Selasa, 09 Oktober 2012

Lah - Dhing


Lah - Dhing

Menyimak lagi dialek Banyumas.
Dialek Banyumasan itu luar biasa. Sejak kecil saya sudah meyadari bahwa dalam dialek Banyumas ada sesuatu yang khas, salah satu di antaranya penggunaan bunyi lah”, sebagai kata seru, bukan akhiran.
Kata lah kebanyakan dipakai pada kalimat-kalimat pendek dan ditaruh di akhir kalimat! Cenderung bermakna sebagai penguat, penegas permintaan/permohonan dari kata yang ada di depannya!

Contoh: 
Aja kaya kuwe lah!                  = mohon jangan seperti hal itu
Mandan nganah lah!              = mohon agak menjauh
Mengko lah!                            = mohon jangan sekarang ( nanti )
Uwis lah!                                 = mohon disudahi
Aja lah!                                   = mohon jangan dilakukan

Dalam bahasa Indonesia “lah” dimasukkan sebagai partikel, akhiran, bukan kata seru. Lah di sini tidak harus berada pada kata di akhir kalimat. Fungsinya terutama hanya sebagai penegas!
Contoh:
Inilah kisah seorang pengembara .....
Begitulah akhir perjalanan .....

Jika sekarang banyak orang menggunakan bunyi lah sebagai kata seru, pada kalimat pendek dan ditaruh di akhir kalimat, barangkali hal tersebut karena pengaruh dialek Banyumas.
Contohnya:
Oke lah
Ya, sudah lah!
Jangan sekarang, besok saja lah!

Dalam basa “wetanan”, lah secara formal justru jarang digunakan di belakang kalimat, baik untuk kata seru maupun untuk akhiran. Lah bahkan hanya digunakan untuk pengantar kalimat.
Lah, mbok aja ngono kuwi!
Lah, ya ngono iku, bapakmu!

Dalam basa pewayangan lah digunakan sebagai pengantar kalimat juga.
Contoh:
Lah, punika warninipun narendra saking Negari Pageralun!

Di samping lah, dialek Banyumasan mengenal bunyi “dhing”, memiliki fungsi hampir sama dengan bunyi lah, yaitu sebagai penguat kata di depannya. Digunakan dalam kalimat-kalimat pendek untuk semakin meyakinkan lawan bicara.
Contoh:
Ora dhing!                   = Sebenarnya tidak!
Iya dhing!                    = Sebenarnya iya!
Ngesuk dhing!             = Sebenarnya besok!

Sepertinya “dhing” dalam dialek Banyumas memiliki makna dan penggunaan yang hampir sama dengan bunyi “deh” dalam dialek Betawi, atau “dong” dalam dialek Jakarta!
Iya deh!                       = iya pasti!
Jangan dong!               = berharap jangan terjadi.
Tidak dong!                 = barharap tidak terjadi

Pertanyaannya, kenapa antara Banyumas (dhing), Betawi (deh), dan Jakarta (dong), kata penegasnya hampir sama? Mungkinkah dialek Jakarta ini sesungguhnya dipengaruhi oleh dialek Banyumas?
Mungkinkah kedatangan prajurit Mataram pada jaman Sultan Agung menyerang Batavia ada yang berasal dari wilayah Banyumas sempat menjadi benang merah yang memunculkan bunyi deh, dhing dan dong ini?
He, he,...! Iya, ndean! Eh, ora dhing! Embuh lah!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar