Minggu, 14 Oktober 2012

Gadis untuk Ibu


Gadis untuk Ibu
Toto Endargo


SMP Negeri 2 Purbalingga. 
Perpustakaan. 
Pukul 09.20.
Ada sejuta harap di hati Arfin. Permohonan dan alasan telah tersampaikan. Kata-katanya telah tertata dengan lancar. Saat ini, di perpustakaan, diantara kesibukannya, ia menunggu jawaban. Tina membisu. Bibirnya terkatup rapat, mengerucut, membuat pipinya sedikit menggelembung.
Tidak pokoknya tidak!” jawaban Tina.
 “Sebentar saja! Seperempat jam saja!” rajuk Arfin.
Tidak!” jawab Tina sambil menatap Arfin.
“Kenapa!” tukas Arfin dengan cepat.
“Etika!” jawab Tina tegas, matanya berkilat suaranya penuh tekanan, sangat serius. Arfin tertegun, perasaannya tersinggung. Ajakannya ditolak.
Etika yang mana?” desisnya, “Kenapa kau begitu kolot. Sekarang jaman komputer, internet, bukan lagi jaman Siti Nurbaya. Kenapa sih kamu kolot begitu?” suara Arfin datar. Ia merasa tak mampu menundukkan hati Tina.
Dengar Arfin!” kata Tina. Tangannya menyibak rambut di dahinya. Ditatapnya Arfin dengan tajam. Gadis cantik ini sedang menahan gejolak hati yang meletup-letup,
Kau boleh menilaiku kolot atau apapun yang bermaksud sama. Aku punya harga diri. Aku wanita. Aku gadis. Tidak! Aku tidak akan menuruti ajakanmu! Aku punya hak untuk menolakmu! Camkan itu!” penjelasan Tina tegas, melepaskan emosinya yang memuncak.
Tina menundukkan kepala, bibirnya yang pucat menguncup. Hatinya melembut. Ia segera sadar! Tak pantas marah-marah kepada Arfin. Dadanya berdebaran. Ada kilatan bening membayang di bola matanya. Arfin tergagap! Seperti ada ludah kering mengganjal di tenggorokannya. Dan ada rasa nelangsa merayapi hatinya.
Tina berbalik perlahan. Tina Maharani gadis semampai yang cantik itupun  berlalu, berjalan bersama sahabatnya. Melangkah meninggalkan Arfin sendiri. Arfin menatap punggungnya.
Sepi dan kecewa segera menyergap perasaan Arfin. Memeluk lubuk hatinya. Ia ingin menangis. Ia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Dadanya sesak. Ditatapnya lantai serambi ruang perpustakaan yang berdebu. Menengadah dan bibirnya berdesis,Ya Allah, berilah hamba-Mu kekuatan dan kesabaran hati. Amin!”
Hari ini hati Arfin berdesir perih. Kesempatan ketika pulang gasik, pulang lebih awal musnah sudah.  Disandangnya tas ransel yang penuh buku dengan malas. Ia susuri serambi kelas yang panjang, sendirian. Tak peduli dengan lingkungan. Tak peduli dengan para sahabatnya. Ia ingin sendiri.
Arfin melangkah dan berlalu. Serambi perpustakaan itu kembali sepi. Dan semakin sepi. Angin siang berhembus mengelus rambutnya yang tergerai di dahi. Hari Rabu yang tak bersahabat. Arfin tahu hari ini ada rapat guru. Siswa dipulangkan lebih awal. Ia membacanya di papan pengumuman di ruang guru, tadi pagi, ketika ia mengambil kapur. Arfin sedih, mukanya tertunduk lesu.
Tina yang berhidung mungil, diapit sepasang pipinya yang khas, cantik. Rambutnya sedikit ikal, panjang, sepinggang. Ada rambut yang tergerai di dahi, melengkung di sisi kanan. Matanya berbinar-binar. Jika ia tertawa pipinya bertambah menonjol, justru di situlah daya tariknya. Arfin suka memandanginya. Sudah lima bulan Arfin mencoba mendekatinya. Melambungkan angan menjadi sahabat yang paling istimewa bagi Tina. Hanya bermodal tabah dan sabar Arfin mendekati Tina.
Ia terlalu berharap bahwa hari ini, ketika pulang gasik, Tina berkenan ke rumahnya untuk dikenalkan kepada ibunya. Ternyata Tina menolak. Tidak bersedia untuk sekedar hadir beberapa saat. Harapannya kandas, berbuah kecewa. Harapan dan kehampaan merasuki kehidupan Arfin hari ini. Apa yang harus dikatakan kepada ibunya nanti sesampai di rumah? Perasaan sedih dan kesal begitu dekat, lekat dan menghimpitnya. Arfin terlanjur berjanji pada ibunya!
Dilemparkan tas-ranselnya ke tempat tidur. Dibuka sepatunya. Ia pergi mencuci muka, dan kakinya . Ada rasa dingin menyentuh raganya.
Pulang awal, Arfin! Mana Tina?suara ibunya mengagetkan Arfin.
Ah, Ibu! Kenapa harus tanya tentang Tina! jawabnya.
Lho, bukankah kau yang berjanji sendiri. Suatu saat, kalau kau pulang awal, Tina, temanmu yang kau bilang paling cantik, akan kau ajak ke rumah.”
Gagal Bu, dia tidak mau!” kata Arfin berterus terang.
Apa alasannya? Kamu nakal barangkali!” tegur ibunya.
Kata Tina, sie. Tidak sopan anak putri main ke tempat anak putra jawab Arfin lirih. Ibunya mengernyitkan dahi. Ia kagum dengan alasan Tina.
“Alasan yang baik Arfin. Kini ibu yakin Tina anak yang sopan dan bisa menjaga diri. Anak yang punya pendirian!” terang ibunya, “Kau harus sopan dan menghargai pendiriannnya itu Arfin!”
Jadi aku tidak boleh memaksanya ke rumah, Bu
Tidak boleh. Ia anak yang baik, Arfin!”
Ah nggak! Masa sih Arfin kalah sama Tina
“Maksudmu?”
“Ibu harus berkenalan dengan Tina!”
Terserah kamulah! Tapi Arfin harus sopan dan menghormatinya. Ingat!
Arfin tertunduk. Ada keraguan menyelinap di hatinya. Ia ragu dapat menundukkan hati Tina. Arfin belum mau menyerah. Ia mencoba berpuisi untuk menguatkan tekadnya.
Perjuangan belum selesai, Bu. Langit masih terbentang, bumi masih terhampar, masih ada kesempatan!
Jangan sombong, Arfin sahut ibunya sambil melangkah ke dapur.


===

Tina termangu di depan meja belajarnya. Bayangan wajah Arfin memenuhi benaknya. Arfin cukup tampan. Ia memiliki jabatan elite di OSIS. Sepasang alisnya bagus, hidungnya sedikit mancung. Dengan bentuk wajahnya yang oval, Arfin jadi cenderung berwajah manis dari pada gantheng. Sorot matanya tajam, mungkin pertanda pria yang punya sifat tanggung jawab dan percaya diri. Agak suka bercanda. Kalau tertawa matanya sedikit menyipit. Sesungguhnya secara diam-diam Tina jatuh simpati pada Arfin.
Pukul sembilan malam Tina masih saja termangu. Kening Tina panas. Buku di depannya yang sudah tergelar didiamkan saja. Pikirannya kacau malam ini. Ajakan Arfin tadi siang sungguh menggangggu konsentrasi belajarnya. Ambyar!
Tina pun membayangkan Arfin, hatinya berkata, “Empat bulan lebih Arfin telah merambah jalan pikiranku. Hal yang tak aku suka. Aku tak ingin jatuh hati. Aku ingin sekolah, bukan jatuh cinta. Tapi selama ini sikap Arfin justru telah menyergapku dan aku terperangkap!” Tina gelisah.
Kolot!” kata Arfin tadi siang. Tina tersenyum pahit. Di telungkupkan wajahnya, berbantal kedua lengannya. Hati Tina sedih. Arfin anak yang baik. Tina larut dalam bayangan Arfin. Bayangan dirinya kini mengalir di tengah pusaran kisah yang telah dibangun oleh Arfin.
Ah tidak! Aku harus berkata tidak!gumamnya perlahan. Malam semakin sepi. Dimatikan lampu belajarnya. Tapi ia tetap duduk di kursi belajarnya. Tidak beranjak. Gadis cantik ini benar-benar gelisah.
Bayangan peristiwa tadi siang bersama Arfin dan Isah  membekas di benaknya. Ia telah berkata, “Tidak!” Bukan hanya kepada Arfin, bahkan ia menegaskan pula sikap ini kepada Isah, sahabat karibnya.
Tidak Isah, aku harus mempertahankan harga diriku. Aku wanita, tak pantas main ke tempat anak putra!” kata Tina tadi siang, agak sewot kepada Isah, “Aku nggak mau!”
Turunkan egomu sedikit, Tina! Minimal mari kita bicarakan baik-baik!” ajak Isah hati-hati. Tina merenung sejenak, memiringkan mukanya. Menyibak rambutnya pelan. Rambut di dahinya terangkat pelan lalu seakan sebaris demi sebaris kembali lagi ke posisi awal.
Tina sebenarnya kamu ini suka nggak sih sama Arfin?” tanya Isah  hati-hati. Ia takut Tina tersinggung. Tina menatap mata Isah, tajam sekali. Kemudian bibirnya yang mungil pun mengerucut, berkemik pelan.
Menurutmu?” suara Tina, demikian datar. Tanpa emosi. Namun sesungguhnya dadanya berdebar kencang. Isah  menghela nafas. Dipegangnya pundak Tina dengan lembut. Menata perasaan untuk menjawabnya dengan jujur.
Menurutku, kau sebenarnya suka pada Arfin!”
Hening. Keduanya terdiam. Udara seperti berhenti bertiup. Suasana jadi terasa begitu lengang. Seakan dunia sudah hilang seluruh isinya, yang ada hanya debur jantung di dadanya yang semakin berdenyut tak terkendali.
Tina tertunduk. Nafasnya berkejaran. Wajahnya memucat. Matanya berkerejap. Digigitnya bibirnya. Perasaan yang disimpannya dalam-dalam telah tertebak. Dirinya seperti melayang. Semua seperti jadi ringan. Debar dadanya membuat ia semakin pucat. Tenaganya seakan habis. Dipegangnya tangan Isah. Mencari kekuatan. Isah  kaget. Tangan Tina terasa begitu dingin. Ditatapnya wajah Tina yang pucat.
Kamu sakit, Tina?” tanya Isah  dengan khawatir. Tina menggeleng lemah. Sinar matanya meredup. Wajahnya begitu sendu.
Aku lemas sekali, Isah !” jawab Tina pelan, “Tapi aku nggak apa-apa!”
Isah  tersenyum. Dicubitnya pipi Tina perlahan.
Kamu telah jatuh cinta, Tina!” kata Isah  perlahan, berkesimpulan.
Tidak, Isah !” kata Tina perlahan pula, “Aku harus mengatakan tidak!
“Tidak!” suara Tina serak sambil menggelengkan kepala. Dipejamkan matanya. Bagai sekumpulan embun yang telah menggenang, dari antara bulu matanya, kini mengalir, menganak-sungai, air mata. Ia kuatkan hatinya. Ia ingkar. Ia tak mau menghapus air mata di pipinya. Ia harus tabah.
“Aku tidak menangis!” suaranya pelan. Isah hanya tercengang. Namun panas pula kelopak mata Isah. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Tina menengadahkan kepala, memejamkan mata. Ia mencoba menahan keluarnya air mata. Menahan seluruh perasaannya.
“Aku tidak menangis!” suaranya serak dan sangat pelan.
Siang itupun berlalu. Di tinggalkannya ruang tamu rumah Isah. Gelisah di bawanya pulang ke rumah dengan bayangan Arfin berkibaran di benaknya. Dan malam ini ia kembali gelisah. Pukul sebelas malam Tina masih belum tidur.
Dalam kegelapan ia berketetapan hati. Ia bangun. Dinyalakannya lampu belajarnya. Dicarinya selembar kertas putih. Ia lalu menulis perlahan.
“Tidak!”
Kemudian ia beranjak ke tempat tidur. Ia pun tertidur karena kelelahan, sementara hari sudah berganti tanggal. 
Jam dindingnya tetap menunjukkan pukul 08.14, karena sudah empat hari sang baterai habis masa baktinya, seharusnya pukul 00.46 dini hari.
===

Hari Jumat pukul empat sore di Toko Swalayan Harum.
Isah  dan Tina ada di sana. Berdua berjalan ke arah kasir sebelah barat, untuk membayar barang pribadi yang sudah diambilnya. Kasir yang sedang sendirian itu tersenyum untuk kedua remaja itu.  
Dua barang. Yang satu memiliki sepasang tali coklat muda untuk bagian pundak, memiliki dua buah hak-kait kecil yang kalau dipakai harus berada di punggungnya. Yang satunya terbungkus rapi dengan warna semarak, bentuknya kotak memanjang, empuk, sepertinya terbuat dari kapas yang lembut. Tina mengulurkan dua lembar uang kertas. Sang kasir pun karena sendirian sedikit sibuk.
Tina!” sebuah suara di belakang keduanya. Isah  dan Tina menoleh, bersamaan secara reflek. Mereka sangat mengenal suara tersebut.
Arfin! Dan seorang wanita semampai, sederhana, yang sedang tersenyum ada di samping Arfin. Terbeliak mata Tina dan Isah . Kedua remaja putri ini belum mengenalnya.
Assalamu’alaikum, Tina!” suaranya lembut. Tangan sang wanita terulur.
“Waalaikumsalam!” Tina tersipu.
Bu Lastri! Saya ibunya Arfin!” kata si wanita ramah saat bersalaman.
Oh, ya! Saya Tina, ini Isah, teman Arfin di sekolah!” Isah  pun bersalaman. Tina menunduk. Wajahnya merona. Dingin kembali merambati seluruh tubuhnya. Dia gamit tangan Isah. Ia harus segera pergi. Ia ingin menghindar dari situasi yang tak disangkanya ini. Jika pantas Tina ingin segera berlari. Tapi Tina anak yang sopan dan pandai menahan diri.
Sudah, Bu. Maaf saya duluan!  Asaalamu’alaikum!” pamit Tina dengan tegas sambil menundukkan badan. Secepat itu pula mereka berpisah. Tina berlalu. Langkahnya sedikit dipercepat. Debar dadanya berangsur tertata kembali karena menjauh. Ia mengambil nafas lega ketika sampai di anak tangga depan toko.
Tina!” Tina kembali tersentak. Suara yang tadi, dengan nada yang sama. Arfin! Tina menoleh. Arfin di depannya dan Bu Lastri tiga meter darinya sedang tersenyum memperhatikan mereka.
Maaf Tina. Ini barang dan uang kembalian dari kasir!” kata Arfin sambil menyerahkan tas kresek dan uang kembalian
Terima kasih Arfin!” digigitnya bibirnya. Tina mengangguk ke Bu Lastri. Berbalik dan Tina pun segera berlalu dengan perasaan nggak karu-karuan. Ada malu, marah kepada diri sendiri, ingin nangis, ingin tertawa, campur aduk.
Kau telah tergesa-gesa. Lupa dengan barang yang kau beli!” bisik Isah . Tina diam saja tapi dicubitnya lengan Isah  perlahan.
Akhirnya kau kenalan juga dengan ibunya kan?!” kata Isah  sambil cengengesan. Dan pada saat bersamaan Arfin di dalam toko sedang tersenyum dengan muka merona di depan ibunya. Karena ibunya barusan berkata pelan di telinga kanannya.
Tina cantik, Arfin!”
Sesampai di rumah, diulanginya pujian ibunya untuk Tina.
“Tina cantik, Arfin!”
Arfin membalasnya dengan singkat,
“Terimakasih, Bu! Gadis untuk Ibu!”

===

Bagi Tina kejadian tak sengaja pada hari Jumat itu sangat istimewa dan mengesankan. Dia tersenyum-senyum sendiri ketika mengingatnya.
Sampai kini Tina tidak tahu bahwa sesungguhnya pertemuan di Toko Harum itu bukan suatu kebetulan. Di kantin sekolah, di saat Tina janjian dengan Isah  bahwa jam empat sore akan ke Toko Harum telah didengarkan oleh Mansyur Gozali dan berita ini disampaikannnya ke Arfin.
Hari itu juga, pukul tiga sore, Arfin mulai merayu ibunya. Memaksanya untuk pergi berdua ke Toko Harum pada jam setengah empat. Untuk sekedar berbelanja dan berkenalan dengan Tina. Mereka bertemu di toko, berpura-pura, seakan-akan suatu kebetulan, mereka pergi ke Toko Harum pada hari dan jam yang sama dengan Tina.
Gadis untuk Ibu!

Purbalingga, 13 November 1999
Dariku, untukmu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar