Selasa, 09 Oktober 2012

Hanya Berdua

Hanya Berdua
Toto Endargo

Alkisah, seorang siswa SMP. Dibilang pintar, tidak juga, tinggi, tidak juga, usia ya umum. Namun ciri khasnya adalah kumisnya yang lebih tebal dari semestinya. Jika temannya baru mencuat seperenam belas centimeter, kumisnya sudah seperempat centimeter dan memenuhi bawah hidungnya.
Dia disayang teman-temannya. Ia berbudi baik, suka menolong. Maka wajar jika dia dipanggil Si Kumis Berbudi. Dan sesuai adat, seorang anak cenderung dipanggil dengan dua suku kata terakhir, maka ia dipanggil Budi.
Suatu hari ada kegundahan di hatinya, maka ditemuinya teman yang dianggap sebagai penasehat spiritualnya.
“Sup, bagaimana tentang anak kelas III D yang saya bicarakan kemarin?” tanya Budi pada Suparto. Suparto ketawa sedikit, giginya pun kelihatan sedikit.
“Itu sie terserah kamu, Bud. Walau berpipi agak gembil, tapi dia termasuk cantik!” kata Suparto dengan rambut berdirinya. Budi mengelus kumisnya.
“Iya, seandainya saya raja, dialah prameswariku!” gumam Budi sambil berkhayal. Dengan khayalan prameswari ini maka anak putri kelas III D itu diberinya nama baru Prames.
“Prames” ulangnya. “Ini nama pujaan, nama kesayangan yang unik”. Suparto setuju dan keduanya sepakat hal itu sebagai rahasia.
Empat hari kemudian.
Di pojok perpustakaan Budi dan Suparto berbincang penuh minat.
“Aku ingin main ke rumah Prames. Kapan bagusnya?” tanya Budi. Suparto berpikir dan kemudian menyatakan bahwa Sabtu, malam Minggu, adalah saat yang ideal.
“Menurut hitungan Jawa, sejak senja sudah masuk Ahad manis, jumlahnya 10 ditambah jamnya, harus jam 8 malam. Sepuluh ditambah delapan ada 18. Angka satu ditambah angka delapan, jadi sembilan. Dan sembilan adalah angka yang penuh hoki” perhitungan Suparto. Budi menganggukan kepala dengan dada mekar, hati berdebar!
“Hati-hati!” pesannya Suparto, “Menurut ceritera orang, kamu juga tahu, bapaknya Prames orangnya keras dan disiplin!”
“Malam minggu besok saya ke rumah Prames. Inilah hoki saya!” tekad Budi.
“Banyak nasehat dari guru-guru kita. Dari guru PSPB, Bahasa Jawa, dan juga guru Agama Islam. Ingat itu sebagai bekal tingkah polahmu!” nasehat si Suparto.
Malam Minggu.
Luar biasa, jam delapan Budi dengan baju warna drill, lengan pendek, celana panjang agak coklat. Benar-benar sudah asyik di rumah Prames. Kini sudah tiga puluh menit berdua ngobrol bab sekolahan.
Saat jam sembilan kurang sepuluh. Hal yang dikhawatirkan datang. Bapaknya Prames, namanya Pak Pranoto, kulitnya sawo matang, tinggi besar. Selesai mengikuti pengajian di masjid besar. Bersarung kotak-kotak biru, pakai peci haji. Di mata Budi Pak Pranoto adalah mirip seorang ustadz, tapi tanggung.
“Assalamu’alaikum, Pak!” sapa Budi.
“Wa’alaikum salam!” jawab Pak Pranoto. Dan kemudian masuk melewati ruang tamu, Eh, satu menit kemudian muncul. Ya ampun malah duduk di samping Prames. Padahal Budi berniat pamit. “Mati aku!” kata hati Budi.
Astaghfirullah, tatapan Pak Pranoto langsung ke wajah Budi. Dan dari balik kumisnya yang tipis keluar kalimatnya.
“Ini sudah malam. Kamu kan anak sekolah. Apa nasehat gurumu?” Oh, benar juga, luar biasa nasehat Suparto, ia menyuruh ingat nasehat guru. Kini benar-benar ditanyakan oleh Pak Pranoto! Ah!
“Iya Pak, ingat!” jawab Budi dengan mencoba tenang.
“Apa coba? Tentu tidak akan menasehati kamu untuk bertamu di rumah anak putri sampai malam! Coba apa nasehatnya?” kata Pak Pranoto seperti menantang.
“Maaf, Pak, yang saya ingat” Budi mulai bicara,
”Satu, dari guru bahasa Jawa. Sabar lan narima, artinya walau dimarahi orang kita harus sabar dan menerimanya!” Pak Pranoto memiringkan kepalanya, jidatnya berkerut.
“Kedua dari guru PSPB)*. Maju terus pantang mundur, artinya walau ada halangan kita harus terus berusaha sampai tercapai cita-cita!” Pak Pranoto rupanya merasa tersinggung dengan kata-kata Budi. Dia jengah, menarik nafas panjang. Mencondongkan kepalanya ke arah Budi. Prames panik. Prames pasrah!
“Ketiga dari guru Agama Islam, Pak!” kata budi sambil menangkupkan telapak tangan di depan dada, tanda sopan dan permohonan maaf. Karena Pak Pranoto lumayan dalam hal ilmu pengetahuan agama, sehingga ia siap untuk menyergap kalimat Budi jika keliru dalam menyampaikan hukum Islam.
“Apa nasehat guru Agama Islam?” tanyanya. Budi konsentrasi sejenak. Lalu:
“Dilarang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim untuk berdua-duaan, Pak!”
“Nah, ingat-ingat itu! Kamu harus pulang dan Prames masuk!” perintah Pak Pranoto tegas.
“Maaf, sebentar Pak!” Budi memohon, Pak Pranoto menatap wajah Budi,
“Bahkan kata pak guru ada hadis begini, Pak!” Budi menatap wajah Pak Pranoto, lalu katanya:
“Apabila laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan.”
“Maksudmu?” tanya Pak Pranoto. Pak Pranoto berharap penjelasan Budi justru akan mempermulus alasannya untuk menyuruh Budi segera pulang.
“Begini, Pak. Apabila laki-laki dan perempuan sedang berdua-duaan, maka yang ketiga adalah setan!” kata Budi.
Rupanya Pak Pranoto belum paham arah penjelasan Budi.
“Maaf, Pak. Saya kan laki-laki, tadi duduk di sini. Prames, perempuan duduk di sebelah sini. Kami memang bukan muhrim, dan sedang duduk berdua, kemudian datang yang ketiga. Itulah setan, Pak!” Kata Budi sambil segera melangkah ke pintu. Lalu sambil memasukan kakinya ke sandal dia berkata:
“Yang ketiga tadi duduknya di samping Prames, Pak!” Blaass.
Budi lari!
Menurut ceritera sejak saat itu Budi tidak berani ‘nyambung’ lagi dengan Prames. Berita lainnya, konon Prames justru dirayu oleh dua cowok, yaitu pemain takraw dan penulis ceritera pendek di sekolahnya. 
He, he, makanya hati-hati kalau mendekati orang lagi berdua. Nanti bisa saja begitu datang dikatakan bahwa: “yang ketiga adalah setan!”
Mohon maaf kepada semua-semua. Tulisan ini hanya berlaku di antara kita! 

)* PSPB = Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar