Hanya
Berdua
Toto Endargo
Alkisah, seorang siswa
SMP. Dibilang pintar, tidak juga, tinggi, tidak juga, usia ya umum. Namun ciri
khasnya adalah kumisnya yang lebih tebal dari semestinya. Jika temannya baru
mencuat seperenam belas centimeter, kumisnya sudah seperempat centimeter dan
memenuhi bawah hidungnya.
Dia disayang
teman-temannya. Ia berbudi baik, suka menolong. Maka wajar jika dia dipanggil
Si Kumis Berbudi. Dan sesuai adat, seorang anak cenderung dipanggil dengan dua
suku kata terakhir, maka ia dipanggil Budi.
Suatu hari ada kegundahan
di hatinya, maka ditemuinya teman yang dianggap sebagai penasehat spiritualnya.
“Sup, bagaimana tentang
anak kelas III D yang saya bicarakan kemarin?” tanya Budi pada Suparto. Suparto
ketawa sedikit, giginya pun kelihatan sedikit.
“Itu sie terserah kamu,
Bud. Walau berpipi agak gembil, tapi dia termasuk cantik!” kata Suparto dengan
rambut berdirinya. Budi mengelus kumisnya.
“Iya, seandainya saya
raja, dialah prameswariku!” gumam Budi sambil berkhayal. Dengan khayalan
prameswari ini maka anak putri kelas III D itu diberinya nama baru Prames.
“Prames” ulangnya. “Ini
nama pujaan, nama kesayangan yang unik”. Suparto setuju dan keduanya sepakat
hal itu sebagai rahasia.
Empat hari kemudian.
Di pojok perpustakaan
Budi dan Suparto berbincang penuh minat.
“Aku ingin main ke rumah
Prames. Kapan bagusnya?” tanya Budi. Suparto berpikir dan kemudian menyatakan
bahwa Sabtu, malam Minggu, adalah saat yang ideal.
“Menurut hitungan Jawa,
sejak senja sudah masuk Ahad manis, jumlahnya 10 ditambah jamnya, harus jam 8
malam. Sepuluh ditambah delapan ada 18. Angka satu ditambah angka delapan, jadi
sembilan. Dan sembilan adalah angka yang penuh hoki” perhitungan Suparto. Budi
menganggukan kepala dengan dada mekar, hati berdebar!
“Hati-hati!” pesannya
Suparto, “Menurut ceritera orang, kamu juga tahu, bapaknya Prames orangnya
keras dan disiplin!”
“Malam minggu besok saya
ke rumah Prames. Inilah hoki saya!” tekad Budi.
“Banyak nasehat dari
guru-guru kita. Dari guru PSPB, Bahasa Jawa, dan juga guru Agama Islam. Ingat
itu sebagai bekal tingkah polahmu!” nasehat si Suparto.
Malam Minggu.
Luar biasa, jam delapan
Budi dengan baju warna drill, lengan pendek, celana panjang agak coklat.
Benar-benar sudah asyik di rumah Prames. Kini sudah tiga puluh menit berdua
ngobrol bab sekolahan.
Saat jam sembilan kurang
sepuluh. Hal yang dikhawatirkan datang. Bapaknya Prames, namanya Pak Pranoto,
kulitnya sawo matang, tinggi besar. Selesai mengikuti pengajian di masjid
besar. Bersarung kotak-kotak biru, pakai peci haji. Di mata Budi Pak Pranoto
adalah mirip seorang ustadz, tapi tanggung.
“Assalamu’alaikum, Pak!”
sapa Budi.
“Wa’alaikum salam!” jawab
Pak Pranoto. Dan kemudian masuk melewati ruang tamu, Eh, satu menit kemudian
muncul. Ya ampun malah duduk di samping Prames. Padahal Budi berniat pamit.
“Mati aku!” kata hati Budi.
Astaghfirullah, tatapan
Pak Pranoto langsung ke wajah Budi. Dan dari balik kumisnya yang tipis keluar
kalimatnya.
“Ini sudah malam. Kamu
kan anak sekolah. Apa nasehat gurumu?” Oh, benar juga, luar biasa nasehat
Suparto, ia menyuruh ingat nasehat guru. Kini benar-benar ditanyakan oleh Pak
Pranoto! Ah!
“Iya Pak, ingat!” jawab
Budi dengan mencoba tenang.
“Apa coba? Tentu tidak
akan menasehati kamu untuk bertamu di rumah anak putri sampai malam! Coba apa
nasehatnya?” kata Pak Pranoto seperti menantang.
“Maaf, Pak, yang saya
ingat” Budi mulai bicara,
”Satu, dari guru bahasa
Jawa. Sabar lan narima, artinya walau dimarahi orang kita harus sabar dan
menerimanya!” Pak Pranoto memiringkan kepalanya, jidatnya berkerut.
“Kedua dari guru PSPB)*.
Maju terus pantang mundur, artinya walau ada halangan kita harus terus berusaha
sampai tercapai cita-cita!” Pak Pranoto rupanya merasa tersinggung dengan kata-kata
Budi. Dia jengah, menarik nafas panjang. Mencondongkan kepalanya ke arah Budi.
Prames panik. Prames pasrah!
“Ketiga dari guru Agama
Islam, Pak!” kata budi sambil menangkupkan telapak tangan di depan dada, tanda
sopan dan permohonan maaf. Karena Pak Pranoto lumayan dalam hal ilmu pengetahuan
agama, sehingga ia siap untuk menyergap kalimat Budi jika keliru dalam menyampaikan hukum Islam.
“Apa nasehat guru Agama
Islam?” tanyanya. Budi konsentrasi sejenak. Lalu:
“Dilarang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim untuk berdua-duaan, Pak!”
“Nah, ingat-ingat itu! Kamu harus pulang dan Prames masuk!” perintah Pak Pranoto tegas.
“Maaf, sebentar Pak!”
Budi memohon, Pak Pranoto menatap wajah Budi,
“Bahkan kata pak guru ada
hadis begini, Pak!” Budi menatap wajah Pak Pranoto, lalu katanya:
“Apabila laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan.”
“Maksudmu?” tanya Pak
Pranoto. Pak Pranoto berharap penjelasan Budi justru akan mempermulus alasannya untuk menyuruh Budi segera pulang.
“Begini, Pak. Apabila
laki-laki dan perempuan sedang berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan!”
kata Budi.
Rupanya Pak Pranoto belum
paham arah penjelasan Budi.
“Maaf, Pak. Saya kan
laki-laki, tadi duduk di sini. Prames, perempuan duduk di sebelah sini. Kami
memang bukan muhrim, dan sedang duduk berdua, kemudian datang yang ketiga.
Itulah setan, Pak!” Kata Budi sambil segera melangkah ke pintu. Lalu sambil memasukan
kakinya ke sandal dia berkata:
“Yang ketiga tadi
duduknya di samping Prames, Pak!” Blaass.
Budi lari!
Menurut ceritera sejak
saat itu Budi tidak berani ‘nyambung’ lagi dengan Prames. Berita lainnya, konon
Prames justru dirayu oleh dua cowok, yaitu pemain takraw dan penulis ceritera pendek di sekolahnya.
He, he, makanya hati-hati
kalau mendekati orang lagi berdua. Nanti bisa saja begitu datang dikatakan
bahwa: “yang ketiga adalah setan!”
Mohon maaf kepada
semua-semua. Tulisan ini hanya berlaku
di antara kita!
)* PSPB = Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar