Senin, 15 Oktober 2012

Ketika Dita Cemburu


Ketika Dita Cemburu
Oleh: Pagu Rutoto

SMP Negeri 2 Purbalingga.

Kelas 3E. Kelas paling ujung. Pagi hari, sebelum bell tanda masuk berbunyi, ada dialog yang tak disangka oleh Endar. Hati Endar pun tersentak.
" Tidak usah ke tempatku! Main saja ke rumah si manis itu!"
" Si manis siapa Dit ?!"
" Si manis selingkuhanmu, Laras Puspita! "
" Lho, ada apa aku dengan Laras?" Endar terhenyak.
==

Endar berjalan tegap menghampiri Dita yang berada di pojok kelasnya, 3E. Wajah Endar begitu berseri. Rambutnya yang sedikit gondrong menambah ketampanannya. Rambutnya tak begitu rapi. Namun ketidak-rapian itu justru menambah penampilannya semakin menarik. Konon penampilan lelaki yang sedikit tak rapi, justru menunjukkan bahwa ia adalah orang yang mudah diajak kompromi. Sabar dan tak ingin menyakiti.
Endar telah lima bulan jatuh hati dengan penuh hati-hati pada Dita. Remaja putri dengan senyum yang memikat. Bentuk mulutnya sangat istimewa. Hidungnya tidak begitu mancung tapi sangat serasi dengan kilatan bola matanya yang jernih. Rambutnya panjang, hitam dan sedikit berombak. Keduanya sama-sama di kelas tiga. Namun beda kelas.
Dita tahu Endar mendatanginya. Tapi Dita diam saja. Saat Endar semakin dekat, mata Dita malah lurus menatap papan tulis di depan kelas. Endar menangkap kediaman Dita. Ia tanggap. Endar harus menyabarkan hati. Ia pun tersenyum. Atik dan Tia menyingkir. Endar tetap di dekat Dita. Bau yang khas dari Endar yang menebar menyentuh hidung Dita. Bau yang setiap kali membuat Dita kangen. Tapi Dita tetap diam.
"Dita!" sapa Endar pelan,
"Bagaimana sudah kau ambil? Atau belum?" tanya Endar.
"Ambil apa?" kata-kata Dita sewot.
"Foto waktu kita ke Bandung kemarin, Dita!"
"Ooh, fotomu yang bersama si anak manis itu?" kata Dita tajam. Endar tertegun. Ia mencoba bersabar hati. Ia ingin mengurai sengketa yang dilancarkan Dita dengan damai. Tak ingin ia menyakiti Dita.
“Lho, Dit. Pagi-pagi kok marah-marah padaku. Kupikir aku tanya baik-baik!" teguran Endar dengan sangat pelan.
" Enggak marah! Buat apa aku marah-marah. Percumal" sergah Dita.
"Hem, ada sesuatu yang mengusik hatimu, ya?  Sehingga kau marah padaku?" tanya Endar dengan sabar. Ia sedikit paham watak Dita. Mudah marah tapi juga mudah memaafkan. Ia harus sabar sekali.
"Tanya saja pada dirimu sendiri. Mana ada, maling teriak maling!" jawab Dita ketus.
Endar diam. Dita pun diam. Endar menundukkan kepala. Lalu ditatapnya Dita lekat-lekat. Tapi Dita tak peduli, ia tetap diam dengan mulut terkunci.

Endar tidak tahu, masalah apa yang telah menyentuh diri Dita. Padahal sejak berangkat sekolah tadi, Endar ingin bertemu Dita, Ingin melihat foto-foto dirinya saat beramai-ramai di Bandung. Kalau tidak salah ada fotonya bersama Dita di Puncak Tangkuban Perahu.
Tahun ini siswa SMP Negeri 2 Purbalingga, memilih tujuan Widya Wisata ke Bandung, Endar dan Dita pun ikut. Untuk mengabadikan kenangan, -- saat itu belum musim Camera Digital-- keduanya patungan untuk membeli satu rol film, isi 36, dan biaya cuci-cetaknya.
Pagi ini tentunya sudah jadi, sudah diambil dari studio foto. Dua hari yang lalu Dita memberi tahu bahwa film mereka sudah diantar ke studio foto untuk dicuci-cetak. Kemarin seharusnya sudah jadi, sudah dicetak. Pagi ini tentu sudah dapat dilihat bareng-bareng. Eh, Dita malah marah-marah! Endar yang kena semprot.
" Yah sudah Dit!" Endar menyudahi kebisuan mereka, "Namun jika Dita berkenan, habis sekolah, nanti, aku main ke tempatmu" kata Endar mengalah.
" Tidak usah ke tempatku! Main saja ke rumah si manis itu!"
" Si manis siapa Dit ?!"
" Si manis selingkuhanmu, Laras Puspita! "
" Lho, ada apa aku dengan Laras ?" Endar terhenyak.
" Ada apa? Lalu mengapa kau bersikap mesra dengan Laras ketika di foto!"
"Kapan? Di mana?" tanya Endar dengan sedikit emosi. Endar menolak tuduhan itu. Seingatnya ia tidak bertingkah yang aneh-aneh.
"Jangan menghindari kenyataan! Kau sudah tidak bisa lagi berlaku sopan!"
"Dita, kau keliru! Seingatku aku selalu berusaha untuk bersikap sopan pada siapa pun. Kepadamu aku bersikap sopan. Kepada Laras aku sopan. Kepada adik kelas pun rasanya aku selalu berusaha untuk sopan. Kenapa kau bisa bicara begitu, Dit?"
“Hem, mau bukti? Jangan sok bicara sopan. Bicara boleh, bahkan sangat mudahnya. Tapi foto ini menjadi bukti ketidaksopanan kamu!” jawab Dita sambil menyodorkan sebuah foto yang rupanya sudah dipersiapkannya.

Endar menerima foto tersebut dengan penuh tanda tanya. Ternyata itu foto mereka di Tangkuban Perahu. Ada tujuh orang anak di dalam foto tersebut. Berurutan dari pinggir: Toto, sebelah kiri Toto adalah Laras, kemudian Endar, Dita, dan Rani. Argo dan Akbar duduk di tanah.
"Apa salah saya dalam foto ini ?" tanya Endar penasaran.
“Salah apa??" sergah Dita sewot, “Lihat tanganmu! Kenapa tanganmu merangkul pundak Laras. Rangkulan segala! Kau tahu ...? Karena ini foto maka selamanya kau akan seperti itu. Abadi! Tetap merangkulnya sepanjang dokumen ini masih ada! Paham? Aku tidak suka!" kata Dita sambil menatap Endar tajam-tajam. Ujung jari tengahnya yang runcing ditudingkan ke perut Endar.
Dengan serius Endar memperhatikan foto itu. Sejenak kemudian Endar tersenyum. Hatinya geli.
"Eh, Dit! Apa kamu tidak salah lihat. Coba perhatikan dengan cermat, yang di pundak Laras itu kan tangan Toto. Jangan emosi dulu, Dit l"
“Lihat!" sreet..., tangan Dita dengan cepat merebut foto di tangan Endar.
"Simak, Dit! Saat itu aku pegangan pohon di belakang kita!” kata Endar perlahan.
“Rupanya Toto sambil prengesan, tangan kirinya mampir ke pundak Laras. Iya, kan?" penjelasan Endar perlahan juga.
Ditatapnya wajah Dita. Ia takut Dita lebih marah karena telah salah paham, marah untuk menutupi rasa malu.
Dita terdiam. Matanya redup. Pandangannya menyusuri foto, mencermati foto batang pohon di belakang mereka. Benar tangan Endar memegang pohon. Benar tangan kiri Toto yang nempel di pundak Laras.

Dita menyadari kurang teliti mencermati foto. Ia terlalu diburu emosi. Dita malu sendiri. Namun di depan Endar, untuk seketika mengaku ada rasa gengsi! Ia tak mau langsung menyerah. Ada harga diri yang perlu dijaga. Ego yang bersemayan dalam dirinya. Ah, Dita, Dita!
"Bagaimana, Dita?" tanya Endar perlahan-lahan. Dita terpaksa mengangguk. Ia mencoba untuk meluluhkan perasaan.
“Rupanya Dita cemburu pada Laras ya?" tanya Endar sedikit menggoda. Tanpa menatap wajah Endar. Dita seperti bergumam.
“Soalnya yang saya tahu, Laras Puspita juga naksir kamu!" kata Dita sayup-sayup.
"Lupakan Dita! Percayalah!" janji Endar dengan intonasi kalimat sangat datar tapi ada penuh tekanan pada kata terakhir.
Sejenak Endar dan Dita bersitatap mata. Tatapan mata pun beradu. Dita tersenyum. Dada Endar berdebar keras. Ada getar halus yang merasuk mengharu-biru di hatinya. Ia menunduk, menghela nafas panjang. Senyum Dita telah membuatnya terlena.
Dita tak kalah berdebarnya. Sejenak setelah tersenyum. Sebentar kemudian wajahnya semburat memerah dan sebentar kemudian memutih. Pucat, menahan debur jantung yang berdetak sangat hebat.
 Ah, kedua remaja ini lupa bahwa keberadaan mereka berdua diperthatikan oleh belasan anak di kelas Dita. Untung mereka tak mengganggunya. Bagi mereka Endar dan Dita adalah pasangan yang serasi. Keakraban keduanya tetap sopan dan terjaga.
Thet...thet... ! Bel tanda masuk berbunyi.
Endar tersenyum untuk Dita. Dita pun tersenyum.
" Maaf .... l" kata Dita manja.
" Kenapa ... ?" tanya Endar menggoda.
" Kamu sie .. !" kata Dita sambil mendekat. Dicubitnya lengan Endar, pelan.
"Terima kasih, Dita !" kata Endar dengan penuh perasaan.
Endar bergegas menuju kelasnya.
Hari itu, hari yang indah sekali bagi Endar.
Ternyata Dita bisa cemburu!
Perempuan!
  
Purbalingga, 20 Februari 2004.
Salam untuk mereka yang punya kenangan di Bandung.
Semoga bahagia dengan kenangan kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar