Sabtu, 01 Maret 2014

Bimbang Kado

Cerita Remaja


BIMBANG KADO
oleh: Pagu Rutoto

Percaya tidak?
Aku sedang memikirkan tentang kado. Kado untuk teman istimewaku. Aku menyebutnya teman istimewa. Soalnya hari-hariku kini terisi oleh bayang-bayangnya. Ya! Ia akan ulang tahun. Aku bingung, kado apa yang akan kuberikan padanya. Kenapa harus bingung?
Mungkinkah aku sedang jatuh cinta?
Mungkin! Karena menurut cerita di majalah dan di buku-buku novel begitulah kira-kira situasi orang yang sedang jatuh cinta. Ada rasa kangen, ada rasa sedih, ada rasa ingin untuk ngobrol dengannya. Ada rasa ingin membahagiakannya.  Namun ada pula yang aneh di diri ini, ada rasa malu saat aku harus bertemu dengannya.
Jangan mengejekku! Cukup ibuku yang mengejekku. Kalian tidak usah ikut-ikutan! Ketika hasil ulanganku jelek ibuku langsung berkata,
”Mulane aja kakehen pacaran!”
Aku terkesiap, pacaran bagaimana? Jatuh hati dan pacaran kan beda!
Beda! 
Menurutku beda! 
Pokoknya beda! 
Jatuh hati belum tentu pacaran! Jika seseorang jatuh hati dan ternyata ditolak sehingga bertepuk sebelah tangan, kan jadinya jatuh hati tapi nggak pacaran.
Pacaran belum tentu jatuh hati! Kok bisa? Hi, hi, kita mengenal istilah TTM, teman tapi mesra. Tentunya tampak akrab berdua-dua, bertingkah laku seperti pacaran, namun keduanya tidak memiliki basis jatuh hati. Nah, mungkin hal tersebut bisa dikatakan sebagai pacaran tapi tidak jatuh hati.
Umumnya, remaja saling jatuh hati dan kemudian mereka pacaran. Dan aku saat ini mungkin sedang jatuh hati, apa sedang pacaran? Nggak tahu!
Kan aku cuma kenal! Kangen! Sudah!
Berdua dua juga tidak! Sori! Gengsi dong!
Hanya begitu, apa namanya pacaran? Bukan kan?
Tapi yang jelas aku jadi banyak melamun. Terus terang, aku jadi banyak berhayal yang indah-indah. Halaman buku harianku jadi cepet penuh. Ada puisi yang selalu memuja dirinya. Ada puisi kangen.
Nah, mungkin inilah penyebabnya aku mendapat nilai jelek. Lebih banyak nulis di buku harian dari pada belajar atau mengerjakan PR. Hem, ternyata jatuh hati punya efek negative juga!
“Rasanya kamu masih terlalu kecil untuk mulai jatuh cinta, Ros" kata kawan sekelasku, “Apalagi kalau diiringi dengan langkah langkah pendekatan model kamu yang sangat nyata” lanjutnya
“Maksudmu?“ tanyaku
“Maksudku, kalau kamu sekedar jatuh hati saja, itu hal yang wajar. Sebab kamu punya hati, punya rasa dan punya hak untuk jatuh hati. Kamu normal, Ros!“
“Lalu  . . . , apa salahku?” protesku.
“Kamu akan menjadi tidak normal, jika kau terlalu menunjukkan perasaan sukamu kepadanya!“
“Apa itu salah? Kalau aku memang suka, kenapa harus munafik?“
“Nah, inilah yang ku maksud bahwa kamu terlalu kecil untuk jatuh cinta”
“Loh, beraninya kamu bicara begitu?” sergahku
“Kamu belum menggunakan etika jatuh hati. Jatuh cinta pun harus tetap pakai etika. Sopan, sabar dan tidak boleh terlalu aktif. Apalagi proaktif, mengejarnya”
“Kau pikir aku terlalu aktif? “
“Iya. Kau terlalu aktif dan bahkan kamu lupa bahwa kau adalah wanita yang seharusnya punya harga diri“ kata temanku. Aku tersinggung. Masa aku dinilai tak punya harga diri.
“Ini pelecehan!” teriakku sambil kuputar bola mataku.
“Bukan! Bukan pelecehan, tapi kenyataan!” jawabnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Kau tidak bisa mengendalikan diri untuk sekedar merahasiakan perasaan sukamu. Bahkan jangan-jangan engkau telah lebih dulu mengatakan bahwa kau suka padanya!”
“Tidak!” jawabku.
“Nah, itu bagus! Laki-lakilah yang seharusnya lebih dulu berterus-terang kalau ia jatuh hati!”
“Ah, seperti konsultan saja kata-katamu!” komentarku. Lalu aku terdiam. Ada benarnya juga temanku ini. Tapi aku lagi mikir tentang kado, bukan tentang etika jatuh hati. Kado apa untuk hari ulang tahun teman sepesialku? Itu yang sedang ku pikirkan.
“Sudah, jangan bicara tentang etika lagi! Aku ingin saranmu, kado apa yang harus ku berikan untuknya?”
“Itu kan! Kamu nekat saja memberi perhatian lebih kepada teman cowokmu!”
“Emang! Saya suka dia. Saya butuh saranmu tentang kado untuknya!”
“Baiklah! Beri dia sebuah kado tapi jangan dalam bentuk materi!”
“Maksudmu!” tanyaku.
“Jangan berupa benda! Beri ia sebuah senyuman dan ucapan selamat ulang tahun!”
“Hanya itu? Oh, kamu! Kamu benar-benar bodong. Saranmu ngawur!” protesku.
“Tidak! Itulah yang harus kamu lakukan!”
“Kenapa?”
“Jika kau berusaha memberi kado untuknya, itu sama saja kau menunjukkan ledakan perasaanmu yang mengalir deras. Kau tidak boleh membawanya sesuai dengan perasaanmu. Itu bukan hal yang baik. Percayalah!”
“Kenapa?”
“Pertanyaan yang bagus! Sebab kalau kau menbawa arus perasaanmu yang besar itu kepadanya maka dia akan hanyut bersama perasaanmu. Ia akan bersamamu bukan karena kehendaknya tapi karena kehendakmu!”
“Maksudmu, saya tidak boleh memaksa perasaannya untuk mau denganku!”
“Benar! Sebab jika ia bersamamu hanya karena ikut arusmu, dan bukan diawali oleh kehendaknya sendiri, maka jika arus perasaanmu berhenti, ia pun akan berhenti. Kau akan di tinggalkannya karena ia tidak memiliki pondasi rasa ketertarikan yang kuat di awal hubungan kalian!”
“Teori!” sergahku.
“Eee, jangan sepelekan teori ini. Ingat! Sebuah teori biasanya diambil dari hasil pengalaman yang teruji. Percayalah!”
“Apa teori ini dari pengalamanmu?”
“Bukan! Tapi kita bisa merenunginya bahwa teori tadi adalah benar!”
Busyet! Aku terdiam. Aku jadi tambah bingung. Kado apa untuk teman istimewaku. Hal kado masih berputaran dalam bayanganku.
Terima kasih teman. Benar, aku harus hati-hati untuk menyatakan isi hati di kala aku jatuh hati.
Kini bimbang di hati ini makin menjadi! Bagaimana untuk memberi kado ulang tahun buat teman istimewaku.
Ah, baiklah!
Cukup sebuah senyum dan ucapan selamat ulang tahun!

Purbalingga, 20 Januari 2005


2 komentar:

  1. tersenyum saya membacanya, pak guru..

    salam dari saya Eli Ermawati, alumni 2001 kelas 1C :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, terima kasih.
      Cerita lama. Tapi ini cerita sungguhan.
      Coba baca yang lain, semoga ada yang bisa membuat tertawa!

      Hapus