Selasa, 09 Oktober 2012

Pesan Gesang

Pesan Gesang
Toto Endargo


Ketika kecil saya sudah mendengar lagu Bengawan Solo, ciptaan Gesang, yang berceritera tentang sungai besar yang airnya mengalir sampai jauh, dan akhirnya ke laut. Mengesankan.
Ada satu lagu dari Gesang yang bertema perjuangan yang juga sangat mengesankan. Di samping lagunya, tentu saja liriknya. Walau lagu ini tidak seterkenal Luntur atau Pamitan, namun menurut saya lagu dengan judul Dongengan ini tak kalah bagusnya dengan kedua lagu tersebut. Berirama keroncong Jawa yang lembut, merayu, merasuk dan mendayu. 
Gesang sesungguhnya tidak sekedar mendongeng, tapi benar-benar berceritera. Bahkan kritik yang berbingkai pesan.

Lirik Dongengan berbahasa Jawa krama andhap ini menceriterakan kejadian yang sesungguhnya. Bukan sekedar dongeng! Kenapa? Perhatikan lirik lagu ini:

Dongengan
Gesang, 1950

Sinten purun kulo dongengi
Dongengipun dulur desa
Sugih sawah lan sugih pari
Ayeman ati ora murka

Ageng labuhe dhateng negari
Rupa harta lan rupa bandha
Jaman gerilya ing nguni
Tiyang kutha ngungsi teng ndesa

Si kakang lan mbakyu sing nampi
Lahir batin suka lan lila
Njamin panggenan lan njamin tedhi
Luwung sanajan cara ndesa

Kocape mbiyen nalika kuwi
Sapa wonge padha rumangsa
“Terima kasih, terima kasih” batine muni;
“Suk yen aman, walesku apa?”

Tutuge ndongeng puniki
Indonesia mpun merdhika
Dikanteni tatanan edi
Ngajeni mring padha manungsa

Welinge sing ndongengke iki
Yen kakang lan mbakyu teng kutha
Welinge: "Aja nganti lali!
Lan aja disiya-siya!"

Barangkali liriknya tidak pas benar. Maklum saya dengar saat kecil, tahun 1970-an. Saya harus gramak-gramak. Lagu ini cukup sulit di dapat baik di dunia nyata maupun dunia maya. Dulu saya woro-woro, "Jika nemu saya dikabari!" Dan sekarang saya sudah nemu!

Jaman orde baru lagu ini terasa menyentil para pejabat. Kenapa? 
Umumnya yang mengungsi di desa, dulu, kan di samping orang biasa, banyak juga para tentara atau keluarga tentara. Ketika jaman orde baru, seperti kita ketahui, para pejabat negara mayoritas adalah para tentara. Namun jaman orde baru itu pula jaman musim urbanisasi, orang desa pergi ke kota. Dalam kenyataannya, banyak para urban yang hidupnya terlunta-lunta di kota. Disia-sia oleh kejamnya ibukota.

Suatu keniscayaan bahwa lirik Gesang ini benar-benar terjadi. Dulu para pejabat itulah yang mengungsi di desa, mendapat makan-minum dan papan, secara ikhlas dijamin oleh penduduk desa. 
Enak bukan? Lalu saat aman, mereka kembali ke kota. Negara merdeka, dia kemudian jadi pejabat. Hidup berkecukupan. Tapi sia-sia terhadap orang desa.

Bagi Gesang ada tiga kekhawatiran yang bergejolak di lirik lagunya.
Pertama, Gesang khawatir mereka akan lupa kisah “enak” dalam pengungsian, lupa bahwa orang desa telah menolong mereka.
Kedua, Gesang khawatir mereka akan lupa terhadap janji di batinnya –“terima kasih”, batine muni, “suk yen aman walesku apa?”—Lupa berterimakasih, lupa bersyukur.
Ketiga, Gesang khawatir bahwa mereka akan menjadi orang yang suka berbuat sewenang-wenang, terutama kepada orang desa, atau rakyat kecil saat pergi ke kota.
Maka Gesang berpesan, yen kakang lan mbakyu teng kutha, janjine aja nganti lali, lan aja disiya-siya, artinya: Kalau mas-mas dan mbak-mbak dari desa datang ke kota, janjinya untuk membalas budi baik mereka, sebagai ganti rasa terima kasih saat mengungsi, jangan dilupakan, mereka jangan sampai dibuat sengsara dan dibuat hidup terlunta-lunta. Orang kota jangan berbuat sewenang-wenang kepada mereka.
Pejabat yang dulu pernah mengungsi dan akhirnya bertamak-ria, pasti membenci lagu ini. Maka jangan heran jika lagu bagus bertajuk Dongengan ini menjadi tidak populer!
Luar biasa! 
Kritik sosial ini akan berlaku sampai kapan? 
Barangkali hanya sampai saat pengungsi yang paling muda, kembali ke hadirat-Nya. Habis itu, tawarlah welingan Gesang dalam lagu ini. Pesan Gesang tidak berlaku lagi. Sebab ketika pengungsinya masih hidup saja sudah tidak berlaku apalagi setelah semuanya berakhir!
He, he, .. secara tidak langsung ramalan Gesang terhadap gelagat manusia Indonesia sangat tajamnya. 
Syair lagu Dongengan ini tampak sederhana, namun bagi saya punya makna yang sangat menyentuh. Kritik sosial yang sangat menjebak!

Saya nulis jaman orde baru, jaman = orde.
Maklum! Nggak papalah!

1 komentar: