Rabu, 10 Oktober 2012

Dua Idul

DUA IDUL
Toto Endargo

   Seorang pegawai negeri membeli kambing untuk qurban, gaji dari pemerintah adalah andalan kehidupannya, beli kambing pun dengan uang gajinya. Dia sholat Idul Adha hari Selasa, kambing pun dipotong hari Selasa. Temannya pun bercanda: 
   “Gaji ikut pemerintah, sholat ikut Muhammadiyah!” 
   He, he, tentu saja ini sekedar guyon parikena, sekedar bercanda, namun ada makna yang tersirat di dalamnya.
   Hari Raya kembali tidak seragam. Tahun 2010 menjadi unik. Seringnya Idul Fitri yang beda, Idul Adha bareng. Tahun ini justru berbedanya di Idul Adha. Saya ingin membicarakannya sedikit.
Jika ada kata Bhineka Tunggal Ika, terjadi pula Ika jadi Bhineka. Hal yang mestinya satu malah jadi banyak. Jatuhnya Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri pada intinya bersumber pada peredaran Hyang Candra atau bulan. Bulan kita yang hanya sebuah itu, walau dilihat dari tempat yang sama, sama-sama Indonesia, hasilnya dapat berbeda. Barangkali faktor “paralak” yang menjadikannya beda. Segeliat efek yang dapat saya tangkap dengan dua penentuan hari raya adalah telah membuat sedikit goyah kedisiplinan siswa.    Memprihatinkan!
   Berdasarkan hasil hisab Persyarikatan Muhammadiyah, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengumumkan 1 Dzulhijjah 1431 H jatuh pada hari Ahad, 07 November 2010 M, Hari Arafah (9 Dzulhijjah 1431 H) jatuh pada hari Senin, 15 November 2010 M dan ‘Idul Adha (10 Dzulhijjah 1431 H) jatuh pada hari Selasa, 16 November 2010 M. 
Yogyakarta, 16 Juli 2010.
   
   Berdasarkan sidang isbat dan yang dikatakan memiliki dasar ilmiah paling kuat. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyatakan, tidak mungkin ada rukyat hilal di Indonesia maupun Arab Saudi pada 6 November. Begitu juga dengan seluruh menteri-menteri agama di berbagai negara seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura. Sehingga 1 Dzulhijjah bertepatan pada 8 November 2010 dan Idul Adha bertepatan pada 17 November 2010. Dari hasil sidang istbat tersebut Kementerian Agama/Pemerintah bersama sejumlah ormas Islam menetapkan perayaan Idul Adha jatuh pada 17 November.
   
   Hari Selasa 16 November 2010, menjadi hari yang luar biasa. Ada rasa beda di dada, di pikiran, di sikap. Sebagian warga, murid, barangkali guru, karyawan, dan kepala sekolah, melaksanakan sholat sunnat Idul Adha pada hari itu. 
   Sikap sekolah pun beragam.
   Ada yang menetapkan siswa masuk pukul 08.00, ada yang pukul 09.00, dan ada yang di hari efektif itu nekad meliburkan siswanya. Ada yang masih puasa, ada yang sudah dengan riang gembira, diam-diam, makan gulai kambing. 
  Barangkali ada pula yang hari Selasa sudah ikut sholat, hari Rabunya ikut sholat Idul Adha lagi. 
   Luar biasa!
   
   He, he, diakui atau tidak, ada celah yang dapat menggoyahkan kedisiplinan. Bagi siswa, guru, karyawan, pegawai negeri, atau pegawai yang lain, momen ini dapat dimanfaatkan untuk mbolos, mblenes, tidak masuk sekolah, tidak masuk kerja. 
   Di sekolahan guru menggaruk-garuk kepalanya, bingung, ewuh aya ing pambudi, bimbang dalam bersikap! 
   Hari Selasa sesuai kalender pendidikan adalah hari efektif, berlangsung kegiatan belajar mengajar. Di SMP Negeri 2 Purbalingga, ada sekitar lima puluh siswa tidak masuk, alpha, tanpa ijin. “Idul Adha!” jawabnya ketika ditanya kenapa tidak masuk sekolah.
   Ada dua hal yang melintas di benak saya.
Pertama : 
   Kalender! Bahwa ada hubungan langsung antara pelaksanaan sholat sunnat Idul Fitri atau Idul Adha dengan kalender. Sehingga jika ada perbedaan hari pelaksanaan sholat maka ada perbedaan pula pada kalender/penanggalan Hijriah. Secara otomatis kalender Hijriah orang yang sholat Idhul Adha hari Selasa (10 Dzulhijjah 1431 H, Muhammadiyah) dengan yang sholat hari Rabu (10 Dzulhijjah 1431 H, Pemerintah) menjadi tetap berbeda sampai ada persamaan. 
   Mestinya bagi yang sholat Idhul Adha pada hari Selasa, perlu untuk mengamati, mengganti/meralat tanggal-tanggal pada penanggalan yang menempel di dinding, atau di meja kantor, karena pada umumnya kalender tersebut justru menunjukkan; yang pas untuk 10 Dzulhijjah 1431 H adalah jatuh hari Rabu. Namun dari pada rebyeg, ya biarkan saja!
   Saya pernah hadir di sebuah pernikahan. Dia sholat Idul Fitri, hari Senin, hitungan pemerintah Idul Fitri hari Selasa. Dia jadi manten, nikah pada hari Rabu. Namun yang tertulis pada surat nikah dan dibacakan oleh petugas KUA, nikahnya tertanggal 2 Syawal. 
   Dia tidak protes. Logikanya karena dia sholat Idul Fitri pada hari Senin, Senin itu berarti tanggal 1 Syawal. Nikah hari Rabu, maka hari Rabu secara matematika adalah tanggal 3 Syawal. Sebuah “kekeliruan” nyata yang disengaja. 
   Penulisan tanggal sejarah nikah sengaja dibiarkan untuk tidak akurat, tidak sesuai dengan pilihan hari sholat!

Kedua : 
  Pegawai Negeri! Pemerintah menetapkan jatuhnya hari raya adalah bagian dari pelayanan publik. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah negara yang dihormati oleh negara-negara di dunia. 
   Rakyatnya mayoritas beragama Islam. Negara yang layak jadi panutan dalam hal beragama. Menentukan jatuhnya hari raya tentu tidak asal-asalan. Mempertaruhkan segalanya, termasuk martabat bangsa. Dijamin cermat binti akurat. 
   Jika ngawur tentu akan menjadi gunjingan, rerasan umat Islam di seluruh dunia. Menyadari keakuratan putusan pemerintah, maka menjadi hal yang wajar jika berpendirian; sebagai pegawai negeri, digaji oleh pemerintah, sepanjang pemerintah masih dapat diugemi, dapat dipercaya, hari raya pun ikut keputusan pemerintah. 
   Di pintu gerbang masuk Pendapa Kabupaten Purbalingga, sepintas saya baca, spanduk bertuliskan, “Perbedaan adalah Hikmah” Kalimat yang paling ideal di saat kita beda. 
   Walau beda, tetap Bhineka Tunggal Ika. 
   Berbeda-beda tapi kita tetap satu. 
   Satu negara, satu tujuan, satu bangsa! 

   Ada yang menyampaikan; karena banyaknya kepentingan, menyebabkan tidak ada sistem penanggalan yang disepakati secara internasional, akhirnya menyebabkan perbedaan jatuhnya tanggal hari raya. 
   Dengan keterangan di atas tak perlu diragukan lagi, masih ada kesempatan untuk beda tanggal hari raya. Baik Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Raya Idul Adha. 
   Spanduk di pintu gerbang masuk Pendapa Kabupaten Purbalingga yang bertuliskan, “Perbedaan adalah Hikmah” perlu disimpan dan sepertinya tetap mantap untuk dibentangkan di lain waktu.
   Dapat dipasang kembali pada tahun-tahun yang "kebetulan" ada dua idul.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar