TAS PESAGI
Bangga dengan
sesuatu yang baru adalah wajar. Tas sekolah bentuk segi empat, anak-anak menyebutnya tas pesagi, yang berwarna
hitam dikombinasi biru, dengan model tas
cangklong, benar-benar baru. Setelah merengek-rengek
sebelas hari. Terkabullah keinginannya. Tantenya yang direngeki pun merasa
kesal. Navi mendapat “hadiah” tas tersebut. Harganya dua ribu rupiah, setara
tiga bulan uang sekolah. Tas baru ini sudah menjadi
kebanggaan Navi selama dua hari di sekolahnya.
Nurul adalah
siswa kelas satu, memiliki wajah damai, tatapan redup. Kecantikannya membuat
seluruh penghuni sekolah mengenalnya. Minimal tahu namanya. Sifat tidak banyak
tingkah membuat Nurul semakin menarik. Tidak heran jika Navi
yang sudah kelas tiga, sangat tertarik dan merasa harus mengenal remaja putri
dengan rambut sepundak nan semampai ini secara istimewa. Ia ingin dinyatakan
lebih akrab dibanding teman seangkatannya.
Rabu, siang
yang terik. Di saat pulang sekolah. Navi menghampiri
Mamet.
“Sepulang
sekolah kau harus tetap di rumah. Berikutnya kau harus
menemani aku” kata Navi kepada Mamet sambil mencangklong tas pesaginya, “Aku
mau ke tempat Nurul”
“Hah!
Temenan apa?”
“Ya temenan! Rumahmu kan dekat rumahnya. Jadi nanti aku menitipkan sepeda di tempatmu”
“Navi, nanti
kamu dimarahi sama Budi lho!” kata Mamet setelah hening sejenak.
“Ora. Wong aku
mengko dikancani Budi, qoh!” jawab Navi seperti menang perang.
“Oooh! Ya wis.
Aku manut. Aku nunggu di jalan!”
****
Sampai di rumah,
Navi mandi dan sholat dzuhur. Ketika berdoa ada bayangan Nurul memenuhi
benaknya. Makan dengan cepat. Pergi ke depan cermin. Disapu rambutnya dengan
tangan kanan. Ditatapnya wajahnya. Sambil menutupi mulutnya, ia mengagumi
dirinya. Diraihnya tas pesagi, dikeluarkannya seluruh buku di dalamnya. Dicangklong, dipantas-pantaskan letak tas agar menggantung manis di pundaknya.
Diciumnya tas
tersebut dengan penuh perasaan.
Siang demikian terik namun Navi dan Budi bersepeda ke Penaruban.
Setelah melewati jembatan Sungai Klawing, ada
balai desa, seharusnya keduanya belok kiri namun keduanya
enggan belok kiri. Takut ketahuan oleh guru
PMP. Keduanya terus lurus, ada pertigaan, belok kiri. Suara kerikil terkena ban
sepeda mengiringi keduanya hingga muncullah
wajah Mamet dengan senyum semringah. Ternyata dengan tas pesagi Navi nampak
semakin keren.
***
Sebuah rumah
dengan halaman batu gragal diatur rapi, di bagian depan dan sampingnya penuh
tanaman. Ada pohon rambutan besar membuat suasana teduh. Rumah bercat warna
agak kehijauan itu lengang. Lantai tegel mengkilap,
menyambut ketiga jejaka tanggung ini. Dengan awalan kulonuwun dan
memamerkan tas, Navi memperkenalkan diri sebagai teman sekolah Nurul pada gadis
dengan wajah sedikit mirip Nurul. Mereka dipersilakan masuk.
“Itu tadi
kakaknya ya?” tanya Budi perihal gadis yang kemudian masuk rumah.
“Iya! Mbak Titis!” jawab Mamet.
Tujuh menit
kemudian Nurul dengan baju berkrah bulat warna merah
muda, rok selutut warna hitam memasuki ruang tamu. Sekilas kemudian Nurul
melihat wajah kagum Navi saat memandangnya, rahang Navi sedikit membuka. Gerakan
reflek Navi pun terulang, telapak tangan kanan digunakannya untuk menutup dan
mengusap mulut, tiga detik. Lalu membetulkan letak tas pesagi di pundaknya.
Sekitar dua
menit kemudian kakak Nurul muncul lagi dengan membawa empat gelas teh manis dan
satu kaleng biskuit yang kini isinya bukan biskuit tapi kacang kulit goreng.
“Teman Mamet,
ya?” pertanyaan Titis langsung ke Mamet dengan senyum ramah.
Mamet mengangguk.
“Ini siapa?” Tanya Titis sambil
menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Budi.
“Saya Budi!”
balas pelajar berkumis ini dengan sopan sambil bersalaman.
“Saya Navi!”
Navi memperkenalkan diri. Bersalaman dan kemudian membetulkan letak tas pesagi
di pundaknya. Kakak Nurul tertarik dengan tas Navi. Menatapnya sejenak.
“Tas yang bagus”
kalimat Titis singkat. Ada rasa bangga yang seakan meledakkan dada Navi.
“Silakan, jangan
malu di sini. Minuman dan kacang kulit goreng ini boleh dihabiskan?” kata Titis dengan ramah.
“Kalau tidak
habis bagaimana?” tanya Budi. Nurul hanya tersenyum.
“Yah, boleh
dibawa pulang!” jawab Titis, kakak Nurul. Wajah ketiga remaja putra
ini semakin berseri. Ternyata keluarga Nurul begitu ramah menyambut mereka.
“Keluarga
ideal!” batin Navi.
***
Lima menit
setelah terdengar azan asar selesai. Mamet minta pamit, ada pekerjaan di rumah.
Navi merengut, Budi kecewa. Dan ketiganya pamit. Nurul hanya tersenyum dan
menganggukkan kepala saat ketiganya berpamitan.
“Ada yang harus
kubawa dari rumah Nurul sebagai bukti kehadiranku di sini” kata hati Navi.
Ide yang sangat cemerlang!
Ide yang sangat cemerlang!
“Maaf, boleh
saya membawa sedikit kacang kulit ini?” Nurul mengangguk dengan mata redupnya.
Baru satu genggaman yang masuk ke tas, Titis, kakak Nurul
tiba-tiba sudah muncul di antara mereka.
“Nggak papa,
masih banyak. Bawa semuanya saja!” suaranya sangat ramah. Navi bengong, dan Budi
melongo saat tas pesagi kebanggaan Navi secara sopan dan perlahan ditumpahi
kacang kulit goreng. Berpidahlah seluruh kacang goreng kulit dari kaleng
biskuit ke dalam tas Navi.
Hari yang luar
biasa bagi Navi. Kebahagiaan yang sulit untuk dilupakan.
Saat mengambil
sepeda di rumah Mamet, dengan memelas Budi minta bagian kacang kulit, Navi menolaknya.
“Nggak boleh!”
katanya ketus, “Besok akan aku pamerkan ke Heru, Pujiono, Ndoti, Syamsul,
Parjas, Aris. Uhgh .... !” Budi nelangsa. Tapi dinikmatinya juga wajah Navi
saat memanjangkan bunyi ‘uhgh...’!
“Bud, donge ko
toli ngesak wedange bae, teh manise dilebokna sak, Bud!” Budi diam saja.
Demikianlah di
tas pesagi kebanggaan Navi ada sekaleng kacang kulit goreng yang sangat
berharga baginya. Sesampai di kamarnya, diseleretkannya resluiting
tas dengan rapat-rapat, sempurna. Hati-hati ditaruhnya tas pesagi itu di kolong
tempat tidur agar tidak ketahuan seluruh penghuni rumah.
“Istirahatlah
kacang kulit, esok hari kau akan menjadi salah satu senjata kebanggaanku! Pasti akan membuat
seluruh temanku cemberut, cemburu dan iri berat!”
****
Malam pun
berlalu. Kelelahan seharian membuat Navi tertidur sangat pulas. Setengah lima
pagi Navi bangun, mandi dan sholat shubuh. Saat berdoa, kembali wajah Nurul
memenuhi benaknya. Lalu wajah teman-temannya, para pesaingnya dalam mengenal
Nurul, berkelebatan.
“Akulah
pemenangnya!” kata hatinya.
Buku dan alat
tulis untuk hari ini disiapkan. Tinggal dijebloskan ke tas pesagi
kebanggaannya. Jam enam dia benar-benar sudah siap berangkat sekolah. Dengan hati
berbunga ia melongok kolong tempat tidur. Ada gundukan hitam terlihat. Tas
pesagi. Ada ceceran kecil di sekitarnya. Apa itu? Segera diraihnya tas pesagi
itu dengan juluran kaki. Lalu diperiksanya.
Tiada kata
terucap! Dadanya berdegup!
Diliriknya pintu kamar. Tadi malam tentu dia lupa menutup pintu kamar apalagi menguncinya. Dia diam membisu. Badannya kembali ia tengkurapkan ke tempat tidur. Dadanya sesak, berguncang-guncang. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Matanya perih. Perutnya mulas.
Diliriknya pintu kamar. Tadi malam tentu dia lupa menutup pintu kamar apalagi menguncinya. Dia diam membisu. Badannya kembali ia tengkurapkan ke tempat tidur. Dadanya sesak, berguncang-guncang. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Matanya perih. Perutnya mulas.
Hari Kamis, 11 Desember 1986. Jam tujuh lewat lima, di kelasnya, di
papan absen tertulis. Navi - S. Hari ini Navi tidak masuk sekolah karena sakit.
Sakit apa?
Navi sakit hati!
Rupa-rupanya semalam serombongan tikus telah mematahkan seluruh semangat
hidup Navi. Menggerogoti dan mencabik dua pojok
tas pesagi kebanggaannya. Mengaduk-aduk dan memakan kacang kulit goreng
kenangan yang tersimpan di dalamnya. “Enak tenan!” begitu mungkin gumam para tikus.
Jam satu
seperempat. Siang hari.
“Assalamu’alaikum!” terdengar jelas suara Heru. Dan di belakang Heru ada Pujiono, Aris, Arif, Syamsul,
Mamet, Tutuko, Bangun, Parjas, Wasis, Badrun dan Ndoti. Mereka ada di balik
pintu depan. Menengok Navi sakit!
Astaghfirullah!
Sambil menutupi
mulutnya Navi terpaksa menemui “komplotan” tersebut. Seperti biasanya mereka pun langsung masuk ke kamar Navi.
“Kacang goreng dari
tempat Nurul masih, Navi?” tanya Mamet. Tidak ada jawaban dari mulut Navi namun
jari telunjuknya diarahkan ke kolong tempat tidur. Mamet melongok kolong tempat
tidur. Di raihnya tas pesagi. Prull! Ada ceceran jatuh dari tas. Dan ketika
tampak nyata bahwa tas Navi berlubang di kedua pojoknya, Mamet tertegun, “Kok
bolong!” gumamnya.
“Tikus!” jawab
Navi!
“Hah! Syukur!” kata
Mamet keras-keras!
Ketika
teman-temannya mengolok-olok Navi, Badrun diam saja. Ia tampak sangat sopan. Namun sesungguhnya nama dan wajah Nurul sedang berkibar di benak Badrun!
Hanya tiga hari tas
pesagi itu menjadi kebanggaan Navi!
Nasib!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar