Tulisan ini pernah dipasang di Majalah Dinding Sekolah.
Cerita Remaja
Segitiga Jatuh Hati
Oleh : Pagu Rutoto
Percaya atau tidak, terserah. Tapi jatuh hati harus hati-hati. Rosi
terlihat sedih hari ini. Ada benang kusut bergulat di benaknya. Salah sendiri,
kenapa harus selalu memikirkan cowok. Bahwa anak putra itu harus selalu
dicurigai. Jangan dimanja, apalagi dikasih hati. Uh, bisa ngelunjak. Diberi hati bisa minta rempela, artinya diberi yang enak malah justru minta yang nggak enak dan aneh-aneh. Mbok nggelani!
Rosi juga begitu. Nggelani!
Hal sepele dibuat tidak sepele! Wagu!
Istirahat kedua.
“Rosi!” panggil Dita dengan senyum. Rosi yang sedang merenung di bangku
panjang di depan kelas, menghadap ke selatan, menoleh pelan. Panggilan Dita
terdengar seperti suara dari tempat yang sangat jauh.
“Kamu, ngelamun lagi. Kenapa? Siapa lagi yang kau pikirkan?”
“Nggak usah tanya! Terserah saya!” jawabnya sengol.
“Lho, jangan marah. Kalau kamu melamun, lalu nanti di jalan ketabrak
sepeda apa kau pikir aku tidak repot. Apalagi kalau kau sampai bunuh diri
gara-gara tautan hati ....” kata Dita mencoba bergurau.
"Syori, buat apa bunuh diri!” potong Rosi cepat.
“Nah, itu kata-kata yang kuharapkan!” sambung Dita cepat juga.
“Apa?" Tanya Rosi dengan mencibirkan bibir bawahnya.
"Saya suka. Kamu tidak suka bunuh diri.” Kata Dita, “Terus terang
saya tidak suka dengan caramu berjatuh hati, setiap kali sikapmu tak
mencerminkan ketabahan seorang wanita ...!” tegur Dita sambil berdiri di depan
Rosi.
“Soalnya kamu belum pernah jatuh hati!” potong Rosi lagi sambil memutar
bola matanya. Poninya menutupi dahinya. Dita tertawa.
“Oh, rasanya sudah ada enam satria setara Arjuna yang mendekatiku dan
melamarku, masih kutolak juga!”
“Arjuna apa Rahwana?” debat Rosi.
“Pokoknya cakep!
Bahkan dua diantaranya justru si Arjuna itu sendiri yang datang bersama Dewa Kamajaya, dewa yang paling cakep di kahyangan!”
“Iya aku percaya! Jadi menurutmu ketika aku jatuh hati, harus bagaimana?” tanya Rosi.
“Begini, anak manis! Cinta yang baik hendaknya seperti segitiga sama-sisi. Ia mempunyai tiga sisi yang sama, artinya seimbang, dan sudut yang sama pula. Sisi adalah garis terluar, bagian yang dapat dilihat dari luar. Sebaliknya sudut adalah
hal yang ada di dalam segitiga itu, artinya hal yang ada di dalam diri kita”
"Maksudmu?"
“Ada tiga hal yang harus dicermati secara wajar dan seimbang. Yang pertama yang
dapat dilihat orang dan yang kedua, yang ada di dalam diri kita. Sisi atau hal
yang dapat dilihat oleh
orang lain secara gamblang; yang pertama adalah kita
sebagai pihak putri, kedua pihak putra dan ketiga adalah lingkungan. Kita, baik putra maupun putri harus selalu
menjaga diri
jangan sampai kita dilihat orang dan dinilai negatif. Cara
berbaju, usahakan yang sopan dan sesuai keadaan. Cara bertingkah, kalau sedang berdekatan harus wajar, jangan over acting. Sengaja bertingkah supaya tampak mesra, tidak boleh!
Wajar saja!”
“Lingkungan?”
“Kita harus selalu
memilih lingkungan yang baik. Jangan main ke tempat yang tidak seharusnya. Kalau
pergi berdua, belajar, nonton, atau olahraga, nggak boleh sampai lupa waktu. Jangan sampai hubungan kita meresahkan lingkungan,
baik keluarga maupun masyarakat. Sebagai pelajar harus tetap
menjadi siswa yang baik, syukur berprestasi!”
“Lha kamu bagaimana?”
“Lho, aku kan masih
menolak para Arjuna! Belum pakai teori ini! Nyahoo!”
“Sombong, kamu! Teori,
thok!”
“Lebih baik berteori
dari pada sakit hati karena jatuh hati!” kata Dita masih
semangat. Walau tahu Rosi tak begitu paham tentang segitiga, Dita menerangkan
juga hubungan sudut segi tiga dengan etika jatuh hati.
“Besar sudut segitiga sama-sisi
adalah 60 derajat. Ada tiga sudut yang sama!”
“Terus ada tiga hal lagi yang harus diperhatikan...?”
“Betul! Ada tiga sudut yang perlu dicermati dalam hubungan jatuh hatinya seorang gadis kepada seorang
jejaka …”
“Sudut apa saja, anak bodong?” Tanya Rosi pada Dyta dengan tertawa.
“Sudut pertama adalah kepercayaan, kedua rasa
memiliki, ketiga adalah kesetiaan. Ketiganya ada di dalam diri kita. Condongnya atau
besaran ketiga hal tersebut cukup 60 derajat, seperti sudut segitiga sama sisi.
Jangan sampai 70, 80, apalagi sampai 90 derajat atau lebih. Jangan lebih! Kalau
sampai lebih, namanya ngawur!”
“Artinya...?”
“Maksudnya? Kalau ada cowok bilang, ‘Kamulah yang paling cantik! Kamulah
satu-satunya sumber semangatku! Kamulah, ....!’ Jangan percaya! Kepercayaan
kita cukup 60 persen! Selebihnya, kata-katanya adalah rayuan belaka! Nggedebus!”
“Kalau rasa memiliki?”
“He, he, kalau sudah ‘jadian’ umumnya masing-masing akan merasa, dia
adalah milikku! Milikilah dia hanya 60% saja. Selebihnya dia adalah milik orang
lain! Biarkan ia berteman atau bergaul dengan yang lain. Jangan 100 persen kamu
kuasai!”
“Yang ketiga, apa tadi?”
“Kesetiaan! Setialah kepada cowokmu, cukup 60% saja!”
“Lho, kok begitu!”
“Jangan pikir cowok itu setia kepadamu 100%. Tidak! Percayalah kepada
teoriku! Kamu akan menyesal kalau kamu setia sampai lebih dari 60%. Sebab
banyak kemungkinan, di belakang kita, sesungguhnya dia masih suka godain cewek
lain! Masih menimbang-nimbang untuk jatuh hati ke cewek lain”
“Oh, begitu ya!” kata Rosi sambil menatap lapangan volley.
“Dengarkan! Jumlah ketiga sudut dari segitiga sama sisi adalah 180
derajat. Sudut 180 derajat akan membentuk garis lurus. Nah, jika filsafat yang
terkandung dalam segitiga sama sisi ini dipakai, untuk menjaga hubungan cinta para
remaja, maka kisah cintanya akan berjalan seimbang, wajar dan lurus-lurus saja.
Artinya putus atau tetap nyambung, semua akan berjalan wajar dan terjaga!”
“Seperti ahli filsafat matematika saja”
“Lho, matematika juga perlu dalam cinta. Makanya ada istilah cewek matre yaitu
cewek yang menghitung harta si cowok sebagai alasan utama ketertarikannya.
Kalau cowok kaya, pakai
motor, bawa mobil, dia suka, jika si-pria jalan kaki, naik angkot, atau bersepeda … tolak saja” kata Dita lagi.
“Aku bukan cewek
matre! Mau bicara apalagi?” Tanya Rosi berikutrya.
"Semangat kita berjatuh hati tidak perlu terlalu menggebu. Cukup
dalam ukuran 60 derajat tadi. Tidak perlu terlalu menuruti perasaan diri,
rindu, ingin ngobrol dan sebagainya. Sederhanakan saja. Dari pihak cowok juga
harus begitu.Sederhanakan saja!”
“HaI etika bagaimana?”
“Etika berjatuh hati juga cukup pada derajat 60. Tidak harus sering
bertemu, tidak harus saling berkunjung. Tetap menjaga privasi masing-masing
pihak. Keduanya masih memberi kebebasan tiap pribadi untuk tetap bergerak
seperti biasanya. Namun semua dalam tatanan yang wajar dan bertanggung jawab.
Ingat pada komitmen awal ketika jadian. Cemburu boleh, kangen boleh, ngobrol
juga boleh, tapi tetap harus dalam bingkai sopan dan pantas jika dilihat dan dinilai
oleh orang lain”
"Mana bisa?”
“Harus bisa! Kita sebagai pelajar, remaja, yaa harus tetap semangat
belajar dan menikmati masa-masa remaja kita dengan normal sebagai layaknya
anak-anak yang belum dewasa” penjelasan Dita.
“Dit, kamu lapar nggak?” kata Rosi. Rosi belum secara ikhlas menerima
kata-kata Dita. Rosi sudah tahu intinya. Dita menasehati dirinya agar tidak
terlalu memikirkan anak putra. Jatuh hati boleh, tapi tidak boleh menjadi
tambahan beban pikiran selagi dia sebagai pelajar. Wajar-wajar saja.
“Aja nylimur, Rosi!” sergah
Dita
“Iya, pancen aku nylimur! Tapi aku sudah paham
apa yang kau katakan. Aku harus tahu diri. Harus bisa mengendalikan emosi saat
jatuh hati. Harus selalu berniat dan berjalan lurus bagai sudut 180 derajat. Iya mbokan?” kata Rosi.
Dita mengangguk perlahan.
Bell istirahat kedua berakhir. Ketika anak-anak baris, Rosi dan Dita
tetap duduk di bangku panjang. Sesungguhnya mengganggu barisan, tapi begitulah
tabiat anak-anak ketika guru terlambat hadir. Mereka seenaknya dan santai saja
saat baris di depan kelas, sebelum masuk untuk pelajaran jam ke enam dan ke
tujuh.
Mata pelajaran terakhir hari itu, Matematika.
Purbalingga, 3 Maret 2005
Terimakasih untuk Rosi, karenamu tulisan ini tersaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar