Selasa, 09 Oktober 2012

Tas Pesagi

TAS PESAGI

Purbalingga, Desember 1986.
Bangga dengan sesuatu yang baru adalah wajar. Tas sekolah bentuk segi empat, anak-anak menyebutnya tas pesagi, yang berwarna hitam dikombinasi biru, dengan model tas cangklong, benar-benar baru. Setelah merengek-rengek sebelas hari. Terkabullah keinginannya. Tantenya yang direngeki pun merasa kesal. Navi mendapat “hadiah” tas tersebut. Harganya dua ribu rupiah, setara tiga bulan uang sekolah. Tas baru ini sudah menjadi kebanggaan Navi selama dua hari di sekolahnya.
Nurul adalah siswa kelas satu, memiliki wajah damai, tatapan redup. Kecantikannya membuat seluruh penghuni sekolah mengenalnya. Minimal tahu namanya. Sifat tidak banyak tingkah membuat Nurul semakin menarik. Tidak heran jika Navi yang sudah kelas tiga, sangat tertarik dan merasa harus mengenal remaja putri dengan rambut sepundak nan semampai ini secara istimewa. Ia ingin dinyatakan lebih akrab dibanding teman seangkatannya.
Rabu, siang yang terik. Di saat pulang sekolah. Navi menghampiri Mamet.
Sepulang sekolah kau harus tetap di rumah. Berikutnya kau harus menemani aku” kata Navi kepada Mamet sambil mencangklong tas pesaginya, “Aku mau ke tempat Nurul”
“Hah! Temenan apa?”
“Ya temenan! Rumahmu kan dekat rumahnya. Jadi nanti aku menitipkan sepeda di tempatmu”
“Navi, nanti kamu dimarahi sama Budi lho!” kata Mamet setelah hening sejenak.
Ora. Wong aku mengko dikancani Budi, qoh!” jawab Navi seperti menang perang.
“Oooh! Ya wis. Aku manut. Aku nunggu di jalan!”

****  
Sampai di rumah, Navi mandi dan sholat dzuhur. Ketika berdoa ada bayangan Nurul memenuhi benaknya. Makan dengan cepat. Pergi ke depan cermin. Disapu rambutnya dengan tangan kanan. Ditatapnya wajahnya. Sambil menutupi mulutnya, ia mengagumi dirinya. Diraihnya tas pesagi, dikeluarkannya seluruh buku di dalamnya. Dicangklong, dipantas-pantaskan letak tas agar menggantung manis di pundaknya.
Diciumnya tas tersebut dengan penuh perasaan.
Siang demikian terik namun Navi dan Budi bersepeda ke Penaruban. Setelah melewati jembatan Sungai Klawing, ada balai desa, seharusnya keduanya belok kiri namun keduanya enggan belok kiri. Takut ketahuan oleh guru PMP. Keduanya terus lurus, ada pertigaan, belok kiri. Suara kerikil terkena ban sepeda mengiringi keduanya hingga muncullah wajah Mamet dengan senyum semringah. Ternyata dengan tas pesagi Navi nampak semakin keren.

***
Sebuah rumah dengan halaman batu gragal diatur rapi, di bagian depan dan sampingnya penuh tanaman. Ada pohon rambutan besar membuat suasana teduh. Rumah bercat warna agak kehijauan itu lengang. Lantai tegel mengkilap, menyambut ketiga jejaka tanggung ini. Dengan awalan kulonuwun dan memamerkan tas, Navi memperkenalkan diri sebagai teman sekolah Nurul pada gadis dengan wajah sedikit mirip Nurul. Mereka dipersilakan masuk.
“Itu tadi kakaknya ya?” tanya Budi perihal gadis yang kemudian masuk rumah.
“Iya! Mbak Titis!” jawab Mamet.
Tujuh menit kemudian Nurul dengan baju berkrah bulat warna merah muda, rok selutut warna hitam memasuki ruang tamu. Sekilas kemudian Nurul melihat wajah kagum Navi saat memandangnya, rahang Navi sedikit membuka. Gerakan reflek Navi pun terulang, telapak tangan kanan digunakannya untuk menutup dan mengusap mulut, tiga detik. Lalu membetulkan letak tas pesagi di pundaknya.
Sekitar dua menit kemudian kakak Nurul muncul lagi dengan membawa empat gelas teh manis dan satu kaleng biskuit yang kini isinya bukan biskuit tapi kacang kulit goreng.
“Teman Mamet, ya?” pertanyaan Titis langsung ke Mamet dengan senyum ramah. Mamet mengangguk.
“Ini siapa?” Tanya Titis sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Budi.
“Saya Budi!” balas pelajar berkumis ini dengan sopan sambil bersalaman.
“Saya Navi!” Navi memperkenalkan diri. Bersalaman dan kemudian membetulkan letak tas pesagi di pundaknya. Kakak Nurul tertarik dengan tas Navi. Menatapnya sejenak.
“Tas yang bagus” kalimat Titis singkat. Ada rasa bangga yang seakan meledakkan dada Navi.
“Silakan, jangan malu di sini. Minuman dan kacang kulit goreng ini boleh dihabiskan?” kata Titis dengan ramah.
“Kalau tidak habis bagaimana?” tanya Budi. Nurul hanya tersenyum.
“Yah, boleh dibawa pulang!” jawab Titis, kakak Nurul. Wajah ketiga remaja putra ini semakin berseri. Ternyata keluarga Nurul begitu ramah menyambut mereka.
Keluarga ideal!” batin Navi.

***   
Lima menit setelah terdengar azan asar selesai. Mamet minta pamit, ada pekerjaan di rumah. Navi merengut, Budi kecewa. Dan ketiganya pamit. Nurul hanya tersenyum dan menganggukkan kepala saat ketiganya berpamitan.
“Ada yang harus kubawa dari rumah Nurul sebagai bukti kehadiranku di sini” kata hati Navi
Ide yang sangat cemerlang!
“Maaf, boleh saya membawa sedikit kacang kulit ini?” Nurul mengangguk dengan mata redupnya. Baru satu genggaman yang masuk ke tas, Titis, kakak Nurul tiba-tiba sudah muncul di antara mereka.
“Nggak papa, masih banyak. Bawa semuanya saja!” suaranya sangat ramah. Navi bengong, dan Budi melongo saat tas pesagi kebanggaan Navi secara sopan dan perlahan ditumpahi kacang kulit goreng. Berpidahlah seluruh kacang goreng kulit dari kaleng biskuit ke dalam tas Navi.
Hari yang luar biasa bagi Navi. Kebahagiaan yang sulit untuk dilupakan.
Saat mengambil sepeda di rumah Mamet, dengan memelas Budi minta bagian kacang kulit, Navi menolaknya.
“Nggak boleh!” katanya ketus, “Besok akan aku pamerkan ke Heru, Pujiono, Ndoti, Syamsul, Parjas, Aris. Uhgh .... !” Budi nelangsa. Tapi dinikmatinya juga wajah Navi saat memanjangkan bunyi ‘uhgh...’!
“Bud, donge ko toli ngesak wedange bae, teh manise dilebokna sak, Bud!” Budi diam saja.
Demikianlah di tas pesagi kebanggaan Navi ada sekaleng kacang kulit goreng yang sangat berharga baginya. Sesampai di kamarnya, diseleretkannya resluiting tas dengan rapat-rapat, sempurna. Hati-hati ditaruhnya tas pesagi itu di kolong tempat tidur agar tidak ketahuan seluruh penghuni rumah.
“Istirahatlah kacang kulit, esok hari kau akan menjadi salah satu senjata kebanggaanku! Pasti akan membuat seluruh temanku cemberut, cemburu dan iri berat!”

**** 
Malam pun berlalu. Kelelahan seharian membuat Navi tertidur sangat pulas. Setengah lima pagi Navi bangun, mandi dan sholat shubuh. Saat berdoa, kembali wajah Nurul memenuhi benaknya. Lalu wajah teman-temannya, para pesaingnya dalam mengenal Nurul, berkelebatan.
“Akulah pemenangnya!” kata hatinya.
Buku dan alat tulis untuk hari ini disiapkan. Tinggal dijebloskan ke tas pesagi kebanggaannya. Jam enam dia benar-benar sudah siap berangkat sekolah. Dengan hati berbunga ia melongok kolong tempat tidur. Ada gundukan hitam terlihat. Tas pesagi. Ada ceceran kecil di sekitarnya. Apa itu? Segera diraihnya tas pesagi itu dengan juluran kaki. Lalu diperiksanya.
Tiada kata terucap! Dadanya berdegup! 
Diliriknya pintu kamar. Tadi malam tentu dia lupa menutup pintu kamar apalagi menguncinya. Dia diam membisu. Badannya kembali ia tengkurapkan ke tempat tidur. Dadanya sesak, berguncang-guncang. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Matanya perih. Perutnya mulas.
Hari Kamis, 11 Desember 1986. Jam tujuh lewat lima, di kelasnya, di papan absen tertulis. Navi - S.  Hari ini Navi tidak masuk sekolah karena sakit. Sakit apa?
Navi sakit hati! Rupa-rupanya semalam serombongan tikus telah mematahkan seluruh semangat hidup Navi. Menggerogoti dan mencabik dua pojok tas pesagi kebanggaannya. Mengaduk-aduk dan memakan kacang kulit goreng kenangan yang tersimpan di dalamnya. “Enak tenan!” begitu mungkin gumam para tikus.
Jam satu seperempat. Siang hari.
“Assalamu’alaikum!” terdengar jelas suara Heru. Dan di belakang Heru ada Pujiono, Aris, Arif, Syamsul, Mamet, Tutuko, Bangun, Parjas, Wasis, Badrun dan Ndoti. Mereka ada di balik pintu depan. Menengok Navi sakit!
Astaghfirullah!
Sambil menutupi mulutnya Navi terpaksa menemui “komplotan” tersebut. Seperti biasanya mereka pun langsung masuk ke kamar Navi.
“Kacang goreng dari tempat Nurul masih, Navi?” tanya Mamet. Tidak ada jawaban dari mulut Navi namun jari telunjuknya diarahkan ke kolong tempat tidur. Mamet melongok kolong tempat tidur. Di raihnya tas pesagi. Prull! Ada ceceran jatuh dari tas. Dan ketika tampak nyata bahwa tas Navi berlubang di kedua pojoknya, Mamet tertegun, “Kok bolong!” gumamnya.
“Tikus!” jawab Navi!
“Hah! Syukur!” kata Mamet keras-keras!
Ketika teman-temannya mengolok-olok Navi, Badrun diam saja. Ia tampak sangat sopan. Namun sesungguhnya nama dan wajah Nurul sedang berkibar di benak Badrun!
Hanya tiga hari tas pesagi itu menjadi kebanggaan Navi!
Nasib!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar