SWASANA
SALIN SWARA
Toto Endargo, S.IP
"Hemat
penulis Swasana Salin Swara ini belum dibahas secara mendalam apalagi diajarkan
dalam pengajaran bahasa. Semoga tulisan ini dapat menjadi tambahan pengetahuan
bagi praktisi dan penikmat bahasa, khususnya Bahasa Banyumasan"
Bahasa Banyumas itu ternyata unik. Walau terasa terlalu gegabah mengatakan sebuah kata sebagai kata asli dari Banyumas, tak apalah setidaknya kata-kata yang akan penulis bicarakan telah dipakai sejak lama di wilayah Banyumas.
Dalam Bahasa Inggris ada istilah “irregular
verb” yang umumnya dikatakan sebagai kata kerja tak beraturan. Perubahan kata
kerja dalam suatu kalimat tergantung dari tenses (bentuk kalimat berdasarkan
waktu yang digunakan). Waktu akan menentukan apakah yang dipakai adalah kata
kerja bentuk pertama atau dasar (base verb), bentuk kedua (past), atau bentuk ketiga
(past participle).
Kata kerja bentuk pertama, bentuk kedua, dan bentuk ketiga tidak sama. Sekedar contoh “take” bentuk keduanya menjadi “took” dan bentuk ketiganya menjadi “taken”. Ketiga-tiganya mempunyai arti yang sama yaitu: mengambil. Kata arise (infinitife), arose (preterite) dan arisen (past participle), artinya sama yaitu: terbit.
Kata kerja bentuk pertama, bentuk kedua, dan bentuk ketiga tidak sama. Sekedar contoh “take” bentuk keduanya menjadi “took” dan bentuk ketiganya menjadi “taken”. Ketiga-tiganya mempunyai arti yang sama yaitu: mengambil. Kata arise (infinitife), arose (preterite) dan arisen (past participle), artinya sama yaitu: terbit.
Jika dalam Bahasa Inggris ada irregular verb maka dalam pelajaran Bahasa
Jawa kita mengenal Dwi Lingga Salin Swara (dua kata yang berganti bunyi), contohnya:
wira-wiri, kocar-kacir, gonjang-ganjing.
Dalam peristiwa bahasa yang hampir sama dengan
kedua hal tersebut adalah: ada kata yang akan berganti bunyinya disebabkan ada
situasi yang berubah. Penulis menyebutnya sebagai Swasana Salin Swara.
Dalam Bahasa Inggris perubahan bunyi sangat
dipengaruhi olah waktu sedangkan dalam Bahasa Banyumas dipengaruhi oleh situasi, swasana. Dari pengamatan penulis, peristiwa Swasana Salin Swara obyeknya
tetap sama, namun kata-katanya menjadi berubah seiring dengan swasana yang
berubah.
Berikut ini adalah hal yang mempengaruhi perubahan bunyi dan masuk dalam katagori Swasana Salin Swara antar lain:
a.
Indhil-indhil
– ondhol-ondhol
b.
Mlenthing
– mlenthung
c.
Njendhil
– njendhol
d.
Menunung
– menonong
e.
Mrintis
– mruntus
f.
Krikil
– krakal
a.
Secimit
– secomot
b.
Linthing
– lunthung
c.
Gemridig
– gemrudug
d.
Ngglindhing
- ngglundhung
e.
Mrepet
– mrapat
a.
Thongkrong
– thingkring – thingkrang – thungkrang
b.
Mencolot
– menculat – mencelat
c.
Njenthir
– njenthar
d.
Njengit
– njengat
a.
Mringis
– mrenges – mrongos (penampakan gigi)
b.
Ngeneh
– nganah (jarak)
c.
Njengking
– njengkang (depan- belakang)
d.
Njeplik
– njeplak (bukaan)
e.
Ceker
– cakar ( fungsi)
a.
Thithik
– thuthuk – thothok
b.
Kemricik
– kemracak
c.
Klethik
– klethak
d.
Teplik
– tepluk
Garang – garing.
“Kuwe suluhe de garang neng nduwur
pawon, toil mengko gelis garing”
a.
sengir – sengar,
b.
angkat
– angkut,
c. kripik
– krupuk
e. tampah -- tampir
f. neng kana -- neng kene
f. neng kana -- neng kene
Kata-kata di atas jelas ada dan digunakan dalam percakapan sehari-hari di Banyumas. Namun karena keterbatasan pengetahuan dalam hal kosa
kata maka contoh yang dapat penulis sajikan pun masih terbatas.
Harapan penulis adalah dengan pembahasan yang singkat dari Swasana Salin Swara ini semoga dapat dijadikan sebagai pembuka wawasan bahwa masih ada keunikan dalam budaya tutur Banyumasan yang perlu dikaji, dicermati dan dikembangkan
Harapan penulis adalah dengan pembahasan yang singkat dari Swasana Salin Swara ini semoga dapat dijadikan sebagai pembuka wawasan bahwa masih ada keunikan dalam budaya tutur Banyumasan yang perlu dikaji, dicermati dan dikembangkan
Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat penuturnya. Bagi masyarakat Banyumas dialek Banyumasan tentu mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa adalah sebuah sitem lambang bunyi tutur yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya
Dalam berbahasa selalu tersirat realita
perilaku sehari-hari para pemakainya. Dengan mencermati contoh kata-kata dalam Swasana
Salin Swara barangkali kita dapat
mengira-ira sifat dan perilaku masyarakat Banyumas.
Cara pembentukan kata dalam contoh di atas
adalah begitu praktis, sederhana, lucu dan terbuka.
1. Praktis, tidak membuat kata yang benar-benar baru, mungkin karena obyeknya tetap sama.
Indhil-indhil; bulat kecil; menjadi ondhol-ondhol; bulat besar.
2. Sederhana, mayoritas hanya mengubah bunyi vocal, mirip Dwi Lingga Salin Swara.
Njengit; ketika si ujung naik sedikit, dan menjadi njengat; saat si ujung naik lebih tinggi.
Njeplik; ketika terbuka sedikit dan njeplak: saat terbuka lebar
3. Lucu, funny, menggelikan:
njendhil menjadi njendhol,
njenthir menjadi njenthar.
Jika barang kecil yang jatuh dikatakan, “Tiba teplik”; dan ketika benda yang jatuh lebih besar dikatakan, “Tiba, tepluk!”
4. Terbuka, egaliter, artinya setiap orang dapat dengan mudah membentuk kata “baru”, bahkan dapat secara spontan terbentuk karena rumus pembentukannya yang begitu praktis dan sederhana.
Sepengetahuan penulis Swasana Salin Swara ini belum sempat dibahas secara khusus dan apalagi mendalam oleh para praktisi bahasa, baik Bahasa Jawa maupun oleh pemerhati Bahasa Banyumasan. Belum juga diberitahukan atau diajarkan dalam pengajaran bahasa. Bahkan dalam bahasa Indonesia pun tidak dikenal hal yang semacam irregular verb ini.
Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan di kalangan praktisi dan penikmat bahasa, khususnya Bahasa Banyumasan. Bagi guru Bahasa Jawa mungkin dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan untuk para siswanya.
Semoga bermanfaat.
Salam!
Purbalingga, 10 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar