Selasa, 09 Oktober 2012

Blendos dan Dhogol (3)

Dongeng Kecil dari Pak Dhe Notohardjono
Ceritera ini dimaksudkan hanya untuk catatan.

Blendos dan Dhogol (3)
oleh Toto Endargo, 13 Oktober 2010 pukul 18:28

Blendos dan Dhogol merasa seluruh tubuhnya sudah bau kotoran ayam. Nasib telah membawa kesialan bagi keduanya atau keberuntungan karena gagal berbuat jahat.
“Gol, dusdusan neng kali yuh!” ajak Blendhos
“Karo ngumbah sarung!” jawab Dhogol.

Hampir tengah malam, keduanya meneruskan perjalanannya menuju sungai. Jarak sungai kira-kira tinggal seratus meter. Keduanya sudah berdiri. Sarung pembalut babon brontok palsu masih tergeletak di tanah. Dhogol mengambilnya perlahan. Dipegangnya dengan kedua tangan, hati-hati. Terasa ada beban merata menggelayut di kain sarungnya. Sebagai kebiasaannya kalau memegang kain, dia suka ngebutkan kain, maksudnya agar debu yang menempel di kain menjadi lepas. Secara reflek kali ini pun Dhogol mengebutkan sarungnya. Breeet. Persis di depan Blendhos. Teplok! Beberapa benda lembek memercik ke badan dan muka keduanya.
“Asem! Qo, jen, bodho banget lho!” teriak Blendhos sambil mengusap mukanya.
“Inyong bae kena!” jawab Dhogol sambil berlari menuju sungai.

Sebuah sungai di tengah arena yang sepi penghuni. Airnya bening. Cukup lebar, kira-kira sepuluh meter. Cukup jauh dari pinggiran desa. Di kanan-kiri sungai adalah kebun yang tidak begitu terurus. Awalnya sungai ini tidak memiliki lubuk. Air mengalir lancar, kanan-kiri tebing yang tingginya sekitar dua meter. Namun kemudian, jauh sebelum Blendhos dan Dhogol lahir, sungai ini dibendung. Dibuat sudatan sungai kecil. Saluran air inilah yang digunakan oleh orang-orang desa untuk mengairi sawah sampai ke beberapa desa.

Pak Dhe Notohardjono .

Karena dibendhung maka air di tempat tersebut menjadi dalam, menjadi lubuk, atau istilah di daerah Blendhos disebut kedhung. Dhawuhan, atau bendungan, jaman dulu cukup menggunakan tumpukan batu-batu. Orang desa bergotong royong memindahkan batu sungai, batu yang besar-besar maupun yang kecil-kecil disusun sedemikian rupa. Tumpukan batu itu melintang dari tepi yang satu  sampai ke tepi yang lain. Tumpukan batu merintangi air sehingga air pun menggenang, permukaannya naik, meninggi dan akhirnya dapat dialirkan ke saluran air. Saluran air dikerjakan dengan cara menggali tanah, membelah berbagai lahan, menjadi parit, sungai kecil atau dulu dikenal dengan nama wangan.
Lubuk di atas bendungan ini diberi nama Kedhung Dhawuhan. Karena letaknya cukup jauh dari desa, jarang anak-anak, apalagi orang dewasa, yang mandi-mandi di sana. Orang ke dhawuhan umumnya yang mempunyai pekarangan di sekitarnya. Jika banyak orang ke dhawuhan biasanya mereka sedang bergotong royong memperbaiki bendungan.

Dhawuhan ternyata mudah ambrol, mudah hanyut terbawa air banjir. Pondasinya hanya menggunakan tumpukan batu, tanpa tiang pancang, belum pakai tulang besi. Semen juga belum musim. Sebagai penguat penahan air biasanya digunakan gedheg, anyaman bambu. Padahal justru gedheg inilah yang cenderung mempermudah dhawuhan dhungkar saat ada banjir.

Blendhos dan Dhogol sering mandi di tempat ini. Menurut keduanya inilah tempat dus-dusan yang paling nyaman. Sebagai anak desa yang dekat dengan sungai, keduanyapun pandai berenang. Biasa terjun dari tebing sungai dengan berbagai gaya anak desa. Khusus untuk Blendhos, dia punya kemampuan terjun yang luar biasa. Blendhos mampu melakukan terjun senuk.
Senuk adalah istilah untuk anak yang melakukan terjun dari tebing sungai ke air dengan kepala di depan, kedua tangan lurus menempel di paha. Diawali dengan lari kencang, kira-kira dua puluh meter, lalu ketika tepat di tepi tebing sungai, kaki menghentak, badan segera melayang, kedua tangan diluruskan sejajar paha, kepala bagaikan ujung peluru, menukik dan clap, bagai tukikkan lumba-lumba! Bagian kepala menyentuh air dahulu, kemudian seluruh badan basah, masuk ke air. Senuk, adalah gaya terjun kebanggaan Blendhos. Setiap kali dilakukannya di Kedhung Dhawuhan. Sebaliknya Dhogol, ia tidak pernah belajar terjun dengan gaya yang lebih akrobatik. Gaya terjun yang tiap kali ia lakukan adalah gaya paku. Walau diawali dengan lari sangat kencang dari jarak puluhan meter akhirnya yaaaa tetap saja kakinya dulu yang pertama menyentuh air. Gaya terjun Dhogol yang lain adalah gaya nangka. Setelah menghentak di teping sungai segera kedua kaki ditekuk seperti orang meringkuk. Maka pantatnyalah yang lebih dulu menyentuh air. Byurrr!

Malam ini karena baju dan badan sudah terkena kotoran ayam, membuat keduanya sangat bergairah untuk segera terjun ke Kedhung Dhawuhan. Siang saja jarang orang ke dhawuhan apalagi malam-malam. Bebas, merdeka! Tidak perlu lepas baju. Nanti baju diperes kuat-kuat, akan sedikit kering. Biasanya juga begitu, setiap kali bajunya kotor.

Dhogol lari mendahului di depan. Blendos sedang sibuk mengusap-usap muka dan menggosok-gosok matanya yang sedikit perih. Kedua tangan Dhogol direntangkan ke atas, tangan kanan dan kiri memegang ujung sarung. Sarung bagaikan bendera direntang mendatar, berkibar-kibar membelah udara malam yang dingin. Dhogol membayangkan dirinya adalah Raden Gatutkaca sedang terbang, akan menolong Dewi Sembadra yang sedang dilarung di tengah sungai.
“Gatutkaca mabuuuurr!” teriaknya pelan. Sampai di tepi tebing dijejakkan kakinya kuat-kuat. Badan melayang, segera dengan deras kaki menyentuh air. Glek. Kropyak. Tidak byurr seperti biasanya. Kakinya sakit! Air kedhung yang biasanya sedalam satu setengah meter kini tinggal setengah meter. Tidak cukup untuk menahan laju tubuhnya untuk tidak menyentuh dasar sungai.
“Aduh!” teriaknya. Walau di antara suara gemersik air sungai namun teriakan Dhogol terdengar juga oleh Blendhos. Blendhos yang sedang berkutet dengan matanya pun bertanya.
“Kenangapa, Gol? Arep nglomboni maning!” tanya Blendhos yang masih di darat. Di atas sungai.
“Aduh... adem banget, Ndos!” jawab Dhogol dan terdengar suara menggigil seperti orang kedinginan.
“Aduh ... uh.. adem banget!” rintih Dhogol sambil mengelus-elus kakinya. Tangan yang satu memegang sarung!
“Atis pisan .... !” rintih Dhogol lagi. Mendengar Dhogol merintih kedinginan, malah membuat semangat Blendhos makin meningkat. Blendhos ingin menunjukkan kepada alam sekitar bahwa ia adalah seorang jagoan yang tidak takut dingin, tetap sigap, mapan di segala keadaan. Maka setelah menatap langit, terdengar suara Blendhos sedikit melengking, “Gol, minggir Gol!” Perintahnya agar Dhogol memberi ruang untuk melaksanakan ritual kebanggaannya, senuk. Dhogol dengan cengar-cengir menahan sakit, segera menyingkir, menepi, agar tidak tertimpa badan Blendhos.
Sejenak kemudian tanah bagai bergetar, beg, beg, beg ..., kaki Blendhos bergerak cepat, menjejak tanah, melesat, berlari, mengawali loncatan kebanggaannya. Sampai di tepi tebing, kaki menghentak, badan melayang, kedua tangan diluruskan sejajar paha, kepala bagai ujung peluru, menukik, clap, kepala menembus air dan .. dhuk! Bunyi tersebut, sangat jelas bergema di saraf pendengaran Blendhos. Cukup keras kepala Blendhos menatap batu-batu geragal di dasar sungai. Kenapa?
Hujan deras di sore hari di tempat yang jauh, di hulu sungai ternyata tidak terpikirkan oleh keduanya. Hujan telah menimbulkan banjir, arus air meningkat deras. Banjir kali ini pun mampu membongkar bendungan, dhawuhan dadal. Akibatnya di tempat itu tiada lagi air menggenang. Tak ada lagi Kedhung Dhawuhan. Air sungai menjadi dangkal, hanya sekitar setengah meter, tidak mampu menahan laju kepala Blendhos. Kepala pun menabrak dasar sungai. Galaksi Bima Sakti pindah ke kepala Blendhos, jutaan bintang berpendaran di kepalanya. Sial benar!
Secara reflek Blendhos meraba ujung kepalanya. Terasa sakit dan ada perubahan di permukaannya. Ada gundukan sebesar telur ayam, “Aduuuh!” desisnya. Gara-gara Dhogol!
“Bodho! Bodho! Qo ora ngomong kaline sat!” sungutnya kepada Dhogol.
“Aku bae lara banget sikile!” jawab Dhogol sambil pringisan. Blendhos ingat tadi Dhogol berkata dan mendesis-desis seperti orang kedinginan.
“Deneng, qo malah ngomong kadhemen!” protes Blendhos.
“Lha, angger nyong ngomong kaline sat, yaa ko ora anjlog!”
“Bodho!” sungut Blendhos marah, “Kiye ndase nyong njendhol!”
“Salahe dhewek, ndadak senuk mbarang!” jawab Dhogol tenang.
Dan malam itupun berlalu. Keduanya tetap mandi dan mencuci baju dan sarung. Diperasnya kuat-kuat setiap lembar baju, dikebut-kebutkan berulang kali, lalu ditaruhnya di atas batu sungai.
Ketika ayam jantan berkokok untuk periode kedua Blendhos dan Dhogol sudah di rumah masing-masing. Sudah memakai baju yang lebih kering. Dhogol tidur telentang dengan kaki di atas tepian dipan sehingga posisi kaki lebih tinggi dari tubuhnya.
Sementara Blendhos tidur dengan sedikit gelisah. Di atas kepalanya ada buntelan sebesar tiga kepalan tangan. Itulah buntelan abu hangat yang tadi digunakan untuk sedikit mengempiskan benjolan instan di ujung kepalanya.
Malam yang sangat mengesankan bagi keduanya. Dhawuhan yang dadal semoga segera diperbaiki oleh orang-orang desa dengan cara gotong royong. Dengan demikian Blendos dan Dhogol dapat kembali nyaman anjlog-anjlogan, gaya nangka atau senuk di Kedhung Dhawuhan.
Gara-gara babon brontok di pojok kandhang keduanya jadi cukup menderita. Dhogol pulang dhengklangan, Blendhos berkepala benjol!


He, he, semoga ada sambungannya!
Ada sambungannya di Blendhos dan Dhogol (4)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar