Cerita Remaja
RENANG LAGI
oleh Toto Endargo
pada
25 Mei 2011
pukul 10:44
Kegiatan renang di Kolam Renang Tirto Asri, Walik, Kutasari.
Berangkatnya dari sekolahan naik colt angkutan penumpang. Kalau
sekarang disebut colt cowak. Pintunya satu di belakang. Duduknya
berhadap-hadapan. Satu colt bisa mengangkut lima belas sampai dua puluh siswa,
berjubel. Baunya khas anak-anak sekolah. Membawa tas isi baju ganti.
Siswa yang rumahnya dekat sebelum berangkat bisa pulang terlebih
dahulu. Kali ini Budi walau tergesa-gesa mencoba pulang terlebih dulu.
Mengambil pakaian renang.
Renang perlu persiapan. Anak-anak polahnya kadang nggelani. Ada
yang suka main plorodan. Jangan sekali-kali berangkat renang hanya
menggunakan celana kolor. Jika dari belakang diplorodaken, dapat
mengakibatkan sesuatu yang seharusnya disembunyikan, malah jadi tampak
menggantung dan nggrandhul.
Celana yang baik untuk renang, adalah celana renang, dari bahan yang
lentur, ngepres dan cepat kering. Tapi untuk anak laki-laki SMP Negeri 2
Purbalingga yang penting celananya sopan dan aman. Sopan dilihat dari segi
etika, aman dari segi plorodan.
Budi kali ini memilih celana yang resleting, hak dan kancing celananya
kuat, yang bagian pinggang ngepas di perut. Sehingga jika ada plorodan,
celananya tetap bisa bertahan. Kalau plorodannya menggunakan tenaga-dalam, paling
hanya bisa membuat celananya sobek. Celana Budi dari bahan katun tebal, dan
tidak terlalu ketat. Demi kesopanan ia memilih celana yang cukup longgar, tidak
ketat. Hanya satu celana yang memenuhi dua syarat ini, kebetulan bukan
miliknya, tapi milik bapaknya. Celana model kuna, memakai rimpel sampai empat
tempat, ngepres di perut tapi longgar di bagian bawahnya. Tak apalah yang
penting teman-teman tidak tahu bahwa celana longgar itu milik bapaknya.
Petugas di kolam renang Walik,
minimal ada dua orang. Pak Sirun yang kalau jalan jligrang-jligrang,
kakinya panjang, badannya kurus-tinggi, mengurusi, urusan dalam, menyiram kamar
ganti, menyewakan pelampung, menjaga tas dan baju siswa yang ada di rak-rakan.
Satunya lebih pendek, lebih banyak diam. Tapi teliti saat menghitung
pengunjung. Tugasnya sebagai portir memeriksa karcis atau menghitung siswa yang
masuk berrombongan.
Fasilitas yang terdapat di Tirto Asri ada beberapa yang utama. Kolam
renang, memanjang dari arah selatan ke utara. Kolam bagian selatan
terdiri dari kolam dangkal, dalamnya hanya setengah meter, kolam sedang yang
dalamnya dua meter. Bagian utara air kolamnya sekitar tiga-empat meter. Tepian
barat ada bagian yang dangkal memanjang.
Mempunyai kamar ganti sekitar delapan kamar, di selatan kolam. Tempat
menaruh baju, tas, sandal anak-anak sekolah ada di sebelah selatan-depan. Ada
semacam ruang duduk di sebelah barat kolam dangkal. Di sebelah deretan kamar
ganti, lewat anak tangga turun ada tiga kamar ganti lagi dan dua kamar kecil.
Kamar ganti berfungsi untuk tempat ganti, dari baju-datang ke baju-renang
atau dari baju-renang ke baju-pulang.
Fasilitas lain yang penting adalah tempat bilas. Tempat bilas ada tiga.
Satu di sebelah anak tangga, depan kamar ganti yang hanya tiga kamar. Tempat
bilas kecil, airnya kecil, ujung pancuran dibuat dari pipa 3 inchi. Pancuran
bilas ini kadang tidak berfungsi, sat, tidak ada air yang mancur. Tempat bilas
besar ada dua buah, di utara kolam. Tempat bilas yang menyenangkan. Grojogannya
besar, airnya sejuk. Sayang jauh dari kamar ganti. Sehingga kalau sudah bilas,
harus melenggang melintasi sepanjang panjang kolam untuk sampai ke kamar ganti.
Pukul 14.14 sampailah rombongan siswa SMP Negeri 2 Purbalingga kelas
III Tahun 1986/1987 di Kolam Renang Tirto Asri, Walik. Budi dan kawan-kawan
dengan suka cita masuk ke lingkungan kolam. Seperti biasanya kalau di kolam
renang. Begitu sampai langsung ke kamar ganti. Pating bludus. Ganti baju
renang. Sedikit berebut masuk ke kamar ganti. Hari ini Budi beruntung. Ia berhasil
sendirian di satu kamar. Ini hari senin. Mana mungkin mandi pakai celana biru,
celana ini belum masanya dicuci. Celana biru akan dipakai lagi besok. Ia
membuka isi tas.
“Astagfirullah, kok nggak ada celana dalamnya?” gerutunya. Tentu
gara-gara tergesa-gesa. “Tak apalah!” pikirnya. Dia yakin, celana pendek
bapaknya sangat kuat, tahan untuk diplorodkan. Tebal nggak mungkin sobek. Sopan
karena longgar tidak ngapret. “Celana ideal” kata batinnya.
Budi ke penitipan baju, tas dan sandal. Lalu ambyur ke kolam.
Mengabaikan anjuran yang tertulis di tembok sebelah barat, sebelum masuk kolam
sebaiknya bilas dulu supaya badan nggak langsung kaget terkena dinginnya air
kolam.
Hari ini seperti hari-hari yang lalu, rutinitas di kolam renang pun
berlangsung. Anak di bariskan di tepi kolam. Diabsen. Lalu dibagi-bagi. Di
kolam dangkal adalah anak yang belum bisa berenang. Di tempat yang sedikit agak
dalam untuk anak-anak yang sudah pandai berenang. Ada yang segera dilatih,
namun ada pula yang dibiarkan beraktivitas sendiri. Sepuluh menit. Dan nanti
ada penilaian mengambil batu di dasar kolam, dalamnya hanya dua meter. Di kolam
yang persis di depan kamar ganti. Di sebelah kolam yang dangkal.
Renang di Walik bukan hanya anak SMP Negeri 2 Purbalingga, kadang ada
dari sekolah lain. Ternyata hari ini tidak sepadat Hari Jumat. Pak Edy Soewatno
agak santai ketika memanggil dan menguji kemampuan siswa menyelam, siswa berada
di dalam air. Ada tiga batu yang dilemparkan dan harus diambil setiap siswa.
Pukul 15.30. Saat Budi masih di kolam renang, menunggu giliran diuji.
Ia berada persis di depan kamar ganti. Sangat terkesima. Datang serombongan
pendatang. Empat orang remaja dewasa. Lihat gayanya tentu dari kota besar. Tiga
pemuda dan satu orang gadis. Budi yakin rombongan ini satu keluarga. Kakak
beradik. Sejenak keempatnya melihat situasi kolam renang. Duduk di kursi-kursi
sebelah barat kolam yang dangkal.
Budi sangat tertarik kepada gadis yang baru datang. Rapi sekali.
Rambutnya di potong poni, pakai bando sederhana. Hem warna putih, ujung krah
lehernya yang lebar membuat ia semakin tampak anggun. Bagian luar hem ditutup
dengan vest warna hitam. Rapi, cantik. Rambutnya seakan ditata sehelai demi
sehelai. Rambut di sekitar telinganya sangat rapi. Hitam, mengkilat, sampai
tengkuk. Lilian namanya. Leluhur gadis cantik ini dari lembah Hoang Ho, Sungai
Kuning, dari keluarga Che, di Zhengzhou.
Semua mata, mau tidak mau, secara reflek dan otomatis tertarik untuk
memperhatikan mereka. Terutama memandang si gadis yang bernama Lilian Che.
Lilian adalah atlet renang di sekolahnya, di Kebayoran Baru, Jakarta. Sudah dua
hari di Purbalingga untuk mengunjungi saudaranya yang sakit. Setiap kali ke
Purbalingga ia harus pergi ke kolam renang Walik ini.
Sepuluh menit kemudian keempatnya beranjak dari tempat duduknya.
Membawa tas ke kamar ganti. Dada Budi berdebar. Ia berharap dapat menikmati
pemandangan yang tentu sulit untuk dilupakan seumur hidupnya. Sampai Budi lupa
bahwa ia berada di tengah teman-temannya. Sedang ujian menyelam.
“Budi..!” panggil Pak Edy Soewatno yang bertelanjang dada, dengan
kalung sempritan. Budi tidak mendengar panggilan Pak Edy.
“Bud!” seru Ndoti, “Gilirane qo, njiot watu. Cewek, bae!” Hah!
Segera Budi terjun ke air. Menyelam. Tiga batu di genggaman tangannnya.
Budi menepi, didongakkan kepalanya dari dalam air. Tangannya berpegangan tepian
kolam. Ia kibaskan rambut dan membuka matanya.
“Astaghfirullah!” ketika mata Budi terbuka, justru persis ketika
semuanya seakan terpukau melihat Lilian melintas. Pak Edy pun pura-pura tidak
lihat, tidak nyaman diketahui oleh Yudho, putranya. Dua belas mulut anak SMP
Negeri 2 Purbalingga saat itu sulit tertutup selama lima detik.
“Untung Pak Toto, ora melu ngeneh yaa!” batine Pujiono, “Angger ana
toli ndean melu bengong!”
Sungguh pemandangan yang sulit dielakkan. Lilian keluar dari kamar
ganti, dengan baju renang warna biru. Berjalan penuh percaya diri melintas ke
penitipan baju. Berbincang sejenak dengan portir yang tinggi.
Baju renangnya tidak sama dengan baju renang perenang di Walik. Kalau
perenang putri Walik memakai baju renang dengan model tertutup. Bagian atas
walau tanpa lengan tapi menggunakan bentuk leher bulat, kalau pun bentuk V
tidak terlalu rendah. Bagian bawah, di bagian depan, pasti di beri lapisan
penutup sehingga dapat menutupi bagian sekitar perut sampai ke bawah, bagian
yang sewajarnya harus tertutup.
Lilian tidaaaaak!
Ia memakai baju renang dengan model yang lain, bukan bikini, tapi
bentuk V-nya yang ada di bagian belakang, luar biasa. Ujung V bagian bawah
nyaris sampai ke pantat. Punggung, dan pinggangnya tampak jelas. Bagian depan
tanpa penutup layaknya perenang Walik. Kekontrasan warna kulit dan warna baju
renangnya membuat orang harus bersusah payah untuk menormalkan arah pandangnya.
Tiga saudara laki-lakinya kemudian bergabung dengan Lilian.
“Setengah jam lagi, saya tunggu di kendaraan!” suara Pak Edy Soewatno
setelah membunyikan peluit. Itu berarti anak-anak boleh bermain
sendiri-sendiri. Bagi yang mau jajan atau ganti baju, boleh keluar dari kolam
renang.
Budi menjadikan kesempatan ini untuk mencuri pandang ke tempat Lilian
berada. Badannya masih di dalam kolam. Benar-benar mujur si Budi kali ini.
Rupanya Lilian sedang beradu renang dengan ketiga saudaranya. Berenang
melintasi lebar kolam, arah yang dituju adalah tempat dimana Budi sedang
menatapnya. Walau agak panik karena didekati bidadari Budi menguatkan hati. Ia
harus mengambil kesempatan istimewa ini. Lilian berenang dengan gaya dada.
Tangan direntangkan di depan dadanya bagai dayung, badannya meluncur bagai
lumba-lumba. Ketika kepalanya terangkat di permukaan, Budi persis di depannya,
sangat memperhatikan. Sesungguhnya apa yang dilakukan Lilian adalah wajar dan
tidak vulgar, namun bagi Budi, yaa…ampun!
Sebuah perasaan asing menyentuh alam sadar Budi. Budi seketika merasa
sedikit haus. Ada yang kemudian membuat jakun kecilnya bergerak naik. Disusul
ada yang bergerak secara otomatis, seirama dengan desiran yang berkelebat dari
isi benaknya menuju ke bagian bawah. Athathithah!
Tapi Budi anak yang cerdas. Segera ia terjun ke air. Berenang ke tepi
yang lain. Sampailah ia di kolam depan kamar ganti. Diraihnya tepian kolam.
Matanya terbeliak.
“Duh, Gusti!” sebutnya di dalam hati. Ia sadar ada tenda didirikan di
bagian bawah!
“Gawaaat!” gumamnya. Ketika ia mengedarkan pandangan matanya ke
sekeliling ternyata teman-temannya, satu demi satu keluar dari kolam.
“Bud, ayuh mentas! Jere arep makan bakso bareng!” kata Ipang.
“Yaa, sedhela!” jawab Budi sekenanya.
Kini Budi terperangkap oleh celana bapaknya yang longgar. Ia bayangkan
seandainya ia keluar dari kolam dan tendanya terlihat oleh Slamet, Jumeri,
Syamsul, apalagi Gocil. Uh, lebih baik pingsan dari pada jadi bahan olok-olok
seumur-umur.
“Brabeh, brabeh!!” Budi menyesal memakai celana bapaknya yang longgar.
Kalau pakai celana ketat barangkali tidak sampai separah saat ini.
Tapi Budi anak cerdas. Ia berpikir! Satu-satunya jalan yang harus
ditempuh adalah harus membuat dirinya kelelahan. Renang! Segera ditekuk
badannya, meluncur. Ia berniat berenang melintasi panjang kolam sebanyak empat
lintasan. Harus!
Satu kali ia berenang melintas dari selatan ke utara, dua melintas
kembali ke selatan, tiga ke utara, empat kembali ke selatan. Sekitar dua ratus
meter ia berenang. Sampai! Berhasil!
Ia menepi, diraihnya tepian kolam. Didongakkan kepalanya. Ya, ampun!
Lilian justru sedang bergurau dengan saudaranya di kolam dangkal dan naik ke
tepi kolam. Terlihat bagian belakangnya yang memamerkan bagian punggungnya.
“Brabeh maning!” Budi memalingkan muka. Namun ternyata kemunculan
Lilian Che kali ini pun membuat Budi merasakan lagi ada aliran rasa asing yang
menyerangnya.
“Brabeh, brabeh!” umpatnya pada diri sendiri. Tenda belum secara pasti
dapat direbahkan.
“Renang maning!” perintah di otaknya. Sebelum ia menekuk tubuhnya
terdengar Joko memanggilnya.
“Bud, bali, Bud!”
“Mengko!”
“Harus dua lintasan lagi!” suara di benaknya. Ia berenang lagi. Ketika
ia sampai di tepian utara. Imam yang baru mandi bilas berteriak.
“Lho Bud, Bali Bud! Mentas!”
“Mengko!”
Budi kembali berenang dari utara ke selatan kira-kira sepanjang 50
meter.
“Bud kancane wis mentas kabeh!”
“Sedhela!”
Budi berenang lagi ke selatan ke arah kamar ganti. Sampai di tepi
selatan, di depan kamar ganti dia mengatur nafas. Tampak lelah sekali. Sedikit
terbatuk-batuk.
“Ko lagi ngapa si ora tau-tau sregep renang. Kae Pak Edy wis neng
kendaraan!” kata Ndoti, “Qo angger adus bae, arep de tinggal!”
Budi diam saja tapi segera dia lari mengambil tasnya yang ada di rak-rakan,
lari ke tempat pembilasan. Lilian Che terlihat masih di kolam dangkal. Di depan
tempat Budi mengambil tas dan baju kering. Pak Sirun, petugas yang badannnya
tinggi sempat memperhatikan Budi, ia bertanya serius,
“Lho Bud, qo sie ngesak apa?” dikira ada sesuatu di saku celananya.
Budi diam saja tapi tasnya segera diturunkan, ditaruh di depan
perutnya. Ada sedikit rasa sakit ketika secara tidak sengaja, karena tasnya
dibawa berlari, sempat memukul-mukul tiang tenda.
“Qo arep bilas nang ngendi?” tanya Listio ketika Budi mau menuju ke
pancuran kecil.
“Neng kono!” jawabnya sambil memajukan dagunya.
“Kuwe sat, Bud!” Budi semakin tampak grogi. Budi berniat ke tempat
bilas yang besar.
“Nganah ngidul, Bud. Qo deneng kaya wong bingung!” celetuk Tutuko
“Bud kaya wong ora tau adus. Renang bola-bali!” celetuk Navi
“Brabeh, brabeh!” umpatnya pada diri sendiri. Budi berlari menuju
tempat bilas yang besar. Ia panik kalau ditinggal kendaraan.
Barangkali karena nervous dan kelelahan Budi akhirnya lupa akan Lilian.
Ia sukses merangkai kegiatan sehabis renang, bilas dengan cepat, ganti baju
kering di kamar ganti dengan cepat pula. Dan yang penting tenda telah rebah
dengan sendirinya.
Kini dia keluar dari kamar ganti, berbaju putih seragam sekolah, celana
biru yang cukup ngepas. Baju tidak perlu dimasukan ke celana, sambil sebagai
penutup lokasi bekas tenda. Kini kepercayaan dirinya telah kembali, dengan
celana birunya ia yakin, kalaupun berniat ingin mendirikan tenda, orang lain
tak mungkin bisa mendeteksinya.
Disapunya seluruh area kolam renang mencari sosok Lilian Che. Tapi
tidak terlihat. Lilian sedang makan minum di warung kolam.
Budi pun sampai ke kendaraannya saat teman-temannya menggerutu. Mereka
bosan karena colt tidak segera beranjak pulang.
“Qo, renang bae! Kenang apa sie? Arep ora bali apa?” tanya Ndoti!
Budi tidak menjawab tapi ketika bibirnya terbuka ada suara,
“Bocah koh ayu temen yaa! Warnane biru maning!”
“Oh, bodong!” dan gaduhlah suasana di colt itu.
“Oh, pantes! Ora mentas-mentas!”
“Qo mesthi…, qo mesthi …!” suara Syamsul menimpali suara yang lain.
Syamsul mengendalikan dakwaannya, memotong kalimatnya.
“Iya, jen brabeh pisan!” sungut Budi, “Inyong nganggo clanane bapake,
longgar banget, malah dadi kaya ngedegna tenda!” kata Budi berterus terang!
Teman-temannnya tertawa.
“Cara-carane dina kiye qo yaa celilian ya, Bud!” kata Herman.
“Inyong renang maning, renang maning. Sangkane kesel. Dadi lemes!” kata
Budi lagi.
“Ujarku qo arep ora bali. Ora menyat-menyat sekang kolam!”
“Justru sebab menyat kuwe, aku malah dadi ora wani menyat!”
Busyet!
Ketika berbagai komentar bersahutan, akhirnya Pak Edy Soewatno paham,
problem apa yang menimpa Budi saat di kolam renang.
“Renang lagii….!” suara Pak Edy Soewatno dengan suara yang khas sambil
tersenyum.
Dan sampai sekarang Budi tidak tahu bahwa gadis cantik berbaju biru,
yang di kolam renang itu, bernama Lilian Che!
Purbalingga, 21 Mei 2011
Mas Pudji Triwibowo, terima kasih atas bocoran ceritera ini.
Mas Budi, mohon maaf, semoga tetap banyak rejeki, sehat dan sejahtera.
Amin.
kereeeeeeeeeeeeeen pak by ragil 9B alumni 2013
BalasHapus