Selasa, 05 Juli 2022

Pasar Tugu Taman Badhog Purbalingga (1)

 Pasar Tugu Taman Badhog Purbalingga (1)

Cerita singkat tentang Pasar Mandiri, Tugu Bancar, Taman Maerakaca dan Pasar Badhog, Purbalingga


Pasar Mandiri

Dahulu di jalan Pujowiyoto, dekat perempatan SD Purbalingga Wetan ada pasar. Pasar krempyeng, pasar yang ramainya hanya waktu pagi, sampai sekitar jam sembilan, sudah sepi kembali. Di pasar ini, walau ada juga penjual ayam, namun mayoritas para pedagang jualannya jajan pasar dan sayuran. Pasar krempyeng di pinggir jalan Pujowiyoto ini dikenal dengan nama Pasar Badhog. Kata mbadhog, yang berarti makan, dan badhogan artinya makanan, maka kata "badhog" rupanya sengaja disematkan untuk nama pasar ini, karena di pasar banyak penjual makanan, atau badhogan itu. 

Sebenarnya kata badhog, badhogan, mbadhog, adalah bahasa ngoko kasar, kurang sopan, tapi apa boleh buat, begitulah yang tersaji dan terjadi. Dalam hal ini, ternyata kata badhogan menjadi lebih populer dibandingkan dengan kata jajanan atau panganan. 

Jadi dahulu sudah ada pasar badhog, pasar yang mayoritas menyajikan makanan, atau badhogan, jajan pasar, dan itu berada di Jalan Pujowiyoto.

Seiring dengan waktu, keramaian pasar ini akhirnya mengganggu lalu lintas, maka sekitar tahun 1990-an, pasar ini lokasinya digeser, ke lahan tanah Makam Narasoma yang berada di barat jalan. 

Para pedagang pun, suka tidak suka pindah ke lokasi baru tersebut. Dan walaupun pedagang dan jualannya sama, ternyata nama pasarnya diubah, dengan nama: Pasar Mandiri. Maka berakhirlah riwayat pasar badhog yang berada di perempatan dekat Bu Timah, pedagang sayuran yang dulu legendaris.

Begitulah sedikit cerita tentang awal-mula Pasar Mandiri, Purbalingga, yang sesungguhnya berawal dari pasar badhog versi lama. 

Semoga berkenan.

.

"Dulu, pernah beli apa di Pasar Badhog, Pak?"

"Jiwel"

"Kok, jiwel?"

"Iya, jiwel, yang kalau makan dijiweli, terus dimasukkan ke mulut!"

"Oh! Kalau jongkong, bagaimana?'

"Jongkong, kalau makan langsung di jongkongkan ke mulut!"

"Lah kalau pipis?"

"Pipis, ya pipis dulu lah, baru boleh makan!"

"Bukan, dipipisi dahulu, baru dimakan?"

"Nggaklah! Jorok itu!"

.

Nuwun

=======

.

Minggu, 12 Juni 2022

Mantra Jawa Slaman Slumun

 Mantra Jawa Slaman Sluman

Tiga kata yang bagi orang Jawa cukup bermakna, sering dijadikan mantra untuk menghadapi persoalan yang menghadang dirinya. Namun penyebutannya perlu kecermatan dalam memilih kata, agar sesuai dengan niatnya.

Mantra Kejawen ini unik dan cukup menggemaskan. Tiga kata yang dalam penyebutannya sedikit diringkas, mirip tembung 'garba', dalam bahasa Jawa. Cermati dan bandingkan tiga kata berikut: 

Slaman, Slumun, Slamet

Sluman, Slumun, Slamet

.

Hehe, ada yang beda, kan? 

Beda di bagian depan, yang satu 'Slaman', yang satu 'Sluman'. Kata kedua dan ketiga sama. Sebuah mantra, mantra Kejawen. Ciri mantra Kejawen adalah menggabungkan kata atau frasa dari bahasa Arab dengan kata dari bahasa Jawa.

Kata kedua murni dari Arab yaitu slumun, ringkasan dari kata salamun yang berarti kesejahteraan, kenyamanan. Kata ketiga slamet, ini jelas dari kata selamat, artinya selamat, terbebas dari rasa prihatin, jauh dari marabahaya, atau dijauhkan dari hal-hal yang negatif. Syukur selamatnya di dunia dan juga di akhirat.

Kata 'Slaman', dari kata salaman, akar katanya dari Arab, salim, salam, yang berarti hormat, damai, aman. Kita mengenal kata salaman, bersalaman, berjabat tangan, mencermati arti salaman maka di saat berjabat tangan seharusnya ada rasa saling menghormati, saling menyayangi, dan juga saling mendoakan untuk kebaikan dan kenyamanan masing-masing. Hem, barangkali, begitu sebenarnya cara dan rasa orang yang bersalaman.

Kesimpulannya, kalau ada orang menyebut kata: "Slaman, Slumun, Slamet"

Itu sama dengan sedang membaca mantra agar dirinya mendapatkan situasi dan kondisi yang positif, yaitu mendapatkan kesejahteraan, keselamatan dan kenyamanan. Dijauhkan dari "ribed-ributing rubeda". Baik dari hasil berdoa sendiri, usahanya sendiri, maupun didoakan atau diusahakan oleh orang lain. Mantra ini dapat digunakan saat mau kondangan, ngantar manten, mau sedekah, perjalanan tilik saudara, berangkat ibadah, dsb, pokoknya yang happy, yang menghasilkan energi positif.

Itulah "Slaman, Slumun, Slamet"

Aamiin !

.

Nah sekarang yang bermantra:

"Sluman, Slumun, Slamet"

Menggunakan kata Sluman, di depan, bukan Slaman. Ngapunten, menurut saya, kata Sluman itu berasal dari kata Siluman.

Siluman adalah makhluk halus yang tersembunyi namun ada saatnya dia bisa menampakkan diri.

Jadi isi mantra; Sluman, Slumun, Slamet ini diperlukan saat berhadapan dengan hal-hal yang bersifat mendadak, dengan harapan bisa mengelabuhi rintangan penghadang, sehingga mampu menyelinap, berkelit menghindarinya, tidak terdeteksi radar dan selamat.

Kesimpulannya mantra; Sluman, Slumun, Slamet ini digunakan dalam keadaan darurat,  dalam situasi yang bersifat negatif. 

Misalnya, mau masuk tempat wisata, tempat hiburan, yang harusnya beli karcis kok ingin menyelinap gratisan, pakailah mantra ini. Barangkali manjur juga untuk berkelit saat  ada cegatan, tapi lupa bawa SIM.

Namun dalam hal kejahatan berat, misalnya: Korupsi, mencuri, nyabu, dll. Mantra ini tidak berlaku, pasti, tetap saja ketahuan yang berwajib atau yang berwenang.

Jadi kesimpulan akhirnya; 

Mantra: Slaman, Slumun, Slamet .... bersifat positif,

Mantra; Sluman, Slumun, Slamet .... bersifat negatif.

.

Seberapa besar kemanjuran mantra ini?

Tergantung!

Kalau sedang beruntung, ya, manjur.

Kalau sedang sial, ya, tidak manjur.

.

Ngapunten,

Sekedar iseng dan sedang sedikit usil.

Nuwun

.

.

Sabtu, 04 Juni 2022

GURU KENCING BERDIRI

 Guru Kencing Berdiri

.

Sejak SD sudah diajarkan peribahasa: "Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari". Artinya: Jika guru memberi teladan buruk, maka perilaku murid akan lebih buruk lagi. Mengapa menggunakan kata kencing? Karena kencing dapat digolongkan sebagai perilaku jorok. Dan air kencing juga dinilai sebagai air yang kotor, najis. Jadi guru kencing berdiri, menjadi simbol teladan yang buruk.

.

Sepertinya peribahasa ini dibuat oleh laki-laki dari Jawa. Dahulu laki-laki Jawa, pakaian bawahnya, menggunakan kain, jarit, istilahnya "bebedan". Jadi kalau mau kencing, tinggal sedikit buka kain, dan jongkok. Cuur! Selesai. Tapi bisa juga, peribahasa ini justru ide dari kaum putri yang kalau kencing pasti jongkok. Jadi jongkok adalah cara kencing yang benar. Perempuan yang kencing sambil berdiri adalah aib, jelek, bukan teladan yang baik. Mungkin!

.

Begitulah, maka akhirnya, kencing jongkok dinilai sebagai etika yang benar. Dan kencing berdiri dinilai sebagai perilaku yang buruk. Itu dahulu! Sekarang guru putra tidak lagi bebedan, tapi cenderung pakai celana panjang, jadi kalau mereka kencing, juga cenderung sambil berdiri. Maka kata "kencing berdiri", sepertinya, sekarang sudah expired. Karena, sekarang, bagi guru-guru putra, kencing sambil berdiri, rasanya sudah menjadi perilaku yang sangat wajar. Namun demikian semoga para guru, walaupun terbiasa kencing berdiri, tetap saja dapat memberi teladan yang baik bagi para muridnya.

.

"Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari". Mencermati kata;  "berdiri" dan "berlari",  peribahasa ini menggunakan gaya bahasa penegasan, golongan klimak. Maka yang sesungguhnya tersirat di dalam peribahasa ini adalah; siswa punya potensi berkreativitas yang kemungkinan dapat melebihi gurunya. Dengan demikian peribahasa ini dapat juga diterjemahkan bahwa: keteladanan guru yang baik (berdiri) akan membangkitkan kreativitas muridnya, sehingga para muridnya, dalam kebaikan, dapat melebihi kemampuan gurunya  (berlari). 

.

Semoga bermanfaat

.

Minggu, 01 Mei 2022

KEYAKINAN WAYANG

 Keyakinan Wayang (1)

.

Pertaruhan

Keyakinan diri Yudhistira dan diri Sengkuni demikian hebatnya. Keduanya berkeyakinan akan menang dalam permainan judi dadu. Demi keyakinannya, Yudistira berani mempertaruhkan seluruh miliknya, sampai istrinya pun dipertaruhkan. Sengkuni, berbekal kecurangan, juga berkeyakinan akan menang, dilayanilah pertaruhan Yudhistira (Puntadewa). Dengan dasar keyakinan masing-masing, maka keduanya berani mempertaruhan segala sesuatunya dengan penuh percaya diri.

.

Hasil

Yudhistira melawan Sengkuni, keduanya terlibat dalam baku laku permainan judi, judi dadu. Setiap kali Yudhistira kalah maka Sengkuni membujuknya agar terus berjudi sampai berjaya. Karena anjuran dan bujukan sesat Sengkuni itulah, Yudhistira pun nekad terus berjudi dan berkeyakinan akan menang,  Setelah sekian waktu berlalu, hasilnya: Sengkuni menang! Yudhistira kalah telak, terpuruk akibat ulah licik Sengkuni, harta benda, tahta, negara dan istrinya, harus diserahkan kepada pihak Sengkuni. Begitulah, diawali dengan keyakinan yang hebat, diakhiri dengan hasil yang berbeda. Begitulah, secuil cerita wayang, kisah Mahabharata, episode Pandhawa Dadu.

.

"Pak, boleh sedikit menyimpulkan!"

"Boleh, mangga!"

"Hasil akhir tidak mesti sesuai dengan keyakinan awal yang menggebu. Begitu, Pak?"

"Mungkin!"

"Kok, mungkin! Teruskan, Pak!'

"Kapan kapan!"

.

Semoga bermanfaat

Lagi kepengin ndongeng

Nuwun.

.

Keyakinan Wayang (2)

.

Perang Bharatayuda. Sengkuni punya keyakinan menang. Bekalnya adalah jumlah Kurawa yang seratus dan para senapati perang yang sakti, ada Drona, Bisma, Karna, Salya, Bogadhenta dll. Sengkuni adalah pengatur panglima perang. Yudhistira melayaninya, dengan bersandar pada Kresna yang ahli dalam muslihat perang. Hasilnya: Sengkuni, 99 Kurawa, dan para panglima perang pendukungnya, kalah dan tewas. Bharatayuda berakhir. Pandhawa menang. Begitulah, diawali dengan keyakinan yang teguh, diakhiri dengan hasil yang berbeda. Secuil cerita wayang, kisah Mahabharata, episode Bharatayuda.

.

Perlu Laku

Peristiwa main dadu dan perang Bharatayuda adalah "laku", atau proses mewujudnya suatu keyakinan. Dalam cerita wayang ini, antara Sengkuni dan Yudhistira ada tiga hal yang utama yaitu: keyakinan, laku, hasil. Yang pertama, keyakinan bahwa melalui berbagai upaya keduanya yakin akan mendapatkan kemenangan. Yang kedua "laku", yaitu proses sebagai jalan mewujudnya keyakinan. Yang ketiga, hasil: wujud akhir dari sebuah keyakinan setelah melewati "laku", bisa menang atau kalah, hidup atau mati, bisa juga bahagia (surga) atau sengsara (neraka).

.

Kesimpulan

Sekedar kesimpulan dan nasehat untuk Sengkuni, juga untuk Yudhistira, bahwa:

1. Keyakinan kalian, ternyata, seperti bermain judi, bisa menang, bisa kalah, bisa benar, bisa salah.

2. Keyakinan kalian tidak perlu dipaksakan kepada pihak lain, sebab kalian juga masih dalam tahap keyakinan.

3. Seluruh keyakinan kalian akan berakhir, setelah proses laku, jadi sebelum proses laku, sebaiknya tetap fokus ke keyakinan sendiri agar jadi kenyataan.

4. Sesungguhnya tiap wayang punya hak untuk memiliki keyakinan masing-masing, tidak kalian saja yang punya hak berkeyakinan, jadi jangan memaksa, jangan takabur dengan keyakinan diri.

.

Begitulah, sedikit cerita tentang Keyakinan Wayang, episode Pandhawa Dadu dan Perang Bharatayuda. 

Begitulah, sekedar sumbang saran untuk tokoh Sengkuni dan Yudhistira.

Semoga bermanfaat.

.

"Pak keyakinan hidup bahagia, setelah meninggal boleh?"

"Ya, boleh banget. Tapi kapasitasnya ya masih keyakinan, kan!"

"Maksudnya?"

"Kebenaran dari keyakinan itu, ya nanti setelah proses laku, setelah hembusan nafas terakhir!"

"Oh, begitu!"

"Iya. Mulane, tetep sing sabar, tawakal. Ndonga sing mantep supaya keyakinanmu dadi nyata. Ora susah kaya Sengkuni, kae!"

"Maksudnya?"

"Ngajak berjudi, dan berperang kepada Yudhistira, hanya karena punya keyakinan untuk menang, untuk hidup makmur!"

"Oh, begitu?"

"Ya, semoga sekarang jadi paham hal Keyakinan Wayang."

"Kita, semua wayang, nggih?!"

"Ndean!"

.

Semoga berkenan

Lagi kepengin ndongeng

Nuwun.

.

.