Cerita Remaja
USUL JUARA
Toto Endargo
Di suatu hari. Di tahun
1985. Di saat siang menyengat. Ada kelas tanpa guru. Saya memasuki kelas.
Sekedar membuat agar siswa tidak gaduh, tidak mengganggu kelas lain. Di samping
itu ingin sekedar menatap siswa putri yang penampilannya membuat saya setiap
kali ingin mengulang menatap dirinya.
Sebuah kelas, tidak hanya
terisi putra-putri dari negeri Amarta, ada juga yang dari Astina. Ada yang
harum bagai melati ada juga seharum bunga wora-wari, ladep dan yang lain. Kutatap isi kelas. Beruntung, ilhlas tidak
ikhlas siswa mau memperhatikan saya. He, he, he! Saya pun berceritera.
“Ada sebuah ceritera
tentang seekor kancil yang merasa resah” saya mengawali ceritera, “Karena
kehadiran gerombolan lembing atau kepik, hewan kecil bersayap keras yang baunya langu. Lembing telah berkumpul di dekat
rumah kancil dan sangat mengganggu. Bahkan ada yang sempat tergigit saat Kancil
mengunyah rumput. Kancil sangat kesal dan marah . Dicobanya untuk mengusirnya
namun alih-alih pergi malah si Kancil sendiri yang perutnya semakin mual”
Sepasang mata bulat milik
siswa putri menatap saya, bibir sedikit menguncup. Penuh perhatian.
“Berpikir tujuh menit,
akhirnya kancil menemukan ide bagus. Ia akan mengadakan lomba. Barang siapa yang
dapat mengusir gerombolan lembing maka akan mendapatkan timun, munthul (ubi jalar) dan sayuran
sekeranjang. Diumumkannya ke seluruh pelosok hutan dan desa sekitarnya”
Gadis berambut panjang
berhati lembut itu masih menatap saya.
“Oh, luar biasa. Beberapa
hewan pun mengikuti lomba mengusir lembing ini. Tidak saja karena ingin
sekeranjang timun dan sayuran sebagai bentuk prestasi tapi juga karena
prestise, agar namanya mencuat sebagai sang juara. Hari dan cara lomba pun
ditentukan”
Remaja putri bernama Henny
ini masih tampak berminat mendengar ceritera saya.
“Peserta pertama kuda.
Namun ketika Kuda mendekat ada seekor lembing terbang dan hinggap di
telinganya. Kuda meringkik, khawatir lembing masuk ke telinganya. Kuda pergi.
Kalah. Peserta kedua Harimau. Ia menggeram, mengaum, ketika dia mengambil nafas
dalam-dalam sampailah bau langu
menyengat ke hidungnya. Seketika kepalanya seperti berputar. Harimau kalah”
Henny menundukkan kepala
saat saya menatapnya. Tampak ujung bibir atas setinggi ujung hidungnya.
“Peserta berikutnya
angsa, kera, kerbau, bahkan gajah pun kalah. Semua tidak tahan terhadap bau
lembing. Ketika senja turun, perlombaan dihentikan. Menjelang malam ada
gerombolan lembing yang ikut bergabung. Maka bau langu semakin menyengat. Dan daya tarik lomba semakin luas
diketahui oleh hewan dan manusia” He, he, .. saya harus melibatkan mereka dalam
ceritera ini maka saya bertanya.
“Apakah di antara kalian
ada yang ingin usul, siapakah yang kira-kira menang dalam lomba mengusir
lembing ini?”
“Singa Pak!” suara anak
perempuan
“Kambing, Pak!” suara
anak laki-laki.
“Ratum, Pak” ini jelas
suara Mansyur Gozali mengusulkan salah satu temannya.
“Sumin, Pak!” ini suara
siswa putri. “Mungkinkah suara Henny?” batin saya.
“Baik, baik!” Dan
kemudian saya melanjutkan ceritera sesuai usulan mereka.
“Singa mendatangi
gerombolan lembing. Mulutnya dibuka lebar. Seekor lembing kebetulan masuk
kedalam mulut singa. Hap. Singa gelagapan dan lari masuk hutan. Kambing maju ke
depan, luar biasa! Puluhan lembing terbang menghindari kambing. Namun hanya
tiga menit. Kambing tidak tahan bau lembing, kambing dengan rasa hormat
menyatakan kalah” Kutatap semua penghuni kelas.
“Nah, sebaiknya anak yang
ikut jangan dua. Salah Satu saja! Pilih Ratum atau Sumin!” Respon pendukung Ratum dan pendukung Sumin
berimbang.
“Baiklah. Saya akan tanya
kepada Henny. Dengan pertimbangan, menurut saya Henny memiliki perasaan yang
lebih peka dibanding dengan perasaan kalian”
Semua terdiam. Mata Henny berbinar.
“Ayo Heny, menurutmu
siapa yang pantas maju ke lomba Sang Kancil!”
“Sumin saja, Pak!”
jawabnya pelan sambil melirik Sumin. Sumin tersenyum lebar. Bangga.
“Kenapa?”
“Yaa, biar, sekali-kali
dia jadi juara” Dada Sumin semakin mekar. Dia tersenyum lebar lagi.
“Baiklah, saya setuju
dengan usul Henny. Wakil dari kelas kalian dalam lomba ini adalah Sumin! Tepuk
tangan untuk Sumin!” anak-anak bertepuk tangan. Sumin juga. Ceritera saya
lanjutkan.
“Sumin pun datang ke
tempat si kancil. Ajaib begitu Sumin mendatangi gerombolan lembing, masih
berjarak satu meter, namun seketika itu juga para lembing bubar berterbangan.
Luar biasa! Hidup Sumin!” teriak saya, “Tepuk tangan untuk Sumin” He, he,
anak-anak tepuk tangan lagi. Sumin tertawa. Henny tersenyum.
“Yah, semua hewan pun,
bertepuk tangan”
“Hah ..! Bukan hewan! Semua
anak pak!”
“Hidup Sumin!” seru saya
“Hidup Sumin!” seru
anak-anak.
“Sumin pun mendapat
sekeranjang timun, ubi dan sayuran dari si kancil. Lalu diwawancarai sama
wartawan TV. Disiarkan dalam berita.
“Bagaimana Sumin, kalau
kamu benar-benar jadi juara!” tanya saya sambil mendekatinya.
“Ya, senang Pak. Bangga!”
“Demikianlah anak-anak.
Wajah Sumin ada di layar TV. Dan esok harinya wajah Sumin tertera juga di
sebuah koran lokal. Ada kutipan wawancara dengan Sumin” Sumin tersenyum
malu-malu.
“Seperti juga di TV, di
koran pun ada wawancara reporter tv dengan Pemimpin Gerombolan Lembing”
Ceritera saya selanjutnya menirukan reporter berwawancara.
“Lembing, bagaimana kok
dapat dikalahkan oleh seorang anak yang bernama Sumin”
“Yah, hebatlah! Sumin itu
hebat! Saya mengakui gerombolan saya kalah”
“Kenapa kamu tidak dapat
dikalahkan oleh Kuda, Gajah, Harimau, bahkan Singa sekalipun namun oleh Sumin
begitu mudahnya. Sumin datang dan kalian bubar?”
“Oh, iya, ya! Sejujurnya
musuh terberat saya itu ada dua: Kambing dan Sumin!”
“Maksudmu?”
“Ketika kambing datang
sebenarnya gerombolan saya sudah goyah hampir bubar. Untung kambing tidak tahan
terhadap bau kami sehingga kambing pergi dan kalah!”
“Lalu!” tanya sang
reporter bertanya karena penasaran.
“Ketika Sumin datang saya
langsung bubar!”
“Kenapa, apakah Sumin
jauh lebih sakti dari kambing, lebih sakti dari kamu?”
Lembing hanya mengangguk
sopan. Lalu bibir Lembing mendekati telinga reporter.
“Baa.. uu nya!”
“Maksudmu,
ba......uuu..nya? Melebihi para peserta lain?!
“Begitulah!” Jawab
lembing, menggangguk dengan lebih sopan lagi, “Gerombolan saya saja kalah!”
He, he, he ...!
Ketika teman-teman
tertawa. Henny menundukkan muka. Sumin tetap percaya diri. Dia tersenyum lebar.
Seluruh gigi depannnya nampak. Sreet! Seketika kembali seperti ada seleret
warna kuning melintas di kelas tersebut.
Kini ada sesal di hati
Henny kenapa dia mengusulkan Sumin agar ikut lomba.
“Pak Guru, madhehi lah!”
He, he, Mas Sumin saya
minta maaf, semoga Mas Sumin selalu sehat sejahtera.
Bu Henny tolong mintakan
maaf saya untuk Mas Sumin!
Please!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar