Ceritera ini dimaksudkan hanya untuk catatan.
Blendos dan Dhogol (3)
oleh Toto Endargo, 13 Oktober 2010 pukul 18:28
Blendos dan Dhogol merasa seluruh tubuhnya sudah bau kotoran ayam.
Nasib telah membawa kesialan bagi keduanya atau keberuntungan karena gagal
berbuat jahat.
“Gol, dusdusan neng kali yuh!” ajak Blendhos
“Karo ngumbah sarung!” jawab Dhogol.
Hampir tengah malam, keduanya meneruskan perjalanannya menuju sungai.
Jarak sungai kira-kira tinggal seratus meter. Keduanya sudah berdiri. Sarung
pembalut babon brontok palsu masih tergeletak di tanah. Dhogol mengambilnya
perlahan. Dipegangnya dengan kedua tangan, hati-hati. Terasa ada beban merata
menggelayut di kain sarungnya. Sebagai kebiasaannya kalau memegang kain, dia
suka ngebutkan kain, maksudnya agar debu yang menempel di kain menjadi lepas.
Secara reflek kali ini pun Dhogol mengebutkan sarungnya. Breeet. Persis di
depan Blendhos. Teplok! Beberapa benda lembek memercik ke badan dan muka
keduanya.
“Asem! Qo, jen, bodho banget lho!” teriak Blendhos sambil mengusap
mukanya.
“Inyong bae kena!” jawab Dhogol sambil berlari menuju sungai.
Sebuah sungai di tengah arena yang sepi penghuni. Airnya bening. Cukup
lebar, kira-kira sepuluh meter. Cukup jauh dari pinggiran desa. Di kanan-kiri
sungai adalah kebun yang tidak begitu terurus. Awalnya sungai ini tidak
memiliki lubuk. Air mengalir lancar, kanan-kiri tebing yang tingginya sekitar
dua meter. Namun kemudian, jauh sebelum Blendhos dan Dhogol lahir, sungai ini
dibendung. Dibuat sudatan sungai kecil. Saluran air inilah yang digunakan oleh
orang-orang desa untuk mengairi sawah sampai ke beberapa desa.
Pak Dhe Notohardjono . |
Lubuk di atas bendungan ini diberi nama Kedhung Dhawuhan. Karena
letaknya cukup jauh dari desa, jarang anak-anak, apalagi orang dewasa, yang
mandi-mandi di sana. Orang ke dhawuhan umumnya yang mempunyai pekarangan di
sekitarnya. Jika banyak orang ke dhawuhan biasanya mereka sedang bergotong
royong memperbaiki bendungan.
Dhawuhan ternyata mudah ambrol, mudah hanyut terbawa air banjir.
Pondasinya hanya menggunakan tumpukan batu, tanpa tiang pancang, belum pakai
tulang besi. Semen juga belum musim. Sebagai penguat penahan air biasanya
digunakan gedheg, anyaman bambu. Padahal justru gedheg inilah yang cenderung
mempermudah dhawuhan dhungkar saat ada banjir.
Blendhos dan Dhogol sering mandi di tempat ini. Menurut keduanya inilah
tempat dus-dusan yang paling nyaman. Sebagai anak desa yang dekat dengan
sungai, keduanyapun pandai berenang. Biasa terjun dari tebing sungai dengan
berbagai gaya anak desa. Khusus untuk Blendhos, dia punya kemampuan terjun yang
luar biasa. Blendhos mampu melakukan terjun senuk.
Senuk adalah istilah untuk anak yang melakukan terjun dari tebing
sungai ke air dengan kepala di depan, kedua tangan lurus menempel di paha.
Diawali dengan lari kencang, kira-kira dua puluh meter, lalu ketika tepat di
tepi tebing sungai, kaki menghentak, badan segera melayang, kedua tangan
diluruskan sejajar paha, kepala bagaikan ujung peluru, menukik dan clap, bagai
tukikkan lumba-lumba! Bagian kepala menyentuh air dahulu, kemudian seluruh
badan basah, masuk ke air. Senuk, adalah gaya terjun kebanggaan Blendhos.
Setiap kali dilakukannya di Kedhung Dhawuhan. Sebaliknya Dhogol, ia tidak
pernah belajar terjun dengan gaya yang lebih akrobatik. Gaya terjun yang tiap
kali ia lakukan adalah gaya paku. Walau diawali dengan lari sangat kencang dari
jarak puluhan meter akhirnya yaaaa tetap saja kakinya dulu yang pertama
menyentuh air. Gaya terjun Dhogol yang lain adalah gaya nangka. Setelah
menghentak di teping sungai segera kedua kaki ditekuk seperti orang meringkuk.
Maka pantatnyalah yang lebih dulu menyentuh air. Byurrr!
Malam ini karena baju dan badan sudah terkena kotoran ayam, membuat
keduanya sangat bergairah untuk segera terjun ke Kedhung Dhawuhan. Siang saja
jarang orang ke dhawuhan apalagi malam-malam. Bebas, merdeka! Tidak perlu lepas
baju. Nanti baju diperes kuat-kuat, akan sedikit kering. Biasanya juga begitu,
setiap kali bajunya kotor.
Dhogol lari mendahului di depan. Blendos sedang sibuk mengusap-usap
muka dan menggosok-gosok matanya yang sedikit perih. Kedua tangan Dhogol
direntangkan ke atas, tangan kanan dan kiri memegang ujung sarung. Sarung
bagaikan bendera direntang mendatar, berkibar-kibar membelah udara malam yang
dingin. Dhogol membayangkan dirinya adalah Raden Gatutkaca sedang terbang, akan
menolong Dewi Sembadra yang sedang dilarung di tengah sungai.
“Gatutkaca mabuuuurr!” teriaknya pelan. Sampai di tepi tebing
dijejakkan kakinya kuat-kuat. Badan melayang, segera dengan deras kaki
menyentuh air. Glek. Kropyak. Tidak byurr seperti biasanya. Kakinya sakit! Air
kedhung yang biasanya sedalam satu setengah meter kini tinggal setengah meter.
Tidak cukup untuk menahan laju tubuhnya untuk tidak menyentuh dasar sungai.
“Aduh!” teriaknya. Walau di antara suara gemersik air sungai namun
teriakan Dhogol terdengar juga oleh Blendhos. Blendhos yang sedang berkutet
dengan matanya pun bertanya.
“Kenangapa, Gol? Arep nglomboni maning!” tanya Blendhos yang masih di
darat. Di atas sungai.
“Aduh... adem banget, Ndos!” jawab Dhogol dan terdengar suara menggigil
seperti orang kedinginan.
“Aduh ... uh.. adem banget!” rintih Dhogol sambil mengelus-elus
kakinya. Tangan yang satu memegang sarung!
“Atis pisan .... !” rintih Dhogol lagi. Mendengar Dhogol merintih
kedinginan, malah membuat semangat Blendhos makin meningkat. Blendhos ingin
menunjukkan kepada alam sekitar bahwa ia adalah seorang jagoan yang tidak takut
dingin, tetap sigap, mapan di segala keadaan. Maka setelah menatap langit,
terdengar suara Blendhos sedikit melengking, “Gol, minggir Gol!” Perintahnya
agar Dhogol memberi ruang untuk melaksanakan ritual kebanggaannya, senuk.
Dhogol dengan cengar-cengir menahan sakit, segera menyingkir, menepi, agar
tidak tertimpa badan Blendhos.
Sejenak kemudian tanah bagai bergetar, beg, beg, beg ..., kaki Blendhos
bergerak cepat, menjejak tanah, melesat, berlari, mengawali loncatan
kebanggaannya. Sampai di tepi tebing, kaki menghentak, badan melayang, kedua
tangan diluruskan sejajar paha, kepala bagai ujung peluru, menukik, clap,
kepala menembus air dan .. dhuk! Bunyi tersebut, sangat jelas bergema di saraf
pendengaran Blendhos. Cukup keras kepala Blendhos menatap batu-batu geragal di
dasar sungai. Kenapa?
Hujan deras di sore hari di tempat yang jauh, di hulu sungai ternyata
tidak terpikirkan oleh keduanya. Hujan telah menimbulkan banjir, arus air
meningkat deras. Banjir kali ini pun mampu membongkar bendungan, dhawuhan
dadal. Akibatnya di tempat itu tiada lagi air menggenang. Tak ada lagi Kedhung
Dhawuhan. Air sungai menjadi dangkal, hanya sekitar setengah meter, tidak mampu
menahan laju kepala Blendhos. Kepala pun menabrak dasar sungai. Galaksi Bima
Sakti pindah ke kepala Blendhos, jutaan bintang berpendaran di kepalanya. Sial
benar!
Secara reflek Blendhos meraba ujung kepalanya. Terasa sakit dan ada
perubahan di permukaannya. Ada gundukan sebesar telur ayam, “Aduuuh!” desisnya.
Gara-gara Dhogol!
“Bodho! Bodho! Qo ora ngomong kaline sat!” sungutnya kepada Dhogol.
“Aku bae lara banget sikile!” jawab Dhogol sambil pringisan. Blendhos
ingat tadi Dhogol berkata dan mendesis-desis seperti orang kedinginan.
“Deneng, qo malah ngomong kadhemen!” protes Blendhos.
“Lha, angger nyong ngomong kaline sat, yaa ko ora anjlog!”
“Bodho!” sungut Blendhos marah, “Kiye ndase nyong njendhol!”
“Salahe dhewek, ndadak senuk mbarang!” jawab Dhogol tenang.
Dan malam itupun berlalu. Keduanya tetap mandi dan mencuci baju dan
sarung. Diperasnya kuat-kuat setiap lembar baju, dikebut-kebutkan berulang
kali, lalu ditaruhnya di atas batu sungai.
Ketika ayam jantan berkokok untuk periode kedua Blendhos dan Dhogol
sudah di rumah masing-masing. Sudah memakai baju yang lebih kering. Dhogol
tidur telentang dengan kaki di atas tepian dipan sehingga posisi kaki lebih
tinggi dari tubuhnya.
Sementara Blendhos tidur dengan sedikit gelisah. Di atas kepalanya ada
buntelan sebesar tiga kepalan tangan. Itulah buntelan abu hangat yang tadi
digunakan untuk sedikit mengempiskan benjolan instan di ujung kepalanya.
Malam yang sangat mengesankan bagi keduanya. Dhawuhan yang dadal semoga
segera diperbaiki oleh orang-orang desa dengan cara gotong royong. Dengan
demikian Blendos dan Dhogol dapat kembali nyaman anjlog-anjlogan, gaya nangka
atau senuk di Kedhung Dhawuhan.
Gara-gara babon brontok di pojok kandhang keduanya jadi cukup
menderita. Dhogol pulang dhengklangan, Blendhos berkepala benjol!
He, he, semoga ada sambungannya!
Ada sambungannya di Blendhos dan Dhogol (4)
Ada sambungannya di Blendhos dan Dhogol (4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar