Senin, 10 Maret 2014

WANGSALAN BANYUMASAN



WANGSALAN LOKAL
toto endargo

Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya, bahasa dan sastra yang cukup luas jangkauan pengaruhnya. Banyak yang memperhatikannya, baik secara ilmiah maupun non ilmiah. Mereka menikmati, bahkan kadang ingin memilikinya. Seharusnya setiap warga Jawa punya kehendak untuk melestarikan secara positif budaya sastra warisan para leluhurnya.
Para pecinta Bahasa Jawa, terutama Guru Bahasa Jawa, tentu sudah sangat paham dengan kata pertama dari judul tulisan ini; “Wangsalan!”
Wangsalan adalah bentuk sastra tutur, semacam pantun yang menggunakan kata-kata sebagai teka-teki pada sampiran, dan pada akhirnya akan dijawab sendiri untuk membentuk isi. Kata-kata yang digunakan tidak sama persis namun sangat mirip.
Wangsalan ada yang berwujud satu baris kalimat, dua baris, dan ada pula yang berbentuk tembang. Susunan wangsalan dapat dikatakan persis pantun; ada sampiran (teka-teki) dan isi (jawaban). Perbedaannya pantun cenderung mengacu kepada jatuhnya sajak akhir, sedangkan wangsalan mengutamakan makna kata sekaligus sajak akhir.
Lokal dalam judul tulisan ini merujuk pada wilayah yang terbatas, yaitu Banyumas. Menurut penulis ternyata dalam budaya sastra Banyumas terdapat bentuk wangsalan yang khas Banyumas dan tidak dimiliki oleh daerah lain. Hal tersebut rupanya belum sempat dicermati, atau belum banyak yang membahasnya secara khusus.
Secara umum wangsalan yang diajarkan dan banyak kita temui adalah wangsalan produk dari wilayah Surakarta  - Yogyakarta

Contoh wangsalan umum:

Kolik priya, Priyagung Anjani putra
Tuhu eman, wong anom wedi kangelan

Baris pertama teka-tekinya:
Kolik priya, artinya burung kolik jantan, bunyinya; “Tuhuuu! Tuhuuu!” sehingga disebut dengan nama burung Tuhu.
Priyagung Anjani putra, satria anaknya Dewi Anjani, satria ini bernama Anoman.

Baris kedua adalah jawaban atau isi, berupa teguran.

Dalam baris ini mengandung kata “tuhu” sebagai jawaban dari kata “kolik priya” dan digunakan untuk membuat kalimat “Tuhu eman”
Kata “anom” sebagai jawaban dari kata Anjani Putra, dan digunakan untuk membantu membentuk kata “wong anom”

Jenang sela, sekul binuntel ron klapa,
Apuranta, yen wonten lepat kawula

Teka-teki di baris pertama adalah jenang sela, adukan brangkal yang pekat sering disebut sebagai “apu”, pelengkap orang menginang atau makan sirih. Apu digunakan untuk membentuk kata “Apuranta”, maafkanlah!

Sekul binuntel ron klapa, nasi yang dibungkus dengan daun kelapa, jawabannya adalah “kupat”. Ternyata wangsalan ini hanya mengambil kata “pat” dari kata kupat untuk membentuk kata lepat.

Apuranta yen wonten lepat kawula – Maafkanlah, jika terdapat salah saya

Perlu wawasan khusus untuk dapat memahami dan menikmati sebuah wangsalan. Wangsalan di atas adalah wangsalan umum yang sering kita dengar dalam percakapan.
Bagi penikmat gendhing Banyumasan tentu kenal Gendhing Kembang Glepang. Gendhing ini liriknya terdiri dari tiga bentuk yaitu: percakapan, wangsalan dan parikan. Terdapat sesuatu yang unik dalam membuat wangsalan
Barangkali inilah wangsalan khas Banyumasan
Dalam wangsalan Banyumasan teka-tekinya harus dijawab dengan nama dari benda di depannya. Dalam Gendhing Kembang Glepang terdapat empat nama, kata benda yang disajikan.
Berikut ini adalah lirik Gendhing Kembang Glepang dimana kita dapat menemukan bagian wangsalan yang unik, khas Banyumasan, lagu digubah dalam bentuk tanya jawab antara sindhen dengan tukang kendhang.

Paman-paman pengendhange,  apa rika ari tumon
Ana gedhang, nunggang kupu
(lha,  ora tumon ana gedhang nunggang kupu)
Rika arep  tumon, arep belih, nyong tumon ikih
Gedhange -  gedhang raja, kupune - kupu gajah,
Ana raja nunggang gajah

Simak kalimat “Ana gedhang nunggang kupu!”
Pernyataan yang mengusik benak, hal yang mustahil, tidak mungkin ada pisang naik kupu-kupu. Pernyataan yang diprotes oleh si tukang kendhang.
Memang teka-teki dari wangsalan ini terdapat pada pernyataan; “Ana gedhang nunggang kupu”. Dan jawabannya ada terdapat pada kalimat; “Gedhange gedhang raja, kupune kupu gajah”
Jadi pernyataan yang benar adalah; Ana raja nunggang gajah -  ada raja naik gajah.
Bukan hal yang mustahil lagi karena jaman dulu, raja memang suka naik gajah saat keliling-keliling di sekitar keraton.

Dengan mencermati keterangan di atas, kita dapat memahami keunikan wangsalan berikut yang juga ada di Gendhing Kembang Glepang

Paman-paman pengendhange,  apa rika tumon maning
Ana kinjeng, nggeret lintang
(lha, ora tumon ana kinjeng  nggeret lintang)
Rika arep tumon, arep belih, nyong tumon ikih
Kinjenge – kinjeng kebo, lintange – lintang wluku
Ana kebo nggeret wluku

Hal mustahil yang disampaikan sindhen adalah; “Kinjeng nggered lintang!” Mana mungkin ada capung menarik bintang?
Jawabannya; Kinjenge, Kinjeng Kebo, lintange, Lintang Wluku.
Pernyataan yang benar adalah; “Ana kebo nggered wluku - Ada kerbau menarik bajak”!
Benar jaman kemarin orang membajak sawah cukup dengan memanfaatkan tenaga kerbau, bajak ditarik kerbau, sekarang membajak sawah sudah pakai traktor.

Demikianlah dua contoh itulah yang dapat penulis sajikan. Karena keterbatasan wawasan sastra, maka hingga saat ini penulis belum menemukan wangsalan khas Banyumasan selain yang tertulis di atas.
Seiring dengan usia gendhing kuna ini, yang digubah oleh seniman Banyumas, maka dapat kita sepakati bahwa sejak kuna pula wangsalan khas Banyumas telah ada sebagai bagian dari sastra Jawa.
Jika wangsalan adalah karya sastra maka ia tentu mempunyai fungsi untuk memberikan kenikmatan estetis atau kenikmatan puitis, dapat memberikan kepuasan batin. Pengajaran sastra menyebutkan bahwa secara tidak langsung sastra memberikan wawasan manusia dan kemanusiaan, rasa keadilan, kebersamaan, dan kehidupan.
Semakin sering seseorang membaca dan menikmati karya sastra diharapkan dia akan semakin bersikap arif terhadap manusia, kemanusiaan dan kehidupan. Dan karya sastra wangsalan Banyumasan ini tentu digubah dengan segala kearifan “pujangga tanpa nama” dari Negeri Banyumas.
Dari penyampaian di atas penulis berharap agar tulisan yang sangat singkat ini dapat memberikan inspirasi bagi para praktisi Bahasa Jawa khususnya dari wilayah Banyumas. Menjadi kewajiban kita untuk melestarikan wangsalan Banyumasan yang ternyata tidak kalah unik dibandingkan dengan wangsalan yang telah kita kenal selama ini. Bagi Guru Bahasa Jawa barangkali dapat digunakan sebagai pelengkap materi bahan ajar wangsalan.

Semoga bermanfaat.
Salam

Keterangan:
Gedhang Raja = pisang raja
Kupu Gajah = kupu-kupu yang bersayap lebar
Kinjeng Kebo = capung besar dengan sayap lebar, badan berwarna kehijauan.
Lintang Wluku = rasi bintang yang berbentuk seperti bajak


2 komentar:

  1. Wadouuwwww..... Ngobrol tentang wangsalan Banyumasan tapi kenapa contoh yang diambil bukan wangsalan Banyumasan????

    BalasHapus
  2. Nggih. Maturnuwun.
    Ngapunten, itu tulisan, saya menggunakan metode komparasi dari umum ke khusus.
    Tujuannya untuk membandingkan wangsalan versi umum dengan versi Banyumasan.
    Sehingga di awal saya sajikan versi umum, dan kemudian di akhir versi Banyumasan.
    Uniknya wangsalan Banyumasan dengan berbagai alasannya saya bahas di bawah.
    Semoga panjenengan sudah membaca tulisan tersebut sampai akhir.
    Maturnuwun

    BalasHapus