Selasa, 09 Oktober 2012

Mahesa Jenar

Geloras Mahesa Jenar
Toto Endargo

   Purbalingga memiliki Gelanggang Olahraga dan Seni, dengan nama Mahesa Jenar. Terletak di Jalan Wirasaba No. 4 Purbalingga. Di gedung ini pula Sekretariat Bersama Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) berkantor. Umum mengetahui bahwa Mahesa Jenar adalah julukan untuk kesebelasan PSIS Semarang. Siapa sie Mahesa Jenar? 
   
Ini sedikit ceriteranya.
   Mahesa Jenar adalah sosok khayal yang namanya pernah begitu populer, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mahesa Jenar adalah pendekar dalam cerita Nagasasra-Sabuk Inten. Dahulu dibaca oleh segala kalangan. Ceriteranya bernuansa Jawa namun ia menyentuh imajinasi rakyat tak kenal batas. Ketika dijadikan sebagai sandiwara radio maka semakin menyentuh. Siapa saja disentuhnya. Dulu setiap truk akan menuliskan salah satu tokoh cerita pada baknya. Karya ceritera Nagasasra-Sabuk Inten kadang dinilai sebagai karya sastra yang tidak “mutu” namun pencapaiannya ternyata sulit untuk ditandingi oleh novel lain.
   Karya S.H. Mintardja ini awalnya dimuat setiap hari di harian Kedaulatan Rakyat (KR) pada tahun 1966. Saya mengenal ceritera ini dalam bentuk buku, seluruhnya katanya ada 64 jilid, tiap jilid 80 halaman. Namun pada tahun tahun 1982, rupanya dipadatkan menjadi 32 jilid dengan tebal 160 halaman. Saya pernah membaca penuh yang 32 jilid ini. 
    Buku yang tiap jilid 80 halaman, dulu amat mudah ditemukan bisa di warung koran, kios buku, bahkan warung rokok pun kadang dijual. Tahun 2005 saya melihat dalam cetakan edisi luks, dengan hard cover, berjumlah tiga jilid dengan tebal masing-masing sekitar 800 halaman waktu itu per jilid harganya seratus ribu rupiah.
   Diceriterakan Mahesa Jenar adalah mantan prajurit pilihan di Kerajaan Demak, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amatlah kokohnya dan begitu mahir memainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya akan menjadi senjata yang dapat membahayakan lawan-lawannya. Sepasang matanya yang dalam, memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan lembut. 
   Ia memakai blangkon ikat lembaran. Pakaian yang dikenakannya sangat bersahaja, lurik hijau gadung melati (hijau tua). Di telinga kirinya sering terselip bunga melati. Begitulah sosok wadag Mahesa Jenar menurut SH Mintardja yang tertulis di bukunya.
   Mahesa jenar mengundurkan diri sebagai prajurit Demak, segera setelah sidang para wali yang memutuskan untuk mengeksekusi Syeh Siti Jenar. Salah seorang murid Syeh Siti Jenar adalah Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging. Mahesa Jenar adalah murid Ki Kebo Kenanga. Jadi ia adalah cucu murid dari Syeh Siti Jenar. 
   Ki Kebo Kenanga mempunyai seorang putra bernama Mas Karebet, dibesarkan oleh Nyi Ageng Tingkir. Sepeninggal Ki Kebo Kenanga, Mahesa Jenar pun mencari Mas Karebet. Sunan Kalijaga pernah mengatakan kepada Mahesa Jenar bahwa beliau melihat tanda-tanda pada Mas Karebet kecil. Dalam kewaskitaan Sunan Kalijaga terlihat bahwa Mas Karebet akan menjadi seorang penguasa. Oleh karena Mas Karebet adalah putra gurunya maka Mahesa Jenar ingin bersamanya.
   Namun dalam perjalanannya, ceritera Nagasasra-Sabuk Inten ini, cenderung menceriterakan tentang perebutan kekuasaan di Tanah Perdikan Banyubiru. Kemelut di Demak Bintoro dengan hilangnya kedua keris tersebut hanya sebagai latar belakang. 
   Demikianlah Mahesa Jenar sengaja meninggalkan keraton karena ia merasa punya kewajiban untuk melacak dan menemukan kembali Keris Nagasasra dan Keris Sabuk Inten yang hilang dari gedung pusaka. 
   Di gedung istana Demak Mahesa Jenar bertugas untuk menjaga keamanan. Justru pada saat ia bertugas itulah dua keris itu hilang dicuri orang. Maka ceritera Jawa bernuansa detektif ini pun menjadi sangat menarik untuk diikuti.
   Kedua keris itu akhirnya diperebutkan oleh golongan hitam. Golongan hitam meyakini bahwa bila memiliki sepasang keris itu, maka dirinya sah untuk mendirikan pemerintahan tandingan yang menyaingi kekuasaan Demak. Nama Pasingsingan adalah nama golongan hitam yang menggetarkan. Kesaktian Pasingsingan menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan oleh Pemerintahan Demak dan juga oleh golongan putih.
   Mahesa Jenar di awal ceritera telah terlibat dalam urusan keluarga Perdikan Banyubiru yang sedang berebut kekuasaan. Gajah Sora, sahabat Mahesa Jenar adalah penguasa sah Perdikan Banyubiru, dikhianati oleh adiknya yang bernama Lembu Sora. Mahesa Jenar menyelamatkan Arya Salaka, putra tunggal Gajah Sora. Dalam pengembaraannya berdua, Mahesa Jenar berganti nama menjadi Manahan dan Arya Salaka berganti nama menjadi Bagus Handaka. 
   Mahesa Jenar mempunyai ajian yang dahsyat, bernama ajian Sasra Birawa, sedang sahabatnya Gajah Sora memiliki ajian Lebur Seketi. Namun kedua ajian yang dahsyat ini harus berbenturan melalui tokoh Arya Salaka dan Sawung Sariti putra tunggal Lembu Sora. Arya Salaka dan Sawung Sariti, keduanya adalah cucu Ki Ageng Sora Dipayana pemilik Ajian Lebur Seketi. Karena perebutan kekuasaan itulah keduanya harus saling bertempur.
   Tokoh Mahesa Jenar tak menyukai kekerasan maka bila bertempur tidak pernah membunuh, kecuali terpaksa. Seburuk apa pun tokoh itu, tidak sampai dibunuh. Tokoh-tokoh golongan hitam seperti Sima Rodra penyamun dari Gunung Tidar, atau Lowo Ijo penguasa hutan Mentaok, mereka berdua jahanam sejak awal, tapi mati dengan keikhlasan penuh pertobatan, menyesal dengan kebengisannya.
   Mahesa Jenar dijadikan sebagai seorang detektif dalam hal pencarian pusaka ini. Ia pun terlibat dalam pertempuran individu, maupun pertempuran dalam tata barisan prajurit, layaknya perang Bharatayudha. Mahesa Jenar juga terlibat dalam kisah cinta yang alami dengan Rara Wilis cucu Ki Ageng Pandan Alas.
   Dengan berbagai hambatan dan ujian dalam berbagai pertempuran pribadi maupun kelompok akhirnya Mahesa Jenar di samping dapat mengembalikan Perdikan Banyubiru kepada Arya Salaka, anak Gajah Sora, juga dapat menemukan kembali kedua keris yang telah meninggalkan gedung pusaka Demak. Rara Wilis pun disuntingnya.
   Pandainya SH Mintardja dalam berceritera maka Mahesa Jenar menjadi peraga yang mengesankan. Di samping sakti, ulet, cerdas, penuh perhitungan, ia juga memiliki kelembutan dan keluhuran budi. Bagi yang mengikuti ceritera Nagasasra-Sabuk Inten secara serius, wajarlah jika Mahesa Jenar ini dikagumi seperti tokoh nyata. 
   Lokasi yang digunakan dalam ceritera ini mayoritas lokasi konkret. Di antaranya Lereng Merbabu, Rawa Pening, Gunung Slamet, Gunung Tidar, Nusakambangan, Demak, Candi Gedongsanga, Prambanan, dan Banyubiru. Konon S.H. Mintardja sebelum menulis cerita ini mensurvei sendiri lokasinya sambil membawa peta. 
   Dipercaya bahwa Keris Nagasasra dan Sabuk Inten adalah benar-benar ada dan dinilai sebagai dua keris yang ampuh. Konon, Keris Nagasasra berwarna keunguan, ada lukisan atau relief naga pada bilahnya. Keris dibuat oleh Mpu Supa Madrangki yang hidup pada zaman Majapahit, memiliki luk 13, simbolisasi semangat kebangunan jiwa. Sementara Sabuk Inten dibuat oleh Mpu Domas, juga dari Kerajaan Majapahit, memiliki luk 11, berwarna putih kekuningan, pada gagang keris dihiasi butiran intan yang memutar seperti ikat pinggang. Keris ini menjadi simbolisasi rasa welas asih. 
   Saya mencatat sedikitnya ada tiga ajian dahsyat dalam kisah Nagasasra-Sabuk Inten, barangkali juga bersumber dari olah kebatinan yang ada di Jawa. Ajian Sastra Birawa yang dimiliki Mahesa Jenar, Ajian Lebur Seketi milik Gajah Sora, putra Ki Ageng Sora Dipayana, dan Ajian Lembu Sekilan yang dikuasai Jaka Tingkir. 
   Antara Sastra Birawa dan Lebur Seketi seimbang. Bila Mahesa Jenar menghantamkan Sasra Birawa kepada Gajah Sora, tangannya seolah tertahan selapis baja yang tebalnya sedepa yang bisa balik memukulnya. Sedangkan Ajian Lembu Sekilan dimiliki oleh Jaka Tingkir. Ini ilmu aneh yang membuat semua serangan tak dapat menyentuh tubuh pemiliknya.
   Tokoh lain dalam ceritera ini yang masih saya ingat antara lain: Pudak Wangi, Endang Widuri, Kebo Kanigara, Putut Karangjati, Panembahan Ismaya, Radite, Anggara, Dalang Mantingan, Titis Anganten, Gajah Alit, Wirasaba, Demang Sarayuda, Jaka Soka, Sura Sarunggi, Uling Putih, Uling Kuning, Bugel Kaliki, Lawa Ijo, Galunggung, Umbaran, Nagapasa, Wadas Gunung dan Watu Gunung. 
   Nama yang ada di ceritera ini dan juga tertulis dalam cerita sejarah antara lain; Ki Ageng Pengging, Kebo Kanigara, Joko Tingkir, Sultan Trenggono dan Syeh Siti Jenar. 
   Nama senjata atau ajian yang lain: Keris Sigar Penjalin, Tombak Trisula, Ajian Welut Putih, Ajian Rog-rog Asem, Ajian Braja Geni, Ajian Alas kobar, Cundamanik, dan Pacar Wutah.
   Demikianlah sedikit tentang Mahesa Jenar yang kini dipergunakan sebagai nama salah satu tempat di tengah kota Purbalingga. Atas keterkesannya terhadap ketokohan Mahesa Jenar dalam ceritera Nagasasra-Sabuk Inten ini, maka Gubernur Jawa Tengah, Bapak H. Ismail, saat peresmian gedung ini beliau memberi nama Gedung Olahraga Mahesa Jenar, hanya selang beberapa waktu setelah beliau memberi julukan PSIS dengan nama yang sama Mahesa Jenar.
   Mahesa Jenar terjemahan aslinya adalah Kerbau Merah.
   Mahesa = Kerbau
   Jenar = Merah
   Jene  = Kuning


He, he, he ... sekedar tahu saja!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar