Selasa, 09 Oktober 2012

Blendos dan Dhogol (1)


Dongeng Kecil
Ceritera ini dimaksudkan hanya untuk catatan

Blendos dan Dhogol (1)
oleh Toto Endargo, 10 Oktober 2010 pukul 5:39 ·


Dulu ada dua orang anak desa berteman akrab. Blendos dan Dhogol. Blendhos anaknya nakal tapi banyak akal. Badannya agak gemuk, tidak telalu tinggi. Dhogol lebih kurus, dia sayang banget sama Blendhos sehingga cenderung menuruti apa saja kata Blendhos.

Anak-anak suka bermain di kebun, di pekarangan. Kali ini Blendhos dan Dhogol bermain-main di kebun Pak Badrun. Mencari sarang burung atau sekedar ingin melempar tupai. Ada beberapa batang pohon nangka di belakang rumah Pak Badrun. Rupanya ada sebuah nangka yang sudah matang sehingga bau harumnya tersebar kemana-mana. Di antaranya mampir ke hidung Blendhos.
“Gol, mambu nangka ya!” kata Blendhos sambil hidungnya dilebarkan.
“Iya! Gye, mesti nangkane Pak Badrun. Tiliki apa?” tanya Dhogol
“Mayuh!” jawab Blendhos, “Aja perek-perek mbok konangan Pak Badrun!”


Keduanya kemudian mendekati pohon nangka di belakang rumah Pak Badrun. Hidungnya kembang kempis, mendeteksi dari jauh arah bau nangka. Jelas. Terketahui, keduanya segera dapat memastikan pohon nangka yang mana yang buahnya sudah matang itu.
“Kepriwe?” tanya Dhogol.
“Mengko mbengi ngeneh maning, Gol!”
“Ngapa?”
“Ya, met nangka kuwe!” jawab Blendhos dengan serius.
“Angger konangan kepriwe?” tanya Dhogol ragu-ragu.
“Sing penting carane! Aja nganti konangan!” jawab Blendhos tegas!
----
Sandekala atau rembang petang pun berlalu. Suasana dusun sepi. Belum ada listrik. Penerangan di dalam rumah-rumah penduduk hanya menggunakan senthir, pelita. Senthir pun kadang dimatikan sebab takut, jika tertabrak tikus atau kucing, minyaknya tumpah, malah dapat menimbulkan kebakaran. Binatang malam mulai berbunyi. Suara belalang, gangsir dan jangkrik terdengar di beberapa tempat.
Blendhos dan Dhogol sudah bergabung lagi. Adat anak laki-laki dusun umumnya masih menggunakan celana pendek dan baju, kelengkapan pakaian malam adalah sarung. Bagi Blendhos dan Dhogol, sarung cenderung dipakai untuk krodhongan mengusir hawa dingin dan menghindari gigitan nyamuk, bukan untuk sarungan.
“Priwe Ndhos, kiye wis sepi banget! Sida apa ora?”
“Ya sida yaa.!”
“Carane kepriwe?”tanya Dhogol. Blendhos pun mengeluarkan skenario.
“Mengko qo sing menek. De ambung dhisit, sing mateng sing endi. De puk-puk! Angger nangkane mambu wangi tur empuk yaa kuwe nangka sing mateng!”
“Terus?”
“Puntir! Tangan loro nggo muntir nangka. Mengko aku neng ngisor wit. Nampani! Mancak! Mengko, dong nangkane tiba tek pancake! Wite nangka mbok ora dhuwur, aku mesthi kuat mancak”
“Gampang yaa?!” kata Dhogol setengah mengagumi Blendhos.
“Ya, jelas. Angger depancak toli onana swarane, sebab onana nangka tiba. Angger nangka nganti tiba maring lemah, bisa moni, gedebug! Angger Pak Badrun krungu nangkane tiba, mesthi menyat, ndean malah metu. Bisa konangan inyong karo ko lagi met nangkane ora ngomong!
“Ko jan pinter ya, Ndos!”
Dengan cara sedikit mengendap endap. Diiringi suara angkup dari rimbunan daun nagka. Sampailah keduanya di bawah pohon nangka. Skenario yang dibuat oleh Blendhos pun dipraktekkan.
Dhogol naik ke pohon. Banyak tonjolan di batang pohon sehingga Dhogol cepat sampai ke buah nangka yang sudah matang tersebut. Walau dalam kegelapan malam, karena kebiasaan, keduanya masih cukup awas memperhatikan lingkungan.
Ada empat buah nangka dalam satu cabang besar. Menggantung. Besarnya hampir sama. Ditepuk-tepuknya nangka-nangka tersebut. Ada dua buah yang empuk. Dhogol mencium keduanya. Harum! Selera makan Dhogol langsung berkembang di mulutnya. Buah nangka setinggi dua meter milik Pak Badrun itu memang terkenal enak. Dagingnya tebal, kenyal berair, bijinya kecil dan rasanya manis. Dari ketinggian itu Dhogol berbisik kepada Blendhos yang di bawahnya.
“Ndos, sing mateng loro! Kepriwe?”
“Depuntir!”
“Mbok tiba lorone. Qo kuwat nampani apa ora?”
“Cut siji!”
“Ora bisa. Gandheng! Inyong ora sanggup lah, Ndos!”
“Bodho!” sungut Blendhos, “Yaa, wis, ngeneh mudhun! Nyong bae sing menek!”
Dhogol pun turun. Blendhos menek. Anak dusun umumnya terampil menek pohon.
Setelah di atas. Kini Blendhos pun ragu akan kekuatannya. Mampukah ia menyelematkan nangka agar tidak jatuh ke tanah? Ia berpikir sejenak. Apa akal? Sarung! Sarung akan menyelamatkan nangka dari kejatuhan.Shiip!
“Gol, qo neng ngingsor persis ya!” perintahnya berbisik, “Siap nampani. Arep tek buntel sarung!” Dalam gelap Dhogol menganggukkan kepala.
Kecerdasan Blendhos membuat Dhogol senang sekali. Dilihatnya, walau masih di atas batang, Blendhos sangat sigap melepaskan sarung dari badannya.
Blendhos berpikir, sarung kan bundar, sisi bawah dapat dikerudungkan ke nangka, lalu sisi atas dilingkarkan ke leher. Sehingga jika nangka lepas dari tangkainya, akan … grandhul! Nangka tertahan oleh lehernya. Dengan demikian nangka tidak jatuh ke tanah. Lalu pelan-pelan ia akan serahkan nangka berselimut sarung itu kepada Dhogol. Beres!
Kini sarung bagian atas sudah terlilit di lehernya. Bagian bawah diselundupkan ke bagian bawah nangka atau pantat nangka. Dua buah nangka sekaligus. Maka bentuk bagian bawah nangka menjadi seperti bentuk pantat bayi digendongan.
Nangka dipuntir, pretek. Dipuntir lagi, pretek. Karena keterampilan Blendhos yang biasa memetik buah, dengan kedua tangannya, di samping keadaan nangka yang sudah matang maka hanya dalam hitungan detik putuslah tangkai nangka. Dhel!
Sesuai perhitungan Blendhos nangka pun jatuh dan grandhul di lehernya. Saat beban kedua nangka menarik lehernya, ternyata Blendhos belum sempat memperbaiki kedudukan kaki dan kedua tangannya. Kedua tangan Blendhos pun tidak sempat berpegangan apapun. Dengan jantung seperti terlepas, Blendhos dari ketinggian sekitar dua meter, nangka berselubung sarung dan tubuhnya meluncur ke bawah.
Dhogol yang di bawah memang sudah sangat siap menerima uluran nangka. Namun ia tidak menyangka luncurannya begitu cepat dan berat. Sedetik ia melihat dua gumpalan menubruknya. Ia sempat menghindari luncuran pertama, benda bulat, tapi tidak sempat menghindari luncuran benda kedua yang berujud Blendhos.
Gedebug! Gedebuk! Ghek!
Tiga suara asing memecah kesunyian kebun Pak Badrun. Istri Pak Badrun merasa mendengar suara tiga buah nangka jatuh. Lalu ia membangunkan Pak Badrun.
“Pak, nangkane tiba kae. Telu kayane!”
Pak Badrun bangun.
"Tapi miki kayane ana swara, ghek! Sing tiba sie apa?" pertanyaan istri Pak Badrun dalam hati. Lima menit kemudian suami istri itu sambil membawa sebuah senthir sudah di bawah pohon nangka.
“Pak, kiye sie sarunge sapa, sarung esih bener deneng neng rika nggo mbrongsong nangka?” tanya istrinya.
Pak Badrun diam saja. Dia pun berpikir, kapan dia mbrongsong nangka pakai sarung?

Sementara itu Blendos dan Dhogol sudah lari dan kini keduanya di pinggir sungai. Dhogol bahunya sakit, barangkali tadi kesambar pahanya Blendhos saat jatuh. Blendhos sendiri pundaknya sakit dan perih. Ada baret-baret di mukanya, perih sekali saat cuci muka.
“Kepriwe sarunge, Ndhos?”
“Embuhlah! Jorna! Nangka ora olih, sarung ilang, awak lara kabeh!” gerutu Blendhos.
“Mulane, polah sing bener, Ndhos!”


Semoga ada sambungannnya!
Ada sambungannya di 
Blendos dan Dhogol (2)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar