Selasa, 09 Oktober 2012

Blendos dan Dhogol (2)

Dongeng Kecil
Ceritera ini dimaksudkan hanya untuk catatan.

Blendos dan Dhogol (2)
oleh Toto Endargo, 10 Oktober 2010 pukul 9:10 


Setelah sembuh, kembali Blendhos dan Dhogol merencanakan sesuatu. Kenakalan Blendhos tidak mampu diredam oleh kebaikkan hati Dhogol. Kemarin keduanya mengadakan penyelidikan hal sarung ke jemurannya Pak Badrun. Tanpa sarung hidup Blendhos jadi tidak lengkap. Namun sarungnya tidak juga ada di jemuran. Barangkali sarungnya sudah dimusnahkan oleh Pak Badrun.
“Ya, tuku maning, Ndos!” saran Dhogol
“Qo maning, tuku sie gampang. Dhuwite endi?”
“Ya dodol apa, lah! Duwene apa de dol! Mengko duwite nggo tuku sarung!”
“Dodol wit Gondang mburi umah? Sapa sing gelem tuku wit Gondang!”
“Yaa aja wit, dodol manuk apa ayam!”
Blendhos terdiam, “Ah dodol ayam bae, apa ya?” gumam Blendhos
“Apa qo duwe ayam?” tanya Dhogol, “Ujarku lha ora duwe!”
“Lah keprimen qo ngomong dewek siki malah maido. Jere kon dodol ayam!” gerutu Blendos.
“Ayame sapa sing arep de dol?” pertanyaan Dhogol dengan keras!
Berkelebatan beberapa ayam melintas di benaknya. Pak Sarbun punya banyak ayam. Kenapa tidak menjual salah satu dari ayam Pak Sarbun? Segera Blendos bikin skenario.


---
Malam kembali menyelimuti desa. Rumah-rumah kembali gelap. Bunyi jangkrik dan belalang malam memecah sepi. Kelepak kelelawar sesekali terdengar. Blendhos dan Dhogol sudah di belakang rumah Pak Sarbun. Ada kandang ayam di sana.
Kadang ayam Pak Sarbun cukup besar. Di belakang rumah, di beri atap, di beri dinding lengkap. Dinding pertama adalah dinding rumah bagian belakang. Dinding yang lain dibuat dari bambu. Ada pintu masuk di pojok kanan bawah. Pintu masuk ukurannya cukup sempit. Jika orang mau masuk ke kandhang harus sedikit jongkok dan brangkangan. Kandhang ayam inilah yang sudah dimasukan dalam skenario Blendhos dan Dhogol.
Malam itu pas tanggal muda Jawa, sehingga bulan sangat singkat menghiasi langit desa. Kegelapan menjadikan orang malas untuk beraktivitas. Hujan besar sepertinya turun di tempat yang jauh. Hawa dingin menyentuh kulit.
Keluarga Pak Sarbun sudah tidur nyenyak. Satu keluarga barusan pulang dari menengok saudara, sesiang suntuk mereka berada di perjalanan, berangkat-pulang dari luar daerah. Inilah malam keberuntungan Blendhos! Blendhos sendiri tidak sangka bahwa situasi dan kondisi keluarga Pak Sarbun sangat mendukung. Keduanya yakin sukses untuk menjualkan ayam Pak Sarbun secara diam-diam.
“Kepriwe kiye?” tanya Dhogol mengingat-ingat scenario.
“Aku sing neng njaba. Ngawasi mbok ana wong. Qo sing mlebu!”
“Hah, deneng aku sing mlebu? Ujarku mau dudu inyong!”
“Qo baelah. Qo sing lewih gering dadi gampang golehe mlebung kandhang!”
“Aku wedi ayam, Ndos!”
“Karo ayam bae ko wedi!”
“Dong esih cilik aku tahu detladung ayam ngiring. Nganti siki aku dadi wedi
“Ora. Kudu ko sing mlebu! Milih ayam sing paling gede!” instruksi Blendhos.
“Carane!”
“Incer gulune! Gulune! Supaya ora moni, cepet tekek! Ayam kaget sedhela, tapi terus klesed. Stres, ayam langsung meneng bae. Gawa metu sekang kandhang. Seteruse urusane inyong”
“Ya wis” sikap Dhogol mematuhi instruksi Blendhos.
“Kiye gosokan nganggo bawang dingin!” perintah Blendos. Bawang gunanya untuk mengelabui ayam, supaya tidak berbunyi. Barangkali karena terlena dengan bau bawang yang menyengat sehingga ayam diam saja.
Demikianlah, setelah menggosok-gosokan bawang ke tangannnya, dengan tekad bulat Dhogol masuk ke kandang ayam. Tetap ada ayam yang berbunyi tapi masih wajar. Tidak mengkhawatirkan keduanya.
Mata Dhogol dalam kegelapan menatap penghuni kandang. Mayoritas ayam nangkring di plagrangan kandang, terutama di bagian pojok. Sasaran Dhogol justru di pojokan juga, namun di bagian bawah. Ada gundukan hitam agak besar. Pasti disitu ayam babon sedang bertelur.
“Demi Blendhos saya harus berani menangkap ayam babon” Batin Dhogol
Maka secara pelan-pelan, Dhogol mendekati ayam babon yang dikiranya sedang angrem tersebut. Setengah meter darinya, Dhogol berhenti. Babon brontok, pikirnya. Kedua jarinya direntangkan seperti harimau mau menerkam mangsa. Incar lehernya cekik. Dengan memejamkan mata Dhogolpun beraksi. Lakukan. Ceg! Tidak ada bunyi apapun dari ayam yang diterkam. Hanya bunyi kresek, itu pun ditimbulkan olehnya. Sejenak kemudian ada bau kotoran ayam menyengat hidungnya. Ada barang lembek menempel di kedua tangannya. Salah sasaran.
“Aduh!” desis Dhogol seketika.
Mendengar desis Dhogol. Blendhos sangat khawatir, lalu berbisik, bertanya.
“Ana apa, Gol?”
Dhogol berpikir secepatnya. Dijawabnya dengan berbisik, “Ayame mendel, nucuk tangan, lara pisan! Gentenan! Qo baelah, Ndos!
“Bodho” sungut Blendhos agak marah. Dhogol kemudian keluar kandhang dan melapor, “Ndhos, babon brontok, gede, neng pojokan. Lagi angrem, galak pisan, aku de theot”
“Dasar bodho! Karo babon brontok bae wedi!” bisiknya tajam
Blendhos berpikir sejenak. Apa akal. Sarung.
“Nyilih sarunge, Gol! Babon kurang ajar!” umpat Blendhos kemudian.
Sarung milik Dhogol pun berpindah ke Blendhos.
Skenarionya Blendhos terhadap Babon Brontok adalah: “Babon brontok yang galak itu harus dibekap dengan sarung. Dengan demikian ayam tidak sempat mendel, tidak sempat mematuk, tidak sempat klubukan. Bila perlu reok sekalian bersama petarangannya. Lumayan juga kalau ada telurnya yang masih baik!”
Demikianlah. Blendos dengan sedikit berkutet di pintu sempit, berhasil masuk ke dalam kandang. Benar matanya menatap gundukan di pojokan, babon brontok. Dengan sedikit mengendap ia menyiapkan sarung. Kedua pojok sarung dipegangnya, sarung direntang seperti jala. Setengah meter dari sasaran dia berhenti, menarik nafas, memejamkan mata dan kemudian … lakukan! Breg. Sarung langsung menelungkupi babon brontok, segera diuwel, direok, dan di bawa keluar.
Tidak ada bunyi apapun dari babon brontok, akan tetapi ayam jago yang nangkring di atasnya kaget dan langsung membuat bunyi gaduh. Bahaya! Bisa ketahuan Pak Sarbun, malah barangkali sedang mendekat. Bergegas ia merangsek ke pintu kandang. Sampai di luar dia langsung kasih komando ke Dhogol.
“Gol cepet nyingkir, maring pinggir kali maning!”
Eforia atas keberhasilan membungkus babon brontok, dicampur ketakutan ketahuan Pak Sarbun membuat Blendhos tidak sadar kenapa bungkusan ayam babon kok sangat ringan. Kenapa sangat ringan?
Tahukah kalian? Bahwa setiap ayam ada kecenderungan untuk selalu tidur di tempat yang sama setiap hari. Setiap kali ayam tidur, mereka cenderung mengeluarkan kotoran. Sehingga di pojokan itu, di atas jerami yang tadinya dimaksudkan untuk petarangan justru isinya onggokan kotoran ayam setinggi ayam babon. Yang dikira babon brontok ternyata gumpalan tembelek berbagai warna plus jerami. Itulah yang sekarang sedang dilarikan oleh Blendhos menuju ke pinggir sungai. Sebelum sampai ke sungai di tengah jalan Dhogol minta berhenti.
Setelah berhenti Dhogol pun berkata
“Qo jen maen pisan ya, teyeng nyekel babon nganti ora keok-keok!”
“Qo bae sing bodho” jawab Blendhos.
“Padha bodhone, lah! Jajal siki babon brontoke de bukak, masa mlayua!”
Begitu di buka Blendhos bersungut-sungut, “Bodho! Bodho! Deneng kiye isine tembelek thok. Ko nguja nglomboni aku!”
“Padha padhalah aku bae kenang tembelek”.
Dhogol pun mengaku bahwa dia tidak mau hanya dirinya yang gludrah tembelek. Ketika berdesis, “Aduh!”, maksudnya adalah aduh karena tangannnya penuh tembelek, bukan karena dipatuk ayam. Dia juga mengaku terlambat sadar bahwa yang nampak seperti babon brontok itu adalah tumbukan tembelek.
Keduanya pun kemudian sejenak tepekur di tengah malam yang dingin itu. Keduanya merasa seluruh tubuhnya sudah bau kotoran ayam. Nasib telah membawa kesialan bagi keduanya atau keberuntungan karena gagal berbuat jahat.
“Gol, dusdusan neng kali yuh!” ajak Blendhos
“Karo ngumbah sarung!” jawab Dhogol.


Semoga ada sambungannya!

Ada sambungannya di Blendos dan Dhogol (3)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar