Selasa, 09 Oktober 2012

Blendos dan Dhogol (4)

Dongeng kecil
Ceritera ini dimaksudkan hanya untuk catatan.

Blendos dan Dhogol (4)
oleh Toto Endargo, 30 April 2011 pukul 7:21


Ketika tanggal sebelas Jawa, bulan bersinar menerangi bumi. Blendos dan Dhogol ada di pojok desa, di bawah pohon Waru. Menikmati sinar bulan yang jatuh di pesawahan. Burung-burung kecil yang tidur di ranting Waru menjatuhkan benda lembek ke kepala Blendos. 
Blendos bersungut-sungut dan mengumpat. Seperti Newton yang kejatuhan buah apel lalu menemukan konsep cemerlang, grafitasi. Blendos pun segera punya ide cemerlang.
“Gol, ko ngerti ora? Umahe Kaji Atang toli kosong?” kata Blendos mulai berencana.
“Kosong kenang apa?” tanya Dhogol sedikit tidak percaya.
“Pak Kaji agi lunga, tilik Mas Hada!”
“Lombo!”
“Loh, temenan qoh!”
“Angger temenan, arep ngapa?”
“Lah jen, qo bodho banget loh!” sungut Blendhos. Sejenak kemudian ia berkata, “Gol, manjuh! Umahe Pak Kaji detiliki, yuh! Mumpung agi suwung, angger nemu dhuwit utawa apa, toli nyong karo qo dadi begja!” ajak Blendhos merayu Dhogol agar mau menjadi ‘tamu tak diundang’. Tujuh menit kemudian, akhirnya Doghol bersedia menemani Blendos ke rumah Pak Haji Atang!

Jaman dulu, predikat haji sangat terpandang. Pak Atang satu-satunya orang yang berpredikat haji di lingkungan beberapa desa. Dua tahun pergi meninggalkan desa untuk berhaji. Berangkat dan pulang naik kapal laut. Selama di kapal dia belajar memperdalam hal keagamaan, baca Al Quran, menghafal doa-doa ibadah haji, sampai menghafal Al Quran. Tiga bulan ia baru sampai di tanah Arab. Tiga bulan kemudian dia hidup apa adanya di tanah Arab, sambil menunggu bulan Dzul Hijjah, bulan pelaksanaan ibadah haji. Selesai melakukan ibadah haji, ia tidak segera kembali ke tanah air. Ia kembali memperdalam kemampuannya membaca dan menterjemahkan Al Quran, dan juga sedikit percakapan bahasa Arab.

Tak heran jika Haji Atang menjadi orang yang masyhur dan dikagumi orang, mumpuni dalam hal Agama Islam. Blendos pun sangat mengagumi Haji Atang. Penampilan yang sangat menarik adalah ketika Haji Atang berbaju koko dan berpeci haji yang berwarna putih. Peci sederhana seperti mangkuk terbalik. Memakainya, persis di puncak kepala bagian belakang.

Rumah Haji Atang agak jauh dari tetangga. Haji Atang hidup berdua dengan istrinya yang sederhana dan taqwa beribadah. Mempunyai satu orang anak, laki-laki, namanya Hada. Kini Mas Hada ada di Jawa Barat, di sebuah pesantren. Hada agak risi dengan nama bapaknya. Sebab sering disepertikan dengan nama-nama tokoh Islam, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib dan yang lain. Risi sebab bapaknya bernama Atang, maka teman-temannya kadang bergurau dengan memanggilnya sebagai Hada bin Atang, sehingga terpeleset menjadi “ada binatang”! Nasib!

Di sekitar rumah Haji Atang banyak pepohonan. Pohon yang tinggi seperti mangga, rambutan, petai, dan pohon kelapa. Pohon yang tingginya semeter-dua meter seperti, jarak, liriside, dan mangkokan. 
Situasinya memang nyaman untuk bersembunyi.
“Blendos, aku wegah melu ko mlebu ngumah!” kata Dhogol.
“Kenangapa?”
 “Wedi kuwalat. Mbok de supatani karo Kaki Kaji. Uripe inyong bisa sial terus!”
 “Salah! Kaji Atang ora bakal nyupatani! Percaya!” kata Blendhos. Dhogol gedheg-gedheg.
 “Ora percaya! Kaji Atang angger kelangan malah kesenengen!” perhitungan Blendos.
 “Aja ngawur lah!” debat Dhogol.
 “Sebab menurut Kajine, angger kelangan, malah dadi bisa ngamal maring wong sing temenanan mbutuhna barang sing dejiot!” penjelasan Blendhos. Lalu mereka membagi tugas. Blendos akan masuk ke rumah Haji Atang. Dhogol bertugas mengawasi rumah dari dekat sumur. Kode yang disepakati adalah menirukan bunyi kucing. Jika ada bunyi kucing bearti ada orang lain. Keduanya harus segera kabur. Aksi dilakukan malam ini juga. Nunggu bulan sampai sedikit melewati tengah langit.

Desa sepi. Masih banyak pepohonan. Belum banyak penghuni. Maka setiap malam suasananya sangat sepi. Siluet dari pohon besar dan bayangannnya bagaikan mahluk hitam besar yang menakutkan. Bunyi binatang malam, serangga dan kelepak kelelawar menjadikan suasana semakin mencekam. Blendos dan Dhogol sebagai anak desa sudah terbiasa, keduanya tidak takut.

“Ko arep mlebu ngumah, metung ngendi Ndos?” tanya Dhogol.
 “Jane sing paling aman yaa, mlebu-metune ngumah, metung mburi. Tapi nyong arep mlebu metung lawang pinggir bae, ndeleng gedhege kayane gampang de dedel!” jawab Blendos mantap.
 “Qo angger wis neng jero umah, ngabani yaa!” pinta Dhogol.
 “Yaa, aku arep nyumed senthir!”
 “Nyumed nganggo apa? Apa qo duwe rek?”
 “Lah, ndan mengko nemu!” jawab Blendhos yakin akan menemukan korek api.
 “Aku nunggu neng ngendi?” tanya Dhogol meminta pekerjaan.
 “Qo, jaga neng ngisor wit jarak bae, aja neng sumur. Sekang kana qo bisa weruh kabehan,” kata Blendos sambil menunjuk perdu jarak, “Wong sing sekang njaba, arep mlebung ngumah mesthi keton! Aja kelalen, ko angger ana bahaya, ana wong, gagehan moni kaya kucing!”
 “Ngeeong!”
 “Huss, mengko! Aja siki! Awas lho. Nasibe inyong neng qo, Gol!”

 Demikianlah dengan sedikit mengendap-endap Blendos mendekati rumah Kaji Atang. Luar biasa. Empat menit kemudian Blendos sudah berada di dalam rumah. Kemampuannya melihat situasi dalam kegelapan teruji di rumah ini. Pengalaman dalam kegelapan menjadikan Blendos mampu melihat benda-benda di depannnya. Kursi, meja, lemari, dan isi rumah yang lain. Kecerdasan otaknya untuk menghadapi bahaya, segera bekerja! Jalan kabur! Dengan sangat ahli dan hati-hati tanpa bunyi ia membuat jalan untuk pelarian darurat. Membuka slarak pintu dapur. Blendhos lupa memberi kode bahwa ia sudah berhasil masuk.

“Angger ana wong, nyong bisa mlayu metung lawang pawon sing wis ora dekunci. Beres!” begitu rencana pelariannya kalau ada bahaya.

Sekarang dia melihat pintu sebuah kamar. Ia dekati dan sekejap kemudian pintu terbuka. Kamar tidur. Dalam warna mayoritas hitam, dia dapat melihat, ada dipan dan sebuah lemari pakaian. Lalu dari samping kanan terhirup bau khas baju yang sudah dipakai dan digantung, menyentuh hidungnya. Sreng. Ia mendeteksi sumber bau. Benar! Rupanya di balik pintu yang terbuka ada kapstok, canthelan baju. Menjuntai ke bawah, baju warna putih, dan di ujung atas baju ada seperti gundukan putih. Peci kaji Pak Atang. Wajah Blendos langsung semburat semringah.

“Klambi koko karo topi kaji!” kata hatinya sambil memegang baju tersebut. Kini dia lupa pada perannya. Ia lupa bahwa dia sedang masuk rumah orang tanpa ijin. Pikirannya justru ke baju koko, alangkah senangnya jika ia punya baju koko dan memakainya.

Sementara itu Doghol yang berada di rumpun pohon jarak mulai gelisah. Dia benar-benar tidak berbakat untuk urusan yang mendebarkan. Rasa khawatir menjadikan Dhogol membayangkan benar-benar ada orang datang. Bahkan Dhogol berpikir jangan-jangan sebenarnya Pak Atang tidak ke Jawa Barat, tapi tetap di rumah. Pak Atang sedang rajin sembayang dan dzikir sendirian. Dhogol tidak tahu bahwa Blendhos sudah berhasil masuk ke rumah.

Di belakang rumah Pak Atang terdapat sumur. Ada padasan tempat wudhu. Belum musim orang menggunakan semen, maka sebagai perabotan sumur semuanya dari batu. Di antaranya ada batu lebar yang cekung sehingga air bisa menggenang. Beberapa binatang memanfaatkan air itu untuk minum. Seperti malam itu. Seekor kucing jantan yang telah berhasil menyantap seekor tikus, butuh minum. Dengan tanpa bunyi si kucing sudah berada di sumur. Kucing minum di sumur. Blendos sedang mengelus baju Pak Atang.

“Klambi tek jajale, neng inyong pas apa ora” gumam Blendhos. Peci kaji sudah terpasang mantap di puncak kepalanya. Ia tersenyum. Baju diciumnya. Ada sedikit bau wangi, membuat Blendhos semakin bernafsu untuk mencoba baju koko Pak Atang. Sret, tangan kanan dimasukan ke lengan kanan. Lalu sret lagi tangan kiri dimasukan ke lengan baju bagian kiri. Baju mapan di badannya, agak kebesaran. Ia kancingkan satu kancing baju di bagian dada. Si kucing, usai minum berjalan gontai dengan hidung hampir menyentuh tanah, ia sedang mengendus jejak teman betinanya. Jejak sang betina ternyata arahnya menuju ke rumpun mangkokan. Lantas dipanggilnya teman betinanya oleh si kucing jantan, “Ngeoong!” Bunyi kucing jantan kebetulan bersamaan dengan terpasangnya kancing kedua di perut Blendhos. Tratab! Jantung Blendos seakan copot. Lari! Perintah otaknya. Blendos lari ke pintu dapur. Ketika ia membuka pintu dapur terdengar lagi bunyi, “Ngeooong!” Ia tidak tahu bahwa itu bunyi ngeong kucing sungguhan. Tahunya suara kode dari Dhogol.

Dhogol sendiri benar-benar bingung! Apa yang harus dilakukannya dengan bunyi ngeong dua kali dari kucing jantan. Bahkan si kucing jelas sekali sedang berjalan menuju ke arahnya. Glothak! Bunyi yang tertangkap di telinga Dhogol dari arah dapur. Bunyi itu ditimbulkan oleh bambu cengkal lawang yang sedikit terkena langkah kaki Blendhos karena tergesa.

Mata Dhogol pun, lurus menatap ke pintu dapur. Blendos muncul dari pintu dapur dengan atribut kebesaran Haji Atang, menatap rumpun mangkokan. Dhogol jantungnya seketika seperti mencelat, ia merasa persembunyiannya telah diketahui oleh Haji Atang. Ia tidak sangka bahwa yang berbaju haji adalah si Blendos.

“Ugh, Kajine sekti banget! Nyong neng petengan bae keton!” kata hatinya. Blendos harus segera diberi tahu.

“Ngeeooong!” Blaass! Suara dari mulut Dhogol. Keras dan bernada ketakutan! Krosak! Dhogol segera kabur meninggalkan rumpun mangkokan! Sinyal yang tertangkap oleh Blendhos adalah ada bahaya yang sangat mengancam! Terbukti Dhogol segera berlari. Dhogol pasti ketakutan karena diketahui orang lain. Bahkan menyebabkan Dhogol mengeong sampai tiga kali, pasti karena ada orang yang datang menuju rumah Haji Atang! Blendhos tanpa pikir panjang pun segera lari! Lari mengikuti larinya Dhogol. Krosak! Ditabraknya rumpun mangkokan. Blendhos berlari di belakang Dhogol masih dengan baju koko dan peci Haji Atang. Sekuat tenaga ingin segera menyamai dan sejajar dengan Dhogol.

Gedebug, gedebug, suara kaki Blendos di belakang Dhogol. Karena Dhogol tidak tahu bahwa yang di belakangnya adalah Blendhos, ia pun semakin mempercepat laju larinya. Dhogol tahunya ia sedang dikejar oleh Haji Atang. Pun ketika Dhogol nengok ke belakang yang terlihat, baju koko, peci putih. Haji Atanglah yang mengejarnya. Beg, beg, beg, beg! Tanah bergetar dihentak oleh kaki Dhogol.

Sementara dibelakangnya, gedebug, gedebug, hentakan kaki Blendos di sepanjang pengejaran, larinya pun semakin dipercepat agar tidak tertangkap oleh orang yang menurut perhitunganhnya sedang mengejar-ngejar mereka. Kedung Dawuhan masih lima ratus meter. Namun nafas keduanya mulai ngos-ngosan. Karena Blendhos sudah hampir putus asa. Ia yakin pasti tertangkap oleh orang desa. Blendhos berniat pasarh. Mak dia pun memnggil Blendhos agar berhenti.

“Gol!” panggil Blendos.
“Ampun, Pak Kaji! Ampun!” Dhogol dengan suara hampir tak jelas menjawab, dia agak sangsi, panggilan suara Pak Atang kok mirip dengan suara Blendos.
“Gol! Dhogol! Mandeg!” teriak Blendhos sekenanya.
“Ampun, Pak Kajiiii!” jawab Dhogol. Ia berhenti. Terpuruk di tanah. Blendhos berhenti, terpuruk di tanah, langsung telentang. Dhogol menatap tubuh telentang di sampingnya, sinar rembulan tanggal las-lasan membantu Dhogol mengenali Blendos.

Blendos, bukan Kaji Atang!
“Semblothongan! Bodho!” suara Dhogol ngos-ngosan, ada nada geram.
“Gol, qo deneng mlayu banter pisan!” kata Blendhos.
 “Bodho! Qo koh ndadak nganggo klambi karo kupluke Kaji Atang sie kepriwe? Ujarku inyong deuber Kaji Atang! Blendhos, Blendos,! Jeenn qo bodho pisan!” rengek Dhogol seperti mau nangis, karena marah yang tak terlampiaskan.

Keduanya sangat kesal. Ingin marah namun, siapa yang akan disalahkan? Sebelas menit kemudian, keduanya kembali normal. Kejar-kejaran karena kesalahpahaman mereka pun terungkap. Seandainya Blendos tidak menggunakan baju Pak Atang barangkali Dhogol tidak akan begitu ketakutan. Blendos disalahkan!

“Lah, qo bae, dong ko moni ngeang-ngeong aku wis panik. Ana wong liya apa ora si?”
“Oh, sing moni ngeong ping pindo kae kucing temenan! Nyong mung moni sepisan, sing keri dhewek, sebab ujarku aku weruh Kaji Atang metu sekang lawang pawon. Aku mlayu! Jebulane qo, bodho!”
“Lah, qo mlayu, aku ya melu mlayu. Qo mlayu banter, aku melu banter! Bodho!” kata Blendhos.

Keduanya berdiri. Lelah! Haus! Blendos dan Dhogol sepakat, baju dan peci Pak Atang akan dikembalikan dengan cara di taruh di gubug sawahnya Pak Atang. Lalu keduanya berjalan menuju ke gubug Pak Atang. Sebelum sampai ke tujuan Blendhos berhenti.

“Nginum dingin yuh, Gol!” ajak Blendos seperti menawarkan minuman siap saji.
“Nginum apa?” tanya Dhogol!
“Nginum badheg. Badhege Kaki Arsadi toli wit klapane endhep! Yuh!” ajak Blendhos.

Dhogol mengangguk. Malam ini ada dua peristiwa. Balapan lari dari rumah Haji Atang sampai Kedung Dhawuhan dan yang kedua minum gratis, swalayan, menek dhewek-dhewek.

Sinar bulan malam itu menyaksikan Blendhos dan Dhogol minum badheg, duduk di pelepah, papah klapa, menyeruput badheg, nira, langsung dari pongkornya. Dan esok pagi Kaki Arsadi, geleng-geleng kepala, sambil merencanakan sesuatu untuk para peminum badhegnya!

Semoga ada sambungannya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar