Dongeng kecil
Ceritera ini dimaksudkan hanya untuk catatan.
oleh Toto Endargo, 30 April 2011 pukul 7:21
Ketika tanggal sebelas Jawa, bulan bersinar menerangi bumi. Blendos dan
Dhogol ada di pojok desa, di bawah pohon Waru. Menikmati sinar bulan yang
jatuh di pesawahan. Burung-burung kecil yang tidur di ranting Waru menjatuhkan benda lembek ke kepala Blendos.
Blendos bersungut-sungut dan
mengumpat. Seperti Newton yang kejatuhan buah apel lalu menemukan konsep
cemerlang, grafitasi. Blendos pun segera punya ide cemerlang.
“Gol, ko ngerti ora? Umahe Kaji Atang toli kosong?” kata Blendos mulai
berencana.
“Kosong kenang apa?” tanya Dhogol sedikit tidak percaya.
“Pak Kaji agi lunga, tilik Mas Hada!”
“Lombo!”
“Loh, temenan qoh!”
“Angger temenan, arep ngapa?”
“Lah jen, qo bodho banget loh!” sungut Blendhos. Sejenak kemudian ia
berkata, “Gol, manjuh! Umahe Pak Kaji detiliki, yuh! Mumpung agi suwung, angger
nemu dhuwit utawa apa, toli nyong karo qo dadi begja!” ajak Blendhos merayu
Dhogol agar mau menjadi ‘tamu tak diundang’. Tujuh menit kemudian, akhirnya
Doghol bersedia menemani Blendos ke rumah Pak Haji Atang!
Jaman dulu, predikat haji sangat terpandang. Pak Atang satu-satunya
orang yang berpredikat haji di lingkungan beberapa desa. Dua tahun pergi
meninggalkan desa untuk berhaji. Berangkat dan pulang naik kapal laut. Selama
di kapal dia belajar memperdalam hal keagamaan, baca Al Quran, menghafal
doa-doa ibadah haji, sampai menghafal Al Quran. Tiga bulan ia baru sampai di
tanah Arab. Tiga bulan kemudian dia hidup apa adanya di tanah Arab, sambil
menunggu bulan Dzul Hijjah, bulan pelaksanaan ibadah haji. Selesai melakukan
ibadah haji, ia tidak segera kembali ke tanah air. Ia kembali memperdalam
kemampuannya membaca dan menterjemahkan Al Quran, dan juga sedikit percakapan
bahasa Arab.
Tak heran jika Haji Atang menjadi orang yang masyhur dan dikagumi
orang, mumpuni dalam hal Agama Islam. Blendos pun sangat mengagumi Haji Atang.
Penampilan yang sangat menarik adalah ketika Haji Atang berbaju koko dan
berpeci haji yang berwarna putih. Peci sederhana seperti mangkuk terbalik.
Memakainya, persis di puncak kepala bagian belakang.
Rumah Haji Atang agak jauh dari tetangga. Haji Atang hidup berdua
dengan istrinya yang sederhana dan taqwa beribadah. Mempunyai satu orang anak,
laki-laki, namanya Hada. Kini Mas Hada ada di Jawa Barat, di sebuah pesantren.
Hada agak risi dengan nama bapaknya. Sebab sering disepertikan dengan nama-nama
tokoh Islam, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Talib dan yang
lain. Risi sebab bapaknya bernama Atang, maka teman-temannya kadang bergurau
dengan memanggilnya sebagai Hada bin Atang, sehingga terpeleset menjadi “ada
binatang”! Nasib!
Di sekitar rumah Haji Atang banyak pepohonan. Pohon yang tinggi seperti
mangga, rambutan, petai, dan pohon kelapa. Pohon yang tingginya semeter-dua
meter seperti, jarak, liriside, dan mangkokan.
Situasinya memang nyaman untuk
bersembunyi.
“Blendos, aku wegah melu ko mlebu ngumah!” kata Dhogol.
“Kenangapa?”
“Wedi kuwalat. Mbok de supatani karo Kaki Kaji. Uripe inyong bisa
sial terus!”
“Salah! Kaji Atang ora bakal nyupatani! Percaya!” kata Blendhos.
Dhogol gedheg-gedheg.
“Ora percaya! Kaji Atang angger kelangan malah kesenengen!”
perhitungan Blendos.
“Aja ngawur lah!” debat Dhogol.
“Sebab menurut Kajine, angger kelangan, malah dadi bisa ngamal
maring wong sing temenanan mbutuhna barang sing dejiot!” penjelasan Blendhos.
Lalu mereka membagi tugas. Blendos akan masuk ke rumah Haji Atang. Dhogol
bertugas mengawasi rumah dari dekat sumur. Kode yang disepakati adalah
menirukan bunyi kucing. Jika ada bunyi kucing bearti ada orang lain. Keduanya
harus segera kabur. Aksi dilakukan malam ini juga. Nunggu bulan sampai sedikit
melewati tengah langit.
Desa sepi. Masih banyak pepohonan. Belum banyak penghuni. Maka setiap
malam suasananya sangat sepi. Siluet dari pohon besar dan bayangannnya bagaikan
mahluk hitam besar yang menakutkan. Bunyi binatang malam, serangga dan kelepak
kelelawar menjadikan suasana semakin mencekam. Blendos dan Dhogol sebagai anak
desa sudah terbiasa, keduanya tidak takut.
“Ko arep mlebu ngumah, metung ngendi Ndos?” tanya Dhogol.
“Jane sing paling aman yaa, mlebu-metune ngumah, metung mburi.
Tapi nyong arep mlebu metung lawang pinggir bae, ndeleng gedhege kayane gampang
de dedel!” jawab Blendos mantap.
“Qo angger wis neng jero umah, ngabani yaa!” pinta Dhogol.
“Yaa, aku arep nyumed senthir!”
“Nyumed nganggo apa? Apa qo duwe rek?”
“Lah, ndan mengko nemu!” jawab Blendhos yakin akan menemukan
korek api.
“Aku nunggu neng ngendi?” tanya Dhogol meminta pekerjaan.
“Qo, jaga neng ngisor wit jarak bae, aja neng sumur. Sekang kana
qo bisa weruh kabehan,” kata Blendos sambil menunjuk perdu jarak, “Wong sing
sekang njaba, arep mlebung ngumah mesthi keton! Aja kelalen, ko angger ana
bahaya, ana wong, gagehan moni kaya kucing!”
“Ngeeong!”
“Huss, mengko! Aja siki! Awas lho. Nasibe inyong neng qo, Gol!”
Demikianlah dengan sedikit mengendap-endap Blendos mendekati
rumah Kaji Atang. Luar biasa. Empat menit kemudian Blendos sudah berada di
dalam rumah. Kemampuannya melihat situasi dalam kegelapan teruji di rumah ini.
Pengalaman dalam kegelapan menjadikan Blendos mampu melihat benda-benda di
depannnya. Kursi, meja, lemari, dan isi rumah yang lain. Kecerdasan otaknya
untuk menghadapi bahaya, segera bekerja! Jalan kabur! Dengan sangat ahli dan
hati-hati tanpa bunyi ia membuat jalan untuk pelarian darurat. Membuka slarak
pintu dapur. Blendhos lupa memberi kode bahwa ia sudah berhasil masuk.
“Angger ana wong, nyong bisa mlayu metung lawang pawon sing wis ora
dekunci. Beres!” begitu rencana pelariannya kalau ada bahaya.
Sekarang dia melihat pintu sebuah kamar. Ia dekati dan sekejap kemudian
pintu terbuka. Kamar tidur. Dalam warna mayoritas hitam, dia dapat melihat, ada
dipan dan sebuah lemari pakaian. Lalu dari samping kanan terhirup bau khas baju
yang sudah dipakai dan digantung, menyentuh hidungnya. Sreng. Ia mendeteksi
sumber bau. Benar! Rupanya di balik pintu yang terbuka ada kapstok, canthelan
baju. Menjuntai ke bawah, baju warna putih, dan di ujung atas baju ada seperti gundukan
putih. Peci kaji Pak Atang. Wajah Blendos langsung semburat semringah.
“Klambi koko karo topi kaji!” kata hatinya sambil memegang baju
tersebut. Kini dia lupa pada perannya. Ia lupa bahwa dia sedang masuk rumah
orang tanpa ijin. Pikirannya justru ke baju koko, alangkah senangnya jika ia
punya baju koko dan memakainya.
Sementara itu Doghol yang berada di rumpun pohon jarak mulai gelisah.
Dia benar-benar tidak berbakat untuk urusan yang mendebarkan. Rasa khawatir
menjadikan Dhogol membayangkan benar-benar ada orang datang. Bahkan Dhogol
berpikir jangan-jangan sebenarnya Pak Atang tidak ke Jawa Barat, tapi tetap di
rumah. Pak Atang sedang rajin sembayang dan dzikir sendirian. Dhogol tidak tahu
bahwa Blendhos sudah berhasil masuk ke rumah.
Di belakang rumah Pak Atang terdapat sumur. Ada padasan tempat wudhu.
Belum musim orang menggunakan semen, maka sebagai perabotan sumur semuanya dari
batu. Di antaranya ada batu lebar yang cekung sehingga air bisa menggenang.
Beberapa binatang memanfaatkan air itu untuk minum. Seperti malam itu. Seekor
kucing jantan yang telah berhasil menyantap seekor tikus, butuh minum. Dengan
tanpa bunyi si kucing sudah berada di sumur. Kucing minum di sumur. Blendos
sedang mengelus baju Pak Atang.
“Klambi tek jajale, neng inyong pas apa ora” gumam Blendhos. Peci kaji
sudah terpasang mantap di puncak kepalanya. Ia tersenyum. Baju diciumnya. Ada
sedikit bau wangi, membuat Blendhos semakin bernafsu untuk mencoba baju koko
Pak Atang. Sret, tangan kanan dimasukan ke lengan kanan. Lalu sret lagi tangan
kiri dimasukan ke lengan baju bagian kiri. Baju mapan di badannya, agak
kebesaran. Ia kancingkan satu kancing baju di bagian dada. Si kucing, usai
minum berjalan gontai dengan hidung hampir menyentuh tanah, ia sedang mengendus
jejak teman betinanya. Jejak sang betina ternyata arahnya menuju ke rumpun
mangkokan. Lantas dipanggilnya teman betinanya oleh si kucing jantan,
“Ngeoong!” Bunyi kucing jantan kebetulan bersamaan dengan terpasangnya kancing
kedua di perut Blendhos. Tratab! Jantung Blendos seakan copot. Lari! Perintah
otaknya. Blendos lari ke pintu dapur. Ketika ia membuka pintu dapur terdengar
lagi bunyi, “Ngeooong!” Ia tidak tahu bahwa itu bunyi ngeong kucing sungguhan.
Tahunya suara kode dari Dhogol.
Dhogol sendiri benar-benar bingung! Apa yang harus dilakukannya dengan
bunyi ngeong dua kali dari kucing jantan. Bahkan si kucing jelas sekali sedang
berjalan menuju ke arahnya. Glothak! Bunyi yang tertangkap di telinga Dhogol
dari arah dapur. Bunyi itu ditimbulkan oleh bambu cengkal lawang yang sedikit
terkena langkah kaki Blendhos karena tergesa.
Mata Dhogol pun, lurus menatap ke pintu dapur. Blendos muncul dari
pintu dapur dengan atribut kebesaran Haji Atang, menatap rumpun mangkokan.
Dhogol jantungnya seketika seperti mencelat, ia merasa persembunyiannya telah
diketahui oleh Haji Atang. Ia tidak sangka bahwa yang berbaju haji adalah si
Blendos.
“Ugh, Kajine sekti banget! Nyong neng petengan bae keton!” kata
hatinya. Blendos harus segera diberi tahu.
“Ngeeooong!” Blaass! Suara dari mulut Dhogol. Keras dan bernada
ketakutan! Krosak! Dhogol segera kabur meninggalkan rumpun mangkokan! Sinyal
yang tertangkap oleh Blendhos adalah ada bahaya yang sangat mengancam! Terbukti
Dhogol segera berlari. Dhogol pasti ketakutan karena diketahui orang lain.
Bahkan menyebabkan Dhogol mengeong sampai tiga kali, pasti karena ada orang
yang datang menuju rumah Haji Atang! Blendhos tanpa pikir panjang pun segera
lari! Lari mengikuti larinya Dhogol. Krosak! Ditabraknya rumpun mangkokan.
Blendhos berlari di belakang Dhogol masih dengan baju koko dan peci Haji Atang.
Sekuat tenaga ingin segera menyamai dan sejajar dengan Dhogol.
Gedebug, gedebug, suara kaki Blendos di belakang Dhogol. Karena Dhogol
tidak tahu bahwa yang di belakangnya adalah Blendhos, ia pun semakin
mempercepat laju larinya. Dhogol tahunya ia sedang dikejar oleh Haji Atang. Pun
ketika Dhogol nengok ke belakang yang terlihat, baju koko, peci putih. Haji
Atanglah yang mengejarnya. Beg, beg, beg, beg! Tanah bergetar dihentak oleh
kaki Dhogol.
Sementara dibelakangnya, gedebug, gedebug, hentakan kaki Blendos di
sepanjang pengejaran, larinya pun semakin dipercepat agar tidak tertangkap oleh
orang yang menurut perhitunganhnya sedang mengejar-ngejar mereka. Kedung
Dawuhan masih lima ratus meter. Namun nafas keduanya mulai ngos-ngosan. Karena
Blendhos sudah hampir putus asa. Ia yakin pasti tertangkap oleh orang desa.
Blendhos berniat pasarh. Mak dia pun memnggil Blendhos agar berhenti.
“Gol!” panggil Blendos.
“Ampun, Pak Kaji! Ampun!” Dhogol dengan suara hampir tak jelas
menjawab, dia agak sangsi, panggilan suara Pak Atang kok mirip dengan suara
Blendos.
“Gol! Dhogol! Mandeg!” teriak Blendhos sekenanya.
“Ampun, Pak Kajiiii!” jawab Dhogol. Ia berhenti. Terpuruk di tanah.
Blendhos berhenti, terpuruk di tanah, langsung telentang. Dhogol menatap tubuh
telentang di sampingnya, sinar rembulan tanggal las-lasan membantu Dhogol
mengenali Blendos.
Blendos, bukan Kaji Atang!
“Semblothongan! Bodho!” suara Dhogol ngos-ngosan, ada nada geram.
“Gol, qo deneng mlayu banter pisan!” kata Blendhos.
“Bodho! Qo koh ndadak nganggo klambi karo kupluke Kaji Atang sie
kepriwe? Ujarku inyong deuber Kaji Atang! Blendhos, Blendos,! Jeenn qo bodho
pisan!” rengek Dhogol seperti mau nangis, karena marah yang tak terlampiaskan.
Keduanya sangat kesal. Ingin marah namun, siapa yang akan disalahkan?
Sebelas menit kemudian, keduanya kembali normal. Kejar-kejaran karena
kesalahpahaman mereka pun terungkap. Seandainya Blendos tidak menggunakan baju
Pak Atang barangkali Dhogol tidak akan begitu ketakutan. Blendos disalahkan!
“Lah, qo bae, dong ko moni ngeang-ngeong aku wis panik. Ana wong liya
apa ora si?”
“Oh, sing moni ngeong ping pindo kae kucing temenan! Nyong mung moni
sepisan, sing keri dhewek, sebab ujarku aku weruh Kaji Atang metu sekang lawang
pawon. Aku mlayu! Jebulane qo, bodho!”
“Lah, qo mlayu, aku ya melu mlayu. Qo mlayu banter, aku melu banter!
Bodho!” kata Blendhos.
Keduanya berdiri. Lelah! Haus! Blendos dan Dhogol sepakat, baju dan
peci Pak Atang akan dikembalikan dengan cara di taruh di gubug sawahnya Pak
Atang. Lalu keduanya berjalan menuju ke gubug Pak Atang. Sebelum sampai ke
tujuan Blendhos berhenti.
“Nginum dingin yuh, Gol!” ajak Blendos seperti menawarkan minuman siap
saji.
“Nginum apa?” tanya Dhogol!
“Nginum badheg. Badhege Kaki Arsadi toli wit klapane endhep! Yuh!” ajak
Blendhos.
Dhogol mengangguk. Malam ini ada dua peristiwa. Balapan lari dari rumah
Haji Atang sampai Kedung Dhawuhan dan yang kedua minum gratis, swalayan, menek
dhewek-dhewek.
Sinar bulan malam itu menyaksikan Blendhos dan Dhogol minum badheg,
duduk di pelepah, papah klapa, menyeruput badheg, nira, langsung dari
pongkornya. Dan esok pagi Kaki Arsadi, geleng-geleng kepala, sambil
merencanakan sesuatu untuk para peminum badhegnya!
Semoga ada sambungannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar