Cerita remaja
AKU INGIN BERJASA
Ceritera ini pernah dimuat di Majalah Dinding SMP Negeri 2
Purbalingga.
“Bagai pungguk merindukan bulan”. Barangkali peribahasa inilah yang paling pas
untuk mengibaratkan perasaanku terhadap Dita Maharani. Merindukan seseorang yang beda derajat! Tapi siapa
tahu pada saatnya burung punggukpun sampai ke bulan!
Dita gadis manis, lembut, bermata bulat, hidungnya mungil. Rambutnya
lurus sepundak. Sungguh beruntung, dikaruniai wajah yang cantik, dan pribadi
yang anggun.
Semua hal yang baik, apalagi remaja putri secantik Dita pasti banyak yang tertarik untuk mendekatinya. Tak terkecuali aku. Bahkan sepintas, dapat aku pastikan, guruku pun tertarik pada Dita! Semakin aku tahu bahwa banyak yang tertarik pada Dita. Semakin membuatku gelisah. Menjadikan aku setiap kali ingin menyapanya. Ingin mendapat senyumnya.
Semua hal yang baik, apalagi remaja putri secantik Dita pasti banyak yang tertarik untuk mendekatinya. Tak terkecuali aku. Bahkan sepintas, dapat aku pastikan, guruku pun tertarik pada Dita! Semakin aku tahu bahwa banyak yang tertarik pada Dita. Semakin membuatku gelisah. Menjadikan aku setiap kali ingin menyapanya. Ingin mendapat senyumnya.
Dilirik oleh Dita adalah kebahagiaan.
Dadaku selalu berdegup keras, berdebar kencang jika aku sempat
bersitatap dengannnya. Sesuatu yang lembut, dipancarkan oleh Dita, selalu saja
menyentuh kalbuku. Sangat sulit untuk melupakan senyum dan tawanya.
“Akbar, lupakan Dita! Ganti saja dengan Umi Khasanah!” saran Badrun
padaku. Aku hanya menggeleng! Padahal sesungguhnya Badrunlah yang suka pada Umi
Khasanah.
Setiap kali pembagian kelas, ternyata aku tidak
beruntung. Aku dan Dita selalu lain kelas. Tahun ini aku di kelas 2A sedang
Dita di kelas 2F. Amat jauh. Dari ujung utara sampai ke ujung selatan. Ada
empat kelas yang mengantarai kelas Dita dan aku. Menurutku, alangkah senangnya jika
aku dapat sekelas dengannya. Aku akan bisa setiap kali belajar bersama.
Sayang kelas kami selalu berbeda.
“Akbar, jangan patah semangat!”
nasehat hatiku. Ada pepatah; “Garam di laut asam di gunung, bertemu juga di belanga!” Hem, siapa tahu Akbar
bisa dijumpakan dengan Dita dalam satu belanga!
Iya. Saya selalu berharap suatu saat saya bisa bersama Dita dalam
suatu kegiatan, dalam acara sekolah. Minimal aku dan Dita pernah jalan bersama,
syukur berdua! Hal semacam itulah yang aku impikan setiap saat.
Beginikah rasa dan harapan
remaja yang jatuh hati?
Harapan untuk suatu ketika jalan bersama! Harapan
yang sederhana, bukan? Tetapi yang tampak sederhana itu ternyata bukan
sesuatu yang mudah! Aku anak tak terkenal, ekonomi keluargaku juga pas-pasan. Sedang
Dita adalah siswi yang cantik, cerdas, orang tuanya mampu dan aktivis OSIS. Ia
memiliki banyak sahabat. Dita selalu dikelilingi teman-temannya. Para sahabatnya selalu merubunginya! Selalu bersama Dita. Hal yang
cukup mengganggu keberanianku untuk mendekati Dita. Membuat saya semakin tidak
percaya diri!
Ah indahnya! Jika aku sempat bersama Dita! Bercakap-cakap, bertukar
senyum.
Pertengahan bulan Februari rupanya adalah hari keberuntunganku.
Beruntung karena ada acara istimewa untuk siswa. Ada kegiatan hiking,
perjalanan. Kata Pak Guru untuk memeriahkan Hari Valentine. Hari kasih sayang.
Katanya!
Shiiip! Aku harus ikut serta. “Terimakasih, Ya Allah! Engkau selalu
baik!” ucap syukurku. Menjelang kegiatan, hari-hariku pun menjadi semakin
mendebarkan, semakin menggelisahkan. Sabtu malam Minggu. Bermalam di Bumi
Perkemahan Munjulluhur! Semoga hari itu langit kan cerah dan memberiku
kesempatan jalan berdampingan dengan Dita.
Februari 2003. Walau saat-saat ini musim hujan, kuharap Sabtu malam
Mingggu besok, menjadi hari yang cerah dan terang benderang. Biarlah musim
hujan kali ini segera dipindahkan saja ke negara yang kurang hujan. Dan Sabtu
malam Minggu besok Purbalingga dilanda musim kemarau.
“Apa yang akan kau lakukan Akbar, agar kau punya memori manis bersama
Dita?” Rasanya sah-sah saja jika aku berkhayal. Yang penting tetap sopan dan
beretika. Ada peribahasa; utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati.
Artinya kebaikan hati orang akan diingat selamanya. Orang berbudi biasanya
orang yang berjasa, ikhlas memberi sesuatu! Hemm, alangkah bahagianya jika aku sempat berbuat jasa
pada Dita yang kukagumi.
Terlintas di benakku hal-hal yang mungkin dapat kulakukan bersama
Dita. Minimal aku akan sempat jalan bersama atau sekedar saling menyapa. Aku
dapat membawakan tasnya! Dapat memberikan seteguk minuman. Aku dapat membelikannya
sepotong coklat atau sebungkus roti kering. Yang pasti ingin sekali kali ini
aku dapat berbuat jasa buatmu, Dita. Aku ingin sekali berjasa!
***
Lapangan Basket SMP Negeri 2 Purbalingga. Pukul 15.15.
Dengan seluruh angkasa raya seakan memuja, semua konsentrasi dan
berdoa, agar kegiatan dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi kita semua. Dan
aku sempat berdoa, semoga keinginanku yang sederhana dan mulia membuat memori
bersama Dita, dapat terkabulkan. Saat pemberangkatan pun dimulai, regu per regu
mengawali perjalanan.
Langkahku mantap di regu 15 putra. Dita bersama kelompoknya di regu
7. Selisih tujuh regu. Tas Dita tersandang
di punggungnya. Menggelembung, mungkin cukup berat. Mungkin isinya
barang-barang padat atau makanan berat. Eh siapa tahu Dita membawa makanan
banyak-banyak. Karena siapa thu juga bahwa ternyata Dita doyan makan.
Route yang dilewati adalah: SMP Negeri 2 Purbalingga, gang depan
sekolahan, lurus, sedikit berliku yang akhirnya sampai di depan SD Pius.
Menyeberang jalan. Masuk Jalan Sidodadi, menyusuri tebing, dan tampak Sungai
Klawing di kanan jalan. Lurus sampai Pritganthil, Narasoma, Pasar Mandiri,
Keponggok, belok kiri. Lurus terus di jalan aspal sampai Bumi Perkemahan!
“Dita!” kata hatiku, “Jika kau merasa keberatan dengan tasmu, Dita boleh
minta tolong padaku. Aku dengan senang hati akan membawakan tasmu itu!”. Hemm,
indahnya. Tetapi tentu saja, dan aku pasti, Dita tidak tahu isi hatiku, tidak
tahu permohonanku. Sebab aku hanya bicara dalam hati. Saat ini Dita malah sedang
berceloteh dengan para sahabatnya seregu. Bercakap-cakap sampai seperti burung
Manyar yang sedang berkicau. Regunya ada di barisan depan, reguku justru
berjalan jauh di belakang regunya. Badrun di sisiku. Matanya selalu memperhatikan
Umi Khasanah.
Langit kali ini sungguh tak bersahabat dengan acara perjalanan kami.
Langit semakin menggelap, berwarna kelabu pekat. Angin bertiup kencang. Musim
hujan-angin dan petir. Sekali-kali kilat membelah langit dan menggelegar. Padahal
aku baru sampai di Pritganthil. Segera hujan satu-satu mengiringi langkah kami.
Aku benar-benar gelisah. Khawatir perjalanan ini menjadi gagal karena cuaca. Akhirnya
hujan benar-benar jatuh ke bumi bagaikan runtuh. Deras! Suaranya memecah
suasana.
Air mulai membasahi baju
kami, sepatu kami dan kaki kami. Air segera membasahi jalanan. “Berteduh!
Berlindung!” Itulah kata perintah yang paling tepat untuk kami semua. Dan kami
pun bergegas, berkelompok-kelompok, berteduh di emper rumah penduduk. Sebagian
besar berteduh di serambi pasar Mandiri yang belum sempurna pembangunannya.
Angin membuat tempias air mengenai tubuh-tubuh kami semua. Jalan mulai
tergenangi air. Suasana membuat hati kami ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan
yang masih jauh.
Kami menunggu hujan reda dalam perlindungan serambi pasar. Sementara
dingin menyelimuti kami. Baju kami banyak yang sudah basah terkena tempias air.
“Basah diawal kegiatan adalah hal yang sebaiknya dihindari dalam sebuah
kegiatan” kata Pak Guru yang pernah kudengar. Sebab bagi anak yang mudah sakit,
maka ia akan sakit di awal kegiatan, membuat repot orang lain dan dapat
menghambat rangkaian kegiatan yang harus diikuti.
Diantara gerombolan yang berteduh di sebelah utara emper pasar mandiri ini, kulihat Dita berdiri dengan bersedekap tangan. Bibirnya seperti
membeku. Wajahnya tersaput kabut hujan. Di sampingnya Rani dan Dyah
juga tampak kedinginan. Hujan mulai melemah, namun bukan berarti berhenti. Langit akhirnya tampak semakin memutih, gerimis menggantikan sang hujan.
Diam-diam aku bergeser. Badrun entah kemana, aku tidak tahu. Kudekati
Dita. Kutatap Dita sepenuh perasaanku. Dita tersenyum. Ada jalinan damai
menyusupi dadaku. “Tuhan, beri kesempatan saya memiliki memori indah bersama
Dita!” doaku.
Oh, apa yang harus aku lakukan. Mungkin saat inilah aku
berkesempatan berbuat jasa padanya, berbuat budi mulia untuknya. Aku berpikir, “Hal yang
paling mudah adalah membelikannya sesuatu saat ini! Makanan pengusir dingin
bagi Dita. Yah makanan!” lintasan kecermelangan pikiranku. Kupegang saku celanaku. Ada uang enam ribu
rupiah. Selembar lima ribuan dikasih Ibu tadi siang dan yang seribu adalah
sekeping uang logam hasil pengiritanku selama tiga hari.
“Aku harus membelikan makanan!” tekad membara di dadaku. Tapi,
makanan apa yang dapat kudapatkan di dalam situasi semacam ini.
Eh, ternyata di ujung selatan pasar beberapa siswa telah membeli dan
mengunyah mendoan dengan cabe rawitnya. Shiiip! Berarti diujung pasar sebelah
selatan ada penjual mendoan.
“Dita aku mau membeli mendoan! Dita suka?” tanyaku hati-hati dan
sesopan mungkin. Dita mengangguk. Rani dan Dyah mengacungkan kedua jempolnya. Aku
bahagia sekali. Senyum Dita sungguh sulit aku lupakan. Segera saja aku
beranjak. Kuterobos teman-temanku yang bergerombol di sepanjang serambi pasar.
Penjual mendoan ternyata benar-benar di ujung selatan emper Pasar Mandiri ini.
Lima ribu rupiah akan kupertaruhkan untuk membeli mendoan. Demi
merangkai sebuah jasa buat Dita. Kira-kira dapat 15 biji mendoan. Dan biarlah
uangku tinggal seribu rupiah! Memprihatinkan! Apa boleh buat! Semoga Dita mau
meninkmati mendoanku minimal lima biji. Busyet, kenyang sekali Dita nanti.
Sampailah aku di tempat penjual mendoan. Ya ampun, ternyata banyak
yang membeli mendoan. Aku harus menungggu dan antri. Sekitar empat puluh menit
barulah di tanganku tergenggam tujuh belas biji mendoan. Dalam tas kresek hitam.
Tampak njendhol, mengkilap karena minyak dan hangat! Shiiip.
Segera aku bergegas ke tempat Dita tadi kutinggalkan. Di tengah perjalanan
Rita menghentikanku. Dihalanginya langkahku. “Akbar, itu pasti mendoan. Minta
mendoannnya satu!”
Dan Ritapun dengan paksa mengambil sebiji. Rosawati, sebiji! Marbun,
Riskam, Dullah, Gusti, dan entah siapa lagi berebut dan menyerobot mendoanku.
Aku ingin marah tapi nggak bisa. Peristiwa “perampokan” mendoan ini terlalu
cepat terjadi. Yang tersisa di tas kresek kulindungi dan kupegang erat-erat. Para perampok menikmati mendoan
dengan riang. Saya sedih. Kudengar teriak Marbun, “Terimakasih, Akbar!”. Agar
mendoanku yang tersisa selamat, aku
berjalan menerobos gerimis.
Sejenak kuhitung isi tas kresekku. Ya Allah, hanya tinggal tiga biji
mendoan di tanganku. Nelangsa dan ingin nangis rasanya. Tega benar mereka
merampok mendoanku. Tapi bagaimana lagi?? Aku harus memaklumi tingkah
teman-temanku tadi.
Dengan tiga biji mendoan dalam kresek hitam di tanganku aku ke
tempat tadi Dita kutinggalkan. Dengan berdebar kupanjangkan leherku di antara
kepala anak-anak di emperan pasar itu.
“Ya Allah, Dita tak kelihatan!” gumamku dalam hati. Aku melangkah
lagi, mendekat dengan penuh tanda tanya. Kini aku berdiri persis di mana tadi Dita,
Rani dan Dyah berdiri saat kutinggalkan untuk membeli mendoan. Kutoleh ke kiri
dan ke kanan. Dita tiada tampak. Ada rasa was-was merayapi hatiku. Aku menunduk.
“Kau tahu Dita pergi kemana?” tanyaku kepada seorang siswa yang
kebetulan tadi kulihat ada di sana sejak aku pergi. Berarti teman ini tidak
beranjak, sejak aku beli mendoan sampai aku kembali.
“Dita, tadi sepertinya ke sana!” jawabnya sambil menunjuk arah
utara. Maka kuikuti dengan tatap mataku jalan aspal di depan Pasar Mandiri ini.
Jalan menurun, ada jembatan Sungai Gemuruh yang cukup besar. Rumpun bambu. Tampak ada beberapa anak
putri sengaja gerimisan di ujung utara jembatan.
“Dita, Rani dan Dyah ke sana, lari-lari!” kata teman yang kutanya barusan. Melengkapi keterangannya.
Aku harus menunggunya. Tas kresek hitam kutimang-timang, dengan tiga biji mendoan untuk Dita.
Semoga tiga-tiganya dimakan Dita. Rani dan Dyah tidak usah diberi jatah
mendoan.
Lima belas menit kemudian Dita, Dyah, dan Rani datang dari arah
utara. Dita tersenyum padaku. Manis sekali. Pipinya bersemu merah. Bibirnya
basah mengkilap. Aku menganggguk. Dadaku berdebur keras. Saat paling romantis
segera aku awali di saat ini.
“Dita ini mendoan untukmu!” kataku pelan dan kubuat sesopan mungkin.
Dita sejenak menundukkan kepalanya. Aku membisu. Dita mendongakkan kepala
sambil mengibaskan rambutnya yang basah. Bibirnya bergetar. Rani dan Dyah
membulatkan bola matanya. Dan dari antara getar bibir Dita, terdengar jawabnya.
“Aduh Akbar! Maaf yaa. Aku barusan makan bakso di utara jembatan.
Kenyang sekali. Kapan-kapan saja yaa! Aku mau dibelikan mendoan lagi!” Kata Dita
sambil memegang lengan bajuku. Aku mengangguk pelan sekali. Aku seketika menjadi bisu! Tidak ada lagi sepatah katapun
dapat keluar dari tenggorokanku.
Hujan semakin reda. Badrun entah dimana. Air jatuh satu-satu.
Sementara itu aku sekuat tenaga menahan perasaan agar tidak menangis. Aku gagal
merintis jasa. Aku tertunduk lunglai. Hatiku pedih. Nelangsa! Hujan seakan menyajikan
dan menyanyikan lagu sedih untukku. Tanpa sadar kuberikan tas kresek hitamku
kepada anak di sebelahku. Biarlah semua berlalu.
Kupegang kantong celanaku, terasa masih ada sekeping klening seribu
rupiah.
Alhamdulillah.
Aku berjalan menembus gerimis dengan senyum Dita di anganku.
Dan secara reflek kuseka air di kedua pelupuk mataku.
Aku tersenyum sendiri.
Memelas!
Melasi!
Purbalingga, 24 Februari 2003
Totoendargo!
kalo baca cerita ini jadi inget waktu suruh ngetik sama pak Toto terus sebagai refreshing nya dikasih bacaan seperti ini...
BalasHapuswaah,, senangnya..
apa kabar pak Toto? sehat?