Gadis untuk Ibu
Toto Endargo
Toto Endargo
Perpustakaan.
Pukul 09.20.
Ada sejuta harap
di hati Arfin. Permohonan dan alasan telah tersampaikan. Kata-katanya telah
tertata dengan lancar. Saat ini, di perpustakaan, diantara kesibukannya, ia menunggu jawaban. Tina membisu. Bibirnya terkatup
rapat, mengerucut, membuat pipinya sedikit menggelembung.
“Tidak pokoknya tidak!” jawaban Tina.
“Sebentar saja! Seperempat jam saja!” rajuk Arfin.
“Tidak!” jawab Tina sambil
menatap Arfin.
“Etika!” jawab Tina tegas, matanya berkilat suaranya penuh tekanan, sangat serius. Arfin tertegun, perasaannya tersinggung. Ajakannya ditolak.
“Etika yang mana?” desisnya, “Kenapa kau begitu kolot. Sekarang jaman komputer, internet, bukan lagi jaman
Siti Nurbaya. Kenapa sih kamu kolot begitu?” suara Arfin datar. Ia merasa tak
mampu menundukkan hati Tina.
“Dengar Arfin!” kata Tina. Tangannya menyibak rambut
di dahinya. Ditatapnya
Arfin dengan tajam. Gadis cantik ini sedang menahan gejolak hati yang meletup-letup,
“Kau boleh menilaiku kolot
atau apapun yang bermaksud sama. Aku punya harga diri. Aku wanita. Aku gadis. Tidak! Aku tidak akan menuruti ajakanmu! Aku punya hak untuk menolakmu! Camkan itu!” penjelasan Tina tegas, melepaskan emosinya yang memuncak.
Tina menundukkan kepala, bibirnya yang pucat menguncup. Hatinya
melembut. Ia segera sadar! Tak pantas marah-marah kepada Arfin. Dadanya berdebaran. Ada kilatan bening
membayang di bola matanya. Arfin tergagap! Seperti ada ludah kering mengganjal di tenggorokannya. Dan ada rasa nelangsa merayapi
hatinya.
Tina berbalik perlahan. Tina
Maharani gadis semampai
yang cantik itupun berlalu, berjalan
bersama sahabatnya. Melangkah meninggalkan Arfin
sendiri. Arfin menatap punggungnya.
Sepi dan kecewa segera
menyergap perasaan Arfin. Memeluk lubuk hatinya. Ia ingin menangis. Ia mengambil nafas panjang
dan menghembuskannya pelan. Dadanya sesak. Ditatapnya lantai serambi
ruang perpustakaan yang berdebu. Menengadah dan bibirnya berdesis, “Ya Allah, berilah hamba-Mu kekuatan dan kesabaran hati. Amin!”
Hari ini hati Arfin
berdesir perih. Kesempatan ketika pulang gasik, pulang lebih awal musnah
sudah. Disandangnya tas ransel yang penuh buku dengan malas.
Ia susuri serambi kelas yang panjang, sendirian. Tak peduli dengan
lingkungan. Tak peduli dengan
para sahabatnya. Ia ingin sendiri.
Arfin melangkah dan berlalu. Serambi perpustakaan itu
kembali sepi. Dan semakin sepi. Angin siang berhembus mengelus rambutnya yang tergerai di dahi. Hari Rabu yang tak
bersahabat. Arfin tahu hari ini ada rapat guru. Siswa dipulangkan lebih awal. Ia membacanya
di papan pengumuman di ruang
guru, tadi
pagi, ketika ia mengambil kapur. Arfin sedih, mukanya tertunduk lesu.
Tina yang berhidung
mungil, diapit sepasang pipinya yang khas, cantik. Rambutnya sedikit ikal, panjang,
sepinggang. Ada
rambut yang tergerai di dahi, melengkung di sisi kanan. Matanya berbinar-binar.
Jika ia tertawa pipinya bertambah menonjol, justru di situlah daya tariknya. Arfin suka memandanginya. Sudah lima bulan Arfin mencoba
mendekatinya. Melambungkan angan menjadi sahabat yang paling istimewa bagi Tina. Hanya bermodal tabah dan sabar Arfin
mendekati Tina.
Ia terlalu berharap bahwa hari
ini, ketika pulang gasik, Tina berkenan ke rumahnya untuk dikenalkan kepada ibunya. Ternyata Tina menolak. Tidak bersedia untuk sekedar hadir beberapa
saat. Harapannya kandas, berbuah kecewa. Harapan dan kehampaan merasuki kehidupan Arfin
hari ini. Apa yang harus dikatakan kepada ibunya nanti sesampai di rumah? Perasaan
sedih dan kesal begitu dekat, lekat dan menghimpitnya. Arfin terlanjur berjanji
pada ibunya!
