Selasa, 09 Oktober 2012

Upacara Khidmat


Upacara Khidmat
Toto Endargo

Tahun 1972-an. Adalah SMP Negeri 2 Purbalingga. Dengan seragam asli warna abu-abu muda, atas putih, mirip seragam anak SLTA sekarang, --(barangkali seragam SLTA sekarang memang meniru seragam SMP Negeri 2 Purbalingga dulu ya) -- dan dasinya hitam. Postur tubuh pelajar di tahun 1972 sudah tinggi atau besar. Maklumlah saat itu untuk masuk SD minimal tujuh tahun. Jadi ketika SMP usianya sekitar umur 14 – 18 tahun. Setara anak SMA jaman sekarang, karena kelas satu SD sekarang kan ada yang baru berumur 5 atau 6 tahun.
Alkisah salah seorang siswa putra bernama, panggil saja, Si Edi. Bukan Edy Soewatno, kalau yang ini Pak Edy Soewatno guru olahraga. Bukan pula Edy Wiratno, Pak Edy Wiratno, guru Matematika, lagian tahun 1972 beliau belum mengajar di SMP Negeri 2 Purbalingga. Nah, siswa yang bernama Si Edi ini punya bakat agak badung, mbejud. Sering usil. Suka bergurau. Suatu hari berguraulah dia pada hari Senin, di saat upacara pengibaran bendera akan dilaksanakan.
Pada tahun 1972, upacara bendera bagi warga sekolah adalah kegiatan yang “harus” diikuti dengan khidmat. Kepala Sekolah akan langsung menindak setiap gerakan “anti upacara khidmat”. Bayangkan betapa disiplinnya siswa-siswa saat itu. Baris di depan kelas, saat mau masuk kelas, bisa rapi, lurus dan tidak ada seorang pun yang ketinggalan saat baris. Pokoknya semua warga wajib melaksanakan disiplin sekolah denagnserius.
Upacara sekolah dilaksanakan di depan sekolahan. Saat itu wajah SMP Negeri 2 Purbalingga, bagai benteng pertahanan, memang tetap menghadap ke utara. Bagian depan ditembok setinggi sekitar lima meter, membujur dari barat sampai ke timur, namun di tengahnya dibuat menjorok ke selatan sekitar satu setengah meter, bagian yang menjorok ini sebagai pintu utama. Depan sekolahan masih terasa luas, cukup untuk upacara, jalan Letkol Isdiman masih belum selebar sekarang. Dengan tiang bendera berdiri tegak di depan pintu utama. Siswa berbaris rapi menghadap ke selatan, sambil menatap benteng pertahanannya mengikuti upacara. Guru ikut baris menghadap ke barat.
Jika mau menghayati, sikap seluruh warga sekolah saat melaksanakan upacara, pasti ada rasa haru dan bangga. Seragamnya, sikapnya, cara berbaris, sikap ketika menyimak amanat pembina upacara, semuanya berjalan sesuai perannya. Siswa berperan sebagai siswa yang baik dan guru berperan sebagai pamong yang handayani. Ketika memberi hormat, pada saat pengibaran bendera, sangat serempak, kelompok penyanyi Lagu Indonesia Raya sangat kompak pula. Mengapa petugas dan kelompok penyanyi sangat kompak? Ternyata ada persaingan antar kelas, antar para petugas upacara tiap kelas. Sehingga setiap petugas upacara akan berlatih dan berusaha untuk tampil prima, tampil tanpa cela agar tidak lebih jelek dari petugas kelas lain.
“ Kepada Pembina Upacara, hormaaaaatttttt .. grak!” tangan kanan siswa secara serempak sikunya membentuk sudut, dengan telapak tangan menghadap ke bawah, ujung jari telunjuk nyaris menyentuh alis mata kanan. Barisan guru bersikap yang sama dengan siswanya, memberi hormat pada Pembina Upacara. Tiga detik kemudian, Pembina Upacara membalas salam hormat nasional model militer ini dengan membentuk sikap hormat yang sama. Di saat juluran telapak tangan masih di depan dahi, pembina upacara sedikit menggerakkan muka ke kanan dan ke kiri, pandangan mata tajam namun lembut menyapu seluruh peserta upacara, ke tengah lagi dan dengan segera tangan pembina upacara kembali kesikap semula.
“ Tegaaaaaakk ... grak!” maka semua peserta upacara kini kembali dengan sikap semula. Dalam keadaan sikap sempurna, posisi siap. Tangan mengepal, dengan jempol jari menghadap ke bawah lurus jahitan samping, celana mereka masing-masing.
Nah, ketika Si Edi polah menjelang upacara di hari Senin, suasana upacara bendera yang biasanya khidmat jadi berbeda. Konon ketika Bapak Soedarsono, Kepala Sekolah, sudah memasuki arena upacara, eh Si Edi ini masih bergurau. Baju teman di depannnya yang sudah rapi ditarik-tariknya agar lepas dari kerapiannya. Maka terdengarlah gelegar suara Pak Darsono lewat pengeras suara, membuat seluruh peserta upacara langsung hening, tintrim! Seluruh kepala tertunduk. Edi sebagai terdakwa. Digelandang maju bagai pesakitan. “Kawuss. Dasar Jiweng! Mbejud! Kawuss..!” begitu kurang lebih suara hati seluruh peserta upacara. Untuk membuat jera si Edi, ia diumumkan dan dipamerkan kepada peserta upacara oleh Pak Darsono sendiri. Si Edi ini tidak dikembalikan ke barisan. Cara jitu untuk membuat efek jera baik bagi Si Edi maupun siswa yang lain, maka Si Edi disuruhnya, dicangar, untuk berdiri di depan peserta upacara. Panasan! Kawusss!
Alkisah! Upacara pun dimulai, sampai kepada laporan kepada komandan upacara, Edi berdiri gelisah. Akhirnya sampailah pada acara, “ Pasukan disiapkan. Pembina Upacara memasuki lapangan upacara!” Suasana hening kembali menyentuh. Jalan raya yang saat itu masih sepi, semakin sepi. Tintrim! Bapak Soedarsono dengan jalannya yang khas, arloji metal putih yang besar berkilauan, beliau melangkah menempatkan diri. Kupluknya hitam, cara memakainya mirip berpecinya Bung Karno. Berdiri tegak. Pak Darsono, konon, adalah salah satu anggota Pasukan Pelajar IMAM, jadi termasuk pejuang penegak kemerdekaan juga. Punya wibawa besar di sekolah ini. Kini Si Edi berdiri jadi “pesakitan”, berada sekitar tiga meter di sebelah kiri tempat Pak Darsono sebagai pembina upacara..
Suara pembawa acara terdengar nyaring di tengah keheningan, “ Penghormatan kepada Pembina Upacara!”
“ Kepada Pembina Upacara, hormaaattt ... grak!” serempak guru dan siswa membuat gerakan menghormat. Mata menatap ke depan. Hari ini ada dua figur yang masuk dengan jelas ke retina mata mereka masing-masing. Pak Darsono dan Edi Jiweng! Hormat balasan!
Tiga detik kemudian, Pak Darsono dan Edi Jiweng ternyata membuat gerakan yang nyaris bersama-sama, membalas salam hormat seluruh peserta upacara. Edaaaann, Edi Jiweng ini pun membuat gerakan menyapu, muka dan pandangan matanya menengok ke kanan, ke kiri, berhenti di tengah sementara telapak tangannya masih tetap lurus di depan dahi,  dan menyelesaikan hormat balasannya dengan sempurna, bersama-sama dengan gerakan Pak Darsono.
Dasar mbejud! Rupanya Si Edi Jiweng ini pun menikmati salam hormat dari peserta upacara, guru dan siswa dianggapnya memberi hormat padanya! Ia pun sengaja membalasnya dengan sempurna.
Hah! Pertunjukan ini menjadi pertunjukan yang luar biasa saat itu. Wajah sumringah, perut kaku, kaki oyag, pundak bergetar, bibir digigit, pipi njendhol, mulut dibingkem, mewabah ke seluruh peserta upacara, terutama untuk anak putri. Gerakan mengambil nafas panjang, menghembuskan nafas perlahan menjadi trend sesaat. Semua dilakukan untuk menahan tawa geli yang harus keluar. Kawuss! Kecuali Bapak Soedarsono, tentunya, tidak terkena wabah ini.
Begitulah sekilas ceritera dari tahu 1970-an. Semoga membuat yang ingat jadi teringat!
Salam hormat, untuk Bapak Soedarsono dan Pak Edi, saya mohon maaf jika cerita ini saya tulis di blog. Untuk keluarga Bapak Soedarsono dan Pak Edi, saya juga mohon maaf, jika ceritera ini mengingatkan masa lalu.
Kesimpulannya: Jangan menaruh siswa terhukum di dekat Pembina Upacara! Bisa berakibat merusak kekhidmatan upacara.
Boleh usil jika ceritera ini tidak benar. Boleh usul jika ceritera ini kurang lengkap!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar