Serius PKK
Oleh:
Toto Endargo
Jumeri
melihat anak putri menulis nama tidak lengkap, segera polah usilnya kumat.dan mengubah nama anak.
***
Saat menunjukan alamat
rumah, terutama tentang nama jalan, ada kalanya ditambahi dengan kata “belakang”
di belakang nama jalan. “Rumahnya di Jalan Lawet Belakang”. Kata belakang pada
konteks ini ternyata mengandung maksud bahwa posisi rumah tidak persis di
pinggir Jalan Lawet. Tapi harus masuk beberapa meter di sebelah
kanan atau di sebelah kiri dari Jalan Lawet. Di
kanan-kiri jalan tersebut terdapat perkampungan. Hal semacam ini ternyata berlaku
juga untuk nama jalan-jalan yang lain.
Nama perkampungan tidak
selalu didasarkan pada nama yang telah diberikan oleh para tokoh. Bahkan ada
kecenderungan sebuah tempat diberi nama dengan apa yang ada di tempat tersebut.
Maka jika kali ini saya menyebut Kampung Lawet Utara
atau saya perpendek menjadi “Kampung Lawut”, maksudnya
adalah
kumpulan rumah, atau perkampungan yang ada di sebelah utara jalan Lawet,
Purbalingga. Kampung Lawut suasananya demikian damai, seakan demikianlah
takdirnya. Rumah berdiri dengan prinsip terbuka, transparan, bersaudara,
saling percaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kondisi antar rumah, antar
tetangga, tidak ada
pemisah, baik dibatasi pagar maupun dipisahkan oleh tembok. Sebuah
perkampungan tanpa pagar keliling.
Secara
geografis Kampung Lawut itu sangat wajar, berada persis di depan
Gedung Kawedanan sebagai salah pusat kekuasaan di masanya. Dibatasi
oleh empat jalan aspal. Sebelah utara jalan provinsi, Jalan Jendral Sudirman.
Sebelah selatan jalan Lawet itu sendiri. Sebelah timur jalan Pasukan Pelajar
IMAM dan di barat Jalan Kapten Sarengat. Hal yang menjadi cukup unik adalah
ketika melihat cara penduduk Kampung Lawut merancang gang. Kampung ini ternyata
tidak
memiliki gang penghubung yang lurus menembus kampung.
Sebagai sarana
penghubung keluar-masuk pemukiman hanya mengandalkan gang, lebarnya
hanya sekitar satu setengah meter, lebih layak disebut jalan setapak dari pada
gang. Dari
lajur Jalan Lawet ke perkampungan ada lima gang, dengan jarak antar
gang yang nyaris sama. Lalu dari Jalan Jendral Sudirman ada
dua gang. Satu di sebelah barat komplek Gereja Jawa dan satu lagi dekat Babah
Kim Thae.
Dari timur hanya
satu gang yaitu dekat rumah Keluarga Pak Daryanto.
Dan dari barat ada satu gang yaitu di dekat Toko Sepatu Setuju. Uniknya seperti
tertulis di atas, tidak ada satupun dari gang-gang itu yang berhubungan secara langsung
menjadi garis lurus membelah kampung.
Kalau kita masuk
ke tengah perkampungan kita akan diajak bertamasya, melihat rumah penduduk,
ada
yang dari depan, dari samping dan ada yang dari belakang. Sesekali juga
kita bisa melihat jemuran baju atau jemuran kayu bakar. Jika di beberapa
tempat ada tanah kosong umumnya ditanami pohon pisang atau pepaya.
Untuk
kesuburan tanah dan pembuangan air limbah ada saluran air, ada sungai yang
disebut Kali Kliwon. Saya menamakannya sungai Tumbras, membelah dari barat, di sebelah
Toko Tumbras, Hotel Utama, belok ke timur, masuk ke Kampung Lawut di selatan Toko
Sepatu Setuju. Sungai kecil ini belum sampai ke tengah kampung ternyata harus
belok ke selatan.
Perkampungan
Lawet Utara adalah kampung yang damai. Setiap
penghuni dalam satu komplek sangat mengenal tetangganya. Bahkan orang tua pun, dalam
radius lima puluh meter, mengenal nama setiap anak kecil yang
lewat dan siapa pula orang tuanya. Pekerjaan orang tua
bermacam-macam dari pegawai negeri, pegawai swasta, pejabat, pedagang kaki lima,
sampai para penjual jasa seperti buruh dan penarik roda tiga.
Di
sekitar Kampung Lawut di tahun 1986, ada tiga sekolah setingkat SMP yaitu SMP
Masehi, SMP PGRI dan SMP Negeri 2 Purbalingga, namun barangkali karena status
negeri, maka umumnya anak-anak Kampung Lawut masuk SMP Negeri 2 Purbalingga.
Cukup dengan jalan kaki seratus-duaratus meter mereka sudah sampai di
sekolahan.
Salah
satu warga Kampung Lawut yang berkenan menyekolahkan putra-putrinya ke SMP
Negeri 2 Purbalingga adalah keluarga Pak Roes, antara lain adalah putranya yang
nomor terakhir, kakaknya dan kakaknya lagi. Putra Pak Roes yang bontot bernama
Pujiono, tahun 1985/1986 duduk di kelas IIC. Wali kelasnya, guru yang berbadan besar,
berkulit putih, dengan potongan rambut yang khas. Potongan setengah, 2, 3.
Artinya rambut di atas kedua telinga dipotong sangat pendek, setengah cm, sehingga terlihat kulit kepalanya yang putih,
bagian atas dua cm, dan bagian atas depan yang sedikit mencuat kira-kira tiga
cm, di sisir rapi ke kiri. Tertawanya cerah. Mengajar Bahasa Inggris, nama
beliau Bapak Sunaryo.
Ada dua
guru yang bunyi namanya sama: Pak Soenaryo dan Pak Sunaryo. Pak Soenaryo guru
Bahasa Indonesia, wali kelas I, biasa disebut sebagai Pak Soenaryo (A) dan guru
Bahasa Inggris disebut sebagai Pak Sunaryo (B) atau Pak Naryo B.
***
Hari
Selasa, tanggal 3 Juni 1986. Pukul
07.07.
Pak
Naryo B. berdiri di depan kelas. Pagi hari kewajiban wali kelas adalah menyambangi
warga kelasnya. Ada tiga kegiatan yang utama: mendata kehadiran siswa,
memeriksa kebersihan kelas, dan menagih iuran siswa, istilahnya SPP, Sumbangan
Pembinaan Pendidikan, tiap anak 800 rupiah.
“Sapa
sing dina kiye ora mlebu, bocah?” tanya Pak Naryo B.
“Pujiono,
Pak!” jawab anak-anak. Salah satu di antaranya terdengar suaranya Wahyu Setiati
yang duduk di depan.
“Lho,
Pujiono! Berarti mriyange urung mari, kiye. Dadi wis rong dina ora mlebu!”
gumam Pak Naryo B. menggunakan basa Banyumasan. Ada lintasan wajah Pujiono di
benak Pak Naryo B. Pujiono golongan anak yang rajin mengerjakan tugas dan mampu
menjawab pertanyaan. Ada raihan nilai bagus di buku nilai beliau atas nama
Pujiono.
“Eman-eman
banget, bocah meneng tur pinter deneng mriyang ya” kata-katanya di batin,
“Dhonge sing ora mlebu, yaa sing sok semblothongan neng kelas. Jumeri, Sugeng
Riyanto, apa Lasmono. Dhonge telu kuwe sing pada prei!”
Mriyang
atau sakit adalah hal yang wajar. Malah menyenangkan bagi anak yang malas sekolah. Namun kewajaran
ini sama sekali tidak diinginkan oleh Pujiono. Hanya
kerena tekanan dari ayahnya saja yang bisa menghentikan gejolaknya untuk berangkat
sekolah. Pak Roes merasa tidak tega putra bontotnya yang tidak juga gemuk-gemuk,
namun badannya mulai meninggi itu, sakitnya menjadi-jadi.
“Pak,
ngenjang kula pangkat sekolah!” pamitnya pada hari Senin malam.
“Ora.
Dina Rebo bae mangkate. Ngesuk ora susah sekolah. Qo, angger mriyange kebanjur
sapa sing arep tanggung jawab maring dokter?” kata-kata Pak Roes, walau penuh
tekanan namun sesungguhnya penuh nada kasih sayang.
“Ngenjang
Bahasa Inggris, Pak!”
“Ya,
ora papa. Gurune pinter Bahasa Inggris deneng yaa ora maring Inggris! Sing
penting qo, mengko-mengkone lewih pinter tinimbang guru-gurumu! Yaa!”
“Inggih,
Pak!” jawab Pujiono pasrah. Senen- Selasa ora mangkat sekolah!
Setelah
mendata siswa. Pak Naryo B. menyebut nama Jumeri. Barangkali karena Jumeri
mudah diingat. Anaknya tinggi, putih, sedikit senyum. Rambut dan bibirnya khas.
Rambutnya tidak pernah dipotong pendek. Bibirnya memiliki warna yang khas.
“Jumeri,
kyeh! Qo tek wei tugas ya. Mengko ngawan, bali sekolah, qo ngejek batire, telu
apa pira, maring nggone Pujiono!” Pak Naryo B. berhenti sebentar seperti ada
yang dipikirkan. Anak-anak langsung diam. Takut kalau darah tingginya Pak Naryo
B. naik. Bisa merepotkan seluruh penghuni kelas! Eh, ternyata Pak Naryo sedang
berpikir tentang alamat rumah Pujiono.
“Pujiono
sie umahe ngendi?” tanyanya kepada anak sekelas.
“Jalan
Lawet, Pak!” jawab Suchedi degan tenang bersamaan dengan suara Jumeri dan
Jaidi.
“Oh, ya
perek ya! Pujiono detiliki yaa!” kata Pak Naryo B. sambil menatap Jumeri.
Jumeri mengangguk.
Jam
pertama, kedua, sampai istirahat pertama, semua berjalan wajar. Rutinitas
kegiatan belajar mengajar. Guru mengajar, siswa diajar. Guru bertanya, siswa
menjawab. Tapi pada keadaan tertentu, guru bicara ke siswa, siswa juga bicara
dengan sesama siswa. Guru reang,
siswa lewih reang maning.
Masuk
jam ke empat, ada sesuatu yang lain. Saat pelajaran Matematika. Ibu Hardinah,
guru PKK, masuk ke kelas. Berdiri di dalam kelas, hanya tiga puluh centimeter
dari kusen pintu.
“Maaf,
Pak Edy. Mau pengumuman untuk anak putri!” pamitnya Bu Hardinah.
“Oh,
mangga, mangga, Bu. Silahkan!” jawab Pak Edy Wiratno dengan ramah. Anak-anak
memperhatikan Bu Hardinah. Terutama anak putri.
“Khusus
untuk anak putri ya! Bu Guru hanya mengingatkan saja. Besok hari Kamis kalian
praktek masak! Jangan lupa! Kelompok yang belum menyerahkan daftar nama
kelompok dan pembagian tugas masing-masing, harus setoooor ke saya hari ini
juga. Harus hari ini! Jelas!” suara Bu Hardinah penuh tekanan.
“Jelaaasss!”
suara anak putra-putri serempak.
“Jelas!”
suara Lasmono sendirian, keras, dua detik setelah teman-temannya menjawab
dengan serentak. Sengaja! Lasmono ngeledek ibu guru. Bu Hardinah tersinggung,
malas melayani anak bandel, marahnya dibatalkan.
Anak
putri segera bereaksi membagi kelompok PKK. Anak putra bereaksi bikin gaduh
suasana. Pak Edy Wiratno tersinggung.
“Anak-anak,
kita lanjutkan. Sekarang pelajaran Matematika, untuk PKK nanti saja saat
istirahat!” kata Pak Edy, anak-anak manut. Diam! Memperhatikan!
Mata
pelajaran PKK masuk kelompok pendidikan keterampilan. PKK sering dipanjangkan
menjadi Pendidikan Keterampilan Keluarga, yang benar Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga. Gurunya Ibu Hardinah. Waktu yang disediakan untuk PKK dalam satu
minggu 4 jam pelajaran. PKK dikhususkan untuk anak putri. Anak putra diajar
Elektronika. Sesuai kurikulum kelas II, PKK mempelajari Bab Tata Boga.
Mempelajari hal ikhwal makanan dan cara memasak. Dan besok hari Kamis adalah
jadwal Kelas IIC dan IID untuk praktek masak.
Theettt....!
Bunyi bel istirahat kedua.
Anak
perempuan sibuk membagi tugas, siapa dan alat apa yang harus dibawa besok hari
Kamis. Hal bahan yang akan dimasak sudah disiapkan oleh bu guru. Anak senang,
tidak repot membawa bahan makanan.
Sri
Astuti menyobek selembar kertas dari bukunya. Lalu anggota kelompoknya
mengerubutinya. Lima menit setelah terdengar suasana seperti di pasar burung,
akhirnya tertulis daftar sebagai berikut:
Tugas
PKK hari Selasa, 3 Juni 1986
Alat
yang harus dibawa besok:
1.
Sri Astuti =
dandang sarangan
2.
Sugiarti = waja, soled,
3.
Sukenti = talenan, peso, sendok
4.
Wahyu Setiati = piring, mangkok, gelas
5.
Septi Rahayu = tampah, irus, centhong
6.
Pujiwati =
kompor
Sri
Astuti sebagai ketua kelompok segera berdiri. Sebelum diserahkannya ke Bu
Hardinah, disimaknya dahulu daftar tersebut dengan cermat,.
“Mengko
dhimin! Aku tek nurun dhimin, mbok ngesuk kelalen!” cegah Sugiarti. Sugiarti
pun segera menyobek kertas dari bukunya.
“Tek
waca, ya Gie. Tulis, desingkat baelah!” saran Sri Astuti kepada Sugiarti. Maka
Sugiarti pun menulis apa yang dibaca oleh Sri Astuti. Namun ketika sampai nama
teman, ditulisnya nama-nama temannya secara singkat, tidak lengkap. Yang
diperjelas, ditulis lengkap adalah nama barang yang harus dibawa besok pada
hari Kamis. Selesai. Sebrung kertas dan bolpoin ditinggal di meja.
Gruduuuggg!
Keenam
anak dalam satu kelompok ini keluar kelas, menuju ruang guru. Menemui Bu
Hardinah untuk menyerahkan selembar kertas berisi daftar hasil reang mereka! Salinan daftar yang
ditulis oleh Sugiarti tergeletak di meja.
Jaidi dan
Jumeri yang tidak keluar kelas melihat ada daftar nama tergeletak pun berminat
membacanya. Penyakit usilnya Jumeri kumat. Hanya butuh waktu tiga detik setelah
Jumeri melihat nama anak putri ditulis tidak lengkap, ide usilnya sudah
terbentuk dengan mapan.
Jumeri
dasarnya adalah anak yang cerdas, tulisannnya rapi. Hanya karena takut kepada
Sri Astuti saja sehingga kali ini usilnya masih dalam batas kewajaran.
Ia
mengambil kertas dan bolpoinnya Sugiarti yang ada di meja. Dalam waktu
istirahat yang singkat itu, Jumeri sempat mengubah nama anak-anak yang tertera
dalam daftar. Judulnya masih tetap, asli tulisan Sugiarti.
Waktu
istirahat kedua pun habis.
Habis persis
bersamaan dengan selesainya Jumeri usil di kertas milik Sugiarti. Menginjak dua
jam terakhir. Pelajaran PSPB, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Gurunya Pak
Nurbaik Adam, alias Pak Ike.
Anak-anak
segera melupakan seluruh kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka bergegas masuk kelas. Duduk dengan
manis. Sugiarti buru-buru menyimpan kertasnya tanpa sempat membacanya. Dia tidak
tahu bahwa kertasnya telah diusili oleh Jumeri. Semua siswa, seluruh
perhatiannnya hanya kepada satu hal; mengikuti pelajaran PSPB dengan mulus.
Berusaha tampil maksimal agar tidak sampai menimbulkan hal-hal yang membuat Pak
Ike tidak berkenan.
Polah Jumeri
saat mengubah nama anak adalah dengan cara menimpa huruf, dan menambah huruf. Tulisannya
dibuat sangat mirip tulisan Sugiarti.
Sugiarti
saat menulis nama Sri Astuti, ditulis hanya Tuti. Oleh Jumeri huruf u dan i-nya
pada kata Tuti, digores menjadi o maka tulisannya menjadi Toto. Nama Sugiarti diubahnya
menjadi Sugiarto. Sukenti menjadi Sukento. Septi menjadi Septo, Pujiwati
ditulis oleh Sugiarti hanya Puji ditambahi oleh Jumeri menjadi Pujiono. Catatan
itu ditulis tanggal 3 Juni 1986, ketika Jumeri menemukan kata besok maka ia menambahi dengan hari dan tanggal;
Rabu, 4 Juni 1986. Hasil akhirnya, daftar tersebut seakan-akan tugas untuk anak
putra. Lengkapnya sebagai berikut:
Tugas
PKK hari Rabu, 3 Juni 1986.
Alat
yang harus dibawa besok: Rabu, 4 Juni
1986
1.
Toto = dandang sarangan
2.
Sugiarto = waja, soled,
3.
Sukento =
talenan, peso, sendok
4.
Wahyu = piring, mangkok,
gelas
5.
Septo =
tampah, irus, centhong
6.
Pujiono =
kompor
***
Sesuai
anjuran wali kelasnya, pulang sekolah enam anak kelas IIC, menuju ke rumah
Pujiono. Serempak berendeng menyusuri Jalan Letkol Isdiman, ke barat. Pertigaan
ke utara, menapaki Jalan Pasukan Pelajar IMAM. Beberapa anak kelas lain yang ingin
bergabung, dilarang oleh Jumeri.
“Jum! Metung
ngulon bae lah!” usulnya Sugeng.
“Lho
umahe Pujiono kuwe neng sisih wetan. Ngapa ndadak metung ngulon!” gerutu Jaidi.
“Lah
aku kepengin ketemu Nining!” jawaban Sugeng. Nining adalah siswa kelas tiga,
Eny Wahyuningsih. Rumahnya agak di ujung barat, kiri Jalan Lawet.
“Timbang
ketemu Nining ya suka ketemu Hermin!” celetuk Hanif. Hermin maksudnya
Herminingsih, siswa kelas tiga juga.
“Lah
pokoke metung sing pereklah. Syukur ketemu Suryani! Kayane umahe Pujiono perek
lho karo umahe Suryani” harapan Lasmono. Padahal ketiga anak putri yang mereka
perbincangkan saat itu sedang latihan paduan suara di sekolahan.
“Reang
bocah wadon bae yaa. Kiye toli de utus Pak Naryo B., kon tilik Pujiono! Ora
tilik bocah ayu. Bodho!” tegur Suchedi yang di batinnya tidak berkenan
anak-anak putri Jalan Lawet jadi bahan pembicaraan.
“Qo,
sing bodho! Angger tilik bocah ayu yaa Pak Naryo B. dhewek sing tindak. Udu
bocah penginyongan. Ngerti!” kata Jumeri yang cerdas.
“Oh,
iya aku tau decritani neng Tutuko Basuki!” kata Lasmono ganti topik.
“Crita
apa?” tanya Jumeri. Dahinya disempitkan, tanda tertarik.
“Jere,
tapi! Angger Kelas IIA ana bocah wadon sing mriyang mesti Pak Toto, wali
kelase, niliki maring umahe bocah wadon kuwe. Qo tau krungu mbok?” terang
Lasmono sambil menatap Jumeri dari samping.
“O-oh!
Crita kuwe sie inyong tau krungu!” kata Jumeri.
“Iya,
mbok? Padha?” tebak Lasmono, berharap ceritera itu benar adanya.
“Aku
tau nggenahna maring bocah kelas IIA, Ipang Bahtiar. Apa iya, crita kuwe
bener?” kata Jumeri bergaya jadi juru penerang.
“Apa
jawabe Ipang?” desak Lasmono.
“Jere
Ipang, kuwe fitnah! Fitnah maring Pak Toto!” kata Jumeri.
“Dadi
Tutuko Basuki gawe fitnah ya?” kesimpulannya Jaidi, “Padahal Vietnam lebih
kejam daripada Kamboja ya?” terusnya.
“Mbuh,
lah! Tutuko wong bocah cilik yaa paling-paling anu nutur critane kancane. Wahyu
Nur Sapto ndean sumbere gosip!” kata Jumeri.
Tanpa
terasa rombongan Jumeri sudah sampai di Jalan Lawet sebelah timur. Dengan
pemandu Suchedi di ambilah jalan yang menurutnya terpendek. Masuk ke Jalan
Lawet. Lima puluh meter, kemudian mereka belok ke utara. Memasuki jalan setapak
dari tanah padat karena terinjak para pejalan, lidhigan. Di kanan-kiri lidhigan
terdapat deretan rumput tidak teratur. Dengan sedikit tamasya melihat
pemandangan Kampung Lawut akhirnya sampailah mereka di rumah Pujiono yang
menghadap ke selatan.
Benar. Pujiono
masih tampak pucat. Walau sedikit enggan, ditemuinya juga para teman
sekelasnya. Pujiono takut sahabatnya reang
karena banyak bergurau. Rikuh karo tangga-tanggane. Namun hanya berselang tujuh
menit. Kejutan muncul mengherankan mereka! Rombongannya Sri Astuti, lima anak
putri, ternyata bersemangat juga hadir menengok Pujiono.
Kalau
rombongannya Jumeri lewat jalan aspalan. Rombongan anak putri lewat gang di
depan sekolahan, lurus ke utara. Sampai di jalan Kanoman, tidak belok kiri,
tapi terus lewat gang ke arah utara. Sampai dipertigaan gang, baru belok kiri.
Lurus ke barat, melewati jembatan wangan, akhirnya sampai di depan rumahnya
Keluarga Pak Daryanto. Dan lewat gang sebelah rumah pak Daryanto itu terus ke
barat akhirnya sampai juga di rumah Pujiono.
Pak
Roes sangat senang atas kedatangan mereka. Sayangnya siang ini Pak Roes ada
keperluan yang berhubungan dengan tempat dinasnya. Setelah memesan kepada
putrinya yang baru pulang sekolah untuk membuatkan minum bagi sebelas teman
Pujiono, Pak Roes mandi.
Pak
Roes tidak sempat mendengarkan apa yang diramaikan oleh anak-anak. Namun ketika
Pak Roes berada di kamar yang dekat dengan kamar tamu, ketika mematut dan merapikan bajunya. Pak Roes
mendengar suara Jumeri.
Saat
itu anak perempuan justru sedang melakukan aksi diam, karena jengkel pada
Jumeri yang bercandanya dianggap kelewatan. Maka suara Jumeripun terdengar dengan
jelas dari dalam kamar.
Jumeri sedang
membaca kertasnya Sugiarti yang telah diusilinya. Cara membacanya seolah-olah ia
sedang memberi tugas untuk anak-anak putra.
“Alat
yang harus dibawa besok, Rabu, 4 Juni 1986. Dadi ngesuk yaaa? Alat yang harus
dibawa: Toto nggawa dandang; Sugiarto nggawa waja, soled; Sukento nggawa
talenan, peso, sendok; Wahyu nggawa piring, mangkok, gelas; Septo nggawa tampah, irus, centhong, Pujiono nggawa
kompor”
“Horeee,
Pujiono nggawa kompor!” sorak anak laki-laki bersemangat sebagai guyonan,
gurauan belaka. Dan Pak Roes muncul di depan anak-anak.
“Puji
kebagian kompor ya?” pertanyaannya begitu saja muncul dari Pak Roes.
“Enggih,
Pak! Enggih!” serentak jawaban anak-anak putra.
“Mboten,
Pak!” suara Pujiono. Namun karena sedang tergesa untuk pergi maka suara Pujiono
tidak ditanggapi serius oleh Pak Roes.
“Bocah-bocah!”
malah panggilnya ramah kepada anak-anak, “Inyong matur nuwun padha tilik Puji.
Ngesuk wis olih mlebu sekolah koh. Inyong, Bapake Puji njaluk ngapura yaa. Arep
ana kepentingan! Sing kepenak bae gole dolan yaa! Muga-muga wis pada pamit karo
Bapak-Ibune angger arep suwe neng kene” pesan singkat Pak Roes.
Dan
kemudian Pak Roes berjalan di gang, ke arah barat.
Kalimat
terakhir ternyata mampu dicerna dengan baik oleh anak-anak perempuan. Karena
mereka belum pamit orang tua maka enam menit kemudian mereka pun pamit pulang. Hal
Pujiono sudah jelas! Pujiono besok hari Rabu sudah bisa berangkat sekolah. Ketika
Wahyu Setiati bersalaman dan berpamitan kepada Pujiono, ada sinar kegembiraan
yang lebih, tergambar di matanya.
Wahyu
Setiati adalah nama terakhir di daftar absen IIC. Anaknya pendiam, ngomongnya
jarang. Tapi sesungguhnya dia cantik. Rambutnya hitam panjang. Pakaiannya rapi.
Matanya redup. Bibir bawahnya cenderung merah. Wajahnya bulat telur. Tipe
wanita keibuan yang sederhana dan tidak banyak tuntutan.
Tadi di
kelasnya, justru Wahyu Setiatilah yang punya ide dan mengajak rombongan putri ini
ke tempat Pujiono. Suara hatinya telah membuatnya berani untuk meminta
kesediaan teman-teman hadir mengunjungi Pujiono.
Jumeri
sebagai ketua rombongan, mendengar anak perempuan pamit. Ada bayangan indah
melintas di benaknya. Alangkah indahnya kalau sebelas anak ini berendengan,
bareng-bareng, berjalan, bergurau sampai pertigaan kejaksaan. Maka dengan
menginjak pelan kaki Suchedi dan Hanif dia pun berpamitan.
“Ji,
wis ya! Ngesuk qo mangkat! Waras, sehat, selawase! Aja mriyang maning!” kata
Jumeri. Lalu meminum habis sisa minumannya, dan diikuti oleh anggota gerombolannya.
“Gie!”
panggilnya kepada Sugiarti, “Bareng!” pintanya kemudian.
Sugiarti
menoleh. Dipelankan jalan mereka di gang dan di jalan aspal menuju pertigaan kejaksaan.
Sebelas anak jalan berombongan.
===
Hari
Rabu 4 Juni 1986. Jam 07. 30. Di rumah Pak Roes.
Pak
Roes yang sudah berpakaian dinas rapi akan segera berangkat ke tempat kerjanya.
Beliau ingat Pujiono beserta teman-temannya di ruang tamu. Walau sudah melihat
dan yakin bahwa Pujiono sudah berangkat sekolah. Rasa kasih sayangnya
menjadikan Pak Roes ingin melihat tempat tidur dimana Pujiono selama tiga hari,
Minggu – Senin – Selasa, dinyatakan sakit.
Pak
Roes berdiri di sisi meja. Pandangannya lurus ke tempat tidur. Ke tempat
buku-buku Pujiono di taruh. Dan lurus juga mengamati apa yang tergeletak di
meja. Selembar kertas, dengan tulisan tersusun bagai puisi. Itulah kertasnya
Sugiarti yang kemarin siang di baca oleh Jumeri. Sepintas ada tulisan Pujiono di
akhir baris. Segera diambilnya kertas tersebut. Dibaca!
Terngiang
suara Jumeri kemarin siang ketika Pak Roes merapikan baju. Terngiang suara
anak-anak mengiyakan pertanyaannya tentang Pujiono mendapat tugas membawa
kompor. “Enggih, Pak! Enggih!”
“Lho, kiye
bocah nggawa kompor apa ora?” gumamnya perlahan.
Di
bacanya lagi kertas Sugiarti hasil usilan Jumeri. Di tatapnya kalender di
dinding.
“Rabu,
tanggal 4 Juni, yaa siki! Nggawa kompor apa ora, kae bocah?”
Bergegas
Pak Roes ke dapur. Di hitungnya kompor yang tersedia. Ada tiga buah. Bagus
semua. Dua buah untuk kegiatan sehari-hari. Satu kompor hanya untuk cadangan.
Kalau ada orang pinjam kompor, kompor cadangan itulah yang dipinjamkan.
Rasa
kasih sayangnya kepada Pujiono berubah menjadi rasa khawatir. Khawatir Pujiono
tidak serius pada mata pelajaran PKK. Khawatir dimarahi oleh guru PKK dan
nilainya jelek. Pak Roes berpikir, ada dua kemungkinan Pujiono tidak mau membawa
kompor. Pertama malu; dua berat, tidak kuat karena habis sakit. Tiga menit
kemudian Pak Roes berjongkok di depan kompor cadangan, sedang mengisinya dengan
minyak tanah. Selesai.
Di luar
terdengar suara gedebug-gedebug, anak-anak berlarian, bermain lidi yang
digunakan untuk memukuli pohon pisang. Pak Roes menuju pintu depan. Seorang
anak dikenalnya dengan sangat baik. Terdengar suara Pak Roes.
“Lah,
ko Gesit ya? Deneng ora sekolah” tanyanya kepada salah seorang anak yang sedang
bermain lidi.
“Enggih
Pak! Pak gurune, terose badhe rapat” jawaban Gesit.
“Gesit!
Bapane qo, kon ngeneh sedela. Aku arep njaluk tulung, ya!”
“Enggih,
Pak “ Jawaban Gesit dengan gesit. Tujuh
menit kemudian Pak Roes dan ayahnya Gesit sudah berembug matang. Sebentar
kemudian kompor cadangan yang sudah terisi cukup minyak tanah nangkring di
becak. Pak Roes dan istrinya geleng-geleng kepala memikirkan Pujiono.
“Iya,
ana tugas nggawa kompor yaa ora crita!” gumam Pak Roes.
Becak
Bapane Gesit pelan menyusuri Jalan PP IMAM, ke selatan. Di Pertigaan belok ke
timur. Sebentar kemudian terlihat di depan teras sekolah SMP Negeri 2 Purbalingga
ada dua orang saling mengangguk. Yang satu membopong kompor yang satu menunjuk-nunjuk
ke dalam sekolahan. Semenit kemudian ayahnya Gesit meninggalkan halaman
sekolah. Ada orang lain yang kini mengambil kompor Pak Roes dan dibawa masuk ke
sekolahan.
***
Hari
Rabu 4 Juni 1986. Jam 08.05. Di SMP Negeri 2 Purbalingga.
“Haasyyiiii!”
pagi-pagi terdengar suara bersin seorang guru di ruang kelas. Bapak Iman
Radjuki. Guru mata pelajaran IPS-Ekonomi. Pagi ini mengajar di kelas IIC jam kedua
dan jam ke tiga. Kondisi udara yang tidak nyaman membuat hidungnya setiap saat
seperti ada yang menggelitiki. Tapi ia tetap mengajar. Beliau bersin bukan
karena terkena penyakit hidung tapi bentuk saluran hidungnya yang unik yang
menjadikan beliau mudah bersin. Setiap mengajar ia berbekal sapu tangan. Untuk
sedikit meredam bunyi dan mengusap bagian muka jika ada sesuatu yang terpaksa
basah.
Hari
ini Pak Iman Radjuki sedang membicarakan hal tempat jual beli. Pasar dan toko.
Macam macam barang yang diperjual belikan. Jumeri, Lasmono, Sugeng, Sigit
sangat senang ketika secara umum ditanya barang-barang yang dijual di pasar.
Hanif sempat usul “ciplukan” untuk barang yang dijual di pasar. Dan Lasmono
sempat nyelemong “tengu” untuk hewan yang dijual di pasar hewan.
Untuk
ke sekian kalinya Pak Imam merasa harus bersin. Maka ia segera memberi tugas
menjawab pertanyaan yang jawabannya terdapat pada buku paket. Setelah itu dengan
langkah pasti, dia cepat menuju ke arah pintu. Semenit kemudian terdengar,
“Haasyiii!”. Seekor kupu-kupu di halaman terkejut. Ayam babon tetangga
sekolahan langsung berbunyi; “Petok! Petok!” dikira diusir.
Ketika Pak
Iman Radjuki sedang mengusap hidung, Pak Narsum salah satu pembantu pelaksana
sekolah, yang biasa bersih-bersih di lingkungan kelas, datang sambil mbopong
kompor.
“Deneng
mbekta kompor. Kompore sinten, Pak Narsum?” tanya Pak Iman.
“Kompore
lare kelas IIC. Leres niki kleas IIC” tanya Pak narsum.
“Nggih
leres. Kangge sinten?”
“Terose
mau kangge Pujiono. Lare Jalan Lawet!” terang Pak Narsum.
“Lha
apa ana kemah deneng bocah lanang nggawa kompor? Pujiono apa Pujiwati?” tanya
Pak Iman, dengan masih mengusap hidung pakai sapu tangan.
“Mirenge
kula sie Pujiono. Niku sing ndugekaken tiyang wingking kejaksaan, Jalan Lawet!”
“Ya wis
sog njaba bae. Mburi lawang. Ngko tek takokna” saran Pak Iman Radjuki.
Sesungguhnya beberapa anak mendengar percakapan antara Pak Iman dan Pak Narsum.
Karena sibuk mengerjakan soal sehingga tidak begitu jelas apa yang
diperbincangkan. Pak Narsum pergi, kembali ke tempat pekerjaannya pagi ini. Tapi
selama berjalan dia bergumam sendiri.
“Pujiono
mbok bocah lanang. Deneng nggawa kompor! Mbok pelajaran PKK mung nggo bocah
wadon. Keliru inyong ndean! Kudune Pujiani ndean!”
Demikianlah
di depan kelas IIC pagi ini ada sebuah kompor sendirian, kesepian. Kompor di
taruh di belakang pintu yang arah bukanya keluar. Pintu yang biasa untuk lendhotan anak-anak sambil bergoyang
maju-mundur. Dengan diselingi bersin empat kali lagi, waktu membawa pelajaran IPS-Ekonomi
lima menit lagi akan berakhir. Istirahat pertama pukul 09.30-09.45.
Pak
Iman pun sejenak keluar menengok keberadaan kompor. Sebentar kemudian mengusap
hidung menggunakan pungung tangan, lalu memberi kode kepada anak-anak untuk
diam, Pak Iman pun bertanya.
“Pujiono
mana?”
“Saya,
Pak!” jawab Pujiono singkat.
“Kamu
rumahnya di belakang kejaksaan, Jalan Lawet?” tanya Pak Iman. Begitulah biasa
disebutkan, sebenarnya Jalan Lawet tidak di belakang Kantor Kejaksaan namun
orang cenderung mengatakan demikian.
“Iya!”
jawab Pujiono dengan nada datar. Semua anak seperti tersihir ada kepentingan
apa Pak Iman bertanya-tanya rumah Pujiono. Semua diam menyimak. Dengan sedikit
mendongakkan kepala Pak Iman memberitahu Pujiono.
“Itu di
luar ada kiriman kompor!”
Deg!
Debar di dada Pujiono, jelas terdengar
“Hah! Kompor?”
suara Jumeri seperti bunyi desah. Sedetik mulut anak-anak yang kemarin ke
tempat Pujiono seperti berlubang, mlongo!
“Pujiono
nggawa kompor!” celetuk Jumeri persis seperti ketika dia membaca kertas hasil
usilannya di tempat Pujiono kemarin.
“Horeee,
Pujiono nggawa kompor!” sorak anak laki-laki gerombolan Jumeri bersemangat.
“Jumeri,
rubeeeslah!” batin Pujiono.
Dan di
bangku belakang, Wahyu Setiati, secara diam-diam memperhatikan Pujiono. Ada
rasa ingin mendekat, ingin menolong, ingin mbombongi
Pujiono agar tetap ceria walau diusili oleh para sahabatnya.
***
“Qo,
Jumeri! Angger ora nyuwun ngapura karo Bapake Pujiono, bisa kuwalat, qo!”
begitu ancaman Budi Siswanto anak kelas IIE, berperan sebagai siswa yang tahu
sopan santun.
“Aja
rubes maning, ya!” nasehatnya lagi!
Konon
atas saran Budi Siswanto tersebut, pada hari Sabtu siang Jumeri dan kawan-kawan
sepulang sekolah mampir sebentar ke rumah Pujiono. Bertemu dengan Pak Roes dan
meminta maaf atas terjadinya “kiriman kompor” untuk praktek pelajaran PKK pada
hari Rabu. Praktek masak yang sebenarnya adalah hari Kamis, untuk anak putri.
Serius
PKK.
Purbalingga,
4 Juni 2011
sekarang kami (Bu Martina Henny, Pak Pujiono, dan saya) bertemu di media sosial bernama Google+. Kombinasi dari beberapa angkatan alumni SMP Negeri 2 Purbalingga. :)
BalasHapus