Selasa, 09 Oktober 2012

Serius PKK

Serius PKK
Oleh: Toto Endargo

Jumeri melihat anak putri menulis nama tidak lengkap, segera polah usilnya kumat.dan mengubah nama anak. 
***
Bulan Juni, tahun 1986.
Saat menunjukan alamat rumah, terutama tentang nama jalan, ada kalanya ditambahi dengan kata “belakang” di belakang nama jalan. “Rumahnya di Jalan Lawet Belakang”. Kata belakang pada konteks ini ternyata mengandung maksud bahwa posisi rumah tidak persis di pinggir Jalan Lawet. Tapi harus masuk beberapa meter di sebelah kanan atau di sebelah kiri dari Jalan Lawet. Di kanan-kiri jalan tersebut terdapat perkampungan. Hal semacam ini ternyata berlaku juga untuk nama jalan-jalan yang lain.
Nama perkampungan tidak selalu didasarkan pada nama yang telah diberikan oleh para tokoh. Bahkan ada kecenderungan sebuah tempat diberi nama dengan apa yang ada di tempat tersebut. Maka jika kali ini saya menyebut Kampung Lawet Utara atau saya perpendek menjadi “Kampung Lawut”, maksudnya adalah kumpulan rumah, atau perkampungan yang ada di sebelah utara jalan Lawet, Purbalingga. Kampung Lawut suasananya demikian damai, seakan demikianlah takdirnya. Rumah berdiri dengan prinsip terbuka, transparan, bersaudara, saling percaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kondisi antar rumah, antar tetangga, tidak ada pemisah, baik dibatasi pagar maupun dipisahkan oleh tembok. Sebuah perkampungan tanpa pagar keliling.
Secara geografis Kampung Lawut itu sangat wajar, berada persis di depan Gedung Kawedanan sebagai salah pusat kekuasaan di masanya. Dibatasi oleh empat jalan aspal. Sebelah utara jalan provinsi, Jalan Jendral Sudirman. Sebelah selatan jalan Lawet itu sendiri. Sebelah timur jalan Pasukan Pelajar IMAM dan di barat Jalan Kapten Sarengat. Hal yang menjadi cukup unik adalah ketika melihat cara penduduk Kampung Lawut merancang gang. Kampung ini ternyata tidak memiliki gang penghubung yang lurus menembus kampung.
Sebagai sarana penghubung keluar-masuk pemukiman hanya mengandalkan gang, lebarnya hanya sekitar satu setengah meter, lebih layak disebut jalan setapak dari pada gang. Dari lajur Jalan Lawet ke perkampungan ada lima gang, dengan jarak antar gang yang nyaris sama. Lalu dari Jalan Jendral Sudirman ada dua gang. Satu di sebelah barat komplek Gereja Jawa dan satu lagi dekat Babah Kim Thae.
Dari timur hanya satu gang yaitu dekat rumah Keluarga Pak Daryanto. Dan dari barat ada satu gang yaitu di dekat Toko Sepatu Setuju. Uniknya seperti tertulis di atas, tidak ada satupun dari gang-gang itu yang berhubungan secara langsung menjadi garis lurus membelah kampung.
Kalau kita masuk ke tengah perkampungan kita akan diajak bertamasya, melihat rumah penduduk, ada yang dari depan, dari samping dan ada yang dari belakang. Sesekali juga kita bisa melihat jemuran baju atau jemuran kayu bakar. Jika di beberapa tempat ada tanah kosong umumnya ditanami pohon pisang atau pepaya.
Untuk kesuburan tanah dan pembuangan air limbah ada saluran air, ada sungai yang disebut Kali Kliwon. Saya menamakannya sungai Tumbras, membelah dari barat, di sebelah Toko Tumbras, Hotel Utama, belok ke timur, masuk ke Kampung Lawut di selatan Toko Sepatu Setuju. Sungai kecil ini belum sampai ke tengah kampung ternyata harus belok ke selatan.
Perkampungan Lawet Utara adalah kampung yang damai. Setiap penghuni dalam satu komplek sangat mengenal tetangganya. Bahkan orang tua pun, dalam radius lima puluh meter, mengenal nama setiap anak kecil yang lewat dan siapa pula orang tuanya. Pekerjaan orang tua bermacam-macam dari pegawai negeri, pegawai swasta, pejabat, pedagang kaki lima, sampai para penjual jasa seperti buruh dan penarik roda tiga.
Di sekitar Kampung Lawut di tahun 1986, ada tiga sekolah setingkat SMP yaitu SMP Masehi, SMP PGRI dan SMP Negeri 2 Purbalingga, namun barangkali karena status negeri, maka umumnya anak-anak Kampung Lawut masuk SMP Negeri 2 Purbalingga. Cukup dengan jalan kaki seratus-duaratus meter mereka sudah sampai di sekolahan.
Salah satu warga Kampung Lawut yang berkenan menyekolahkan putra-putrinya ke SMP Negeri 2 Purbalingga adalah keluarga Pak Roes, antara lain adalah putranya yang nomor terakhir, kakaknya dan kakaknya lagi. Putra Pak Roes yang bontot bernama Pujiono, tahun 1985/1986 duduk di kelas IIC.  Wali kelasnya, guru yang berbadan besar, berkulit putih, dengan potongan rambut yang khas. Potongan setengah, 2, 3. Artinya rambut di atas kedua telinga dipotong sangat pendek, setengah cm,  sehingga terlihat kulit kepalanya yang putih, bagian atas dua cm, dan bagian atas depan yang sedikit mencuat kira-kira tiga cm, di sisir rapi ke kiri. Tertawanya cerah. Mengajar Bahasa Inggris, nama beliau Bapak Sunaryo.
Ada dua guru yang bunyi namanya sama: Pak Soenaryo dan Pak Sunaryo. Pak Soenaryo guru Bahasa Indonesia, wali kelas I, biasa disebut sebagai Pak Soenaryo (A) dan guru Bahasa Inggris disebut sebagai Pak Sunaryo (B) atau Pak Naryo B.
***

Hari Selasa, tanggal 3  Juni 1986. Pukul 07.07.
Pak Naryo B. berdiri di depan kelas. Pagi hari kewajiban wali kelas adalah menyambangi warga kelasnya. Ada tiga kegiatan yang utama: mendata kehadiran siswa, memeriksa kebersihan kelas, dan menagih iuran siswa, istilahnya SPP, Sumbangan Pembinaan Pendidikan, tiap anak 800 rupiah.
“Sapa sing dina kiye ora mlebu, bocah?” tanya Pak Naryo B.
“Pujiono, Pak!” jawab anak-anak. Salah satu di antaranya terdengar suaranya Wahyu Setiati yang duduk di depan.
“Lho, Pujiono! Berarti mriyange urung mari, kiye. Dadi wis rong dina ora mlebu!” gumam Pak Naryo B. menggunakan basa Banyumasan. Ada lintasan wajah Pujiono di benak Pak Naryo B. Pujiono golongan anak yang rajin mengerjakan tugas dan mampu menjawab pertanyaan. Ada raihan nilai bagus di buku nilai beliau atas nama Pujiono.
“Eman-eman banget, bocah meneng tur pinter deneng mriyang ya” kata-katanya di batin, “Dhonge sing ora mlebu, yaa sing sok semblothongan neng kelas. Jumeri, Sugeng Riyanto, apa Lasmono. Dhonge telu kuwe sing pada prei!”
Mriyang atau sakit adalah hal yang wajar. Malah menyenangkan bagi anak yang malas sekolah. Namun kewajaran ini sama sekali tidak diinginkan oleh Pujiono. Hanya kerena tekanan dari ayahnya saja yang bisa menghentikan gejolaknya untuk berangkat sekolah. Pak Roes merasa tidak tega putra bontotnya yang tidak juga gemuk-gemuk, namun badannya mulai meninggi itu, sakitnya menjadi-jadi.
“Pak, ngenjang kula pangkat sekolah!” pamitnya pada hari Senin malam.
“Ora. Dina Rebo bae mangkate. Ngesuk ora susah sekolah. Qo, angger mriyange kebanjur sapa sing arep tanggung jawab maring dokter?” kata-kata Pak Roes, walau penuh tekanan namun sesungguhnya penuh nada kasih sayang.
“Ngenjang Bahasa Inggris, Pak!”
“Ya, ora papa. Gurune pinter Bahasa Inggris deneng yaa ora maring Inggris! Sing penting qo, mengko-mengkone lewih pinter tinimbang guru-gurumu! Yaa!”
“Inggih, Pak!” jawab Pujiono pasrah. Senen- Selasa ora mangkat sekolah!
Setelah mendata siswa. Pak Naryo B. menyebut nama Jumeri. Barangkali karena Jumeri mudah diingat. Anaknya tinggi, putih, sedikit senyum. Rambut dan bibirnya khas. Rambutnya tidak pernah dipotong pendek. Bibirnya memiliki warna yang khas.
“Jumeri, kyeh! Qo tek wei tugas ya. Mengko ngawan, bali sekolah, qo ngejek batire, telu apa pira, maring nggone Pujiono!” Pak Naryo B. berhenti sebentar seperti ada yang dipikirkan. Anak-anak langsung diam. Takut kalau darah tingginya Pak Naryo B. naik. Bisa merepotkan seluruh penghuni kelas! Eh, ternyata Pak Naryo sedang berpikir tentang alamat rumah Pujiono.
“Pujiono sie umahe ngendi?” tanyanya kepada anak sekelas.
“Jalan Lawet, Pak!” jawab Suchedi degan tenang bersamaan dengan suara Jumeri dan Jaidi.
“Oh, ya perek ya! Pujiono detiliki yaa!” kata Pak Naryo B. sambil menatap Jumeri. Jumeri mengangguk.
Jam pertama, kedua, sampai istirahat pertama, semua berjalan wajar. Rutinitas kegiatan belajar mengajar. Guru mengajar, siswa diajar. Guru bertanya, siswa menjawab. Tapi pada keadaan tertentu, guru bicara ke siswa, siswa juga bicara dengan sesama siswa. Guru reang, siswa lewih reang maning.
Masuk jam ke empat, ada sesuatu yang lain. Saat pelajaran Matematika. Ibu Hardinah, guru PKK, masuk ke kelas. Berdiri di dalam kelas, hanya tiga puluh centimeter dari kusen pintu.
“Maaf, Pak Edy. Mau pengumuman untuk anak putri!” pamitnya Bu Hardinah.
“Oh, mangga, mangga, Bu. Silahkan!” jawab Pak Edy Wiratno dengan ramah. Anak-anak memperhatikan Bu Hardinah. Terutama anak putri.
“Khusus untuk anak putri ya! Bu Guru hanya mengingatkan saja. Besok hari Kamis kalian praktek masak! Jangan lupa! Kelompok yang belum menyerahkan daftar nama kelompok dan pembagian tugas masing-masing, harus setoooor ke saya hari ini juga. Harus hari ini! Jelas!” suara Bu Hardinah penuh tekanan.
“Jelaaasss!” suara anak putra-putri serempak.
“Jelas!” suara Lasmono sendirian, keras, dua detik setelah teman-temannya menjawab dengan serentak. Sengaja! Lasmono ngeledek ibu guru. Bu Hardinah tersinggung, malas melayani anak bandel, marahnya dibatalkan.
Anak putri segera bereaksi membagi kelompok PKK. Anak putra bereaksi bikin gaduh suasana. Pak Edy Wiratno tersinggung.
“Anak-anak, kita lanjutkan. Sekarang pelajaran Matematika, untuk PKK nanti saja saat istirahat!” kata Pak Edy, anak-anak manut. Diam! Memperhatikan!
Mata pelajaran PKK masuk kelompok pendidikan keterampilan. PKK sering dipanjangkan menjadi Pendidikan Keterampilan Keluarga, yang benar Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Gurunya Ibu Hardinah. Waktu yang disediakan untuk PKK dalam satu minggu 4 jam pelajaran. PKK dikhususkan untuk anak putri. Anak putra diajar Elektronika. Sesuai kurikulum kelas II, PKK mempelajari Bab Tata Boga. Mempelajari hal ikhwal makanan dan cara memasak. Dan besok hari Kamis adalah jadwal Kelas IIC dan IID untuk praktek masak.
Theettt....! Bunyi bel istirahat kedua.
Anak perempuan sibuk membagi tugas, siapa dan alat apa yang harus dibawa besok hari Kamis. Hal bahan yang akan dimasak sudah disiapkan oleh bu guru. Anak senang, tidak repot membawa bahan makanan.
Sri Astuti menyobek selembar kertas dari bukunya. Lalu anggota kelompoknya mengerubutinya. Lima menit setelah terdengar suasana seperti di pasar burung, akhirnya tertulis daftar sebagai berikut:
Tugas PKK hari Selasa, 3 Juni  1986
Alat yang harus dibawa besok:
1.     Sri Astuti            = dandang sarangan
2.     Sugiarti               = waja, soled,
3.     Sukenti              = talenan, peso, sendok
4.     Wahyu Setiati   = piring, mangkok, gelas
5.     Septi Rahayu    = tampah, irus, centhong
6.     Pujiwati              = kompor
Sri Astuti sebagai ketua kelompok segera berdiri. Sebelum diserahkannya ke Bu Hardinah, disimaknya dahulu daftar tersebut dengan cermat,.
“Mengko dhimin! Aku tek nurun dhimin, mbok ngesuk kelalen!” cegah Sugiarti. Sugiarti pun segera menyobek kertas dari bukunya.
“Tek waca, ya Gie. Tulis, desingkat baelah!” saran Sri Astuti kepada Sugiarti. Maka Sugiarti pun menulis apa yang dibaca oleh Sri Astuti. Namun ketika sampai nama teman, ditulisnya nama-nama temannya secara singkat, tidak lengkap. Yang diperjelas, ditulis lengkap adalah nama barang yang harus dibawa besok pada hari Kamis. Selesai. Sebrung kertas dan bolpoin ditinggal di meja.
Gruduuuggg!
Keenam anak dalam satu kelompok ini keluar kelas, menuju ruang guru. Menemui Bu Hardinah untuk menyerahkan selembar kertas berisi daftar hasil reang mereka! Salinan daftar yang ditulis oleh Sugiarti tergeletak di meja.
Jaidi dan Jumeri yang tidak keluar kelas melihat ada daftar nama tergeletak pun berminat membacanya. Penyakit usilnya Jumeri kumat. Hanya butuh waktu tiga detik setelah Jumeri melihat nama anak putri ditulis tidak lengkap, ide usilnya sudah terbentuk dengan mapan.
Jumeri dasarnya adalah anak yang cerdas, tulisannnya rapi. Hanya karena takut kepada Sri Astuti saja sehingga kali ini usilnya masih dalam batas kewajaran.
Ia mengambil kertas dan bolpoinnya Sugiarti yang ada di meja. Dalam waktu istirahat yang singkat itu, Jumeri sempat mengubah nama anak-anak yang tertera dalam daftar. Judulnya masih tetap, asli tulisan Sugiarti.
Waktu istirahat kedua pun habis.
Habis persis bersamaan dengan selesainya Jumeri usil di kertas milik Sugiarti. Menginjak dua jam terakhir. Pelajaran PSPB, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Gurunya Pak Nurbaik Adam, alias Pak Ike.
Anak-anak segera melupakan seluruh kepentingan pribadi atau kelompoknya.  Mereka bergegas masuk kelas. Duduk dengan manis. Sugiarti buru-buru menyimpan kertasnya tanpa sempat membacanya. Dia tidak tahu bahwa kertasnya telah diusili oleh Jumeri. Semua siswa, seluruh perhatiannnya hanya kepada satu hal; mengikuti pelajaran PSPB dengan mulus. Berusaha tampil maksimal agar tidak sampai menimbulkan hal-hal yang membuat Pak Ike tidak berkenan.
Polah Jumeri saat mengubah nama anak adalah dengan cara menimpa huruf, dan menambah huruf. Tulisannya dibuat sangat mirip tulisan Sugiarti.
Sugiarti saat menulis nama Sri Astuti, ditulis hanya Tuti. Oleh Jumeri huruf u dan i-nya pada kata Tuti, digores menjadi o maka tulisannya menjadi Toto. Nama Sugiarti diubahnya menjadi Sugiarto. Sukenti menjadi Sukento. Septi menjadi Septo, Pujiwati ditulis oleh Sugiarti hanya Puji ditambahi oleh Jumeri menjadi Pujiono. Catatan itu ditulis tanggal 3 Juni 1986, ketika Jumeri menemukan kata besok maka ia menambahi dengan hari dan tanggal; Rabu, 4 Juni 1986. Hasil akhirnya, daftar tersebut seakan-akan tugas untuk anak putra. Lengkapnya sebagai berikut:
Tugas PKK hari Rabu, 3 Juni 1986.
Alat yang harus dibawa besok: Rabu, 4 Juni 1986
1.     Toto                    = dandang sarangan
2.     Sugiarto             = waja, soled,
3.     Sukento             = talenan, peso, sendok
4.     Wahyu               = piring, mangkok, gelas
5.     Septo                  = tampah, irus, centhong
6.     Pujiono             = kompor

***
Sesuai anjuran wali kelasnya, pulang sekolah enam anak kelas IIC, menuju ke rumah Pujiono. Serempak berendeng menyusuri Jalan Letkol Isdiman, ke barat. Pertigaan ke utara, menapaki Jalan Pasukan Pelajar IMAM. Beberapa anak kelas lain yang ingin bergabung, dilarang oleh Jumeri.
“Jum! Metung ngulon bae lah!” usulnya Sugeng.
“Lho umahe Pujiono kuwe neng sisih wetan. Ngapa ndadak metung ngulon!” gerutu Jaidi.
“Lah aku kepengin ketemu Nining!” jawaban Sugeng. Nining adalah siswa kelas tiga, Eny Wahyuningsih. Rumahnya agak di ujung barat, kiri Jalan Lawet.
“Timbang ketemu Nining ya suka ketemu Hermin!” celetuk Hanif. Hermin maksudnya Herminingsih, siswa kelas tiga juga.
“Lah pokoke metung sing pereklah. Syukur ketemu Suryani! Kayane umahe Pujiono perek lho karo umahe Suryani” harapan Lasmono. Padahal ketiga anak putri yang mereka perbincangkan saat itu sedang latihan paduan suara di sekolahan.
“Reang bocah wadon bae yaa. Kiye toli de utus Pak Naryo B., kon tilik Pujiono! Ora tilik bocah ayu. Bodho!” tegur Suchedi yang di batinnya tidak berkenan anak-anak putri Jalan Lawet jadi bahan pembicaraan.
“Qo, sing bodho! Angger tilik bocah ayu yaa Pak Naryo B. dhewek sing tindak. Udu bocah penginyongan. Ngerti!” kata Jumeri yang cerdas.
“Oh, iya aku tau decritani neng Tutuko Basuki!” kata Lasmono ganti topik.
“Crita apa?” tanya Jumeri. Dahinya disempitkan, tanda tertarik.
“Jere, tapi! Angger Kelas IIA ana bocah wadon sing mriyang mesti Pak Toto, wali kelase, niliki maring umahe bocah wadon kuwe. Qo tau krungu mbok?” terang Lasmono sambil menatap Jumeri dari samping.
“O-oh! Crita kuwe sie inyong tau krungu!” kata Jumeri.
“Iya, mbok? Padha?” tebak Lasmono, berharap ceritera itu benar adanya.
“Aku tau nggenahna maring bocah kelas IIA, Ipang Bahtiar. Apa iya, crita kuwe bener?” kata Jumeri bergaya jadi juru penerang.
“Apa jawabe Ipang?” desak Lasmono.
“Jere Ipang, kuwe fitnah! Fitnah maring Pak Toto!” kata Jumeri.
“Dadi Tutuko Basuki gawe fitnah ya?” kesimpulannya Jaidi, “Padahal Vietnam lebih kejam daripada Kamboja ya?” terusnya.
“Mbuh, lah! Tutuko wong bocah cilik yaa paling-paling anu nutur critane kancane. Wahyu Nur Sapto ndean sumbere gosip!” kata Jumeri.
Tanpa terasa rombongan Jumeri sudah sampai di Jalan Lawet sebelah timur. Dengan pemandu Suchedi di ambilah jalan yang menurutnya terpendek. Masuk ke Jalan Lawet. Lima puluh meter, kemudian mereka belok ke utara. Memasuki jalan setapak dari tanah padat karena terinjak para pejalan, lidhigan. Di kanan-kiri lidhigan terdapat deretan rumput tidak teratur. Dengan sedikit tamasya melihat pemandangan Kampung Lawut akhirnya sampailah mereka di rumah Pujiono yang menghadap ke selatan.
Benar. Pujiono masih tampak pucat. Walau sedikit enggan, ditemuinya juga para teman sekelasnya. Pujiono takut sahabatnya reang karena banyak bergurau. Rikuh karo tangga-tanggane. Namun hanya berselang tujuh menit. Kejutan muncul mengherankan mereka! Rombongannya Sri Astuti, lima anak putri, ternyata bersemangat juga hadir menengok Pujiono.
Kalau rombongannya Jumeri lewat jalan aspalan. Rombongan anak putri lewat gang di depan sekolahan, lurus ke utara. Sampai di jalan Kanoman, tidak belok kiri, tapi terus lewat gang ke arah utara. Sampai dipertigaan gang, baru belok kiri. Lurus ke barat, melewati jembatan wangan, akhirnya sampai di depan rumahnya Keluarga Pak Daryanto. Dan lewat gang sebelah rumah pak Daryanto itu terus ke barat akhirnya sampai juga di rumah Pujiono.
Pak Roes sangat senang atas kedatangan mereka. Sayangnya siang ini Pak Roes ada keperluan yang berhubungan dengan tempat dinasnya. Setelah memesan kepada putrinya yang baru pulang sekolah untuk membuatkan minum bagi sebelas teman Pujiono, Pak Roes mandi.
Pak Roes tidak sempat mendengarkan apa yang diramaikan oleh anak-anak. Namun ketika Pak Roes berada di kamar yang dekat dengan kamar tamu, ketika  mematut dan merapikan bajunya. Pak Roes mendengar suara Jumeri.
Saat itu anak perempuan justru sedang melakukan aksi diam, karena jengkel pada Jumeri yang bercandanya dianggap kelewatan. Maka suara Jumeripun terdengar dengan jelas dari dalam kamar.
Jumeri sedang membaca kertasnya Sugiarti yang telah diusilinya. Cara membacanya seolah-olah ia sedang memberi tugas untuk anak-anak putra.
“Alat yang harus dibawa besok, Rabu, 4 Juni 1986. Dadi ngesuk yaaa? Alat yang harus dibawa: Toto nggawa dandang; Sugiarto nggawa waja, soled; Sukento nggawa talenan, peso, sendok; Wahyu nggawa piring, mangkok, gelas; Septo         nggawa tampah, irus, centhong, Pujiono nggawa kompor”
“Horeee, Pujiono nggawa kompor!” sorak anak laki-laki bersemangat sebagai guyonan, gurauan belaka. Dan Pak Roes muncul di depan anak-anak.
“Puji kebagian kompor ya?” pertanyaannya begitu saja muncul dari Pak Roes.
“Enggih, Pak! Enggih!” serentak jawaban anak-anak putra.
“Mboten, Pak!” suara Pujiono. Namun karena sedang tergesa untuk pergi maka suara Pujiono tidak ditanggapi serius oleh Pak Roes.
“Bocah-bocah!” malah panggilnya ramah kepada anak-anak, “Inyong matur nuwun padha tilik Puji. Ngesuk wis olih mlebu sekolah koh. Inyong, Bapake Puji njaluk ngapura yaa. Arep ana kepentingan! Sing kepenak bae gole dolan yaa! Muga-muga wis pada pamit karo Bapak-Ibune angger arep suwe neng kene” pesan singkat Pak Roes.
Dan kemudian Pak Roes berjalan di gang, ke arah barat.
Kalimat terakhir ternyata mampu dicerna dengan baik oleh anak-anak perempuan. Karena mereka belum pamit orang tua maka enam menit kemudian mereka pun pamit pulang. Hal Pujiono sudah jelas! Pujiono besok hari Rabu sudah bisa berangkat sekolah. Ketika Wahyu Setiati bersalaman dan berpamitan kepada Pujiono, ada sinar kegembiraan yang lebih, tergambar di matanya.
Wahyu Setiati adalah nama terakhir di daftar absen IIC. Anaknya pendiam, ngomongnya jarang. Tapi sesungguhnya dia cantik. Rambutnya hitam panjang. Pakaiannya rapi. Matanya redup. Bibir bawahnya cenderung merah. Wajahnya bulat telur. Tipe wanita keibuan yang sederhana dan tidak banyak tuntutan.
Tadi di kelasnya, justru Wahyu Setiatilah yang punya ide dan mengajak rombongan putri ini ke tempat Pujiono. Suara hatinya telah membuatnya berani untuk meminta kesediaan teman-teman hadir mengunjungi Pujiono.
Jumeri sebagai ketua rombongan, mendengar anak perempuan pamit. Ada bayangan indah melintas di benaknya. Alangkah indahnya kalau sebelas anak ini berendengan, bareng-bareng, berjalan, bergurau sampai pertigaan kejaksaan. Maka dengan menginjak pelan kaki Suchedi dan Hanif dia pun berpamitan.
“Ji, wis ya! Ngesuk qo mangkat! Waras, sehat, selawase! Aja mriyang maning!” kata Jumeri. Lalu meminum habis sisa minumannya, dan diikuti oleh anggota gerombolannya.
“Gie!” panggilnya kepada Sugiarti, “Bareng!” pintanya kemudian.
Sugiarti menoleh. Dipelankan jalan mereka di gang dan di jalan aspal menuju pertigaan kejaksaan. Sebelas anak jalan berombongan.
===

Hari Rabu 4 Juni 1986. Jam 07. 30. Di rumah Pak Roes.
Pak Roes yang sudah berpakaian dinas rapi akan segera berangkat ke tempat kerjanya. Beliau ingat Pujiono beserta teman-temannya di ruang tamu. Walau sudah melihat dan yakin bahwa Pujiono sudah berangkat sekolah. Rasa kasih sayangnya menjadikan Pak Roes ingin melihat tempat tidur dimana Pujiono selama tiga hari, Minggu – Senin – Selasa, dinyatakan sakit.
Pak Roes berdiri di sisi meja. Pandangannya lurus ke tempat tidur. Ke tempat buku-buku Pujiono di taruh. Dan lurus juga mengamati apa yang tergeletak di meja. Selembar kertas, dengan tulisan tersusun bagai puisi. Itulah kertasnya Sugiarti yang kemarin siang di baca oleh Jumeri. Sepintas ada tulisan Pujiono di akhir baris. Segera diambilnya kertas tersebut. Dibaca!
Terngiang suara Jumeri kemarin siang ketika Pak Roes merapikan baju. Terngiang suara anak-anak mengiyakan pertanyaannya tentang Pujiono mendapat tugas membawa kompor. “Enggih, Pak! Enggih!”
“Lho, kiye bocah nggawa kompor apa ora?” gumamnya perlahan.
Di bacanya lagi kertas Sugiarti hasil usilan Jumeri. Di tatapnya kalender di dinding.
“Rabu, tanggal 4 Juni, yaa siki! Nggawa kompor apa ora, kae bocah?”
Bergegas Pak Roes ke dapur. Di hitungnya kompor yang tersedia. Ada tiga buah. Bagus semua. Dua buah untuk kegiatan sehari-hari. Satu kompor hanya untuk cadangan. Kalau ada orang pinjam kompor, kompor cadangan itulah yang dipinjamkan.
Rasa kasih sayangnya kepada Pujiono berubah menjadi rasa khawatir. Khawatir Pujiono tidak serius pada mata pelajaran PKK. Khawatir dimarahi oleh guru PKK dan nilainya jelek. Pak Roes berpikir, ada dua kemungkinan Pujiono tidak mau membawa kompor. Pertama malu; dua berat, tidak kuat karena habis sakit. Tiga menit kemudian Pak Roes berjongkok di depan kompor cadangan, sedang mengisinya dengan minyak tanah. Selesai.
Di luar terdengar suara gedebug-gedebug, anak-anak berlarian, bermain lidi yang digunakan untuk memukuli pohon pisang. Pak Roes menuju pintu depan. Seorang anak dikenalnya dengan sangat baik. Terdengar suara Pak Roes.
“Lah, ko Gesit ya? Deneng ora sekolah” tanyanya kepada salah seorang anak yang sedang bermain lidi.
“Enggih Pak! Pak gurune, terose badhe rapat” jawaban Gesit.
“Gesit! Bapane qo, kon ngeneh sedela. Aku arep njaluk tulung, ya!”
“Enggih, Pak “ Jawaban Gesit dengan gesit.  Tujuh menit kemudian Pak Roes dan ayahnya Gesit sudah berembug matang. Sebentar kemudian kompor cadangan yang sudah terisi cukup minyak tanah nangkring di becak. Pak Roes dan istrinya geleng-geleng kepala memikirkan Pujiono.
“Iya, ana tugas nggawa kompor yaa ora crita!” gumam Pak Roes.
Becak Bapane Gesit pelan menyusuri Jalan PP IMAM, ke selatan. Di Pertigaan belok ke timur. Sebentar kemudian terlihat di depan teras sekolah SMP Negeri 2 Purbalingga ada dua orang saling mengangguk. Yang satu membopong kompor yang satu menunjuk-nunjuk ke dalam sekolahan. Semenit kemudian ayahnya Gesit meninggalkan halaman sekolah. Ada orang lain yang kini mengambil kompor Pak Roes dan dibawa masuk ke sekolahan.
***  
Hari Rabu 4 Juni 1986. Jam 08.05. Di SMP Negeri 2 Purbalingga.
“Haasyyiiii!” pagi-pagi terdengar suara bersin seorang guru di ruang kelas. Bapak Iman Radjuki. Guru mata pelajaran IPS-Ekonomi. Pagi ini mengajar di kelas IIC jam kedua dan jam ke tiga. Kondisi udara yang tidak nyaman membuat hidungnya setiap saat seperti ada yang menggelitiki. Tapi ia tetap mengajar. Beliau bersin bukan karena terkena penyakit hidung tapi bentuk saluran hidungnya yang unik yang menjadikan beliau mudah bersin. Setiap mengajar ia berbekal sapu tangan. Untuk sedikit meredam bunyi dan mengusap bagian muka jika ada sesuatu yang terpaksa basah.
Hari ini Pak Iman Radjuki sedang membicarakan hal tempat jual beli. Pasar dan toko. Macam macam barang yang diperjual belikan. Jumeri, Lasmono, Sugeng, Sigit sangat senang ketika secara umum ditanya barang-barang yang dijual di pasar. Hanif sempat usul “ciplukan” untuk barang yang dijual di pasar. Dan Lasmono sempat nyelemong “tengu” untuk hewan yang dijual di pasar hewan.
Untuk ke sekian kalinya Pak Imam merasa harus bersin. Maka ia segera memberi tugas menjawab pertanyaan yang jawabannya terdapat pada buku paket. Setelah itu dengan langkah pasti, dia cepat menuju ke arah pintu. Semenit kemudian terdengar, “Haasyiii!”. Seekor kupu-kupu di halaman terkejut. Ayam babon tetangga sekolahan langsung berbunyi; “Petok! Petok!” dikira diusir.
Ketika Pak Iman Radjuki sedang mengusap hidung, Pak Narsum salah satu pembantu pelaksana sekolah, yang biasa bersih-bersih di lingkungan kelas, datang sambil mbopong kompor.
“Deneng mbekta kompor. Kompore sinten, Pak Narsum?” tanya Pak Iman.
“Kompore lare kelas IIC. Leres niki kleas IIC” tanya Pak narsum.
“Nggih leres. Kangge sinten?”
“Terose mau kangge Pujiono. Lare Jalan Lawet!” terang Pak Narsum.
“Lha apa ana kemah deneng bocah lanang nggawa kompor? Pujiono apa Pujiwati?” tanya Pak Iman, dengan masih mengusap hidung pakai sapu tangan.
“Mirenge kula sie Pujiono. Niku sing ndugekaken tiyang wingking kejaksaan, Jalan Lawet!”
“Ya wis sog njaba bae. Mburi lawang. Ngko tek takokna” saran Pak Iman Radjuki. Sesungguhnya beberapa anak mendengar percakapan antara Pak Iman dan Pak Narsum. Karena sibuk mengerjakan soal sehingga tidak begitu jelas apa yang diperbincangkan. Pak Narsum pergi, kembali ke tempat pekerjaannya pagi ini. Tapi selama berjalan dia bergumam sendiri.
“Pujiono mbok bocah lanang. Deneng nggawa kompor! Mbok pelajaran PKK mung nggo bocah wadon. Keliru inyong ndean! Kudune Pujiani ndean!”
Demikianlah di depan kelas IIC pagi ini ada sebuah kompor sendirian, kesepian. Kompor di taruh di belakang pintu yang arah bukanya keluar. Pintu yang biasa untuk lendhotan anak-anak sambil bergoyang maju-mundur. Dengan diselingi bersin empat kali lagi, waktu membawa pelajaran IPS-Ekonomi lima menit lagi akan berakhir. Istirahat pertama pukul 09.30-09.45.
Pak Iman pun sejenak keluar menengok keberadaan kompor. Sebentar kemudian mengusap hidung menggunakan pungung tangan, lalu memberi kode kepada anak-anak untuk diam, Pak Iman pun bertanya.
“Pujiono mana?”
“Saya, Pak!” jawab Pujiono singkat.
“Kamu rumahnya di belakang kejaksaan, Jalan Lawet?” tanya Pak Iman. Begitulah biasa disebutkan, sebenarnya Jalan Lawet tidak di belakang Kantor Kejaksaan namun orang cenderung mengatakan demikian.
“Iya!” jawab Pujiono dengan nada datar. Semua anak seperti tersihir ada kepentingan apa Pak Iman bertanya-tanya rumah Pujiono. Semua diam menyimak. Dengan sedikit mendongakkan kepala Pak Iman memberitahu Pujiono.
“Itu di luar ada kiriman kompor!”
Deg! Debar di dada Pujiono, jelas terdengar
“Hah! Kompor?” suara Jumeri seperti bunyi desah. Sedetik mulut anak-anak yang kemarin ke tempat Pujiono seperti berlubang, mlongo!
“Pujiono nggawa kompor!” celetuk Jumeri persis seperti ketika dia membaca kertas hasil usilannya di tempat Pujiono kemarin.
“Horeee, Pujiono nggawa kompor!” sorak anak laki-laki gerombolan Jumeri bersemangat.
“Jumeri, rubeeeslah!” batin Pujiono.
Dan di bangku belakang, Wahyu Setiati, secara diam-diam memperhatikan Pujiono. Ada rasa ingin mendekat, ingin menolong, ingin mbombongi Pujiono agar tetap ceria walau diusili oleh para sahabatnya.
***
“Qo, Jumeri! Angger ora nyuwun ngapura karo Bapake Pujiono, bisa kuwalat, qo!” begitu ancaman Budi Siswanto anak kelas IIE, berperan sebagai siswa yang tahu sopan santun.
“Aja rubes maning, ya!” nasehatnya lagi!
Konon atas saran Budi Siswanto tersebut, pada hari Sabtu siang Jumeri dan kawan-kawan sepulang sekolah mampir sebentar ke rumah Pujiono. Bertemu dengan Pak Roes dan meminta maaf atas terjadinya “kiriman kompor” untuk praktek pelajaran PKK pada hari Rabu. Praktek masak yang sebenarnya adalah hari Kamis, untuk anak putri.
Serius PKK.


Purbalingga, 4 Juni 2011 

1 komentar:

  1. sekarang kami (Bu Martina Henny, Pak Pujiono, dan saya) bertemu di media sosial bernama Google+. Kombinasi dari beberapa angkatan alumni SMP Negeri 2 Purbalingga. :)

    BalasHapus