Dilemparkan tas-ranselnya ke tempat tidur.
Dibuka sepatunya. Ia pergi mencuci muka, dan kakinya . Ada rasa dingin menyentuh raganya.
“Pulang awal, Arfin! Mana Tina?” suara ibunya
mengagetkan Arfin.
“Ah, Ibu! Kenapa harus tanya
tentang Tina!” jawabnya.
“Lho, bukankah kau yang berjanji sendiri. Suatu saat, kalau kau pulang awal, Tina,
temanmu yang kau bilang paling cantik, akan kau ajak ke rumah.”
“Gagal Bu, dia tidak mau!” kata Arfin berterus
terang.
“Apa alasannya? Kamu nakal barangkali!” tegur ibunya.
“Kata Tina, sie. Tidak
sopan anak putri main ke tempat anak putra” jawab Arfin lirih. Ibunya mengernyitkan
dahi. Ia kagum dengan alasan Tina.
“Alasan yang baik Arfin.
Kini ibu yakin Tina anak yang sopan dan bisa menjaga diri. Anak yang punya pendirian!” terang
ibunya, “Kau harus sopan dan menghargai pendiriannnya itu Arfin!”
“Jadi aku tidak boleh
memaksanya ke rumah, Bu”
“Tidak boleh. Ia anak yang
baik, Arfin!”
“Ah nggak! Masa sih Arfin kalah sama Tina”
“Maksudmu?”
“Ibu harus
berkenalan dengan Tina!”
“Terserah kamulah! Tapi Arfin harus sopan dan
menghormatinya. Ingat!”
Arfin tertunduk. Ada
keraguan menyelinap di hatinya. Ia ragu dapat menundukkan hati Tina. Arfin
belum mau menyerah. Ia mencoba berpuisi untuk menguatkan tekadnya.
“Perjuangan belum selesai, Bu. Langit masih
terbentang, bumi masih terhampar, masih ada kesempatan!”
“Jangan sombong, Arfin” sahut ibunya sambil
melangkah ke
dapur.
===
Tina termangu di depan meja
belajarnya. Bayangan wajah Arfin memenuhi benaknya. Arfin cukup tampan. Ia memiliki
jabatan elite di OSIS. Sepasang alisnya bagus, hidungnya sedikit mancung. Dengan bentuk
wajahnya yang oval, Arfin jadi cenderung berwajah manis dari pada gantheng. Sorot
matanya tajam, mungkin pertanda pria yang punya sifat tanggung jawab dan
percaya diri. Agak suka bercanda. Kalau tertawa matanya sedikit
menyipit. Sesungguhnya
secara diam-diam Tina jatuh
simpati pada Arfin.
Pukul sembilan malam Tina
masih saja termangu. Kening Tina panas. Buku di depannya yang sudah tergelar
didiamkan saja. Pikirannya kacau malam ini. Ajakan Arfin tadi siang sungguh
menggangggu konsentrasi belajarnya. Ambyar!
Tina pun membayangkan
Arfin, hatinya berkata, “Empat bulan lebih Arfin telah merambah jalan
pikiranku. Hal yang tak aku suka. Aku tak ingin jatuh hati. Aku ingin
sekolah, bukan jatuh
cinta. Tapi selama ini sikap Arfin justru telah menyergapku
dan aku terperangkap!” Tina gelisah.
“Kolot!” kata Arfin tadi siang. Tina
tersenyum pahit. Di telungkupkan wajahnya, berbantal kedua lengannya.
Hati Tina sedih. Arfin anak yang baik. Tina larut dalam bayangan Arfin. Bayangan dirinya kini mengalir di
tengah pusaran kisah yang telah dibangun oleh Arfin.
“Ah tidak! Aku harus
berkata tidak!” gumamnya perlahan. Malam semakin sepi. Dimatikan lampu belajarnya. Tapi ia tetap duduk di kursi
belajarnya. Tidak beranjak. Gadis cantik ini benar-benar gelisah.
Bayangan
peristiwa tadi
siang bersama Arfin dan Isah membekas di
benaknya. Ia telah berkata,
“Tidak!” Bukan
hanya kepada Arfin, bahkan ia menegaskan pula sikap ini kepada Isah, sahabat karibnya.
“Tidak Isah, aku harus mempertahankan
harga diriku. Aku wanita, tak pantas main ke tempat anak putra!” kata Tina tadi siang, agak sewot kepada Isah, “Aku nggak mau!”
“Turunkan egomu sedikit, Tina! Minimal mari kita bicarakan baik-baik!” ajak Isah hati-hati. Tina merenung sejenak,
memiringkan mukanya. Menyibak rambutnya pelan. Rambut di dahinya terangkat pelan lalu
seakan sebaris demi sebaris kembali lagi ke posisi awal.
“Tina sebenarnya kamu ini
suka nggak sih sama Arfin?” tanya Isah hati-hati. Ia takut Tina tersinggung. Tina
menatap mata Isah, tajam sekali. Kemudian bibirnya yang mungil pun mengerucut, berkemik pelan.
“Menurutmu?” suara Tina, demikian datar.
Tanpa emosi. Namun sesungguhnya dadanya berdebar kencang. Isah menghela nafas. Dipegangnya pundak Tina dengan
lembut. Menata
perasaan untuk menjawabnya dengan jujur.
“Menurutku, kau sebenarnya
suka pada Arfin!”
Hening. Keduanya terdiam.
Udara seperti berhenti bertiup. Suasana jadi terasa begitu lengang. Seakan dunia sudah
hilang seluruh isinya, yang ada hanya debur jantung di dadanya yang semakin
berdenyut tak terkendali.
Tina tertunduk. Nafasnya
berkejaran. Wajahnya memucat. Matanya berkerejap. Digigitnya bibirnya. Perasaan
yang disimpannya dalam-dalam telah tertebak. Dirinya seperti melayang. Semua
seperti jadi ringan. Debar dadanya membuat ia semakin pucat. Tenaganya seakan habis.
Dipegangnya tangan Isah. Mencari kekuatan. Isah kaget. Tangan Tina terasa begitu dingin. Ditatapnya wajah Tina yang pucat.
“Kamu sakit, Tina?” tanya Isah dengan khawatir. Tina menggeleng lemah.
Sinar matanya meredup. Wajahnya begitu sendu.
“Aku lemas sekali, Isah !” jawab Tina pelan, “Tapi aku nggak apa-apa!”
Isah tersenyum. Dicubitnya pipi Tina perlahan.
“Kamu telah jatuh cinta, Tina!” kata Isah perlahan, berkesimpulan.
“Tidak, Isah !” kata Tina perlahan pula, “Aku harus mengatakan tidak!”
“Tidak!” suara Tina serak
sambil menggelengkan kepala. Dipejamkan matanya. Bagai sekumpulan embun yang
telah menggenang, dari antara bulu matanya, kini mengalir, menganak-sungai, air
mata. Ia kuatkan hatinya. Ia ingkar. Ia tak mau menghapus air mata di pipinya. Ia
harus tabah.
“Aku tidak menangis!” suaranya
pelan. Isah hanya tercengang. Namun panas pula kelopak mata Isah. Air mata
menggenangi pelupuk matanya. Tina menengadahkan kepala, memejamkan mata. Ia mencoba
menahan keluarnya air mata. Menahan seluruh perasaannya.
“Aku tidak menangis!” suaranya
serak dan sangat pelan.
Siang itupun berlalu. Di tinggalkannya
ruang tamu rumah Isah. Gelisah di bawanya
pulang ke rumah dengan bayangan Arfin berkibaran di benaknya. Dan malam ini ia
kembali gelisah. Pukul sebelas malam Tina masih belum tidur.
Dalam kegelapan ia berketetapan
hati. Ia bangun. Dinyalakannya lampu belajarnya. Dicarinya selembar kertas
putih. Ia lalu menulis perlahan.
“Tidak!”
Kemudian ia beranjak ke
tempat tidur. Ia pun tertidur karena kelelahan, sementara hari sudah berganti
tanggal.
Jam dindingnya tetap menunjukkan pukul 08.14, karena sudah empat hari sang baterai habis masa baktinya, seharusnya pukul 00.46 dini hari.
Jam dindingnya tetap menunjukkan pukul 08.14, karena sudah empat hari sang baterai habis masa baktinya, seharusnya pukul 00.46 dini hari.
===
Hari Jumat pukul empat sore di Toko Swalayan Harum.
Isah dan Tina ada di sana. Berdua berjalan ke arah
kasir sebelah barat, untuk membayar barang pribadi yang sudah diambilnya. Kasir yang sedang
sendirian itu tersenyum untuk kedua remaja itu.
Dua barang. Yang satu
memiliki sepasang tali coklat muda untuk bagian pundak, memiliki dua buah
hak-kait kecil yang kalau dipakai harus berada di punggungnya. Yang satunya terbungkus rapi dengan warna semarak, bentuknya kotak
memanjang, empuk, sepertinya terbuat dari kapas yang lembut. Tina mengulurkan dua lembar uang kertas. Sang kasir pun karena sendirian sedikit sibuk.
“Tina!” sebuah suara di belakang keduanya. Isah dan Tina menoleh, bersamaan secara reflek. Mereka sangat mengenal suara tersebut.
Arfin! Dan seorang wanita
semampai, sederhana, yang sedang tersenyum ada di samping Arfin. Terbeliak mata Tina dan Isah . Kedua
remaja putri ini belum mengenalnya.
“Assalamu’alaikum, Tina!” suaranya lembut. Tangan sang wanita terulur.
“Wa’alaikumsalam!” Tina tersipu.
“Bu Lastri! Saya ibunya Arfin!”
kata si wanita ramah saat bersalaman.
“Oh, ya! Saya Tina, ini Isah, teman Arfin di sekolah!” Isah pun bersalaman. Tina menunduk. Wajahnya merona.
Dingin kembali merambati seluruh tubuhnya. Dia gamit tangan Isah. Ia harus segera pergi. Ia ingin menghindar dari
situasi yang tak disangkanya ini. Jika pantas Tina ingin segera berlari. Tapi Tina anak
yang sopan
dan pandai menahan diri.
“Sudah, Bu. Maaf saya duluan! Asaalamu’alaikum!” pamit Tina dengan tegas
sambil menundukkan badan. Secepat itu pula mereka berpisah. Tina berlalu. Langkahnya
sedikit dipercepat. Debar dadanya berangsur tertata kembali karena menjauh. Ia mengambil nafas lega ketika sampai
di anak tangga depan toko.
“Tina!” Tina kembali tersentak.
Suara yang tadi, dengan nada yang sama. Arfin! Tina menoleh. Arfin di depannya dan Bu Lastri tiga meter
darinya sedang tersenyum memperhatikan mereka.
“Maaf Tina. Ini barang dan
uang kembalian dari kasir!” kata Arfin sambil menyerahkan tas kresek dan uang kembalian
“Terima kasih Arfin!” digigitnya bibirnya. Tina mengangguk ke Bu Lastri. Berbalik dan Tina pun segera berlalu
dengan perasaan nggak karu-karuan.
Ada malu, marah kepada diri sendiri, ingin nangis, ingin tertawa, campur aduk.
“Kau telah tergesa-gesa. Lupa dengan barang yang kau
beli!” bisik Isah . Tina diam saja tapi dicubitnya lengan Isah perlahan.
“Akhirnya kau kenalan juga
dengan ibunya kan?!” kata Isah sambil cengengesan.
Dan pada saat bersamaan Arfin di dalam toko sedang tersenyum dengan muka merona di depan ibunya. Karena ibunya barusan berkata
pelan di telinga kanannya.
“Tina cantik, Arfin!”
Sesampai di rumah,
diulanginya pujian ibunya untuk Tina.
“Tina cantik, Arfin!”
Arfin membalasnya dengan
singkat,
“Terimakasih, Bu! Gadis
untuk Ibu!”
===
Bagi Tina kejadian
tak sengaja
pada hari Jumat itu sangat istimewa dan mengesankan. Dia tersenyum-senyum sendiri ketika mengingatnya.
Sampai kini Tina tidak tahu
bahwa sesungguhnya
pertemuan di Toko Harum itu bukan suatu kebetulan. Di kantin sekolah, di saat Tina
janjian dengan Isah bahwa jam empat sore
akan ke Toko Harum telah didengarkan oleh Mansyur Gozali dan berita ini disampaikannnya
ke Arfin.
Hari itu juga, pukul tiga
sore, Arfin mulai
merayu ibunya. Memaksanya untuk pergi berdua ke Toko Harum pada jam setengah empat. Untuk
sekedar berbelanja dan berkenalan dengan Tina. Mereka bertemu di toko, berpura-pura,
seakan-akan suatu kebetulan, mereka pergi ke Toko Harum pada hari dan jam yang sama
dengan Tina.
Gadis untuk Ibu!
Purbalingga, 13 November
1999
Dariku, untukmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar