BIMBANG
KADO
oleh: Pagu Rutoto
Percaya tidak?
Aku sedang memikirkan tentang kado. Kado untuk teman istimewaku. Aku menyebutnya teman istimewa. Soalnya hari-hariku kini terisi oleh bayang-bayangnya. Ya! Ia akan ulang tahun. Aku bingung, kado apa yang akan kuberikan padanya. Kenapa harus bingung?
Aku sedang memikirkan tentang kado. Kado untuk teman istimewaku. Aku menyebutnya teman istimewa. Soalnya hari-hariku kini terisi oleh bayang-bayangnya. Ya! Ia akan ulang tahun. Aku bingung, kado apa yang akan kuberikan padanya. Kenapa harus bingung?
Mungkinkah aku sedang jatuh cinta?
Mungkin! Karena menurut cerita di majalah dan di
buku-buku novel begitulah kira-kira situasi orang yang sedang jatuh cinta. Ada
rasa kangen, ada rasa sedih, ada rasa ingin untuk ngobrol dengannya. Ada rasa ingin
membahagiakannya. Namun ada pula yang aneh
di diri ini, ada rasa malu saat aku harus bertemu dengannya.
Jangan mengejekku! Cukup ibuku yang mengejekku. Kalian
tidak usah ikut-ikutan! Ketika hasil ulanganku jelek ibuku langsung berkata,
”Mulane aja kakehen pacaran!”
Aku terkesiap, pacaran bagaimana? Jatuh hati dan
pacaran kan beda!
Beda!
Menurutku beda!
Pokoknya beda!
Menurutku beda!
Pokoknya beda!
Jatuh hati belum tentu pacaran! Jika seseorang jatuh
hati dan ternyata ditolak sehingga bertepuk sebelah tangan, kan jadinya jatuh
hati tapi nggak pacaran.
Pacaran belum tentu jatuh hati! Kok bisa? Hi, hi,
kita mengenal istilah TTM, teman tapi mesra. Tentunya tampak akrab berdua-dua,
bertingkah laku seperti pacaran, namun keduanya tidak memiliki basis jatuh
hati. Nah, mungkin hal tersebut bisa dikatakan sebagai pacaran tapi tidak jatuh
hati.
Umumnya, remaja saling jatuh hati dan kemudian mereka
pacaran. Dan aku saat ini mungkin sedang jatuh hati, apa sedang pacaran? Nggak
tahu!
Kan aku cuma kenal! Kangen! Sudah!
Berdua dua juga tidak! Sori! Gengsi dong!
Hanya begitu, apa namanya pacaran? Bukan kan?
Tapi yang jelas aku jadi banyak melamun. Terus
terang, aku jadi banyak berhayal yang indah-indah. Halaman buku harianku jadi
cepet penuh. Ada puisi yang selalu memuja dirinya. Ada puisi kangen.
Nah, mungkin inilah penyebabnya aku mendapat nilai
jelek. Lebih banyak nulis di buku harian dari pada belajar atau mengerjakan PR.
Hem, ternyata jatuh hati punya efek negative juga!
“Rasanya kamu masih terlalu kecil untuk mulai jatuh
cinta, Ros" kata kawan sekelasku, “Apalagi kalau diiringi dengan langkah
langkah pendekatan model kamu yang sangat nyata” lanjutnya
“Maksudmu?“ tanyaku
“Maksudku, kalau kamu sekedar jatuh hati saja, itu
hal yang wajar. Sebab kamu punya hati, punya rasa dan punya hak untuk jatuh
hati. Kamu normal, Ros!“
“Lalu . . . ,
apa salahku?” protesku.
“Kamu akan menjadi tidak normal, jika kau terlalu
menunjukkan perasaan sukamu kepadanya!“
“Apa itu salah? Kalau aku memang suka, kenapa harus
munafik?“
“Nah, inilah yang ku maksud bahwa kamu terlalu
kecil untuk jatuh cinta”
“Loh, beraninya kamu bicara begitu?” sergahku
“Kamu belum menggunakan etika jatuh hati. Jatuh
cinta pun harus tetap pakai etika. Sopan, sabar dan tidak boleh terlalu aktif.
Apalagi proaktif, mengejarnya”
“Kau pikir aku terlalu aktif? “
“Iya. Kau terlalu aktif dan bahkan kamu lupa bahwa
kau adalah wanita yang seharusnya punya harga diri“ kata temanku. Aku
tersinggung. Masa aku dinilai tak punya harga diri.
“Ini pelecehan!” teriakku sambil kuputar bola
mataku.
“Bukan! Bukan pelecehan, tapi kenyataan!” jawabnya
sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Kau tidak bisa mengendalikan diri untuk sekedar
merahasiakan perasaan sukamu. Bahkan jangan-jangan engkau telah lebih dulu
mengatakan bahwa kau suka padanya!”
“Tidak!” jawabku.
“Nah, itu bagus! Laki-lakilah yang seharusnya lebih
dulu berterus-terang kalau ia jatuh hati!”
“Ah, seperti konsultan saja kata-katamu!”
komentarku. Lalu aku terdiam. Ada benarnya juga temanku ini. Tapi aku lagi
mikir tentang kado, bukan tentang etika jatuh hati. Kado apa untuk hari ulang tahun
teman sepesialku? Itu yang sedang ku pikirkan.
“Sudah, jangan bicara tentang etika lagi! Aku ingin saranmu, kado apa
yang harus ku berikan untuknya?”
“Itu kan! Kamu nekat saja memberi perhatian lebih kepada teman cowokmu!”
“Emang! Saya suka dia. Saya butuh saranmu tentang kado untuknya!”
“Baiklah! Beri dia sebuah kado tapi jangan dalam bentuk materi!”
“Maksudmu!” tanyaku.
“Jangan berupa benda! Beri ia sebuah senyuman dan ucapan selamat ulang
tahun!”
“Hanya itu? Oh, kamu! Kamu benar-benar bodong. Saranmu ngawur!”
protesku.
“Tidak! Itulah yang harus kamu lakukan!”
“Kenapa?”
“Jika kau berusaha memberi kado untuknya, itu sama saja kau menunjukkan
ledakan perasaanmu yang mengalir deras. Kau tidak boleh membawanya sesuai
dengan perasaanmu. Itu bukan hal yang baik. Percayalah!”
“Kenapa?”
“Pertanyaan yang bagus! Sebab kalau kau menbawa arus perasaanmu yang
besar itu kepadanya maka dia akan hanyut bersama perasaanmu. Ia akan bersamamu bukan
karena kehendaknya tapi karena kehendakmu!”
“Maksudmu, saya tidak boleh memaksa perasaannya untuk mau denganku!”
“Benar! Sebab jika ia bersamamu hanya karena ikut arusmu, dan bukan diawali
oleh kehendaknya sendiri, maka jika arus perasaanmu berhenti, ia pun akan
berhenti. Kau akan di tinggalkannya karena ia tidak memiliki pondasi rasa
ketertarikan yang kuat di awal hubungan kalian!”
“Teori!” sergahku.
“Eee, jangan sepelekan teori ini. Ingat! Sebuah
teori biasanya diambil dari hasil pengalaman yang teruji. Percayalah!”
“Apa teori ini dari pengalamanmu?”
“Bukan! Tapi kita bisa merenunginya bahwa teori
tadi adalah benar!”
Busyet! Aku terdiam. Aku jadi tambah bingung. Kado
apa untuk teman istimewaku. Hal kado masih berputaran dalam bayanganku.
Terima kasih teman. Benar, aku harus hati-hati
untuk menyatakan isi hati di kala aku jatuh hati.
Kini bimbang di hati ini makin menjadi! Bagaimana
untuk memberi kado ulang tahun buat teman istimewaku.
Ah, baiklah!
Cukup sebuah senyum dan ucapan selamat ulang tahun!
Purbalingga, 20 Januari 2005
tersenyum saya membacanya, pak guru..
BalasHapussalam dari saya Eli Ermawati, alumni 2001 kelas 1C :)
Iya, terima kasih.
HapusCerita lama. Tapi ini cerita sungguhan.
Coba baca yang lain, semoga ada yang bisa membuat tertawa!