di TV, di koran pun ada wawancara reporter tv dengan Pemimpin Gerombolan Lembing” Ceritera saya selanjutnya menirukan reporter berwawancara.
“Lembing, bagaimana kok dapat dikalahkan oleh seorang anak yang bernama Sumin”
“Yah, hebatlah! Sumin itu hebat! Saya mengakui gerombolan saya kalah”
“Kenapa kamu tidak dapat dikalahkan oleh Kuda, Gajah, Harimau, bahkan Singa sekalipun namun oleh Sumin begitu mudahnya. Sumin datang dan kalian bubar?”
“Oh, iya, ya! Sejujurnya musuh terberat saya itu ada dua: Kambing dan Sumin!”
“Maksudmu?”
“Ketika kambing datang sebenarnya gerombolan saya sudah goyah hampir bubar. Untung kambing tidak tahan terhadap bau kami sehingga kambing pergi dan kalah!”
“Lalu!” tanya sang reporter bertanya karena penasaran.
“Ketika Sumin datang saya langsung bubar!”
“Kenapa, apakah Sumin jauh lebih sakti dari kambing, lebih sakti dari kamu?”
Lembing hanya mengangguk sopan. Lalu bibir Lembing mendekati telinga reporter.
“Baa.. uu nya!”
“Maksudmu, ba......uuu..nya? Melebihi para peserta lain?!
“Begitulah!” Jawab lembing, menggangguk dengan lebih sopan lagi, “Gerombolan saya saja kalah!”
He, he, he ...!
Ketika teman-teman tertawa. Henny menundukkan muka. Sumin tetap percaya diri. Dia tersenyum lebar. Seluruh gigi depannnya nampak. Sreet! Seketika kembali seperti ada seleret warna kuning melintas di kelas tersebut.
Kini ada sesal di hati Henny kenapa dia mengusulkan Sumin agar ikut lomba.
“Pak Guru, madhehi lah!”


He, he, Mas Sumin saya minta maaf, semoga Mas Sumin selalu sehat sejahtera.
Bu Henny tolong mintakan maaf saya untuk Mas Sumin!
Please!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar