Upacara
Khidmat
Toto Endargo
Tahun 1972-an. Adalah SMP Negeri 2
Purbalingga. Dengan seragam asli warna abu-abu muda, atas putih, mirip seragam
anak SLTA sekarang, --(barangkali seragam SLTA sekarang memang meniru seragam
SMP Negeri 2 Purbalingga dulu ya) -- dan dasinya hitam. Postur tubuh pelajar di
tahun 1972 sudah tinggi atau besar. Maklumlah saat itu untuk masuk SD minimal
tujuh tahun. Jadi ketika SMP usianya sekitar umur 14 – 18 tahun. Setara anak
SMA jaman sekarang, karena kelas satu SD sekarang kan ada yang baru berumur 5
atau 6 tahun.
Alkisah salah seorang siswa putra
bernama, panggil saja, Si Edi. Bukan Edy Soewatno, kalau yang ini Pak Edy
Soewatno guru olahraga. Bukan pula Edy Wiratno, Pak Edy Wiratno, guru
Matematika, lagian tahun 1972 beliau
belum mengajar di SMP Negeri 2 Purbalingga. Nah, siswa yang bernama Si Edi ini
punya bakat agak badung, mbejud.
Sering usil. Suka bergurau. Suatu hari berguraulah dia pada hari Senin, di saat
upacara pengibaran bendera akan dilaksanakan.
Pada tahun 1972, upacara bendera
bagi warga sekolah adalah kegiatan yang “harus” diikuti dengan khidmat. Kepala
Sekolah akan langsung menindak setiap gerakan “anti upacara khidmat”. Bayangkan
betapa disiplinnya siswa-siswa saat itu. Baris di depan kelas, saat mau masuk kelas,
bisa rapi, lurus dan tidak ada seorang pun yang ketinggalan saat baris.
Pokoknya semua warga wajib melaksanakan disiplin sekolah denagnserius.
Upacara sekolah dilaksanakan di
depan sekolahan. Saat itu wajah SMP Negeri 2 Purbalingga, bagai benteng pertahanan,
memang tetap menghadap ke utara. Bagian depan ditembok setinggi sekitar lima
meter, membujur dari barat sampai ke timur, namun di tengahnya dibuat menjorok
ke selatan sekitar satu setengah meter, bagian yang menjorok ini sebagai pintu
utama. Depan sekolahan masih terasa luas, cukup untuk upacara, jalan Letkol
Isdiman masih belum selebar sekarang. Dengan tiang bendera berdiri tegak di
depan pintu utama. Siswa berbaris rapi menghadap ke selatan, sambil menatap
benteng pertahanannya mengikuti upacara. Guru ikut baris menghadap ke barat.
Jika mau menghayati, sikap seluruh
warga sekolah saat melaksanakan upacara, pasti ada rasa haru dan bangga.
Seragamnya, sikapnya, cara berbaris, sikap ketika menyimak amanat pembina
upacara, semuanya berjalan sesuai perannya. Siswa berperan sebagai siswa yang
baik dan guru berperan sebagai pamong yang
handayani. Ketika memberi hormat, pada saat pengibaran bendera, sangat
serempak, kelompok penyanyi Lagu Indonesia Raya sangat kompak pula. Mengapa
petugas dan kelompok penyanyi sangat kompak? Ternyata ada persaingan antar
kelas, antar para petugas upacara tiap kelas. Sehingga setiap petugas upacara
akan berlatih dan berusaha untuk tampil prima, tampil tanpa cela agar tidak
lebih jelek dari petugas kelas lain.
“ Kepada Pembina Upacara,
hormaaaaatttttt .. grak!” tangan kanan siswa secara serempak sikunya membentuk
sudut, dengan telapak tangan menghadap ke bawah, ujung jari telunjuk nyaris
menyentuh alis mata kanan. Barisan guru bersikap yang sama dengan siswanya,
memberi hormat pada Pembina Upacara. Tiga detik kemudian, Pembina Upacara
membalas salam hormat nasional model militer ini dengan membentuk sikap hormat
yang sama. Di saat juluran telapak tangan masih di depan dahi, pembina upacara
sedikit menggerakkan muka ke kanan dan ke kiri, pandangan mata tajam namun
lembut menyapu seluruh peserta upacara, ke tengah lagi dan dengan segera tangan
pembina upacara kembali kesikap semula.
“ Tegaaaaaakk ... grak!” maka semua
peserta upacara kini kembali dengan sikap semula. Dalam keadaan sikap sempurna,
posisi siap. Tangan mengepal, dengan jempol jari menghadap ke bawah lurus
jahitan samping, celana mereka masing-masing.
Nah, ketika Si Edi polah menjelang
upacara di hari Senin, suasana upacara bendera yang biasanya khidmat jadi
berbeda. Konon ketika Bapak Soedarsono, Kepala Sekolah, sudah memasuki arena
upacara, eh Si Edi ini masih bergurau. Baju teman di depannnya yang sudah rapi
ditarik-tariknya agar lepas dari kerapiannya. Maka terdengarlah gelegar suara
Pak Darsono lewat pengeras suara, membuat seluruh peserta upacara langsung
hening, tintrim! Seluruh kepala
tertunduk. Edi sebagai terdakwa. Digelandang maju bagai pesakitan. “Kawuss. Dasar Jiweng! Mbejud! Kawuss..!”
begitu kurang lebih suara hati seluruh peserta upacara. Untuk membuat jera si
Edi, ia diumumkan dan dipamerkan kepada peserta upacara oleh Pak Darsono
sendiri. Si Edi ini tidak dikembalikan ke barisan. Cara jitu untuk membuat efek
jera baik bagi Si Edi maupun siswa yang lain, maka Si Edi disuruhnya, dicangar, untuk berdiri di depan peserta
upacara. Panasan! Kawusss!
Alkisah! Upacara pun dimulai, sampai
kepada laporan kepada komandan upacara, Edi berdiri gelisah. Akhirnya sampailah
pada acara, “ Pasukan disiapkan. Pembina Upacara memasuki lapangan upacara!”
Suasana hening kembali menyentuh. Jalan raya yang saat itu masih sepi, semakin
sepi. Tintrim! Bapak Soedarsono
dengan jalannya yang khas, arloji metal putih yang besar berkilauan, beliau
melangkah menempatkan diri. Kupluknya hitam, cara memakainya mirip berpecinya
Bung Karno. Berdiri tegak. Pak Darsono, konon, adalah salah satu anggota
Pasukan Pelajar IMAM, jadi termasuk pejuang penegak kemerdekaan juga. Punya
wibawa besar di sekolah ini. Kini Si Edi berdiri jadi “pesakitan”, berada
sekitar tiga meter di sebelah kiri tempat Pak Darsono sebagai pembina upacara..
Suara pembawa acara terdengar
nyaring di tengah keheningan, “ Penghormatan kepada Pembina Upacara!”
“ Kepada Pembina Upacara, hormaaattt
... grak!” serempak guru dan siswa membuat gerakan menghormat. Mata menatap ke
depan. Hari ini ada dua figur yang masuk dengan jelas ke retina mata mereka
masing-masing. Pak Darsono dan Edi Jiweng! Hormat balasan!
Tiga detik kemudian, Pak Darsono dan
Edi Jiweng ternyata membuat gerakan yang nyaris bersama-sama, membalas salam
hormat seluruh peserta upacara. Edaaaann, Edi Jiweng ini pun membuat gerakan
menyapu, muka dan pandangan matanya menengok ke kanan, ke kiri, berhenti di
tengah sementara telapak tangannya masih tetap lurus di depan dahi, dan menyelesaikan hormat balasannya dengan sempurna,
bersama-sama dengan gerakan Pak Darsono.
Dasar
mbejud!
Rupanya Si Edi Jiweng ini pun menikmati salam hormat dari peserta upacara, guru
dan siswa dianggapnya memberi hormat padanya! Ia pun sengaja membalasnya dengan
sempurna.
Hah! Pertunjukan ini menjadi
pertunjukan yang luar biasa saat itu. Wajah sumringah, perut kaku, kaki oyag,
pundak bergetar, bibir digigit, pipi njendhol, mulut dibingkem, mewabah ke
seluruh peserta upacara, terutama untuk anak putri. Gerakan mengambil nafas
panjang, menghembuskan nafas perlahan menjadi trend sesaat. Semua dilakukan
untuk menahan tawa geli yang harus keluar. Kawuss!
Kecuali Bapak Soedarsono, tentunya, tidak terkena wabah ini.
Begitulah sekilas ceritera dari tahu
1970-an. Semoga membuat yang ingat jadi teringat!
Salam hormat, untuk Bapak Soedarsono
dan Pak Edi, saya mohon maaf jika cerita ini saya tulis di blog. Untuk keluarga
Bapak Soedarsono dan Pak Edi, saya juga mohon maaf, jika ceritera ini
mengingatkan masa lalu.
Kesimpulannya: Jangan menaruh siswa
terhukum di dekat Pembina Upacara! Bisa berakibat merusak kekhidmatan upacara.
Boleh usil jika ceritera ini tidak
benar. Boleh usul jika ceritera ini kurang lengkap!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar