Kamis, 24 November 2016

BUKU ONCEN-ONCEN ANYAR

BUKU ONCEN-ONCEN ANYAR
Toto Endargo

Sekitar tahun 1962-1968 saya duduk di bangku kelas I SR sampai kelas VI SD. Kelas I, sekolahan saya di Dusun Tjitrakusuma, atau disebut sebagai Traksuma. Namanya masih Sekolah Rakyat. Guru saya Pak Sangid, sudah sepuh. Kalau ngajar ngasta tuding, membawa bilah bambu. Diajar masih menggunakan sabak dan grip. Sabak dan grip berwarna hitam, konon dibuat dari serpihan batu yang dipadatkan. Sabak berbingkai kayu. grip adalah alat tulis semacam pensil.
Kelas II.
Di kelas II ini sekolahan yang di Citrakusuma ditinggalkan. Pindah ke sekolah baru yang ada di tepi lapangan, di dekat Dusun Jambangan dan di tepi jalan yang menuju dusun Serang. Sebelah utara sekolahan ada gudang mbako, milik PT GMIT (Gading Mas Indonesian Tobacco). Di kelas II ini, setiap hari, sebagai bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa, ngoko diselingi krama. Meja di kelas baru sudah menggunakan meja dan kursi yang terpisah. Di Citrakusuma bangkunya pakai meja gandheng, mejanya gandheng dengan tempat duduknya.

Selasa, 22 November 2016

STAMBUL DANGDUT

STAMBUL DANGDUT
Toto Endargo

Toto Endargo

He, he, ini jelas judul dan istilah “ngawur” dari seorang Toto Endargo. Hanya sekedar nulis dan semoga bermanfaat. Tulisan ini berawal dari ketika saya menyimak lagu Kembang Kacang dari penyanyi Waljinah. Ternyata ketika Waljinah menyanyi, sebelum sampai kepada pokok lagu Kembang Kacang ia mengawali dengan nyanyian yang disebut bawa, liriknya “Aja Turu Sore, Kaki!”
“Aja Turu Sore, Kaki!” lagunya mendayu-dayu, enak dinikmati. Dan liriknya juga luar biasa, mengandung falsafah supaya kita selalu waspada, prihatin, dan bersyukur dalam segala suasana. Dengan sikap tersebut insya Allah kita mendapatkan berkah karunia kebahagiaan, dihindarkan dari mara bahaya dan mendapat kecukupan sandang dan pangan.
Lengkapnya demikian:
Aja turu sore, Kaki!
Ana dewa langlang jagad;
nyangking bokor kencanane;
isine donga tetulak,
sandhang lawan pangan;
yaiku bagianipun,
wong melek, sabar, narima.

Sabtu, 19 November 2016

JATISABA NAN KLASIK

JATISABA NAN KLASIK
Toto Endargo

Naskah awal dari Mas Anifuddin Azis
Kisah Klasik untuk Masa Depan (1)
   Copas: 26 April 2010 Jam 19:13

    SMP Negeri 2 Purbalingga, Jatisaba, akhir tahun 1990.
Jatisaba! Nama sebuah desa yang terasa asing dan mungkin karena letaknya yang terasa jauh sekali. Iya, Jatisaba! Kata “jati” saja sudah merujuk pada kata yang umum dihubungkan dengan hutan jati. Mungkinkah Desa Jatisaba banyak pohon jatinya? Sebuah angan-angan di benakku. Lalu ada kata “saba”, saba dalam bahasa Banyumas berarti; “pergi ke segala arah yang tak jelas untuk mencari sesuatu”. Jadi ketika menyebut nama Desa Jatisaba maka bayangan saya adalah sebuah desa yang sangat jauh dan masih banyak pohonnya seperti hutan jati.
Jatisaba, adalah nama desa dimana saya harus sekolah saat di kelas dua. Untuk diketahui bahwa SMP Negeri 2 Purbalingga punya kelas jauh, artinya kelas yang tidak menyatu dengan kelas induknya, tidak di Jalan Letkol Isdiman 194 Purbalingga, tapi letak kelasnya di Desa Jatisaba. Tradisinya yang diatur untuk diajar di kelas jauh adalah mereka yang duduk di kelas dua. Kelas satu dan kelas tiga tetap di sekolah induk.

Kamis, 17 November 2016

MEMILIH LAGU “SEMPURNA”

Cerita Remaja
MEMILIH LAGU “SEMPURNA”
Toto Endargo

Orang kalau suka, yang biasapun manjadi luar biasa, yang tak sempurna harus pula kukatakan sempurna. Gadis kuning langsat berambut sepinggang ini sungguh mengagumkan. Ubo rampe atau hal-hal yang ada di wajahnya semua serba sederhana. Hidung tak mancung, bibir juga wajar. Dan aku sungguh mengagumi pipinya yang tampak halus, dan pipinya sebagian dihiasi oleh rambut lembut di sekitar depan telinganya. Ada gerai rambut yang sedikit berombak dan menjambul di atas dahinya. Rasanya semua serba serasi. Sempurna!
Kinanti kaulah gadis paling kukagumi di sekolah kita yang tercinta ini. Gadis yang tidak banyak tingkah tapi prestasi akademisnya mampu mengalahkan aku. Tidak suka olah raga namun semua jenis olahraga yang diajarkan di sekolah ia mampu menghayatinya dengan baik.

Senin, 07 November 2016

SURYATI SINDEN BLATER

SURYATI SINDEN BLATER
Toto Endargo

Suryati Sinden Blater
Inilah salah satu ikon desa yang pernah mengharumkan nama daerah dengan sesuatu yang khas. Suryati Sinden Blater tiga kata yang menjadi judul tulisan ini. Tiga kata yang tiap kata memiliki makna berbeda namun ketika digabungkan memiliki suratan dan siratan sebagai Legenda Desa Blater.
Kata pertama: Suryati.
Suryati, kata yang diambil dari bahasa Jawa dan umum dijadikan sebagai nama orang. Surya artinya “matahari”, sedang akhiran “ti” adalah kata penyebut yang merujuk pada kaum wanita. Jadi ada wanita yang bernama Suryati dan diharapkan pada saatnya dapat bersinar bagai matahari.
Ada kebiasaan di Banyumas untuk memanggil nama seorang anak. Umumnya panggilan diambil dari suku awal atau suku terakhir dari nama yang bersangkutan. Misal Suryati, dapat dipanggil “Sur” atau dipanggil “Ti”. Untuk panggilan dengan suku kata awal kadang diberi kata sandang “Si” sehingga Suryati dapat pula dipanggil dengan nama “Si Sur”. Dan memang pada kenyataannya Suryati ini sering dipanggil dengan nama Si Sur.
Nama Suryati, jika diambil suku kata pertama akan didapat kata “sur”, dalam bahasa Banyumas “sur” memiliki makna khusus yaitu “diperbesar”, misal; “Tulung, genine desur!” artinya, “Tolong, apinya diperbesar!” Jadi Si Sur ini pada saatnya seperti ditakdirkan untuk didorong oleh keadaan agar bakat dan kemampuannya menjadi besar, menjadi lebih mengangkasa dan terkenal.