Selasa, 09 Oktober 2012

Puasa Kecil

Puasa Kecil
Toto Endargo

Ini ceritera tahun 1965-an di saat bulan puasa. Menjadi sangat berkesan karena beberapa hal yang sulit untuk diulang.
Suasana bulan puasa tahun 1965-an dengan tahun 2010 sangat jauh berbeda. 
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi sekedar catatan kecil suasana bulan ramadhan sekitar 45 tahun yang lalu.

Libur Sekolah
Anak SR atau SD di bulan puasa libur sekitar 40 hari. Bahkan rasanya dulu sekolah itu sering libur. Ada kata-kata catur wulan, barangkali saat itu ada liburan catur wulan juga. Kalau bulan Desember dan bulan Puasa, pasti libur panjang. Libur panjang digunakan untuk bermain-main. Saya kadang sampai bosan karena terlalu lama libur sekolah.


Main kelereng, benthik, gaco dan gandhon. Atau mainan gambar wayang, umbul, tepo, dan cemeh. 
Dalam keadaan puasa, bila sempat, tetap saja gebyar-gebyur, silam-silem, anjlog-anjlogan mandi di sungai.
Kadang berpetualang, jalan kaki ke pegunungan atau ke pingir sungai Klawing. Karena kecil, jalan kaki sejauh tiga - lima kilometer dari rumah, sudah terasa jauh sekali.
Sering juga nonton pertunjukannya bakul jamu, seringnya di pasar Bobotsari, kadang sedikit ada sulapnya.
Menyimak kemampuan tukang ogan yang menggunakan burung gelatik sebagai peramalnya. Burung gelatik disodori beberapa kartu bergambar. Gambar yang diambil burung gelatik itulah yang dibaca tukang ogan sebagai hasil ramalan.

Shalat Tarawih

Jaman dulu shalat tarawih (traweh) sangat istimewa. Shalat berjamaah adalah hal yang belum banyak dilakukan.
Shalat jamaah taraweh, untuk dhukuh (dusun) yang tidak memiliki langgar atau masjid, cenderung dilaksanakan di rumah salah seorang yang mampu jadi imam.
Di desa saya saat itu, satu kelurahan, seingat saya, hanya ada dua masjid; Masjid Mangunegara dan Masjid Citrakusuma. Masjid belum diberi nama. 
Kata mushola belum terkenal, yang terkenal adalah "langgar" (surau).
Langgar adalah tempat untuk shalat berjamaah, tempat anak mengaji, tempat anak bermalam, tempat tidur bagi anak-anak yang keluyuran dan malam-malam malas pulang ke rumah.
Setiap langgar berupa bangunan panggung, dengan tiang-tiang kayu, beralas plupuh (papan yang dibuat dari bambu, bambu dibelah satu sisi, lalu dicacag-cacag di seluruh permukaannya sehingga bambu tersebut bisa rata seperti papan). Kolong langgar dapat dimasuki anak dengan cara jongkok. Karena lantai langgar banyak celahnya maka bagi anak yang usil, ia berjongkok di kolong, dengan sepotong lidi dicoloknya celah lantai langgar, jika pas maka ada anak yang tiba-tiba berteriak kaget karena pantatnya kena lidi dari bawah. Langgar lebarnya kurang lebih 3 x 3 meter. 
Satu kelurahan seingat saya hanya ada tiga buah langgar. Di Jambangan, Serang dan Kedhempel. Sebenarnya di dekat belik, Sungai Lembarang ada satu langgar, tapi belum berfungsi. Saya sendiri rasanya belum pernah naik ke langgar itu. Tempatnya terpencil.
Saat itu belum umum yang namanya sajadah, karpet, apalagi keramik sebagai alas shalat. 
Adanya klasa, sebagai alas tidur atau alas dipan. Klasa terbuat dari anyaman daun pandan. Dulu yang terkenal bikinan orang Cipaku. Kebun pandan berduri banyak di Desa Cipaku di pinggir-pinggir sungai sampai di sekitar Curug Nini. Klasa yang belum kering, biasanya di-pe, dijemur di pinggir-pinggir jalan. Kalau sudah kering ditumpuk dan digulung. Lalu dipikul untuk dijual, dipasarkan di pasar atau di pinggir jalan.

Anak-anak kecil ikut shalat taraweh adalah hal yang mengasyikan. Mengambil shaf paling belakang. Untuk shalat Isya biasanya cenderung tertib. Tapi begitu masuk shalat tarawih mulai ada yang usil. Dulu imam saya menggunakan hitungan 2 rakaat kali 4, plus 3 rakaat witir. Ada yang dorong-dorongan, ada yang mengambil peci temannya, sengaja menginjak sarung temannya, mengamini dengan bacaan amin yang sengaja lebih diperpanjang, dan sebagainya. Namun saat orang-orang dewasa duduk takhyat menjelang salam, segera anak-anak tertib, duduk manis ikut takhyat, lalu salam dengan takjimnya, tengok kanan, tengok kiri, selesai salam mulutnya berkemak-kemik. Lalu kembali ketika orang dewasa takbiratul ikhram .......anak-anak mulai bergurau lagi, berhentinya saat takhyat akhir, segera duduk manis ikut takhyat, lalu tengok kanan, tengok kiri, berkemak-kemik, bergaya dzikir ....he, he, he ... nakalnya anak-anak.

Makan Sahur

Belum ada listrik, adanya senthir. Senthir dibuat dari bohlam yang dibuang tutupnya lalu tutupnya diganti dengan seng tutup botol yang diberi pipa seng untuk deles (sumbu) senthir. Bohlam diberi guntingan seng dibuat sedemikian rupa sehingga bohlam dapat dicantelkan di dinding dengan perut bulatnya di bagian bawah. Setelah di isi minyak tanah, sumbunya disulut api. Nyalalah si senthir semalaman, senyala api lilin di jaman sekarang. 
Dulu bisa saja, saat belajar malam-malam, cukup hanya menggunakan nyala senthir ini. Namun di samping senthir ada pula yang dinamakan teplok. Nyala teplok sinarnya lebih terang sepuluh kali lipat sinar senthir. Adalagi namanya petromak. Petromak alat penerangan yang istimewa. Memiliki tangki yang harus diisi latung, ada pompanya. Ada pipa, puyer, jarum, deles petromak berbahan asbes bentuknya seperti kantong. Cahayanya lebih putih dan jauh lebih terang dibandingkan dengan lampu teplok.
.
Kapan kita makan sahur. Saat itu penunjuk waktu, arloji, jam dinding, jam gandhul, masih menjadi barang langka. Sehingga sebagai penanda waktu adalah rutinitas alam.
Tanda waktu untuk sahur, menurut pak gedhe saya, adalah jika terdengar kokok ayam jago periode yang kedua sampai yang ketiga. Konon ayam jago kalau kluruk pertama itu sekitar jam satu dini hari, kedua sekitar jam dua dan ketiga sekitar jam tiga. Ada tengeran yang lain yaitu terdengarnya bunyi kodok di sawah. Jika kodok, bancet, blentung, ngorek atau bunyinya di sawah sudah riuh-rendah itu pertanda sekitar jam tiga pagi. Beruntung pada saat saya masih kecil, masih banyak sawah di sekitar kampung dan ayam jago banyak yang memelihara, sehingga kita bisa memahami rutinitas alam. Penanda lainnya adalah theng-thong, bunyi kenthong yang ditabuh oleh beberapa orang berkeliling kampung. Saat kecil bunyi tersebut sangat berkesan, dari terdengar sayup-sayup sampai akhirnya sangat jelas. Karena belum pernah melihat siapa sebenarnya yang memainkan kenthong tersebut, maka menurut bayangan saya bunyi-bunyi tersebut dikirimkan oleh makhluk-makhluk yang tidak kelihatan, mirip dengan apa yang disebut saleh, yaitu bunyi orang kothekan yang sumbernya bisa berpindah-pindah. 
He, he, kadang terjadi juga karena takut tidak sahur, maka begitu nglilir pertama, barang kali masih jam satu, kita sudah makan sahur.
Sekarang rasanya sulit untuk mau sahur jam satu dini hari. Bunyi theng-thong sudah diganti dengan pesawat televisi. Kini sahurnya selalu menjelang imsak, istilah imsak sekarang sudah tidak asing, penanda waktu bermacam-macam, sehingga jam empat pagi pun masih dengan tenang makan sahur.

Buka Puasa

Buka puasa ada tiga penandanya. Pertama warna merah langit di barat, di sebelah Gunung Slamet. Jika langit sudah lembayung merah, boleh buka puasa. Kedua memperhatikan kelelawar terbang. Jika sudah sekitar lima belas kelelawar beterbangan mencari mangsa itu pertanda sudah maghrib, boleh buka puasa. Ketiga orong-orong. Jika serangga pengorek tanah ini sudah bunyi, sudah ngorong-ngorong, berarti waktu magrib telah tiba, boleh buka puasa. Bunyi orong-orong juga dijadikan sebagai pertanda masa sandekala, candikala. Orang-orong berbunyi sekitar lima belas menit, dan selama itulah kira-kira yang disebut sandekala, konon saat-saat rawan penyakit, saat banyak setan lewat, banyak cepet membujuk anak kecil untuk dibawa pergi. 

Untuk buka puasa saya biasanya memilih yang kedua, memperhatikan kelelawar terbang. Menunggu waktu buka, sudah mandi, sudah pakai baju bersih, duduk di emper rumah, memperhatikan pohon pisang sebab kelelawar, lawa, codhot seringnya ngumpet di antara pelepah atau daun kering pohon pisang. Jika usil, maka pohong pisang diorag-orag agar kelelawarnya terbang. Tahun-tahun berikutnya salah satu tokoh agama di kampung saya, punya ide untuk membunyikan kenthong saat buka puasa tiba. Secara estafet anak-anak ikut membunyikan kenthong di rumah masing-masing dengan gembira. Lalu bergegas buka puasa.

Puji-pujian

Puji-pujian adalah istilah untuk lagu yang dinyanyikan menjelang dan sesudah dikumandangkannnya adan shalat isya. Ada satu tembang puji-pujian menjelang shalat taraweh yang sangat berkesan bagi saya adalah yang saya beri judul Uyun-uyun Badan. Menurut hemat saya lagu ini bagusnya sejajar dengan lagu Tombo Ati. Syairnya berbentuk geguritan, tapi mohon maaf kalau ada kalimat yang kurang tepat.

Uyun-uyun Badan

Uyun-uyun badan,
Uyun-uyun susahing ati
Badan siji digawa mati
Wong nang dunya sugih dosa
Ing akherat diukum siksa
Gusti Allah nyuwun ngapura,
Gendhung-gendhung pangeling-eling
Aja eling ing alam akherat,
Elinga ing alam dunya
Gawe dalan maring suwarga
Babad-ana, rancas-ana
Aja babad kudhi cungkir
Babad-a puji kelawan dzikir
Astaghfirlloh azhim
Wa min’kuli jami’ati
Guwayanira linurupa
Laila ha Rabil’alamin 


Saya pernah mendengar di suatu tempat, lagu ini dinyanyikan namun syairnya berbeda dengan syair di atas. Saya sempat berpikir barangkali lagu ini juga satu tinggalan wali sanga. Siapa tahu?!

Berikutnya ada satu lagu yang masih teringat, lagu ini menjadi favoritnya Pak Yasawireja. 
Jika Kaki Sawir, begitu setiap kali anak-anak menyebutnya, yang memulai puji-pujian, pasti lagu ini yang dikumandangkan. Padahal saya lebih suka lagu Uyun Uyun Badan. Yah bagaimana lagi. Begini liriknya.
Saya beri judul Rukune Islam.
.
Utami rukune Islam
Iya iku ana limang perkara
Ingkang dingin: ngucapaken syahadat loro
Kapondhone : sholat limang wektu
Kaping telu : puasa wulan Romadhon
Kaping pate : ngawehaken zakat
Kaping lima : munggah kaji maring Mekah
Iya iku lamon kuwasa.
.
Hehe, dan ternyata lirik lagu tersebut sangat membantu di sekolah. Yaitu saat ada soal untuk menyebutkan urutan lima rukun Islam.
Maturnuwun Pak Sawireja.
..

Jaburan
Dulu ada istilah jaburan, sekarang lebih dikenal dengan nama takjilan, tajilan. Hemat saya ada sedikit beda antara tajilan dengan jaburan. Tajilan adalah makanan ringan, umumnya dimakan sebagai sajian buka puasa sebelum shalat Maghrib. Tajilan bisa pula sebagai makanan kecil atau makanan selingan di segala kesempatan. Contoh tajilan adalah kolak, kacang ijo, agar-agar, lemper dsb.
Jaburan, barang kali dari kata “bur”, lepas, ikhlas (ngeburna dara = melepas burung merpati). Jadi jaburan adalah makanan yang diburna, diikhlaskan seseorang untuk dimakan oleh hadirin jamaah shalat taraweh. Jaburan disajikan setelah shalat taraweh selesai. Dulu jaburan yang umum adalah kacang godhog, cimplung, mendoan, atau gethuk.

Takbir yang Khas
Saat ini rasanya saya merasa kehilangan irama takbir jaman saya kecil. Lafal takbir sudah baku, namun lagu takbir cenderung terpengaruh oleh budaya setempat. Kalau menyimak di internet maka akan kita temui beberapa macam lagu atau irama takbir takbir.
Takbir terdiri dari tiga bagian yaitu: Takbir, Tahlil dan Tahmid
.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, 
Laa ilaaha Illallaahu, wallahu Akbar,
Allahu Akbar wa Iillaahil hamd
artinya:
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, .. (takbir)
Tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar, .... (tahlil)
Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian .... (tahmid)
.
Dulu sebelum marak media sosial semacam radio, TV, HP apalagi internet, budaya asli suatu daerah masih diugemi. Irama atau lagu takbir setiap hari raya masih khas desa Mangunegara, Citrakusuma, Serang, Kedhempel, Karangmangu, Prapatan. Iramanya khas, hemat saya, khas Jawa Banyumasan. 
Hanya ada dua tempat untuk takbir, belum ada budaya takbir keliling. Yaitu bersama-sam di masjid dan di rumah masing-masing. Karena dulu di Prapatan belum ada masjid maka hadir ke masjid Citrakusuma. Di dalam masjid di samping suara takbir, selalu dibarengi suara bedug dan kenthong dipukul berirama khas. Istilahnya "tlidur". Tlidur dilakukan sepanjang ada yang takbir, pemukul bedug bergantian bahkan kadang harus berebut. Ahli pemukul bedug saat itu adalah Mas Siam Kampul. Mengesankan! Seingat saya langgar di dukuh Serang juga ada bedugnya. Bedugnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan bedug di masjid Citrakusuma dan Masjid Mangunegara. Langgar di Dukuh Jambangan dan Dukuh Kedhempel saat itu tidak ada bedugnya.
Takbir di rumah. Sekeluarga berkumpul di satu ruangan. Takbir bersama-sama. Saat takbir di rumah inilah saya mengenal irama takbir yang khas Desa Mangunegara. Walau kadang sebentar, bapak sayalah yang cenderung memimpin takbir di rumah.
Irama takbir yang khas, ketika dikumandangkan sepenuh hati, terdengar dari jauh, begitu menyentuh kalbu, sayup-sayup, nganyut-anyut, membuat orang tersekat hatinya. Ada rasa haru menyusup ke seluruh pembuluh darah. Apalagi jika dikumandangkan sendirian di tengah larut malam, sendirian, suara irama takbir itu, mampu membuat orang meneteskan air mata karena rasa syukur dan rasa damai yang nyata.
Dulu sewaktu saya kecil, setiap malam menjelang Idul Fitri, setelah sholat isa Ibu saya, Mamake, Mboke inyong, biasanya nggoreng, gorengan kacang dan gorengan kedelai sambil nggodhog kupat, di pawon. Alat penerangnya masih senthir. Gorengan kacang sekarang disebut sebagai peyek kacang. Saya menemani sambil takbir, sambil ngatur kayu bakar, sesekali berhenti takbir sebab harus berkali-kali nicipi gorengan kacang. Sangat mengesankan. Hal yang rasanya tak mungkin anak jaman sekarang mengalaminya.
.
Saat shalat Ied di Lapangan Mangunegara, maka jamaahnya yang sangat dinanti adalah jamaah dari dukuh Kedhempel. Dukuh Kedhempel ini jaraknya dari lapangan Mangunegara sekitar satu kilometer. Selama perjalanan menuju Lapangan Mangunegara barisan rombongan, jamaah dari dukuh Kedhempel ini takbir sepanjang jalan. Barangkali takbir di pagi hari sepanjang jalan, adalah peristiwa langka dan istimewa. Pemimpin rombongan saat itu, kalau nggak salah Uwa Madraji. Irama takbirnya khas Kedhempel, Mangunegara. Biasanya setelah jamaah dari Kedhempel sampai, sholat Ied segera dimulai.
.
Takbir yang khas banget menurut saya itu, terutama saat mengumandangkan kalimat tahlil, mendayu-dayu, iramanya seperti mampu mengayun-ayun rasa, meremas kalbu. Khas irama Jawa Banyumasan. 
.
Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar, Allaaahu Akbar, 
Laaaaaaa Ilaaaha Illalallaaaahu wallaaaahu Akbar
Allaaahu Akbar wa Iillaaahil hamd
.

1 komentar:

  1. Ass ww.
    Alhamdulillah, kesuwun banget kiye mas Toto. Nggo lagu "Uyun uyun badan" ne.
    Aku wis suwe nggoleti lagu-lagu sing kaya kiye.
    Kira-kira ana apa ora ya versi mp3-ne?
    Duwe lagu sing liyane apa ora (kaya 'gendung gendung pangeling eling" utawa "idza syaro mawa nasyi java karo rokobana...dst"

    Sepisan maning kesuwun lan salam.
    yusupri@yahoo.com

    BalasHapus