TUGAS GAMBAR
Toto Endargo
Hari Kamis. Jam ke
empat-lima, pelajaran seni lukis.
Tidak setiap siswa punya
watak dan tabiat rajin. Tugas menggambar adalah jenis pekerjaan yang
menyebalkan bagi Badrun. Badrun tidak suka. Bayangkan, sudah berusaha
menggambar baik-baik, tapi setiap kali hasilnya tetap tidak memuaskan.
“Badrun, bagus sekali
lukisanmu!” kata Pak Guru ketika mengamati gambar kotak tiga dimensi yang
berwarna biru tipis, memang nampak gambarnya asal jadi. Pak Guru tersenyum.
“Badrun, kamu ada bakat,
tapi masih belum berusaha. Gambar lagi ya” kata Pak Guru.
“Bakat terpendam, bloon menonjol, Pak!” celetuk Aris
Sasongko.
“Ada bakat, Pak. Bakat nglabur tembok!” celemong Heru.
“Bakatnya menggambar di
bantal, Pak. Ngiler!” komentar Puji.
Dua minggu kemudian. Hari
Kamis pagi.
Badrun berangkat sekolah
dengan tergesa-gesa. Ia bangun kesiangan. Di depan sekolahan ia baru ingat, ada
tugas menggambar pemandangan. Astaghafirullah, dia belum menggambar. Apa akal.
Harus ada yang bisa menolong. Siapa?
Haruskah minta tolong pada Dyta, teman satu kelas yang manis itu?
Dyta remaja putri dengan
dahi datar, pipi bagai irisan mangga, bentuk mulut agak menguncup, rambut
sedikit berombak, panjang terurai, manis. Hidungnya adalah hidung pencinta
lingkungan hidup, mungil, lubangnya kecil sehingga irit oksigen. Dyta, di
samping termasuk anak pintar, ia juga pandai menggambar. Mengingat Dyta ada
getaran aneh menyelinap di dadanya. Badrun ingat Dyta suka menggambar di
jam-jam istirahat. “Dyta!” ucapnya perlahan, “Inilah kesempatan aku bisa
pendekatan dengannya!” ide cemerlang Badrun.
Kesempatannya ada di jam
istirahat pertama.
Benar juga, Dyta tidak
istirahat. Ia mengeluarkan alat gambarnya. Cat air, kuas, botol air dan palet,
tempat dari plastik untuk menaruh cat air. Ada tiga anak yang mencoba tetap di
kelas menyelesaikan tugas.
Untuk mendekati Dyta ia
harus berpenampilan sempurna. Badrun ingat kata tetangganya ketika ia masih
kecil. Bahwa yang paling menarik dari Badrun adalah ketika Badrun tertawa.
Kelihatan giginya, lucu. Padahal yang dimaksud lucu adalah karena saat itu
Badrun masih ompong. Badrun tidak tahu hal tersebut. Ingat kata tetangga itu,
maka kali ini Badrun akan mengandalkan ketawa dan senyum lebarnya untuk merayu
Dyta.
“Dyta tolong saya!”
katanya sambil tertawa. Dyta menatapnya. Seperti terperangah.
“Tolong saya digambarkan
sebuah pemandangan! Sebentar saja gambarmu pasti sudah bagus” rayu Badrun
sambil tersenyum lebar, “Sejelek-jelek gambarmu, pasti jauh lebih baik daripada
gambar saya” Badrun tertawa lagi. Dyta menatapnya. Ternyata ada kerut kecil di
dahi setiap kali Dyta menatap tawa Badrun.
Dyta mengangguk. Badrun
bersuka ria. Tanpa pelet pun rayuannya laku, kata-katanya manjur.
“Mana kertas gambarmu?”
tanya Dyta. Badrun segera berkelebat ke bangku Pujiono. Tanpa pamit dia
mengambil selembar kertas dari buku gambar temannya itu. Sret.
“Gambar pemandangan,
Dyta” pintanya lagi. Dyta mengangguk. Dada Badrun bergetar kembali.
Dyta sangat cepat meraih
cat air. Kuas disapukan. Warna biru muda yang sangat tipis memenuhi kertas
bagian atas. Jelas itu gambar langit. Dia menambahkan warna putih sebagai
gambar awan. Luar biasa, kuas sedikit dipuntir-puntir namun sudah meninggalkan
bekas mirip awan yang sesungguhnya.
Dia mengambil warna biru
lebih tua. Ia menggambar gunung. Badrun ingin ngobrol. Ia mencari-cari
pertanyaan. Pertanyaan yang ringan namun mengandung keilmuan.
“Gunungnya berwarna biru.
Kenapa warnanya biru, Dyta?”
“Warna biru lambang
kedamaian!” jawab Dyta singkat. Lalu mengambil warna hijau. Kuas hanya
disapukan secara serampangan sedikit meloncat-loncat. Gambar gerumbul. Semacam
desa di kejauhan. Dengan warna hijau yang lebih tua dia menggambar pepohonan
yang lebat. Ada kombinasi sedikit warna biru dan kuning yang disapukan menjadi
warna hijau yang lebih bagus lagi.
“Warna hijau lambang apa
Dyta?’ Tanya Badrun sambil tersenyum lebar, seluruh giginya nampak. Dyta
menatap senyumnya. Kembali ada kerut kecil di dahi Dyta.
“Hijau lambang kesuburan”
jawab Dyta singkat. Disapukannnya warna coklat dibeberapa tempat. Ya, ampun itu
gambar tanah dan jalan. Baru lima menit, menurut Badrun, sudah tampak gambar
pemandangan yang sangat bagus. Dyta memang jago gambar.
“Coklat warna apa?” Dyta
diam saja.
Dyta mengambil cat warna
kuning. Disapukannnya di bagian tengah. Jadilah. Terbentanglah gambar sawah
dengan padi yang sudah menguning. Disempurnakannnya warna padi menguning itu
dengan beberapa warna hijau yang tipis. Warna kuning kini menjadi warna yang
dominan di bagian tengah gambar pemandangan ini. Badrun penasaran dengan Dyta
yang ditanya namun diam saja.
Ia mengajukan pertanyaan
lagi.
“Kuning warna apa Dyta?”
suaranya dibuat seramah mungkin. Dyta menatapnya. Badrun tersenyum lebar dan
seluruh giginya tampak semua. Dyta diam saja, kembali ia sibuk mengambil dan
memoles warna kuning.
“Kuning warna apa Dyt?”
“Kuning warna .... !”
jawaban menggantung dari Dyta sambil memainkan kuas. Lalu diam lagi. Badrun
penasaran.
“Kalau biru warna
kedamaian, hijau warna kesuburan, kalau kuning warna apa?” tanya Badrun nekad.
Dyta menaruh kuas di
palet. Ditatapnya wajah Badrun. Badrun bergetar.
“Kuning warna apa Dyta?”
Pertanyaan Badrun sambil tersenyum lebar, sorot matanya penuh permohonan. Kini
ada lima anak yang berkumpul menonton Dyta menggambar untuk Badrun. Dyta
memberikan sentuah akhir di seluruh bidang gambar. Gambar pemandangan yang
bagus. Ada langit, gunung, gerumbul dan pohon-pohon, jalan, dan dominasi gambar sawah yang sedang
menguning.
“Dyta, kuning warna apa,
koh?” tanya Badrun dengan nada lebih ngodor.
Dyta menatapnya. Badrun tersenyum lebar.
Bibir Dyta berkemik
sedikit, ia menundukkan kepala. Terdengar jawabannya dengan jelas.
“Kuning warna gigimu!”
Klakep! Mulut Badrun
langsung tertutup. Ada semburat merah memenuhi wajah Badrun.
“Kuning warna gigimu!”
itu suara Dyta yang bagaikan suara gema di lorong gua, memukul-mukul dinding
benaknya. Saraf motoriknya langsung secara reflek menjadikannnya segera
menutupi mulutnya. Tatapannya menjadi nanar. Badrun sempat melihat Dyta
mengulurkan tangan, memberikan gambar pemandangan itu kepadanya. Badrun pun
menerimanya. Ia hanya mengangguk! Terdengar suara anak-anak menirukan kata-kata
Dyta. Terdengar juga kekeh tawa teman-temannya. Ampun!
Jam istirahat habis. Jam
ke empat-lima pelajaran seni lukis.
Konon, sejak saat itu,
setiap hari, terutama sebelum berangkat sekolah, Badrun menjadi rajin, tidak
lupa untuk selalu menggosok giginya.
He, he, he ...
Semoga tidak ada satupun
yang tersinggung dengan ceritera tentang tugas gambar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar