Minggu, 14 Oktober 2012

Kado buat Bu Ani


Kado buat Bu Ani
Toto Endargo


Selamat pagi, kota tersayang!” ucapku pelan ketika colt yang kunaiki masuk kota. Seorang ibu yang duduk di kananku tersenyum.
Mari, Bubasa basiku kepadanya ketika aku turun di pertigaan depan kantor Kejaksaan.
“Mari!” jawabnya ramah
Semoga putri ibu cakep!” doa di batinku. Eh siapa tahu besok aku jadi menantunya. Kan, jodoh di tangan Tuhan. He, he, he!
Kuinjak-injak jalan aspal di sebelah kejaksaan menuju sekolah. Hidup bukan untuk bersedih. Bergembiralah menuju kedewasaan. Tak perlu sedu sedan! Riang adalah jalan untuk menang! Busyet
Selamat pagi SMP Negeri 2 Purbalingga, pagi ini aku kembali bersamamu. Peluklah aku! Bimbing dan bawalah aku untuk menjadi pemimpin, insya Allah kau kan kubangun agar menjadi sekolah yang termegah di tingkat propinsi. Tentu saja aku akan menjadi pemimpin yang adil dan arif. Dan pasti berartilah hidup ini. Sekali berarti sudah itu mati. Ha..., aku ingat Diponegoro-nya Chairil Anwar.
==
Kutengok ruang guru. Sepi! Kantor tata usaha. Sepi. Maklum baru setengah tujuh kurang. Hanya Pak Bun, pesuruh, yang sedang menyapu halaman.
Selamat pagi, Pak Bun!” sapaku padanya
Pagi, Ar! Ah gemaguse! Tumben mau nyapa orang!” jawabnya. Aku berhenti.
Tentu! Pagi ini adalah pagi untuk beramah tamah. Bukan pagi untuk melipat jidat. Lihat matahari cerah, burung-burung bernyanyi. Mengapa kita tidak? Mari kita menyanyikan lagu gembira!Kataku sambil berlalu.
Dan mulutku monyong, menyiulkan lagu si unyil. Nyil unyil unyil unyil! Asyik Sro! Pak Bun geleng-geleng kepala, mungkin batinnya: Argo gila!
==
Baru lima anak di kelasku. Yang tiga sibuk menyelesaikan Pekerjaan Rumah Matematika. Paling nyontek teman.
Uh, kapan Indonesia maju, kalau generasi mudanya malas-malas macam kalian. PR saja nyontek!” kataku pada mereka.
Ah diam kau, Ar! Mentang-mentang ketua kelas, disayang guru. Urus saja diri sendiri, seperti belum pernah nyontek!” jawab Tumino. Sialan, terpaksa aku jadi diam
==
Semakin banyak teman yang datang, makin ramai suasana kelas. Padahal menurut peraturan sebelum bel masuk anak-anak dilarang ngendon di kelas. Tapi apa lacur, adat ngendon sulit dibasmi. Anisa, Isna dan Dyah datang bertiga.
Haa, mana kadonya?” tanyaku, Uih, hebat!” teriakku setelah melihat Dyah membawa kado.
Huss, jangan keras-keras!” bentak Anisa sambil memancungkan mulut. Ah, iya acara ini tak boleh terdengar lain kelas.
Umumkan sekarang kepada anak-anak, mereka kan ikut nyumbang. Sebentar lagi bel masuk!” saran Anisa kemudian.
Sebagai ketua kelas aku tentu saja ingin dan berusaha agar tampak berwibawa. Maka kulangkahkan kaki dengan tegap ke depan papan tulis dan bercuap-cuap.
Teman-teman, mohon perhatian sejenakl” anak-anak diam. Menatapku! Beberapa masih bercakap-cakap dan menyelesaikan PR-nya. Anak yang di serambi kelas masuk, ikut mendengarkan.
Sebentar lagi bell masuk, maka dengarkan!” lanjutku, “Kado untuk Bu Ani, wali kelas kita sudah siap. Acaranya kami rencanakan menjelang istirahat pertama, pada pelajarannya Bu Ani sendiri. Kado ada dua buah. Sebuah dibawa Akbar. Mana Akbar?
Siap!” jawab Akbar sambil hormat cara militer.
Bagus! Dan yang satu dibawa Pika!”
Tidak mauuu!” seru Pika cepat-cepat.
Harus mau!” tandasku, “Kau dan Akbar sama-sama pernah dikartu merah, pernah disuruh pulang oleh Bu Ani, bukan? Nah, kupikir inilah kesempatan kalian untuk unjuk senyum!”
“Unjuk gigiiiii!” celemong salah satu anak.
“Tidak! Saya nggak suka giginya! Berantakan! Unjuk senyum saja!” kataku
Ah, nanti dikira nyogok Bu Ani!”
Pokoknya Kau dan Akbar, titik!” kataku tegas, “Dan Isna nanti kau yang mimpin lagu Hymne Guru!
Bel tanda masuk berbunyi. Kami baris dan masuk kelas dengan tertib. Pelajaran pertama Matematika satu jam. Membicarakan PR. Selesai. Jam kedua dan ketiga Bahasa Indonesia, yang mengajar Bu Ani, lengkapnya Ibu Ani Maharani, wali kelasku. Ibu guru yang lemah lembut dan disayang anak-anak.
Bu Ani masuk. Rambutnya disanggul. Hem putih dan bawahan hitam. Dadaku bergetar, Bu Ani sungguh anggun dan keibuan. Kami sekelas diam. Tahu diri.
Selamat pagi, anak-anak!”
Selamat pagi, Bu Guru!”
Kemudian suaranya yang lumayan merdu bergaung di kelas kami. Jam kedua berakhir. Jam ketiga mulai. Aku gelisah. Ah, nanti saja, batinku. Aku menoleh, melihat teman di kanan-kiri. Sialan! Mereka malah sedang menatapku. Tatap bertanya, kapan aku mulai. Sebagai jawaban mulutku kugerakkan, memanfaatkan gerak lidah, dan bibir, membentuk bunyi,
“Nanti! Nanti!” Badrun yang duduk sebangku denganku menginjak kakiku.
Aduh! Nanti!” bisikku kaget. Bu Ani menoleh, dadaku berdesir, takut ditanya.
Sialan, bisa bikin acara kita berantakan kamu Drun, bisikkku pada Badrun.
Kulihat arloji. Dua puluh lima menit lagi istirahat. Kini tibalah saat kejutan tiba. Dengan dada berdebar, jantung berdenyut aku tunjuk jari, angkat bicara.
Maaf, Bu!”
Yaaa!” Bu Ani menghentikan ceramahnya. Aku nekad
Minta waktu sebentar boleh, Bu?”
Tentu saja boleh. Mau apa?”
Aku berdiri, menelan ludah. Kulihat teman-temanku, muka mereka tampak tegang. Aku maju.
 “Maaf, Bu! Pada kesempatan ini kami sekelas ingin mengadakan sebuah acara khusus untuk Ibu!” kataku sesopan mungkin
Acara apa?” tanya Bu Ani agak tegang. Peduli amat, kuharap kejutanku berhasil. Akbar  dan Pika   kupanggil. Berdua mereka maju membawa kado. Anak-anak yang lain diam, perhatiannya tertuju kepada kami yang ada di depan
Argo, apa-apaan ini?” tanya Bu Ani padaku dengan muka heran.
Maaf bu, kami sekelas tahu bahwa hari ini hari ulng tahun Bu Ani, ibu guru kami, wali kelas kami. Untuk itu Bu, kami mengucapkan selamat ulang tahun! Semoga panjang umur dan semoga Bu Ani sekeluarga selalu sehat sejahtera, dalam lindungan Alllah SWT” kata-kata yang kuhafalkan semalam. Kuulurkan tanganku, menjabat tangan beliau. Bu Ani hanya mengangguk-angguk. Bibirnya bergetar, menahan haru dan kebahagiaan.
Serentak anak-anak menyanyi sambil tepuk tangan: “Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia ..!” Dengan tersenyum Pika maju menyerahkan kado.
Sebagai kenang-kenangan, Bu!” ucap Pika  . Giliran Akbar  maju
Ini biscuit ulang tahun, Bu!” kata Akbar sambil tersenyum. Bu Ani hanya tersenyum menenggapi kedua anak tersebut.
==
Bu Ani menatap anak-anak yang masih menyanyi lagu panjang umur. Ada linangan airmata di sudut matanya. Anak-anak tertegun hingga berhenti menyanyi. Semua diam. Sepi!
Terimakasih anak-anakku!” kata Bu Ani dengan suara tersendat-sendat. Hanya itu! Kemudian menelan ludah, mencari kekuatan. Hatinya bagai tercabut. Airmatanya bergulir, diusapnya perlahan. Keharuan menyelimuti kelas kami. Hening! Dalam keheningan itu muncul suara Isna yang memelas dan perlahan. Bagai suara yang muncul dari alam asing nan dingin. Ada yang merinding.
Ter….pu….jilah wahai engkau Ibu … Bapak Guru, namamu akan …” dan semua anak ikut menyanyi. Menyanyi dengan penuh perasaan. Hati kami bagai diremas-remas, luluh dalam kekhidmadan syair. Mei yang terkenal cengeng dan sekaligus mudah tertawa, langsung terisak-isak di tengah kumandang Hymne Guru. Dadaku sesak, turut larut dalam haru. Kelembutan hati Bu Ani membuat beliau luluh dalam perasaan haru. Seketika ada genangan air mata di pelupuk matanya.
==
Ada apa Bu Ani? Tiba-tiba Pak Arif, kepala sekolah kami, sudah berada di ambang pintu kelas. Pertanyaannya yang mengandung nada khawatir di tengah kekhikmadan perasaan, seakan suara halilintar di siang bolong. Kami terkejut.
Bu Ani tak kalah terkejutnya! Entah kenapa! Mungkin malu karena menangis. Bu Ani cepat-cepat menghapus air matanya dengan gerakan reflek. Saking cepatnya, tanpa sengaja, tangan kanan yang terangkat malah menampar kaleng biscuit yang ditaruh di meja di depannya. Dheng!
Glondhang! Kaleng biscuit jatuh!
Glondhang! Glondhang! Glondhang! Kaleng biscuit bergulingan di lantai kelas.
Bu Ani kaget! Ternyata Bu Ani sedikit latah. Kali ini latahnya muncul.
“Eh, bodong, bodong!” sambil membuat gerakan cilup-ba dua kali. Semua kejadian dalam tatapan mata seluruh kelas.
Serentak! Peristiwa tersebut menjadi kombinasi yang ampuh untuk menggelitiki perut seluruh anak. Meledaklah tawa kami.
Kasihan Bu Ani. Mukanya merah. Mei yang sedang terisak-isak, terkejut tiga kali, pertama selonongan Pak Arif, dua, glondhangan kaleng jatuh, tiga, bodong dan cilup-banya Bu Ani,  kini Mei justru ikut tertawa terkekeh. Suaranya lucu, antara tangis dan kekeh! Hal Mei ini menjadikan tawa kami semakin lebar.
Bu Ani yang melihat perubahan situasi demikian cepat, tidak tahan juga menahan geli. Beliau ikut tertawa. Pak Arif pun tertawa. Rusaklah suasana haru penuh penghayatan, telah benar-benar berubah menjadi arena tawa.
Deg! Aku ingat, ini adalah acara ulang tahun. Secepatnya saya mengambil kapur di meja guru. Kutulis di papan tulis pada bagian yang kosong, separo papan tulis.
“Selamat Ulang Tahun Bu Ani!”
Pak Arif membacanya. Segera ia dekati Bu Ani, mengulurkan tangan dan berjabatan tangan. Seperti dikomando anak-anak mengiringi jabat tangan tersebut dengan ucapan
Selamat Ulang Tahun, Bu Aniiii!” keras sekali.
Semua tertawa.
Dan saat itu Bu Ani tertawa manis sekali.
Dadaku berdebar.

===

Dan ketika sekolah usai, Bu Ani mendekatiku,
Terimakasih Argo!Bu Ani tersenyum menatapku. Aku mengangguk. Aku tersenyum
Bangga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar