Selasa, 09 Oktober 2012

RENANG LAGI

Cerita Remaja
RENANG LAGI
oleh Toto Endargo 
pada 25 Mei 2011 
pukul 10:44


SMP Negeri 2 Purbalingga. Tahun 1987. Pukul 13.30.
Kegiatan renang di Kolam Renang Tirto Asri, Walik, Kutasari.
Berangkatnya dari sekolahan naik colt angkutan penumpang. Kalau sekarang disebut colt cowak. Pintunya satu di belakang. Duduknya berhadap-hadapan. Satu colt bisa mengangkut lima belas sampai dua puluh siswa, berjubel. Baunya khas anak-anak sekolah. Membawa tas isi baju ganti.
Siswa yang rumahnya dekat sebelum berangkat bisa pulang terlebih dahulu. Kali ini Budi walau tergesa-gesa mencoba pulang terlebih dulu. Mengambil pakaian renang.
Renang perlu persiapan. Anak-anak polahnya kadang nggelani. Ada yang suka main plorodan. Jangan sekali-kali berangkat renang hanya menggunakan celana kolor. Jika dari belakang diplorodaken, dapat mengakibatkan sesuatu yang seharusnya disembunyikan, malah jadi tampak menggantung dan nggrandhul.
Celana yang baik untuk renang, adalah celana renang, dari bahan yang lentur, ngepres dan cepat kering. Tapi untuk anak laki-laki SMP Negeri 2 Purbalingga yang penting celananya sopan dan aman. Sopan dilihat dari segi etika, aman dari segi plorodan.
Budi kali ini memilih celana yang resleting, hak dan kancing celananya kuat, yang bagian pinggang ngepas di perut. Sehingga jika ada plorodan, celananya tetap bisa bertahan. Kalau plorodannya menggunakan tenaga-dalam, paling hanya bisa membuat celananya sobek. Celana Budi dari bahan katun tebal, dan tidak terlalu ketat. Demi kesopanan ia memilih celana yang cukup longgar, tidak ketat. Hanya satu celana yang memenuhi dua syarat ini, kebetulan bukan miliknya, tapi milik bapaknya. Celana model kuna, memakai rimpel sampai empat tempat, ngepres di perut tapi longgar di bagian bawahnya.  Tak apalah yang penting teman-teman tidak tahu bahwa celana longgar itu milik bapaknya.

Petugas di kolam renang  Walik, minimal ada dua orang. Pak Sirun yang kalau jalan jligrang-jligrang, kakinya panjang, badannya kurus-tinggi, mengurusi, urusan dalam, menyiram kamar ganti, menyewakan pelampung, menjaga tas dan baju siswa yang ada di rak-rakan. Satunya lebih pendek, lebih banyak diam. Tapi teliti saat menghitung pengunjung. Tugasnya sebagai portir memeriksa karcis atau menghitung siswa yang masuk berrombongan.
Fasilitas yang terdapat di Tirto Asri ada beberapa yang utama. Kolam renang, memanjang  dari arah selatan ke utara. Kolam bagian selatan terdiri dari kolam dangkal, dalamnya hanya setengah meter, kolam sedang yang dalamnya dua meter. Bagian utara air kolamnya sekitar tiga-empat meter. Tepian barat ada bagian yang dangkal memanjang.
Mempunyai kamar ganti sekitar delapan kamar, di selatan kolam. Tempat menaruh baju, tas, sandal anak-anak sekolah ada di sebelah selatan-depan. Ada semacam ruang duduk di sebelah barat kolam dangkal. Di sebelah deretan kamar ganti, lewat anak tangga turun ada tiga kamar ganti lagi dan dua kamar kecil. Kamar ganti berfungsi untuk tempat ganti, dari baju-datang ke baju-renang  atau dari baju-renang ke baju-pulang.
Fasilitas lain yang penting adalah tempat bilas. Tempat bilas ada tiga. Satu di sebelah anak tangga, depan kamar ganti yang hanya tiga kamar. Tempat bilas kecil, airnya kecil, ujung pancuran dibuat dari pipa 3 inchi. Pancuran bilas ini kadang tidak berfungsi, sat, tidak ada air yang mancur. Tempat bilas besar ada dua buah, di utara kolam. Tempat bilas yang menyenangkan. Grojogannya besar, airnya sejuk. Sayang jauh dari kamar ganti. Sehingga kalau sudah bilas, harus melenggang melintasi sepanjang panjang kolam untuk sampai ke kamar ganti.

Pukul 14.14 sampailah rombongan siswa SMP Negeri 2 Purbalingga kelas III Tahun 1986/1987 di Kolam Renang Tirto Asri, Walik. Budi dan kawan-kawan dengan suka cita masuk ke lingkungan kolam. Seperti biasanya kalau di kolam renang. Begitu sampai langsung ke kamar ganti. Pating bludus. Ganti baju renang. Sedikit berebut masuk ke kamar ganti. Hari ini Budi beruntung. Ia berhasil sendirian di satu kamar. Ini hari senin. Mana mungkin mandi pakai celana biru, celana ini belum masanya dicuci. Celana biru akan dipakai lagi besok. Ia membuka isi tas.

“Astagfirullah, kok nggak ada celana dalamnya?” gerutunya. Tentu gara-gara tergesa-gesa. “Tak apalah!” pikirnya. Dia yakin, celana pendek bapaknya sangat kuat, tahan untuk diplorodkan. Tebal nggak mungkin sobek. Sopan karena longgar tidak ngapret. “Celana ideal” kata batinnya.
Budi ke penitipan baju, tas dan sandal. Lalu ambyur ke kolam. Mengabaikan anjuran yang tertulis di tembok sebelah barat, sebelum masuk kolam sebaiknya bilas dulu supaya badan nggak langsung kaget terkena dinginnya air kolam.

Hari ini seperti hari-hari yang lalu, rutinitas di kolam renang pun berlangsung. Anak di bariskan di tepi kolam. Diabsen. Lalu dibagi-bagi. Di kolam dangkal adalah anak yang belum bisa berenang. Di tempat yang sedikit agak dalam untuk anak-anak yang sudah pandai berenang. Ada yang segera dilatih, namun ada pula yang dibiarkan beraktivitas sendiri. Sepuluh menit. Dan nanti ada penilaian mengambil batu di dasar kolam, dalamnya hanya dua meter. Di kolam yang persis di depan kamar ganti. Di sebelah kolam yang dangkal.

Renang di Walik bukan hanya anak SMP Negeri 2 Purbalingga, kadang ada dari sekolah lain. Ternyata hari ini tidak sepadat Hari Jumat. Pak Edy Soewatno agak santai ketika memanggil dan menguji kemampuan siswa menyelam, siswa berada di dalam air. Ada tiga batu yang dilemparkan dan harus diambil setiap siswa.

Pukul 15.30. Saat Budi masih di kolam renang, menunggu giliran diuji. Ia berada persis di depan kamar ganti. Sangat terkesima. Datang serombongan pendatang. Empat orang remaja dewasa. Lihat gayanya tentu dari kota besar. Tiga pemuda dan satu orang gadis. Budi yakin rombongan ini satu keluarga. Kakak beradik. Sejenak keempatnya melihat situasi kolam renang. Duduk di kursi-kursi sebelah barat kolam yang dangkal.

Budi sangat tertarik kepada gadis yang baru datang. Rapi sekali. Rambutnya di potong poni, pakai bando sederhana. Hem warna putih, ujung krah lehernya yang lebar membuat ia semakin tampak anggun. Bagian luar hem ditutup dengan vest warna hitam. Rapi, cantik. Rambutnya seakan ditata sehelai demi sehelai. Rambut di sekitar telinganya sangat rapi. Hitam, mengkilat, sampai tengkuk. Lilian namanya. Leluhur gadis cantik ini dari lembah Hoang Ho, Sungai Kuning, dari keluarga Che, di Zhengzhou.

Semua mata, mau tidak mau, secara reflek dan otomatis tertarik untuk memperhatikan mereka. Terutama memandang si gadis yang bernama Lilian Che. Lilian adalah atlet renang di sekolahnya, di Kebayoran Baru, Jakarta. Sudah dua hari di Purbalingga untuk mengunjungi saudaranya yang sakit. Setiap kali ke Purbalingga ia harus pergi ke kolam renang Walik ini.

Sepuluh menit kemudian keempatnya beranjak dari tempat duduknya. Membawa tas ke kamar ganti. Dada Budi berdebar. Ia berharap dapat menikmati pemandangan yang tentu sulit untuk dilupakan seumur hidupnya. Sampai Budi lupa bahwa ia berada di tengah teman-temannya. Sedang ujian menyelam.

“Budi..!” panggil Pak Edy Soewatno yang bertelanjang dada, dengan kalung sempritan. Budi tidak mendengar panggilan Pak Edy.
“Bud!” seru Ndoti, “Gilirane qo, njiot watu. Cewek, bae!” Hah!
Segera Budi terjun ke air. Menyelam. Tiga batu di genggaman tangannnya. Budi menepi, didongakkan kepalanya dari dalam air. Tangannya berpegangan tepian kolam. Ia kibaskan rambut dan membuka matanya.

“Astaghfirullah!” ketika mata Budi terbuka, justru persis ketika semuanya seakan terpukau melihat Lilian melintas. Pak Edy pun pura-pura tidak lihat, tidak nyaman diketahui oleh Yudho, putranya. Dua belas mulut anak SMP Negeri 2 Purbalingga saat itu sulit tertutup selama lima detik.
“Untung Pak Toto, ora melu ngeneh yaa!” batine Pujiono, “Angger ana toli ndean melu bengong!”

Sungguh pemandangan yang sulit dielakkan. Lilian keluar dari kamar ganti, dengan baju renang warna biru. Berjalan penuh percaya diri melintas ke penitipan baju. Berbincang sejenak dengan portir yang tinggi.

Baju renangnya tidak sama dengan baju renang perenang di Walik. Kalau perenang putri Walik memakai baju renang dengan model tertutup. Bagian atas walau tanpa lengan tapi menggunakan bentuk leher bulat, kalau pun bentuk V tidak terlalu rendah. Bagian bawah, di bagian depan, pasti di beri lapisan penutup sehingga dapat menutupi bagian sekitar perut sampai ke bawah, bagian yang sewajarnya harus tertutup.

Lilian tidaaaaak!
Ia memakai baju renang dengan model yang lain, bukan bikini, tapi bentuk V-nya yang ada di bagian belakang, luar biasa. Ujung V bagian bawah nyaris sampai ke pantat. Punggung, dan pinggangnya tampak jelas. Bagian depan tanpa penutup layaknya perenang Walik. Kekontrasan warna kulit dan warna baju renangnya membuat orang harus bersusah payah untuk menormalkan arah pandangnya. Tiga saudara laki-lakinya kemudian bergabung dengan Lilian.

“Setengah jam lagi, saya tunggu di kendaraan!” suara Pak Edy Soewatno setelah membunyikan peluit. Itu berarti anak-anak boleh bermain sendiri-sendiri. Bagi yang mau jajan atau ganti baju, boleh keluar dari kolam renang.

Budi menjadikan kesempatan ini untuk mencuri pandang ke tempat Lilian berada. Badannya masih di dalam kolam. Benar-benar mujur si Budi kali ini. Rupanya Lilian sedang beradu renang dengan ketiga saudaranya. Berenang melintasi lebar kolam, arah yang dituju adalah tempat dimana Budi sedang menatapnya. Walau agak panik karena didekati bidadari Budi menguatkan hati. Ia harus mengambil kesempatan istimewa ini. Lilian berenang dengan gaya dada. Tangan direntangkan di depan dadanya bagai dayung, badannya meluncur bagai lumba-lumba. Ketika kepalanya terangkat di permukaan, Budi persis di depannya, sangat memperhatikan. Sesungguhnya apa yang dilakukan Lilian adalah wajar dan tidak vulgar, namun bagi Budi, yaa…ampun!

Sebuah perasaan asing menyentuh alam sadar Budi. Budi seketika merasa sedikit haus. Ada yang kemudian membuat jakun kecilnya bergerak naik. Disusul ada yang bergerak secara otomatis, seirama dengan desiran yang berkelebat dari isi benaknya menuju ke bagian bawah. Athathithah!
Tapi Budi anak yang cerdas. Segera ia terjun ke air. Berenang ke tepi yang lain. Sampailah ia di kolam depan kamar ganti. Diraihnya tepian kolam. Matanya terbeliak.
“Duh, Gusti!” sebutnya di dalam hati. Ia sadar ada tenda didirikan di bagian bawah!
“Gawaaat!” gumamnya. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ternyata teman-temannya, satu demi satu keluar dari kolam.
“Bud, ayuh mentas! Jere arep makan bakso bareng!” kata Ipang.
“Yaa, sedhela!” jawab Budi sekenanya.

Kini Budi terperangkap oleh celana bapaknya yang longgar. Ia bayangkan seandainya ia keluar dari kolam dan tendanya terlihat oleh Slamet, Jumeri, Syamsul, apalagi Gocil. Uh, lebih baik pingsan dari pada jadi bahan olok-olok seumur-umur.
“Brabeh, brabeh!!” Budi menyesal memakai celana bapaknya yang longgar. Kalau pakai celana ketat barangkali tidak sampai separah saat ini.

Tapi Budi anak cerdas. Ia berpikir! Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah harus membuat dirinya kelelahan. Renang! Segera ditekuk badannya, meluncur. Ia berniat berenang melintasi panjang kolam sebanyak empat lintasan. Harus!
Satu kali ia berenang melintas dari selatan ke utara, dua melintas kembali ke selatan, tiga ke utara, empat kembali ke selatan. Sekitar dua ratus meter ia berenang. Sampai! Berhasil!
Ia menepi, diraihnya tepian kolam. Didongakkan kepalanya. Ya, ampun! Lilian justru sedang bergurau dengan saudaranya di kolam dangkal dan naik ke tepi kolam. Terlihat bagian belakangnya yang memamerkan bagian punggungnya.

“Brabeh maning!” Budi memalingkan muka. Namun ternyata kemunculan Lilian Che kali ini pun membuat Budi merasakan lagi ada aliran rasa asing yang menyerangnya.
“Brabeh, brabeh!” umpatnya pada diri sendiri. Tenda belum secara pasti dapat direbahkan.
“Renang maning!” perintah di otaknya. Sebelum ia menekuk tubuhnya terdengar Joko memanggilnya.
“Bud, bali, Bud!”
“Mengko!”
“Harus dua lintasan lagi!” suara di benaknya. Ia berenang lagi. Ketika ia sampai di tepian utara. Imam yang baru mandi bilas berteriak.
“Lho Bud, Bali Bud! Mentas!”
“Mengko!”
Budi kembali berenang dari utara ke selatan kira-kira sepanjang 50 meter.
“Bud kancane wis mentas kabeh!”
“Sedhela!”
Budi berenang lagi ke selatan ke arah kamar ganti. Sampai di tepi selatan, di depan kamar ganti dia mengatur nafas. Tampak lelah sekali. Sedikit terbatuk-batuk.
“Ko lagi ngapa si ora tau-tau sregep renang. Kae Pak Edy wis neng kendaraan!” kata Ndoti, “Qo angger adus bae, arep de tinggal!”
Budi diam saja tapi segera dia lari mengambil tasnya yang ada di rak-rakan, lari ke tempat pembilasan. Lilian Che terlihat masih di kolam dangkal. Di depan tempat Budi mengambil tas dan baju kering. Pak Sirun, petugas yang badannnya tinggi sempat memperhatikan Budi, ia bertanya serius,
“Lho Bud, qo sie ngesak apa?” dikira ada sesuatu di saku celananya.
Budi diam saja tapi tasnya segera diturunkan, ditaruh di depan perutnya. Ada sedikit rasa sakit ketika secara tidak sengaja, karena tasnya dibawa berlari, sempat memukul-mukul tiang tenda.
“Qo arep bilas nang ngendi?” tanya Listio ketika Budi mau menuju ke pancuran kecil.
“Neng kono!” jawabnya sambil memajukan dagunya.
“Kuwe sat, Bud!” Budi semakin tampak grogi. Budi berniat ke tempat bilas yang besar.
“Nganah ngidul, Bud. Qo deneng kaya wong bingung!” celetuk Tutuko
“Bud kaya wong ora tau adus. Renang bola-bali!” celetuk Navi
“Brabeh, brabeh!” umpatnya pada diri sendiri. Budi berlari menuju tempat bilas yang besar. Ia panik kalau ditinggal kendaraan.

Barangkali karena nervous dan kelelahan Budi akhirnya lupa akan Lilian. Ia sukses merangkai kegiatan sehabis renang, bilas dengan cepat, ganti baju kering di kamar ganti dengan cepat pula. Dan yang penting tenda telah rebah dengan sendirinya.
Kini dia keluar dari kamar ganti, berbaju putih seragam sekolah, celana biru yang cukup ngepas. Baju tidak perlu dimasukan ke celana, sambil sebagai penutup lokasi bekas tenda. Kini kepercayaan dirinya telah kembali, dengan celana birunya ia yakin, kalaupun berniat ingin mendirikan tenda, orang lain tak mungkin bisa mendeteksinya.

Disapunya seluruh area kolam renang mencari sosok Lilian Che. Tapi tidak terlihat. Lilian sedang makan minum di warung kolam.
Budi pun sampai ke kendaraannya saat teman-temannya menggerutu. Mereka bosan karena colt tidak segera beranjak pulang.
“Qo, renang bae! Kenang apa sie? Arep ora bali apa?” tanya Ndoti!
Budi tidak menjawab tapi ketika bibirnya terbuka ada suara,
“Bocah koh ayu temen yaa! Warnane biru maning!”
“Oh, bodong!” dan gaduhlah suasana di colt itu.
“Oh, pantes! Ora mentas-mentas!”
“Qo mesthi…, qo mesthi …!” suara Syamsul menimpali suara yang lain. Syamsul mengendalikan dakwaannya, memotong kalimatnya.
“Iya, jen brabeh pisan!” sungut Budi, “Inyong nganggo clanane bapake, longgar banget, malah dadi kaya ngedegna tenda!” kata Budi berterus terang! Teman-temannnya tertawa.
“Cara-carane dina kiye qo yaa celilian ya, Bud!” kata Herman.
“Inyong renang maning, renang maning. Sangkane kesel. Dadi lemes!” kata Budi lagi.
“Ujarku qo arep ora bali. Ora menyat-menyat sekang kolam!”
“Justru sebab menyat kuwe, aku malah dadi ora wani menyat!”
Busyet!

Ketika berbagai komentar bersahutan, akhirnya Pak Edy Soewatno paham, problem apa yang menimpa Budi saat di kolam renang.
“Renang lagii….!” suara Pak Edy Soewatno dengan suara yang khas sambil tersenyum.
Dan sampai sekarang Budi tidak tahu bahwa gadis cantik berbaju biru, yang di kolam renang itu, bernama Lilian Che!

Purbalingga, 21 Mei 2011

Mas Pudji Triwibowo, terima kasih atas bocoran ceritera ini.
Mas Budi, mohon maaf, semoga tetap banyak rejeki, sehat dan sejahtera. Amin.

1 komentar: