Senin, 15 Oktober 2012

Kau Egois

Kau Egois
Pagu Rutoto

Dia sahabat akrabku. Dia telah berceritera padaku. Kau telah berlaku kurang ajar padanya!” Kata Dian sambil menatap Awan dengan tegas.“Kok kurang ajar? Kasar sekali kalimatmu!” kata Awan tersinggung.
                                          ===

SMP Negeri 2 Purbalingga, 1994.
Pagi hari. Bell sekolah belum dibunyikan, bunyinya khas; “Theeeet....!” Model bell, seperti yang diajarkan di pelajaran IPA-Fisika. Proses kerjanya berdasarkan daya tarik magnet yang tarik-lepas bilah logam sehingga secara mekanik mampu memukul-mukul piringan besi dan menimbulkan bunyi dering. Puluhan tahun bunyi bell ini menjadi pertanda waktu bagi SMP Negeri 2 Purbalingga. Jika kebetulan listrik mati bunyi bel diganti dengan bunyi dari sebatang potongan besi bekas rel, panjang sekitar 60 cm, yang di pukul pakai baut besi gesar. Theng, theng, theng!
Hari Selasa, pukul 06. 42. Awan baru saja menginjak tanah lapangan-atas yang rumputnya tidak merata. Ia tadi melewati perpustakaan. Hanya tiga menit ia memperhatikan majalah dinding yang berdiri di depan perpustakaan. Sepedanya diparkir di sebelah timur lapangan volley. Parkiran sepeda yang beratap seng, memanjang di sepanjang tembok-keliling sebelah timur. Sebelah selatan parkiran, ada satu ruang kecil yang awalnya diniatkan untuk ruang BK, sebelahnya lagi ada ruang yang cukup luas, ruang masak mata pelajaran PKK-Tata Boga.
Awan!” suara wanita menyentuh gendang telinganya, ia menoleh. Dian melambaikan tangan mendekati Awan. Awan berbalik menunggu gadis manis itu. Wajah Awan tenang sekali setenang suara hatinya. Dian sejenak tergagap karena sedikit terpesona dengan penampilan Awan.
Awan, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Kau harus bersedia!” Awan tersenyum. Ia biasa berpikir bahwa wanita ingin selalu diperhatikan. Maka ia pun memperhatikan Dian,
“Ada apa, Dian? Kalimatmu terasa resmi sekali!”
Dian tersenyum, bibirnya bergetar, ditengadahkan sedikit wajahnya ketika ia mengibaskan rambut. Ada tahi lalat kecil di dagunya. Dian menatap Awan dengan mata berbinar. Sejenak! Lalu ada nyala serius muncul di wajahnya.
Yuk kita bicara di depan Ruang Laborat saja!”
“Pagi-pagi begini?” tanya Awan heran. Padahal ia seharusnya piket kelas. Menyapu!
“Iya!” jawab Dian singkat dan tajam.
“Sepertinya kok kamu penting banget!” jawab Awan. Semoga tugas piket sudah ada yang melaksanakan.
Berdua, Awan dan Dian berjalan menuju bangku panjang di depan laboratorium. Keduanya mencoba tak mengacuh lingkungan. Siapa sich di sekolah ini yang tidak kenal Awan, aktivis sekolah yang tak banyak kata namun cukup berprestasi. Oh, Dian adalah salah satu fansnya.
“Aku mau bicara sangat serius kali ini!” kata Dian setelah mereka duduk dan berbasa-basi sejenak.
“Boleh!” tantang Awan.
Terlalu! Kamu keterlaluan!” sergap Dian seketika. Awan terpaksa terkesiap sejenak
Siapa yang keterlaluan?” tanya Awan.
Kau!” jawab Dian agak emosi.
Aku? Apa pasalnya? Ditatapnya Dian dengan lurus. Akibat sergapan kata-kata Dian, ada gejolak tak suka menyemburat di wajah Awan. Melihat wajah Awan memerah, keberanian Dian yang tadi menyala, seketika surut.
Theeet, theet, theeeeet…! Bel masuk berbunyi. Dian berdiri.
“Belum selesai, Awan!”
“Selesaikan kata-katamu sekarang! Mengapa kamu mengata-ngataiku!” pinta Awan karena penasaran dikatakan keterlaluan. Ah!
“Tidak!” kata Dian sambil berlari meninggalkan Awan, “Istirahat kedua!” terusnya. Awan pun seperti Dian segera berjalan cepat menuju kelasnya.
Awan ada di kelas IIIA dan Dian ada di kelas IIIF. Mereka sebenarnya bersahabat baik. Kali ini Dian ingin membela sahabat karibnya yang bernama Mawar. Mawar telah mengadu padanya. Dian harus memberi pelajaran pada Awan. Tidak seharusnya laki-laki melecehkan wanita.
===
Waktu bergulir, istirahat kedua yang akan dimanfaatkan oleh Dian untuk mengadili Awan pun tiba. Hanya ada waktu seperempat jam. Tak ada banyak waktu. Saat ini harus jelas masalahnya. Tapi berhadapan dengan Awan Dian harus hati-hati.
Kembali di depan Ruang Laborat. Banar yang akan ikut duduk di dekat mereka pun di suruh menyingkir. Hanya berdua! Siapapun boleh memperhatikan mereka berdua di depan Laborat itu, tapi pokok pembicaraan hanya untuk keduanya.
Kau kenal Mawar?” tanya Dian dengan tekanan.
Pertanyaan sederhana. Kau bisa menjawabnya. Aku kenal Mawar,  Mawarningtyas, anak kelas tiga F. Berambut sepundak, berkulit putih dan cantik. Putra Bapak Surya, Bancar, dekat pasar. Apalagi?”
Apa yang terjadi antara kau dan dia?” Awan tersenyum.
Tidak ada apa-apa. Tapi yang jelas dia sedang membenciku. Dia tak mau menyapaku. Bagaimana? Apa kau mau ikut-ikutan dia? Ikut membenciku?
Aduh, Awan, Awan! Kau seperti orang yang tak berdosa saja!”
Dian, apa maksudmu?
Dia sahabat akrabku. Dia telah berceritera padaku. Kau telah berlaku kurang ajar padanya!” Kata Dian sambil menatap Awan dengan tegas.
“Kok kurang ajar? Kasar sekali kalimatmu!” kata Awan tersinggung.
“Iya! Itulah kata yang sesuai untuk peristiwa antara Awan dan Mawar!
Oke Dian! Aku sudah menduga ke arah mana pembicaraanmu. Dan aku juga sudah merenungkan apa yang menjadi penyebab Mawar membenciku.Aku tahu!” kata Awan sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia memang sudah mencari penyebab marahnya Mawar padanya. Sejak kemarin. Bahkan saat istirahat pertama pun Awan merasa malas untuk sekedar keluar ruangan.
“Apa yang terjadi?” pertanyaan Dian dengan tekanan.
“Peristiwanya tak lebih dari tiga detik. Mawar berjalan di sampingku. Kuangkat tanganku dan kudekap kepalanya di bawah ketiakku. Dia berontak. Kutekan sedetik dan kulepaskan seketika. Bandonya jatuh. Sudah!”
Tak lebih dari itu?
Dian, tak lebih dari empat detik tapi kutahu marahnya mungkin akan lebih dari empat hari!”
“Aku tidak percaya!”
Tak lebih dari itu, Dian!” jelas Awan sambil menatap Dian lekat-lekat, “Kepadamu, jika sempat suatu saat aku bisa pula melakukannya. Kudekap kepalamu di ketiakku! tantang Awan.
Kupermalukan engkau di muka umum. Aku akan berteriak keras-keras! gertak Dian secepatnya. Awan  tersenyum.
“Aku tak percaya dengan kata-katamu itu!” kata Awan selanjutnya. Dian membisu. Ada bayangan kepalanya berada di dalam rangkulan Awan. Ah!
Tidak mungkin Dian!” kata Awan lagi, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dian menunduk dia tak mungkin mempermalukan Awan jika ia dikepit kepalanya hanya dalam waktu dua-tiga detik. Bahkan muka Dian jadi bersemu merah. Dadanya berdebar-bdebar. Awan  menatapnya. Dian tersipu.
Awan... e.... tapi menurutku kau tetap bersalah dan sebaiknyan kau minta maaf padanya!” saran Dian. “Dan maaf Awan! Ceritera Mawar kok sepertinya tidak sesederhana itu. Mana yang harus aku percayai. Kau atau Mawar?”
Terserah kamu. Mau percaya sama aku, atau percaya kepada Mawar!”
Dian tercenung sejenak, dia seperti sedang menimbang-nimbang
Oke Awan, tapi menurutku, kau tetap aku anggap bersalah dan kau sepatutnya minta maaf pada Mawar!”
Oke juga Dian atas saran dan pendapatmu! Tapi aku curiga. Sepertinya ceritera Mawar telah didramasitir oleh perasaannnya. Bisa, kan? Bisa saja dibumbui dengan emosi pada saat itu?” Dian menunduk dan diam.
Jadi kau tak perlu untuk memaksaku agar aku minta maaf padanya
Lalu kalau kamu berpendapat ceriteranya telah didramasirtir, maukah kamu menegur, Mawar? Temuilah si Mawar!
Buat apa?”
Aku sebagai sahabat tidak ingin antara kau dan Mawar timbul kesalah pahaman. Aku ingin kau dan Mawar bisa berdamai
Bagaimana aku bisa bicara padanya, kalau dia sudah menutup diri?! Aku telah mencobanya untuk bercakap-cakap. Dia cuek saja. Yaa sudah. Bagiku masih banyak hal-hal yang lebih serius daripada cuma ngurusi dirinya. Gengsi dong!”
Kau egois!”
Yah mungkin aku egois. Tapi percayalah bahwa pada suatu saat kau akan melakukannya juga. Sebab pada saatnya, egois itu perlu!”
Oh, kau benar-benar keterlaluan!”
Dian kau tak perlu risau dan mencoba untuk mengadili serta memvonis diriku. Biarlah semua peristiwa dibimbing oleh waktu”
“Semakin nyata bahwa kau egois!”
Bersamaan dengan kata egois dari Dian terdengar bunyi bel tanda masuk. Istirahat kedua sudah habis. Para siswa mulai mengalir ke kelas masing-masing. Awan dan Dian pun mendengar. Keduanya tetap meneruskan pembicaraannya.
“Dian, dengarkan! Jika masanya damai, tak diusahakan pun akan damai juga. Tapi jika memang waktu menentukan untuk berpisah, kita pun, terpaksa atau tidak, pasti akan berpisah. Percayalah padaku, Dian!”
Kalau begitu, Awan, sudahlah! Terserah kamu berdua saja. Maafkanlah saya! Setidaknya aku telah berusaha mendamaikan kau dan Mawar!
Tidak mengapa, Dian. Juga maafkan saya.!” Kata Awan sambil berdiri,
“Ah sudahlah! Untuk masuk kelas kita telah terlambat lima menit. Jangan-jangan nanti malah ada isu tentang Awan dan Dian!”
“Ya, nggak apa-apa!” celemong Dian. Mata Awan terbeliak. Segera Awan  dan Dian beranjak. Ada senyum di wajah Awan. Dian tersenyum juga.
Assalamu’alaikum, Dian!” kata Awan  lirih.
Wa’alaikumsalam, Awan!” jawab Dian lirih.
===
Pada hari berikutnya ternyata di majalah dinding sekolah tertayang sebuah ceritera pendek dengan judul “Kau Egois”, ditulis oleh Dian Maharani.
Karena penasaran dengan isi ceritera tersebut maka Awan ditemani Banar pulang sekolah menyempatkan diri untuk membaca ceritera itu dengan lebih cermat.
“Dian yang menulis, Awan!” kata Banar. Awan tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Ini ceritera beneran yaa?” tanya Banar. Awan mengangguk.
“Aku telah dikerjain oleh Dian! Seluruh yang tertulis di ceritera ini adalah apa yang saya bicarakan dengan Dian kemarin!”
Dan tanpa keduanya sadari ada dua gadis di belakangnya. Yang satu Dian, gadis hitam manis dengan senyum khasnya. Yang satu gadis cantik dengan tahi lalat di dahinya, Mawar.
Assalamu’alaikum, Awan!” suara Dian. Dan di belakanggnya ada Mawar tersenyum simpul.
Wa’alaikumsalam!” jawab Awan.
Dian dan Mawar mendekat ke Majalah Dinding. Ada percik-percik keindahan yang menyusupi hati mereka. Betapa indahnya kisah mereka di sekolah ini. Minimal ada memori yang melekat di hati mereka saat-saat mereka bersahabat. Entah sampai kapan kenangan ini termemori.
Dan hari berikutnya Awan dan Dian kembali di depan perpustakaan. Berdua membaca kembali ceritera tersebut. Kali ini pada keduanya ada perasaan ingin selalu berdua. Senang!
“Kamu, luar biasa Dian. Aku suka!” kata Awan sambil menatap Dian.
“Aku juga suka, menuliskan ceritera ini untukmu!” jawab Dian menunduk.
“Kapan kau menulis dan memajang ceritera ini?”
“Hari selasa sepulang sekolah, dan kuteruskan pada malam hari. Hari Rabu sore saya memasangnya berdua dengan Mawar” jawab Dian. Awan ingat Mawar yang mendiamkannya. Ia pun bertanya,
“Mawar, marah kepadaku! Marah sungguhan atau tidak?”
“Enggak, Awan! Aku yang menyuruhnya supaya pura-pura marah!”
“Oh! Kalau begitu kamu telah membohongiku. Kamu harus minta maaf padaku!” goda Awan.
Dian tersenyum.
“Kamu juga harus minta maaf pada Mawar!” jawab Dian
“Tidak!” jawab Awan tegas.
“Kau egois!” kata Dian tak kalah tegas.
Awan tersenyum.
“Yang benar, aku yang harus minta maaf padamu!” kata Awan.
“Kenapa?” tanya Dian dengan nada heran.
“Karena saya tak pernah berkata bahwa… kamu manis, Dian!” kata Awan sambil berjalan cepat meninggalkan Dian.
Dian tersentak. Menundukkkan kepala. Tersenyum.
Dan di siang itu, di jalan Letkol Isdiman, tampak Awan dan Dian berjalan berdua. Memulai menyusuri keindahan masa remajanya dengan ceria, beretika dan sopan. Saat-saat demikian mereka lupa kepada para sahabatnya.
Egois!


Purbalingga, 1994
Dariku, untukmu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar