Jumat, 19 Oktober 2012

Aku Ingin Berjasa



Cerita remaja

AKU INGIN BERJASA

Ceritera ini pernah dimuat di Majalah Dinding SMP Negeri 2 Purbalingga.

Februari 2003. SMP Negeri 2 Purbalingga.
“Bagai pungguk merindukan bulan”. Barangkali peribahasa inilah yang paling pas untuk mengibaratkan perasaanku terhadap Dita Maharani. Merindukan seseorang yang beda derajat! Tapi siapa tahu pada saatnya burung punggukpun sampai ke bulan!
Dita gadis manis, lembut, bermata bulat, hidungnya mungil. Rambutnya lurus sepundak. Sungguh beruntung, dikaruniai wajah yang cantik, dan pribadi yang anggun.
Semua hal yang baik, apalagi remaja putri secantik Dita pasti banyak yang tertarik untuk mendekatinya. Tak terkecuali aku. Bahkan sepintas, dapat aku pastikan, guruku pun tertarik pada Dita! Semakin aku tahu bahwa banyak yang tertarik pada Dita. Semakin membuatku gelisah. Menjadikan aku setiap kali ingin menyapanya. Ingin mendapat senyumnya.

Dilirik oleh Dita adalah kebahagiaan.
Dadaku selalu berdegup keras, berdebar kencang jika aku sempat bersitatap dengannnya. Sesuatu yang lembut, dipancarkan oleh Dita, selalu saja menyentuh kalbuku. Sangat sulit untuk melupakan senyum dan tawanya.
“Akbar, lupakan Dita! Ganti saja dengan Umi Khasanah!” saran Badrun padaku. Aku hanya menggeleng! Padahal sesungguhnya Badrunlah yang suka pada Umi Khasanah.
Setiap kali pembagian kelas, ternyata aku tidak beruntung. Aku dan Dita selalu lain kelas. Tahun ini aku di kelas 2A sedang Dita di kelas 2F. Amat jauh. Dari ujung utara sampai ke ujung selatan. Ada empat kelas yang mengantarai kelas Dita dan aku. Menurutku, alangkah senangnya jika aku dapat sekelas dengannya. Aku akan bisa setiap kali belajar bersama.

Sayang kelas kami selalu berbeda.
 “Akbar, jangan patah semangat!” nasehat hatiku. Ada pepatah; “Garam di laut asam di gunung, bertemu juga di belanga!” Hem, siapa tahu Akbar bisa dijumpakan dengan Dita dalam satu belanga!
Iya. Saya selalu berharap suatu saat saya bisa bersama Dita dalam suatu kegiatan, dalam acara sekolah. Minimal aku dan Dita pernah jalan bersama, syukur berdua! Hal semacam itulah yang aku impikan setiap saat.

Beginikah rasa dan harapan remaja yang jatuh hati?
Harapan untuk suatu ketika jalan bersama! Harapan yang sederhana, bukan? Tetapi yang tampak sederhana itu ternyata bukan sesuatu yang mudah! Aku anak tak terkenal, ekonomi keluargaku juga pas-pasan. Sedang Dita adalah siswi yang cantik, cerdas, orang tuanya mampu dan aktivis OSIS. Ia memiliki banyak sahabat. Dita selalu dikelilingi teman-temannya. Para sahabatnya selalu merubunginya! Selalu bersama Dita. Hal yang cukup mengganggu keberanianku untuk mendekati Dita. Membuat saya semakin tidak percaya diri!

Ah indahnya! Jika aku sempat bersama Dita! Bercakap-cakap, bertukar senyum.
Pertengahan bulan Februari rupanya adalah hari keberuntunganku. Beruntung karena ada acara istimewa untuk siswa. Ada kegiatan hiking, perjalanan. Kata Pak Guru untuk memeriahkan Hari Valentine. Hari kasih sayang. Katanya!
Shiiip! Aku harus ikut serta. “Terimakasih, Ya Allah! Engkau selalu baik!” ucap syukurku. Menjelang kegiatan, hari-hariku pun menjadi semakin mendebarkan, semakin menggelisahkan. Sabtu malam Minggu. Bermalam di Bumi Perkemahan Munjulluhur! Semoga hari itu langit kan cerah dan memberiku kesempatan jalan berdampingan dengan Dita.

Februari 2003. Walau saat-saat ini musim hujan, kuharap Sabtu malam Mingggu besok, menjadi hari yang cerah dan terang benderang. Biarlah musim hujan kali ini segera dipindahkan saja ke negara yang kurang hujan. Dan Sabtu malam Minggu besok Purbalingga dilanda musim kemarau.
“Apa yang akan kau lakukan Akbar, agar kau punya memori manis bersama Dita?” Rasanya sah-sah saja jika aku berkhayal. Yang penting tetap sopan dan beretika. Ada peribahasa; utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati. Artinya kebaikan hati orang akan diingat selamanya. Orang berbudi biasanya orang yang berjasa, ikhlas memberi sesuatu! Hemm, alangkah bahagianya jika aku sempat berbuat jasa pada Dita yang kukagumi.
Terlintas di benakku hal-hal yang mungkin dapat kulakukan bersama Dita. Minimal aku akan sempat jalan bersama atau sekedar saling menyapa. Aku dapat membawakan tasnya! Dapat memberikan seteguk minuman. Aku dapat membelikannya sepotong coklat atau sebungkus roti kering. Yang pasti ingin sekali kali ini aku dapat berbuat jasa buatmu, Dita. Aku ingin sekali berjasa!

***

Lapangan Basket SMP Negeri 2 Purbalingga. Pukul 15.15.
Dengan seluruh angkasa raya seakan memuja, semua konsentrasi dan berdoa, agar kegiatan dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi kita semua. Dan aku sempat berdoa, semoga keinginanku yang sederhana dan mulia membuat memori bersama Dita, dapat terkabulkan. Saat pemberangkatan pun dimulai, regu per regu mengawali perjalanan.
Langkahku mantap di regu 15 putra. Dita bersama kelompoknya di regu 7. Selisih  tujuh regu. Tas Dita tersandang di punggungnya. Menggelembung, mungkin cukup berat. Mungkin isinya barang-barang padat atau makanan berat. Eh siapa tahu Dita membawa makanan banyak-banyak. Karena siapa thu juga bahwa ternyata Dita doyan makan.
Route yang dilewati adalah: SMP Negeri 2 Purbalingga, gang depan sekolahan, lurus, sedikit berliku yang akhirnya sampai di depan SD Pius. Menyeberang jalan. Masuk Jalan Sidodadi, menyusuri tebing, dan tampak Sungai Klawing di kanan jalan. Lurus sampai Pritganthil, Narasoma, Pasar Mandiri, Keponggok, belok kiri. Lurus terus di jalan aspal sampai Bumi Perkemahan!
“Dita!” kata hatiku, “Jika kau merasa keberatan dengan tasmu, Dita boleh minta tolong padaku. Aku dengan senang hati akan membawakan tasmu itu!”. Hemm, indahnya. Tetapi tentu saja, dan aku pasti, Dita tidak tahu isi hatiku, tidak tahu permohonanku. Sebab aku hanya bicara dalam hati. Saat ini Dita malah sedang berceloteh dengan para sahabatnya seregu. Bercakap-cakap sampai seperti burung Manyar yang sedang berkicau. Regunya ada di barisan depan, reguku justru berjalan jauh di belakang regunya. Badrun di sisiku. Matanya selalu memperhatikan Umi Khasanah.

Langit kali ini sungguh tak bersahabat dengan acara perjalanan kami. Langit semakin menggelap, berwarna kelabu pekat. Angin bertiup kencang. Musim hujan-angin dan petir. Sekali-kali kilat membelah langit dan menggelegar. Padahal aku baru sampai di Pritganthil. Segera hujan satu-satu mengiringi langkah kami. Aku benar-benar gelisah. Khawatir perjalanan ini menjadi gagal karena cuaca. Akhirnya hujan benar-benar jatuh ke bumi bagaikan runtuh. Deras! Suaranya memecah suasana.
 Air mulai membasahi baju kami, sepatu kami dan kaki kami. Air segera membasahi jalanan. “Berteduh! Berlindung!” Itulah kata perintah yang paling tepat untuk kami semua. Dan kami pun bergegas, berkelompok-kelompok, berteduh di emper rumah penduduk. Sebagian besar berteduh di serambi pasar Mandiri yang belum sempurna pembangunannya. Angin membuat tempias air mengenai tubuh-tubuh kami semua. Jalan mulai tergenangi air. Suasana membuat hati kami ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh.
Kami menunggu hujan reda dalam perlindungan serambi pasar. Sementara dingin menyelimuti kami. Baju kami banyak yang sudah basah terkena tempias air. “Basah diawal kegiatan adalah hal yang sebaiknya dihindari dalam sebuah kegiatan” kata Pak Guru yang pernah kudengar. Sebab bagi anak yang mudah sakit, maka ia akan sakit di awal kegiatan, membuat repot orang lain dan dapat menghambat rangkaian kegiatan yang harus diikuti.
Diantara gerombolan yang berteduh di sebelah utara emper pasar mandiri ini, kulihat Dita berdiri dengan bersedekap tangan. Bibirnya seperti membeku. Wajahnya tersaput kabut hujan. Di sampingnya Rani dan Dyah juga tampak kedinginan. Hujan mulai melemah, namun bukan berarti berhenti. Langit akhirnya tampak semakin memutih, gerimis menggantikan sang hujan.
Diam-diam aku bergeser. Badrun entah kemana, aku tidak tahu. Kudekati Dita. Kutatap Dita sepenuh perasaanku. Dita tersenyum. Ada jalinan damai menyusupi dadaku. “Tuhan, beri kesempatan saya memiliki memori indah bersama Dita!” doaku.
Oh, apa yang harus aku lakukan. Mungkin saat inilah aku berkesempatan berbuat jasa padanya, berbuat budi mulia untuknya. Aku berpikir, “Hal yang paling mudah adalah membelikannya sesuatu saat ini! Makanan pengusir dingin bagi Dita. Yah makanan!” lintasan kecermelangan pikiranku. Kupegang saku celanaku. Ada uang enam ribu rupiah. Selembar lima ribuan dikasih Ibu tadi siang dan yang seribu adalah sekeping uang logam hasil pengiritanku selama tiga hari.
“Aku harus membelikan makanan!” tekad membara di dadaku. Tapi, makanan apa yang dapat kudapatkan di dalam situasi semacam ini.
Eh, ternyata di ujung selatan pasar beberapa siswa telah membeli dan mengunyah mendoan dengan cabe rawitnya. Shiiip! Berarti diujung pasar sebelah selatan ada penjual mendoan.
“Dita aku mau membeli mendoan! Dita suka?” tanyaku hati-hati dan sesopan mungkin. Dita mengangguk. Rani dan Dyah mengacungkan kedua jempolnya. Aku bahagia sekali. Senyum Dita sungguh sulit aku lupakan. Segera saja aku beranjak. Kuterobos teman-temanku yang bergerombol di sepanjang serambi pasar. Penjual mendoan ternyata benar-benar di ujung selatan emper Pasar Mandiri ini.
Lima ribu rupiah akan kupertaruhkan untuk membeli mendoan. Demi merangkai sebuah jasa buat Dita. Kira-kira dapat 15 biji mendoan. Dan biarlah uangku tinggal seribu rupiah! Memprihatinkan! Apa boleh buat! Semoga Dita mau meninkmati mendoanku minimal lima biji. Busyet, kenyang sekali Dita nanti.
Sampailah aku di tempat penjual mendoan. Ya ampun, ternyata banyak yang membeli mendoan. Aku harus menungggu dan antri. Sekitar empat puluh menit barulah di tanganku tergenggam tujuh belas biji mendoan. Dalam tas kresek hitam. Tampak njendhol, mengkilap karena minyak dan hangat! Shiiip.

Segera aku bergegas ke tempat Dita tadi kutinggalkan. Di tengah perjalanan Rita menghentikanku. Dihalanginya langkahku. “Akbar, itu pasti mendoan. Minta mendoannnya satu!”
Dan Ritapun dengan paksa mengambil sebiji. Rosawati, sebiji! Marbun, Riskam, Dullah, Gusti, dan entah siapa lagi berebut dan menyerobot mendoanku. Aku ingin marah tapi nggak bisa. Peristiwa “perampokan” mendoan ini terlalu cepat terjadi. Yang tersisa di tas kresek kulindungi dan kupegang  erat-erat. Para perampok menikmati mendoan dengan riang. Saya sedih. Kudengar teriak Marbun, “Terimakasih, Akbar!”. Agar mendoanku yang tersisa selamat, aku berjalan menerobos gerimis.

Sejenak kuhitung isi tas kresekku. Ya Allah, hanya tinggal tiga biji mendoan di tanganku. Nelangsa dan ingin nangis rasanya. Tega benar mereka merampok mendoanku. Tapi bagaimana lagi?? Aku harus memaklumi tingkah teman-temanku tadi.
Dengan tiga biji mendoan dalam kresek hitam di tanganku aku ke tempat tadi Dita kutinggalkan. Dengan berdebar kupanjangkan leherku di antara kepala anak-anak di emperan pasar itu.
“Ya Allah, Dita tak kelihatan!” gumamku dalam hati. Aku melangkah lagi, mendekat dengan penuh tanda tanya. Kini aku berdiri persis di mana tadi Dita, Rani dan Dyah berdiri saat kutinggalkan untuk membeli mendoan. Kutoleh ke kiri dan ke kanan. Dita tiada tampak. Ada rasa was-was merayapi hatiku. Aku menunduk.
“Kau tahu Dita pergi kemana?” tanyaku kepada seorang siswa yang kebetulan tadi kulihat ada di sana sejak aku pergi. Berarti teman ini tidak beranjak, sejak aku beli mendoan sampai aku kembali.
“Dita, tadi sepertinya ke sana!” jawabnya sambil menunjuk arah utara. Maka kuikuti dengan tatap mataku jalan aspal di depan Pasar Mandiri ini. Jalan menurun, ada jembatan Sungai Gemuruh yang cukup besar. Rumpun bambu. Tampak ada beberapa anak putri sengaja gerimisan di ujung utara jembatan.
“Dita, Rani dan Dyah ke sana, lari-lari!” kata teman yang  kutanya barusan. Melengkapi keterangannya.
Aku harus menunggunya. Tas kresek hitam kutimang-timang, dengan tiga biji mendoan untuk Dita. Semoga tiga-tiganya dimakan Dita. Rani dan Dyah tidak usah diberi jatah mendoan.
Lima belas menit kemudian Dita, Dyah, dan Rani datang dari arah utara. Dita tersenyum padaku. Manis sekali. Pipinya bersemu merah. Bibirnya basah mengkilap. Aku menganggguk. Dadaku berdebur keras. Saat paling romantis segera aku awali di saat ini.
“Dita ini mendoan untukmu!” kataku pelan dan kubuat sesopan mungkin. Dita sejenak menundukkan kepalanya. Aku membisu. Dita mendongakkan kepala sambil mengibaskan rambutnya yang basah. Bibirnya bergetar. Rani dan Dyah membulatkan bola matanya. Dan dari antara getar bibir Dita, terdengar jawabnya.
“Aduh Akbar! Maaf yaa. Aku barusan makan bakso di utara jembatan. Kenyang sekali. Kapan-kapan saja yaa! Aku mau dibelikan mendoan lagi!” Kata Dita sambil memegang lengan bajuku. Aku mengangguk pelan sekali. Aku seketika menjadi bisu! Tidak ada lagi sepatah katapun dapat keluar dari tenggorokanku.
Hujan semakin reda. Badrun entah dimana. Air jatuh satu-satu. Sementara itu aku sekuat tenaga menahan perasaan agar tidak menangis. Aku gagal merintis jasa. Aku tertunduk lunglai. Hatiku pedih. Nelangsa! Hujan seakan menyajikan dan menyanyikan lagu sedih untukku. Tanpa sadar kuberikan tas kresek hitamku kepada anak di sebelahku. Biarlah semua berlalu.
Kupegang kantong celanaku, terasa masih ada sekeping klening seribu rupiah.
Alhamdulillah.
Aku berjalan menembus gerimis dengan senyum Dita di anganku.
Dan secara reflek kuseka air di kedua pelupuk mataku.
Aku tersenyum sendiri.  
Memelas!
Melasi!
 
Purbalingga, 24 Februari 2003
Totoendargo!

1 komentar:

  1. kalo baca cerita ini jadi inget waktu suruh ngetik sama pak Toto terus sebagai refreshing nya dikasih bacaan seperti ini...
    waah,, senangnya..
    apa kabar pak Toto? sehat?

    BalasHapus