Lah - Dhing
Menyimak lagi dialek Banyumas.
Dialek Banyumasan itu luar biasa. Sejak kecil
saya sudah meyadari bahwa dalam dialek Banyumas ada sesuatu yang khas, salah
satu di antaranya penggunaan bunyi “lah”, sebagai kata seru, bukan akhiran.
Kata lah kebanyakan dipakai pada
kalimat-kalimat pendek dan ditaruh di akhir kalimat! Cenderung bermakna sebagai
penguat, penegas permintaan/permohonan dari kata yang ada di depannya!
Contoh:
Aja kaya kuwe lah! = mohon jangan seperti hal itu
Mandan nganah lah! = mohon agak menjauh
Mengko lah! =
mohon jangan sekarang ( nanti )
Uwis lah! =
mohon disudahi
Aja lah! =
mohon jangan dilakukan
Dalam bahasa Indonesia “lah” dimasukkan sebagai partikel, akhiran, bukan kata seru. Lah di sini tidak harus berada pada kata
di akhir kalimat. Fungsinya terutama hanya sebagai penegas!
Contoh:
Inilah
kisah seorang pengembara .....
Jika sekarang banyak orang menggunakan bunyi lah
sebagai kata seru, pada kalimat
pendek dan ditaruh di akhir kalimat, barangkali hal tersebut karena pengaruh
dialek Banyumas.
Contohnya:
Oke lah!
Ya, sudah lah!
Jangan sekarang, besok saja lah!
Dalam basa “wetanan”, lah secara formal justru
jarang digunakan di belakang kalimat, baik untuk kata seru maupun untuk
akhiran. Lah bahkan hanya digunakan untuk pengantar kalimat.
Lah, mbok aja ngono kuwi!
Lah, ya ngono iku, bapakmu!
Dalam basa pewayangan lah digunakan sebagai
pengantar kalimat juga.
Contoh:
Lah, punika warninipun
narendra saking Negari Pageralun!
Di samping lah, dialek Banyumasan mengenal
bunyi “dhing”, memiliki fungsi hampir sama dengan bunyi lah, yaitu sebagai penguat kata di
depannya. Digunakan dalam kalimat-kalimat pendek untuk semakin meyakinkan lawan
bicara.
Contoh:
Ora dhing! =
Sebenarnya tidak!
Iya dhing! =
Sebenarnya iya!
Ngesuk dhing! =
Sebenarnya besok!
Sepertinya “dhing”
dalam dialek Banyumas memiliki makna dan penggunaan yang hampir sama dengan
bunyi “deh” dalam dialek Betawi, atau
“dong” dalam dialek Jakarta!
Iya deh! =
iya pasti!
Jangan dong! =
berharap jangan terjadi.
Tidak dong! =
barharap tidak terjadi
Pertanyaannya, kenapa antara Banyumas (dhing),
Betawi (deh), dan Jakarta (dong), kata penegasnya hampir sama? Mungkinkah
dialek Jakarta ini sesungguhnya dipengaruhi oleh dialek Banyumas?
Mungkinkah kedatangan prajurit Mataram pada jaman
Sultan Agung menyerang Batavia ada yang berasal dari wilayah Banyumas sempat
menjadi benang merah yang memunculkan bunyi deh,
dhing dan dong ini?
He, he,...! Iya, ndean! Eh, ora dhing! Embuh
lah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar