Kado buat Bu Ani
Toto Endargo
“Selamat pagi, kota
tersayang!” ucapku pelan ketika colt yang kunaiki masuk
kota. Seorang ibu yang duduk di kananku tersenyum.
“Mari, Bu” basa basiku kepadanya ketika aku turun di pertigaan
depan kantor Kejaksaan.
“Mari!” jawabnya ramah
“Semoga putri ibu cakep!” doa di batinku. Eh siapa tahu besok aku jadi menantunya. Kan, jodoh di tangan Tuhan. He, he, he!
Kuinjak-injak jalan aspal di sebelah kejaksaan menuju sekolah. Hidup bukan untuk bersedih.
Bergembiralah menuju kedewasaan. Tak perlu sedu sedan! Riang adalah jalan untuk menang! Busyet
“Selamat pagi SMP Negeri 2 Purbalingga, pagi ini aku kembali bersamamu. Peluklah
aku! Bimbing dan bawalah aku untuk menjadi
pemimpin, insya Allah kau kan kubangun agar menjadi sekolah
yang termegah di tingkat propinsi. Tentu saja aku akan menjadi pemimpin yang
adil dan arif. Dan pasti berartilah
hidup ini. Sekali berarti sudah itu mati. Ha..., aku
ingat Diponegoro-nya Chairil Anwar.
==
Kutengok ruang guru. Sepi! Kantor tata usaha. Sepi. Maklum baru
setengah tujuh kurang. Hanya Pak Bun, pesuruh, yang sedang menyapu halaman.
“Selamat pagi, Pak Bun!” sapaku padanya
“Pagi, Ar! Ah gemaguse! Tumben mau nyapa orang!” jawabnya. Aku berhenti.
“Tentu! Pagi ini adalah pagi
untuk beramah tamah. Bukan pagi untuk melipat jidat. Lihat matahari cerah,
burung-burung bernyanyi. Mengapa kita tidak? Mari kita menyanyikan lagu gembira!” Kataku sambil berlalu.
Dan mulutku monyong, menyiulkan lagu si
unyil. Nyil unyil unyil unyil… ! Asyik Sro! Pak Bun geleng-geleng kepala, mungkin
batinnya: Argo gila!
==
Baru lima anak di kelasku. Yang tiga sibuk
menyelesaikan Pekerjaan Rumah Matematika. Paling nyontek
teman.
“Uh,
kapan Indonesia maju, kalau generasi mudanya
malas-malas macam kalian. PR saja nyontek!” kataku
pada mereka.
“Ah diam kau,
Ar! Mentang-mentang ketua kelas, disayang guru. Urus saja diri sendiri, seperti belum pernah nyontek!” jawab Tumino.
Sialan, terpaksa aku jadi diam
==
Semakin banyak teman yang datang, makin
ramai suasana kelas. Padahal menurut peraturan sebelum bel masuk anak-anak
dilarang ngendon di kelas. Tapi apa
lacur, adat ngendon sulit dibasmi. Anisa, Isna dan Dyah datang
bertiga.
“Haa, mana kadonya?” tanyaku, “Uih,
hebat!” teriakku setelah melihat Dyah membawa kado.
“Huss, jangan keras-keras!” bentak Anisa sambil memancungkan mulut. Ah, iya acara ini tak boleh terdengar lain kelas.
“Umumkan sekarang kepada anak-anak, mereka kan ikut
nyumbang. Sebentar lagi bel masuk!” saran Anisa kemudian.
Sebagai ketua kelas aku tentu saja ingin
dan berusaha agar tampak berwibawa. Maka kulangkahkan kaki dengan tegap ke
depan papan tulis dan bercuap-cuap.
“Teman-teman, mohon
perhatian sejenakl” anak-anak
diam. Menatapku! Beberapa
masih bercakap-cakap dan menyelesaikan PR-nya. Anak yang di serambi
kelas masuk, ikut mendengarkan.
“Sebentar lagi bell masuk,
maka dengarkan!” lanjutku, “Kado
untuk Bu Ani,
wali kelas kita sudah siap. Acaranya kami rencanakan
menjelang istirahat pertama, pada pelajarannya Bu Ani sendiri. Kado ada dua
buah. Sebuah dibawa Akbar. Mana Akbar?”
“Siap!” jawab Akbar sambil
hormat cara militer.
“Bagus! Dan yang satu dibawa Pika!”
“Tidak mauuu!” seru
Pika cepat-cepat.
“Harus mau!” tandasku, “Kau dan Akbar sama-sama pernah dikartu merah, pernah
disuruh pulang oleh Bu Ani, bukan? Nah, kupikir inilah kesempatan kalian untuk unjuk senyum!”
“Unjuk gigiiiii!” celemong salah
satu anak.
“Tidak! Saya nggak suka giginya!
Berantakan! Unjuk senyum saja!” kataku
“Ah, nanti dikira nyogok Bu Ani!”
“Pokoknya Kau dan Akbar, titik!” kataku tegas, “Dan
Isna nanti kau yang mimpin lagu Hymne Guru!”
Bel tanda masuk berbunyi. Kami baris dan
masuk kelas dengan tertib. Pelajaran pertama Matematika satu jam. Membicarakan
PR. Selesai. Jam kedua dan ketiga Bahasa Indonesia, yang mengajar Bu Ani, lengkapnya Ibu Ani Maharani, wali kelasku. Ibu
guru yang lemah lembut dan disayang anak-anak.
Bu Ani masuk. Rambutnya disanggul. Hem
putih dan bawahan hitam. Dadaku bergetar, Bu Ani sungguh
anggun dan keibuan. Kami sekelas diam. Tahu diri.
“Selamat pagi,
anak-anak!”
“Selamat pagi, Bu
Guru!”
Kemudian suaranya yang lumayan merdu
bergaung di kelas kami. Jam kedua berakhir.
Jam ketiga mulai. Aku gelisah. Ah, nanti saja,
batinku. Aku menoleh, melihat teman di kanan-kiri.
Sialan! Mereka malah sedang menatapku. Tatap bertanya, kapan aku mulai. Sebagai jawaban mulutku kugerakkan, memanfaatkan gerak lidah, dan
bibir, membentuk bunyi,
“Nanti! Nanti!” Badrun
yang duduk sebangku denganku menginjak kakiku.
“Aduh! Nanti!” bisikku kaget. Bu Ani menoleh, dadaku berdesir, takut ditanya.
Sialan, bisa bikin acara kita berantakan
kamu Drun, bisikkku pada Badrun.
Kulihat arloji. Dua puluh lima menit lagi
istirahat. Kini tibalah saat kejutan tiba.
Dengan dada berdebar, jantung berdenyut aku tunjuk jari, angkat bicara.
“Maaf, Bu!”
“Yaaa!” Bu Ani menghentikan ceramahnya. Aku nekad
“Minta waktu sebentar boleh, Bu?”
“Tentu saja boleh. Mau apa?”
Aku berdiri, menelan ludah. Kulihat
teman-temanku, muka mereka tampak tegang. Aku maju.
“Maaf, Bu! Pada kesempatan ini kami sekelas ingin mengadakan sebuah acara khusus untuk Ibu!” kataku sesopan mungkin
“Acara apa?” tanya
Bu Ani agak tegang. Peduli amat, kuharap kejutanku berhasil. Akbar dan Pika
kupanggil. Berdua mereka maju membawa kado. Anak-anak yang lain diam, perhatiannya tertuju kepada kami yang
ada di depan
“Argo, apa-apaan ini?” tanya
Bu Ani padaku dengan muka heran.
“Maaf bu, kami sekelas tahu bahwa hari ini hari ulng
tahun Bu Ani, ibu guru kami, wali kelas kami. Untuk itu Bu, kami mengucapkan
selamat ulang tahun!
Semoga panjang umur dan semoga
Bu Ani sekeluarga selalu sehat sejahtera, dalam lindungan Alllah SWT” kata-kata yang kuhafalkan
semalam. Kuulurkan tanganku,
menjabat tangan beliau. Bu Ani hanya mengangguk-angguk. Bibirnya bergetar, menahan haru dan kebahagiaan.
Serentak anak-anak menyanyi sambil tepuk
tangan: “Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang
umurnya serta mulia ..… !” Dengan tersenyum Pika maju
menyerahkan kado.
“Sebagai kenang-kenangan, Bu!” ucap Pika .
Giliran Akbar maju
“Ini biscuit ulang tahun,
Bu!” kata Akbar sambil tersenyum. Bu Ani hanya tersenyum menenggapi kedua anak tersebut.
==
Bu Ani
menatap anak-anak yang masih menyanyi lagu panjang
umur. Ada linangan airmata di sudut matanya. Anak-anak tertegun hingga berhenti
menyanyi. Semua diam. Sepi!
“Terimakasih anak-anakku!” kata
Bu Ani dengan suara tersendat-sendat. Hanya itu! Kemudian menelan ludah,
mencari kekuatan. Hatinya bagai tercabut. Airmatanya bergulir, diusapnya
perlahan. Keharuan menyelimuti kelas kami. Hening! Dalam keheningan itu muncul suara Isna yang memelas dan
perlahan. Bagai
suara yang muncul dari alam asing nan dingin. Ada yang merinding.
“Ter….pu….jilah wahai engkau Ibu … Bapak Guru, namamu akan …” dan semua anak ikut menyanyi. Menyanyi
dengan penuh perasaan. Hati kami bagai diremas-remas, luluh dalam kekhidmadan
syair. Mei yang terkenal cengeng dan sekaligus mudah tertawa, langsung
terisak-isak di tengah kumandang Hymne Guru.
Dadaku sesak, turut larut dalam haru. Kelembutan hati Bu Ani membuat beliau luluh dalam
perasaan haru. Seketika ada genangan air mata di pelupuk matanya.
==
“Ada apa Bu Ani?”
Tiba-tiba Pak Arif, kepala sekolah kami, sudah berada di ambang pintu kelas. Pertanyaannya yang mengandung nada khawatir di tengah kekhikmadan perasaan, seakan suara halilintar di siang bolong. Kami
terkejut.
Bu Ani tak kalah terkejutnya! Entah kenapa! Mungkin
malu karena menangis. Bu Ani cepat-cepat menghapus air matanya dengan gerakan reflek. Saking cepatnya, tanpa sengaja, tangan kanan yang terangkat malah menampar kaleng biscuit yang ditaruh di meja di depannya. Dheng!
Glondhang! Kaleng biscuit jatuh!
Glondhang! Glondhang! Glondhang! Kaleng biscuit bergulingan di lantai kelas.
Bu Ani kaget! Ternyata Bu Ani sedikit latah.
Kali ini latahnya muncul.
“Eh, bodong, bodong!” sambil membuat
gerakan cilup-ba dua kali. Semua kejadian dalam
tatapan mata seluruh kelas.
Serentak! Peristiwa
tersebut menjadi kombinasi yang ampuh untuk menggelitiki
perut seluruh anak. Meledaklah tawa kami.
Kasihan Bu Ani. Mukanya merah. Mei yang sedang terisak-isak, terkejut
tiga kali, pertama selonongan
Pak Arif, dua, glondhangan kaleng jatuh, tiga, bodong dan cilup-banya Bu
Ani, kini Mei justru ikut tertawa terkekeh. Suaranya lucu, antara tangis dan kekeh! Hal Mei
ini menjadikan tawa kami semakin lebar.
Bu Ani yang melihat perubahan situasi demikian cepat, tidak tahan juga menahan geli. Beliau ikut tertawa. Pak
Arif pun tertawa. Rusaklah suasana haru penuh penghayatan, telah
benar-benar berubah menjadi
arena tawa.
Deg! Aku ingat, ini
adalah acara ulang tahun. Secepatnya saya mengambil kapur di meja guru. Kutulis di papan tulis pada
bagian yang kosong, separo papan tulis.
“Selamat Ulang Tahun Bu Ani!”
Pak Arif membacanya. Segera ia dekati Bu
Ani, mengulurkan
tangan dan berjabatan tangan. Seperti dikomando anak-anak mengiringi
jabat tangan tersebut dengan ucapan
“Selamat Ulang Tahun, Bu Aniiii!” keras sekali.
Semua tertawa.
Dan saat itu Bu Ani tertawa manis sekali.
Dadaku berdebar.
===
Dan ketika sekolah usai, Bu Ani
mendekatiku,
“Terimakasih Argo!” Bu Ani
tersenyum menatapku. Aku mengangguk. Aku tersenyum
Bangga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar