WANGSALAN LOKAL
toto endargo
toto endargo
Masyarakat
Jawa memiliki kekayaan budaya, bahasa dan sastra yang cukup luas jangkauan
pengaruhnya. Banyak yang memperhatikannya, baik secara ilmiah maupun non
ilmiah. Mereka menikmati, bahkan kadang ingin memilikinya. Seharusnya setiap
warga Jawa punya kehendak untuk melestarikan secara positif budaya sastra
warisan para leluhurnya.
Para
pecinta Bahasa Jawa, terutama Guru Bahasa Jawa, tentu sudah sangat paham dengan
kata pertama dari judul tulisan ini; “Wangsalan!”
Wangsalan
adalah bentuk sastra tutur, semacam pantun yang menggunakan kata-kata sebagai
teka-teki pada sampiran, dan pada akhirnya akan dijawab sendiri untuk membentuk isi. Kata-kata yang digunakan tidak sama persis namun sangat mirip.
Wangsalan
ada yang berwujud satu baris kalimat, dua baris, dan ada pula yang berbentuk
tembang. Susunan wangsalan dapat dikatakan persis pantun; ada sampiran
(teka-teki) dan isi (jawaban). Perbedaannya pantun cenderung mengacu kepada
jatuhnya sajak akhir, sedangkan wangsalan mengutamakan makna kata sekaligus sajak
akhir.
Lokal
dalam judul tulisan ini merujuk pada wilayah yang terbatas, yaitu Banyumas.
Menurut penulis ternyata dalam budaya sastra Banyumas terdapat bentuk wangsalan
yang khas Banyumas dan tidak dimiliki oleh daerah lain. Hal tersebut rupanya
belum sempat dicermati, atau belum banyak yang membahasnya secara khusus.
Secara
umum wangsalan yang diajarkan dan banyak kita temui adalah wangsalan produk
dari wilayah Surakarta - Yogyakarta
Contoh
wangsalan umum:
Kolik priya, Priyagung Anjani putra
Tuhu eman, wong anom wedi kangelan
Baris
pertama teka-tekinya:
Kolik priya, artinya burung kolik jantan, bunyinya;
“Tuhuuu! Tuhuuu!” sehingga disebut dengan nama burung Tuhu.
Priyagung Anjani putra, satria anaknya Dewi
Anjani, satria ini bernama Anoman.
Baris
kedua adalah jawaban atau isi, berupa teguran.
Dalam baris ini
mengandung kata “tuhu” sebagai
jawaban dari kata “kolik priya” dan
digunakan untuk membuat kalimat “Tuhu
eman”
Kata “anom” sebagai jawaban dari kata Anjani Putra, dan digunakan untuk
membantu membentuk kata “wong anom”
Jenang sela, sekul binuntel ron klapa,
Apuranta, yen wonten lepat kawula
Teka-teki di
baris pertama adalah jenang sela, adukan brangkal yang pekat sering disebut sebagai
“apu”, pelengkap orang menginang
atau makan sirih. Apu digunakan untuk membentuk kata “Apuranta”, maafkanlah!
Sekul binuntel ron klapa, nasi yang
dibungkus dengan daun kelapa, jawabannya adalah “kupat”. Ternyata wangsalan ini
hanya mengambil kata “pat” dari kata
kupat untuk membentuk kata lepat.
Apuranta yen wonten lepat kawula – Maafkanlah, jika terdapat salah
saya
Perlu
wawasan khusus untuk dapat memahami dan menikmati sebuah wangsalan. Wangsalan di atas
adalah wangsalan umum yang sering kita dengar dalam percakapan.
Bagi
penikmat gendhing Banyumasan tentu kenal Gendhing Kembang Glepang. Gendhing ini
liriknya terdiri dari tiga bentuk yaitu: percakapan, wangsalan dan parikan.
Terdapat sesuatu yang unik dalam membuat wangsalan
Barangkali
inilah wangsalan khas Banyumasan
Dalam
wangsalan Banyumasan teka-tekinya harus dijawab dengan nama dari benda di
depannya. Dalam Gendhing Kembang Glepang terdapat empat nama, kata benda yang disajikan.
Berikut
ini adalah lirik Gendhing Kembang Glepang dimana kita dapat menemukan bagian
wangsalan yang unik, khas Banyumasan, lagu digubah dalam bentuk tanya jawab
antara sindhen dengan tukang kendhang.
Paman-paman pengendhange, apa rika ari tumon
Ana
gedhang, nunggang kupu
(lha,
ora tumon ana gedhang nunggang kupu)
Rika arep tumon, arep belih, nyong tumon ikih
Gedhange
- gedhang raja, kupune - kupu gajah,
Ana
raja nunggang gajah
Simak
kalimat “Ana gedhang nunggang kupu!”
Pernyataan
yang mengusik benak, hal yang mustahil, tidak mungkin ada pisang naik
kupu-kupu. Pernyataan yang diprotes oleh si tukang kendhang.
Memang
teka-teki dari wangsalan ini terdapat pada pernyataan; “Ana gedhang nunggang
kupu”. Dan jawabannya ada terdapat pada kalimat; “Gedhange gedhang raja, kupune
kupu gajah”
Jadi
pernyataan yang benar adalah; Ana raja nunggang gajah - ada raja naik gajah.
Bukan
hal yang mustahil lagi karena jaman dulu, raja memang suka naik gajah saat
keliling-keliling di sekitar keraton.
Dengan
mencermati keterangan di atas, kita dapat memahami keunikan wangsalan berikut
yang juga ada di Gendhing Kembang Glepang
Paman-paman pengendhange, apa rika tumon maning
Ana
kinjeng, nggeret lintang
(lha, ora tumon ana kinjeng nggeret lintang)
Rika arep tumon, arep belih, nyong
tumon ikih
Kinjenge
– kinjeng kebo, lintange – lintang wluku
Ana
kebo nggeret wluku
Hal
mustahil yang disampaikan sindhen adalah; “Kinjeng nggered lintang!” Mana
mungkin ada capung menarik bintang?
Jawabannya;
Kinjenge, Kinjeng Kebo, lintange, Lintang
Wluku.
Pernyataan
yang benar adalah; “Ana kebo nggered wluku - Ada kerbau menarik bajak”!
Benar
jaman kemarin orang membajak sawah cukup dengan memanfaatkan tenaga kerbau,
bajak ditarik kerbau, sekarang membajak sawah sudah pakai traktor.
Demikianlah
dua contoh itulah yang dapat penulis sajikan. Karena keterbatasan wawasan
sastra, maka hingga saat ini penulis belum menemukan wangsalan khas Banyumasan
selain yang tertulis di atas.
Seiring
dengan usia gendhing kuna ini, yang digubah oleh seniman Banyumas, maka dapat
kita sepakati bahwa sejak kuna pula wangsalan khas Banyumas telah ada sebagai
bagian dari sastra Jawa.
Jika
wangsalan adalah karya sastra maka ia tentu mempunyai fungsi untuk memberikan
kenikmatan estetis atau kenikmatan puitis, dapat memberikan kepuasan batin. Pengajaran
sastra menyebutkan bahwa secara tidak langsung sastra memberikan wawasan manusia
dan kemanusiaan, rasa keadilan, kebersamaan, dan kehidupan.
Semakin
sering seseorang membaca dan menikmati karya sastra diharapkan dia akan semakin
bersikap arif terhadap manusia, kemanusiaan dan kehidupan. Dan karya sastra
wangsalan Banyumasan ini tentu digubah dengan segala kearifan “pujangga tanpa nama” dari Negeri
Banyumas.
Dari
penyampaian di atas penulis berharap agar tulisan yang sangat singkat ini dapat
memberikan inspirasi bagi para praktisi Bahasa Jawa khususnya dari wilayah
Banyumas. Menjadi kewajiban kita untuk melestarikan wangsalan Banyumasan yang
ternyata tidak kalah unik dibandingkan dengan wangsalan yang telah kita kenal
selama ini. Bagi Guru Bahasa Jawa barangkali dapat digunakan sebagai pelengkap
materi bahan ajar wangsalan.
Semoga
bermanfaat.
Salam
Keterangan:
Gedhang
Raja = pisang raja
Kupu
Gajah = kupu-kupu yang bersayap
lebar
Kinjeng
Kebo = capung besar dengan sayap lebar,
badan berwarna kehijauan.
Lintang
Wluku = rasi bintang yang berbentuk
seperti bajak
Wadouuwwww..... Ngobrol tentang wangsalan Banyumasan tapi kenapa contoh yang diambil bukan wangsalan Banyumasan????
BalasHapusNggih. Maturnuwun.
BalasHapusNgapunten, itu tulisan, saya menggunakan metode komparasi dari umum ke khusus.
Tujuannya untuk membandingkan wangsalan versi umum dengan versi Banyumasan.
Sehingga di awal saya sajikan versi umum, dan kemudian di akhir versi Banyumasan.
Uniknya wangsalan Banyumasan dengan berbagai alasannya saya bahas di bawah.
Semoga panjenengan sudah membaca tulisan tersebut sampai akhir.
Maturnuwun