Kau Egois
Pagu Rutoto
“Dia sahabat akrabku. Dia telah berceritera padaku. Kau telah berlaku kurang ajar padanya!” Kata Dian sambil menatap Awan dengan tegas.“Kok kurang ajar? Kasar sekali kalimatmu!” kata Awan tersinggung.
===
Pagi hari. Bell sekolah belum
dibunyikan, bunyinya khas; “Theeeet....!” Model bell, seperti yang diajarkan di
pelajaran IPA-Fisika. Proses kerjanya berdasarkan daya tarik magnet yang tarik-lepas
bilah logam sehingga secara mekanik mampu memukul-mukul piringan besi dan
menimbulkan bunyi dering. Puluhan tahun bunyi bell ini menjadi pertanda waktu
bagi SMP Negeri 2 Purbalingga. Jika kebetulan listrik mati bunyi bel diganti
dengan bunyi dari sebatang potongan besi bekas rel, panjang sekitar 60 cm, yang
di pukul pakai baut besi gesar. Theng, theng, theng!
“Awan!” suara wanita
menyentuh gendang telinganya, ia menoleh. Dian melambaikan
tangan mendekati Awan. Awan berbalik menunggu gadis manis itu. Wajah Awan tenang sekali setenang suara hatinya. Dian sejenak tergagap karena sedikit terpesona dengan penampilan Awan.
“Awan, ada yang ingin aku
bicarakan denganmu. Kau harus bersedia!” Awan tersenyum. Ia biasa berpikir bahwa
wanita ingin selalu diperhatikan. Maka ia pun memperhatikan Dian,
“Ada apa, Dian? Kalimatmu terasa resmi
sekali!”
Dian tersenyum, bibirnya bergetar, ditengadahkan sedikit wajahnya ketika ia mengibaskan rambut. Ada tahi lalat
kecil di dagunya. Dian menatap Awan dengan mata
berbinar. Sejenak! Lalu ada nyala
serius muncul di wajahnya.
“Yuk kita bicara di depan Ruang Laborat saja!”
“Pagi-pagi begini?” tanya
Awan heran. Padahal ia seharusnya piket kelas. Menyapu!
“Iya!” jawab Dian singkat
dan tajam.
“Sepertinya kok kamu penting banget!” jawab Awan. Semoga tugas piket
sudah ada yang melaksanakan.
Berdua, Awan dan Dian berjalan menuju bangku panjang di depan
laboratorium. Keduanya mencoba tak mengacuh lingkungan. Siapa sich di sekolah ini yang tidak kenal Awan, aktivis sekolah yang tak banyak kata namun cukup
berprestasi. Oh, Dian adalah salah satu fansnya.
“Aku mau bicara sangat serius kali ini!” kata Dian setelah
mereka duduk dan berbasa-basi sejenak.
“Boleh!” tantang Awan.
“Terlalu! Kamu keterlaluan!”
sergap Dian seketika. Awan terpaksa terkesiap sejenak
“Siapa yang keterlaluan?” tanya Awan.
“Kau!” jawab Dian agak
emosi.
“Aku? Apa pasalnya?” Ditatapnya Dian dengan lurus. Akibat sergapan
kata-kata Dian, ada gejolak tak suka menyemburat di wajah Awan. Melihat wajah Awan memerah, keberanian Dian yang tadi
menyala, seketika surut.
Theeet, theet, theeeeet…! Bel masuk berbunyi. Dian
berdiri.
“Belum selesai, Awan!”
“Selesaikan kata-katamu sekarang! Mengapa kamu
mengata-ngataiku!” pinta Awan karena penasaran dikatakan keterlaluan. Ah!
“Tidak!” kata Dian sambil berlari meninggalkan Awan,
“Istirahat kedua!” terusnya. Awan pun seperti Dian segera berjalan cepat menuju
kelasnya.
Awan ada di kelas IIIA dan Dian ada di kelas IIIF.
Mereka sebenarnya bersahabat baik. Kali ini Dian ingin membela sahabat karibnya
yang bernama Mawar. Mawar telah mengadu padanya. Dian harus memberi pelajaran
pada Awan. Tidak seharusnya laki-laki melecehkan wanita.
===
Waktu bergulir, istirahat kedua yang akan dimanfaatkan
oleh Dian untuk mengadili Awan pun tiba. Hanya ada waktu seperempat jam. Tak
ada banyak waktu. Saat ini harus jelas masalahnya. Tapi berhadapan dengan Awan Dian
harus hati-hati.
Kembali di depan Ruang Laborat. Banar yang akan ikut
duduk di dekat mereka pun di suruh menyingkir. Hanya berdua! Siapapun boleh
memperhatikan mereka berdua di depan Laborat itu, tapi pokok pembicaraan hanya
untuk keduanya.
“Kau kenal Mawar?” tanya Dian
dengan tekanan.
“Pertanyaan sederhana. Kau bisa menjawabnya. Aku kenal Mawar, Mawarningtyas, anak kelas tiga F.
Berambut sepundak, berkulit putih dan cantik. Putra Bapak Surya, Bancar, dekat pasar. Apalagi?”
“Apa yang terjadi antara kau dan dia?” Awan tersenyum.
“Tidak ada apa-apa. Tapi yang jelas dia sedang
membenciku. Dia tak mau menyapaku. Bagaimana? Apa kau mau ikut-ikutan dia?
Ikut membenciku?”
“Aduh, Awan, Awan! Kau seperti orang
yang tak berdosa saja!”
“Dian, apa maksudmu?”
“Dia sahabat akrabku. Dia telah berceritera padaku.
Kau telah berlaku kurang ajar padanya!” Kata Dian
sambil menatap Awan dengan tegas.
“Kok kurang ajar? Kasar sekali kalimatmu!” kata Awan tersinggung.
“Iya! Itulah kata yang sesuai untuk peristiwa antara Awan
dan Mawar!
“Oke Dian! Aku sudah
menduga ke arah mana pembicaraanmu. Dan aku juga sudah merenungkan apa yang
menjadi penyebab Mawar membenciku.Aku tahu!” kata Awan sambil memperbaiki
posisi duduknya. Ia memang sudah mencari penyebab marahnya Mawar padanya. Sejak
kemarin. Bahkan saat istirahat pertama pun Awan merasa malas untuk sekedar
keluar ruangan.
“Apa yang terjadi?” pertanyaan Dian dengan tekanan.
“Peristiwanya tak lebih dari tiga detik. Mawar
berjalan di sampingku. Kuangkat tanganku dan kudekap kepalanya di bawah
ketiakku. Dia berontak. Kutekan sedetik dan kulepaskan seketika. Bandonya
jatuh. Sudah!”
“Tak lebih dari itu?”
“Dian, tak lebih
dari empat detik tapi kutahu marahnya mungkin akan lebih dari empat hari!”
“Aku tidak percaya!”
“Tak lebih dari itu, Dian!” jelas Awan sambil menatap
Dian lekat-lekat, “Kepadamu, jika sempat suatu saat aku bisa pula melakukannya.
Kudekap kepalamu di ketiakku!” tantang Awan.
“Kupermalukan engkau di muka umum. Aku akan berteriak
keras-keras!” gertak Dian secepatnya. Awan tersenyum.
“Aku tak percaya dengan kata-katamu itu!” kata Awan selanjutnya. Dian membisu. Ada bayangan
kepalanya berada di dalam rangkulan Awan. Ah!
“Tidak mungkin Dian!” kata Awan lagi, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Dian menunduk dia tak mungkin mempermalukan Awan jika ia
dikepit kepalanya hanya dalam waktu dua-tiga
detik. Bahkan muka Dian jadi bersemu merah. Dadanya berdebar-bdebar. Awan menatapnya. Dian tersipu.
“Awan... e.... tapi menurutku kau tetap bersalah dan sebaiknyan kau
minta maaf padanya!” saran Dian. “Dan maaf Awan! Ceritera Mawar
kok sepertinya tidak sesederhana itu. Mana yang harus aku percayai. Kau atau Mawar?”
“Terserah kamu. Mau percaya sama aku, atau percaya
kepada Mawar!”
Dian tercenung sejenak, dia seperti sedang menimbang-nimbang
“Oke Awan, tapi menurutku,
kau tetap aku anggap bersalah dan kau sepatutnya
minta maaf pada Mawar!”
“Oke juga Dian atas saran dan pendapatmu! Tapi aku curiga. Sepertinya ceritera Mawar telah
didramasitir oleh perasaannnya. Bisa, kan? Bisa saja dibumbui dengan emosi pada saat itu?” Dian menunduk dan diam.
“Jadi kau tak perlu untuk memaksaku agar aku minta maaf
padanya”
“Lalu kalau kamu berpendapat ceriteranya telah
didramasirtir, maukah kamu menegur, Mawar? Temuilah si Mawar!”
“Buat apa?”
“Aku sebagai sahabat tidak ingin antara kau dan Mawar
timbul kesalah pahaman. Aku ingin kau dan Mawar bisa berdamai”
“Bagaimana aku bisa bicara padanya, kalau dia sudah menutup diri?! Aku telah
mencobanya untuk bercakap-cakap. Dia cuek saja. Yaa sudah. Bagiku masih banyak
hal-hal yang lebih serius daripada cuma ngurusi
dirinya. Gengsi dong!”
“Kau egois!”
“Yah mungkin aku egois. Tapi percayalah bahwa pada
suatu saat kau akan melakukannya juga. Sebab pada saatnya, egois itu perlu!”
“ Oh, kau benar-benar keterlaluan!”
“Dian kau tak perlu risau dan mencoba untuk mengadili
serta memvonis diriku. Biarlah semua peristiwa dibimbing oleh waktu”
“Semakin nyata bahwa kau egois!”
Bersamaan dengan kata egois dari Dian terdengar bunyi
bel tanda masuk. Istirahat kedua sudah habis. Para siswa mulai mengalir ke
kelas masing-masing. Awan dan Dian pun mendengar. Keduanya tetap meneruskan
pembicaraannya.
“Dian, dengarkan! Jika masanya damai, tak diusahakan
pun akan damai juga. Tapi jika memang waktu menentukan untuk berpisah, kita pun,
terpaksa atau tidak, pasti akan berpisah. Percayalah
padaku, Dian!”
“Kalau begitu, Awan, sudahlah! Terserah kamu berdua saja. Maafkanlah saya! Setidaknya
aku telah berusaha mendamaikan kau dan Mawar!”
“Tidak mengapa, Dian. Juga maafkan saya.!” Kata Awan sambil
berdiri,
“Ah sudahlah! Untuk masuk kelas kita telah terlambat
lima menit. Jangan-jangan nanti malah ada isu tentang Awan
dan Dian!”
“Ya, nggak apa-apa!” celemong Dian. Mata Awan terbeliak.
Segera Awan dan Dian beranjak. Ada
senyum di wajah Awan. Dian tersenyum juga.
“Assalamu’alaikum, Dian!” kata Awan lirih.
“Wa’alaikumsalam, Awan!” jawab Dian lirih.
===
Pada hari berikutnya ternyata di majalah dinding
sekolah tertayang sebuah ceritera pendek dengan judul “Kau Egois”, ditulis oleh Dian Maharani.
Karena penasaran dengan isi ceritera tersebut maka Awan
ditemani Banar pulang sekolah menyempatkan diri untuk membaca ceritera itu
dengan lebih cermat.
“Dian yang menulis, Awan!” kata Banar. Awan tersenyum dan menggelengkan
kepala.
“Ini ceritera beneran yaa?” tanya Banar. Awan mengangguk.
“Aku telah dikerjain
oleh Dian! Seluruh yang tertulis di ceritera ini adalah apa yang saya bicarakan
dengan Dian kemarin!”
Dan tanpa keduanya sadari ada dua gadis di belakangnya.
Yang satu Dian, gadis hitam manis dengan senyum khasnya. Yang satu gadis cantik
dengan tahi lalat di dahinya, Mawar.
“Assalamu’alaikum, Awan!” suara Dian. Dan di
belakanggnya ada Mawar tersenyum simpul.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Awan.
Dian dan Mawar mendekat
ke Majalah Dinding. Ada percik-percik keindahan yang
menyusupi hati mereka. Betapa indahnya kisah mereka di sekolah ini. Minimal ada
memori yang melekat di hati mereka saat-saat mereka bersahabat. Entah sampai kapan
kenangan ini termemori.
Dan hari berikutnya Awan dan Dian kembali di depan
perpustakaan. Berdua membaca kembali ceritera tersebut. Kali ini pada keduanya ada
perasaan ingin selalu berdua. Senang!
“Kamu, luar biasa Dian. Aku suka!” kata Awan sambil menatap
Dian.
“Aku juga suka, menuliskan ceritera ini untukmu!”
jawab Dian menunduk.
“Kapan kau menulis dan memajang ceritera ini?”
“Hari selasa sepulang sekolah, dan kuteruskan pada
malam hari. Hari Rabu sore saya memasangnya berdua dengan Mawar” jawab Dian. Awan
ingat Mawar yang mendiamkannya. Ia pun bertanya,
“Mawar, marah kepadaku! Marah sungguhan atau tidak?”
“Enggak, Awan! Aku yang menyuruhnya supaya pura-pura
marah!”
“Oh! Kalau begitu kamu telah membohongiku. Kamu harus
minta maaf padaku!” goda Awan.
Dian tersenyum.
“Kamu juga harus minta maaf pada Mawar!” jawab Dian
“Tidak!” jawab Awan tegas.
“Kau egois!” kata Dian tak kalah tegas.
Awan tersenyum.
“Yang benar, aku yang harus minta maaf padamu!” kata Awan.
“Kenapa?” tanya Dian dengan nada heran.
“Karena saya tak pernah berkata bahwa… kamu manis,
Dian!” kata Awan sambil berjalan cepat meninggalkan Dian.
Dian tersentak. Menundukkkan kepala. Tersenyum.
Dan di siang itu, di jalan Letkol Isdiman, tampak Awan
dan Dian berjalan berdua. Memulai menyusuri keindahan masa remajanya dengan
ceria, beretika dan sopan. Saat-saat demikian mereka lupa kepada para
sahabatnya.
Egois!
Purbalingga, 1994
Dariku, untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar