Selasa, 09 Oktober 2012

Budi Ribut Salaman

Salam Ribut
Toto Endargo

Ini kisah di SMP Negeri 2 Purbalingga tahun 1986.

Tentang isi hati seorang jejaka tanggung kepada seorang gadis tetangga kelas. Sang jejaka bernama depan Eko, namun kali ini cenderung dipanggil Ribut.

Menurutnya gadis cantik adalah Ayut, lengkapnya Ruli Agyu Suhesti. Bagi Ribut, Ayut itu cantiknya selangit dan sulit diraih, letaknya tinggi sekali.

Anaknya bermata redup, walau dia tak gagap, namun Ayut termasuk gadis pendiam, tak banyak kata. Ibarat karya sastra dia adalah puisi. Puisi, tak banyak kata namun setiap kata padat makna. Ayut adalah puisi dalam bentuk manusia.


Sayangnya Ribut merasa dirinya hanya selangit-langit, setinggi plafon, merasa kecil. Rasa rendah diri inilah yang membuat Ribut untuk sekedar memberi salam saja kesulitan. Ribut penuh ragu untuk mengenal Ayut menjadi lebih akrab. Ayut kelas dua F dan Ribut kelas dua D.

“Memberi salam adalah hal yang wajar, namun penting bagi seorang yang jatuh hati!” pendapat Suparto.

Gejolak di hati Ribut memaksanya untuk buka rahasia kepada Suparto. Walau Suparto tidak akrab dengan Ayut namun ia sekelas dengan Ayut.
“Banyak jalan menuju Roma, artinya banyak jalan untuk mencapai tujuan. Tapi dengan cara apa agar kamu bisa mengenalnya secara khusus? Minimal bisa kirim salam untuk Ayut!” gumam Suparto.

Keduanya kemudian menuju depan sekolahan. Siang ini giliran kelas mereka bersama Pak Edy Soewatno belajar renang di kolam renang Tirto Asri, Walik, Kutasari! Mereka pun berdesak-desakan naik colt angkutan pedesaan. Colt angkudes adalah armada angkutan renang saat itu.

Sampai di Walik keduanya langsung ke pintu masuk. Lari ke kamar ganti. Nah, di kamar ganti ini, Suparto justru mendapatkan ide spontan yang sangat cemerlang.

Melihat dinding kamar ganti yang banyak tulisan, dan di antaranya digunakan juga untuk menyampaikan ucapan salam untuk para gadis, Suparto pun berkata kepada Ribut.
“Nah, kita bisa kirim salam buat Ayut model begini!” katanya sambil menunjuk dinding.
“Maksudmu?” tanya Ribut belum paham.
“Kamu menulis seperti ini di pintu atau di dinding kamar kecil sekolahan! Salam untuk Ayut!”
“Ah, iya kalau Ayut baca, kalau enggak kan percuma?!” gerutu Ribut.
“Soal sampai ke tujuan atau tidak, itu urusan nanti! Yang penting isi hatimu sudah kau salurkan! Ada aksi yang kau tunjukkan pada Ayut. Soal reaksi biar alam yang mengaturnya!” celoteh Suparto.
“Beli spidol hitam. Harus hitam!” perintah Suparto.
“Kenapa harus hitam?” tanya Ribut.
“Harus hitam. Hitam adalah warna kedalaman dan lambang kemantapan tekad. Kehendakmu nanti tidak mudah pudar saat diterpa cobaan” saran Suparto meyakinkan, lalu memiringkan mukanya. Ada yang dipikirkannnya. Ribut memperhatikan kerut di dahi Suparto.
“Sebaiknya kau tulis hari Selasa besok. Besok hari Selasa Manis. Hari yang baik untuk mengungkapkan perasaan! Kalau bisa pas ketika matahari di tengah langit” Suparto pantas jadi ahli nujum. Ribut mengangguk-anggukkan kepala.

Hari Selasa jam ke tujuh. Pelajaran Elektronika, Pak Suratiman. Setelah empat puluh menit guru bicara Ribut mengacungkan tangan. Pak Suratiman menatapnya, “He, ada apa tanganmu ngacung-ngacung!”
“Maaf, Pak, mohon ijin ke belakang!”
“Yah, sana. Ke belakang? Mau kencing? Sendirian saja!” kata Pak Suratiman, mencegah beberapa anak yang ingin sekedar ikut-ikutan ke belakang. Ribut mengangguk. Di langit matahari sedang berada di tengah. Ia benar-benar mematuhi saran Suparto.

Di sekolah ada tiga kamar kecil yang biasa dipakai anak putri. Timur, tengah dan barat. Ribut memilih kamar kecil yang tengah. Dadanya berdebar ketika ia menutup pintu. Dikeluarkannnya spidol hitam dari sakunya. Setelah semenit ia menimbang-nimbang akhirnya ia menulis di pintu kamar kecil itu.

“Salam manis untuk Ayut kelas 2 F, dari Raka kelas 2D”
Nama Ribut digantinya dengan Raka. Ia belum sanggup berterus terang menyebut nama asli!

Hari Rabu saat istirahat ke dua, Ribut melihat Ayut di perpustakaan. Rambutnya sepundak, ada yang tergerai di dahinya. Debar dadanya bertambah ketika Ayut tertawa, sedikit tapi manis sekali. Lembut, sopan. Bajunya selalu rapi. Kalau hari Senin sampai Kamis Ribut paling suka mencuri-curi pandang, menatap Ayut. Kenapa? Menurutnya dengan baju putih yang dipakainya, Ayut tampak begitu anggun. Bawahannya biru, sabuknya selalu hitam. Rambutnya kadang dikuncir, tapi seringnya di biarkan tergerai. Ia lebih suka saat tergerai. Ia benar-benar tampak sebagai gadis dewasa.

Hari Jumat siang. Sebagai tradisi sekolah. Anak-anak putra dijadwal melaksanakan Sholat Jumat di sekolah. Jumat ini giliran kelas 2 D, E, F. Sebelum sholat Ribut iseng-iseng melihat majalah dinding. Isinya rupanya baru diganti. Baru dipasang pada pagi hari tadi oleh Pak Sunaryo, guru Bahasa Indonesia yang bertugas sebagai pengelola perpustakaan.

Madingnya sederhana ditempelkan di dinding depan perpustakaan sebelah timur. Banyak tulisan tertempel di sana. Di pojok kanan-bawah tertempel selembar kertas surat berwarna merah muda, berbingkai gambar bunga yang bagus. Dengan tulisan rapi menarik. Sebuah puisi. Tanpa niat serius Ribut membaca judulnya;

“Kata Buat Raka di 2 D”

Deg! Mata Ribut langsung menuju ke siapa penulisnya? Di bagian bawah puisi, di sana tertulis: Ayut 2F.

Ya ampun, dada Ribut langsung berdegup kencang. Debar dada Ribut semakin ribut. Matanya terpaku pada puisi tersebut


Kata Buat Raka di 2 D

Telah kubaca tulisan di pintu kamar-kecil yang tengah
Sebuah salam manis dari seorang Raka di kelas dua D
Saya tak tahu dan tak kenal siapa Raka di kelas dua D
Namun terima kasih atas perhatiannya

Sebenarnya sangat tak layak menulis di pintu WC
Tak etis, tak sopan dan tak tahu aturan
Banyak tempat untuk tulis menulis
Banyak kertas berlembar-lembar!
Kenapa harus di pintu WC?

Kurasakan sebagai pelecehan dan penghinaan
Kiriman salam yang Raka kirimkan
Ternyata bau kencing, jorok dan najis,
Raka hanya seorang pecundang kumuh yang tak bermuka

Dari: Ayut 2F

Seakan sedrum minyak tanah meledak di mukanya. Wajah Ribut panas dan merah membara. Malu luar biasa. Ayut ternyata dapat menulis puisi sekeras ini. Ribut tak menyangka. Ia telah dimaki. Pecundang kumuh yang tak bermuka. Salamnya bau kencing, jorok dan najis. Ayut benar!


Seminggu kemudian.
Sebuah surat singkat telah ditulis oleh Ribut. Sederhana sekali. Hanya sekedar menyampaikan salam manis untuk Ayut. Sejak istirahat ke dua, surat itu tersimpan rapi di buku Matematika milik Suparto. Di amplop bagian muka tertulis: Untuk Ruli Agyu Suhesti di tempat. Dan di bagian belakang tertulis rapi; dari Eko Misribut. Besok pagi surat itu akan sampai di tangan Ayut lewat tangan Suparto. Suparto ingin jadi pahlawan cinta antara Ribut dan Ayut.
Namun siang itu juga sebelum pulang. Budi Kumis anak kelas 2 E mengajaknya untuk mampir ke rumahnya. Suparto mau. Budi Kumis agak semblothongan, ketika Suparto sibuk makan mendoan. Dengan maksud melihat pekerjaan matematika yang belum ia kuasai, tanpa seijin Suparto, Budi mengambil dan membuka buku matematika Suparto dari dalam tasnya. Tepluk! Ada amplop surat jatuh. Suparto gelagapan namun tak berani merebut surat itu, karena tangannya penuh minyak. Budi segera memungutnya dan membacanya. Muka Budi langsung semerah saga! Lalu di benaknya ada bayangan seorang anak terkapar terkena tinjunya.

He, he, semoga kisah ini ada sambungannya!

Budi Ribut
Toto Endargo

Ini adalah kisah yang terjadi di Taman Maerakaca, tempatnya di pojok kota Purbalingga, di pinggir sungai Klawing, depan Gedung Kodim 0702 Purbalingga, Bancar, tahun 1986. Dalam ceritera wayang Taman Maerakaca di Negeri Pancala pernah porak poranda karena peperangan antara Arjuna dengan Prabu Jungkung Mardeya, rebutan Dewi Srikandi. Dari sisi ceritera yang tersisa, barangkali inilah padanannya.

Siang itu, bagai tersengat pantat lebah, Budi “Kumis” Siswanto membaca bagian muka sebuah amplop surat. Jelas tertulis: Untuk Ruli Agyu Suhesti di tempat. Dan di bagian belakang tertulis rapi; dari Eko Misribut. Eko, walau tidak layak dalam kontes kecantikan pelajar nan berisik, namun siswa putra kelas 2D ini menyandang nama besar sebagai Mis Ribut, sehingga menjadi Eko Misribut.

Konon, pedoman Budi adalah; setiap wanita hanya ada satu di dunia ini. Tak terkecuali Ayut, gadis berdahi rata, bermata bulat,dan hidung sedikit mancung, sebagai satu-satunya di dunia. Jikapun ada yang lebih cantik, lebih istimewa dari Ayut, Budi tak tertarik. Pendapat hanya ada satu Ayut di sepanjang sejarah inilah yang menjadi sumber semangat bagi Budi untuk rawe-rawe rantas, malang-malang putung, tidak ada hal yang boleh menghalanginya. Betapapun pendeknya waktu, walau sedetik kesempatan yang hadir, asal dunia mengakui bahwa Ayut pernah menjadi miliknya, sempurnalah hidup Budi. 
Duluuuu! Luar biasa!

Ketika ia mendapat laporan dari Bangun Beri Prastowo bahwa ada salam untuk Ayut di pintu WC, Budi sudah sangat tersinggung. Kini tokoh spiritualnya, Suparto, justru berada dibalik upaya Eko Misribut, bergerilya menarik perhatian Ayut. Sreek, brebet! Amplop beserta isinya terbelah menjadi empat bagian. Mukanya merah. Empat hari yang lalu dia sudah dapat info bahwa nama Raka 2 D yang tertulis di pintu WC adalah Eko Misribut. Heru Riyanto yang berhasil mengendus teroris-hati yang bernama Raka 2D. Kini teroris itu justru semakin agresif dan terorganisir mengganggu Ayut, bahkan dengan surat. Budi memaki lirih. Menatap Suparto tajam-tajam. Dua kali lagi surat itu dirobeknya.

“Bud, dengan menyobek surat, berarti kamu menghina Eko Misribut!”
“Biar! Kau kan tahu aku suka sama Ayut, kenapa kamu malah membantu Misribut?!” tanya Budi dengan nada keras. Suparto terdiam sejenak. Memiringkan kepala sambil jari telunjuk kanan di pelipis kanannya.
“Menurut hemat saya, Eko Misribut itu lebih jantan dari kamu, Bud!”
“Menghina kamu ya?! Kau pikir aku perempuan?!” sungut Budi Kumis. Suparto menganggukan kepala.
“Iya walau kamu lebih berkumis tapi kamu hanya bisa ngomong. Mendekat saja nggak berani, apalagi mengajaknya bicara! Coba lihat, surat itu menunjukan bahwa Eko Misribut lebih berani dari kamu! Dia lebih jantan. Dia berani kirim salam, dan kini dia berani kirim surat. Lha kamu??” tanya Suparto. Budi terdiam ia memang belum berani menyapa Ayut. Melihat saja sudah berdebar-debar, ada rasa malu, ada rasa takut, ada rasa ser-seran, khawatir kalau “cinta”nya ditolak! Ah, goblok!
“Bud, saya akan mengatakan pada Misribut bahwa suratnya disobek-sobek olehmu. Kalau dia marah kamu harus tanggung jawab”
“Oh, gawa ngeneh Misribut! Ndarani nyong wedi apa?” tantang Budi.
“Titeni, Bud. Bisa-bisa raimu bengep kabeh!” jawab Suparto sambil mengambil tasnya dan pulang. Dari tempat Budi, Suparto menyusuri jalan besar. Dan lima menit kemudian dia melewati Taman Maerakaca. “Ih, tempat ini kalau untuk berkelahi cukup bagus juga!” gumamnya dalam hati.

Alkisah, kata-kata Suparto ternyata sangat tajam. Eko Misribut terpancing juga marahnya mendapat laporan suratnya disobek-sobek. Siang itu ia bertekad menyelesaikan urusannya dengan Budi Kumis. Misribut bisik-bisik kepada teman sekelasnya; Budi Kuryanto dan Soleh Yuwono. Listio Wuryanto yang ikut mendengar hanya komentar,
“Lah nggo ngapa dimungsuhi gelut mbarang! Konangan Pak Edy Soewatno, de strap ngko!”
Sementara itu ketika Budi Kumis diberi tahu oleh Suparto bahwa Misribut nantang gelut, ia segera menghubungi teman sekelasnya juga, Bangun Beri Prastowo dan Heru Riyanto.
“Aku ora melu gelut lho, aku mung nonton thok!” celethuk Heru.
“Tapi kalau saya dikeroyok, kamu harus membantuku!” pinta Budi.

Taman Maerakaca, tepi Sungai Klawing, ada empat pohon waru. Masih banyak bambu-bambu. Pulang sekolah! Bagai dua ekor ayam sabungan, begitu cepatnya pertempuran dimulai. Eko Misribut begitu melihat Budi Kumis yang tubuhnya lebih pendek darinya, membuatnya percaya diri untuk memenangkan pertempuran. Ia dekati Budi. Saat itu keduanya hanya satu meter dari bibir tebing sungai Klawing. Dekat pohon Waru ke dua dari barat. Di tempat ini air sungai membentuk lubuk, kedhung, sekitar tiga meter dalamnya. Airnya agak ngeleler di daerah tersebut.
“Kamu berani menyobek-nyobek suratku kenapa?” tanya Misribut langsung.
“Aku tidak suka kamu seneng sama Ayut!” jawab Budi terus terang.
“Ayut bukan milik siapa-siapa. Siapa saja punya hak seneng sama Ayut. Aku seneng sama Ayut, kamu mau apa?” tantang Misribut.
“Tidak, Ayut akan jadi milikku!” kata Budi dengan bibir sedikit terkuak sehingga kumisnya bergerak.
“Ayut tidak akan pernah mau sama kamu, Boncel!” kata Misribut tajam.

Kata Boncel ini bagaikan penthol korek api menggores rasahnya, api terpercik, letupan api ini langsung membakar emosi Budi. Seluruh teman yang mendengar kata Boncel terperangah, kata yang sangat tabu bagi Budi “Kumis” Siswanto!

Sebuah pukulan Budi, mendatar lurus ke muka Misribut, sedikit dapat dihindari. Seleret rasa panas pedih menyengat pipinya. Ketika Misribut mencoba mengelak ke samping, kedudukan kedua kakinya tidak tepat betul pada posisi kuda-kuda, ia terhuyung ke kiri. Budi segera mengambil kesempatan ini, dengan cepat ditariknya tangan yang barusan menyentuh kulit Misribut, Budi memberikan pukulan yang lebih telak ke hidungnya. Namun tidak di sangka Misribut dalam kedudukan yang tidak menguntungkan, sempat berpikir untuk menggunakan kakinya. Kaki kiri ia tekuk sedikit dan dihentakkan ke perut Budi. Budi yang sedang merangsek maju terpekik kaget, ia menepis kaki Misribut. Beruntung tidak kena perut namun paha Budi seperti diembat dengan ujung kayu tumpul. Dhess! Ia tahan desis yang hampir terlontar.

Perkelaian yang dilakukan dengan emosi yang tidak terkontrol, banyak menguras energi. Keduanya terengah-engah menahan marah. Budi merangsek maju, kembali sebuah bogem mengenai bawah mata Misribut. Tempat berpijak yang tidak menguntungkan bagi Misribut dan terinjaknya batu goyah membuat ia terpaksa harus tersungkur telentang. Budi menggunakan jurus macan gembong, ia meloncat dan lansung menubruk Misribut, mencoba memberi pukulan saat Misribut terkapar. Walau siku Misribut sempat menahan pukulan Budi, kembali kepalan Budi menyentuh bawah matanya. Kemarahan Budi telah menyebabkan ia berlaku ceroboh. Kedua tangannnya mencoba mencekik leher Misribut, namun bersamaan dengan kedua tangan Budi menyentuh leher, kedua kepalan Misribut dengan jangkauan yang lebih panjang menyentak muka Budi. Dua kali. Telak! Kini di kepala Budi seperti ada putaran bintang dan suara berdenging. Sesaat dunia terhenti.

Pengalaman bermain gulat di saat kecil, kaki kiri Misribut mengambil kesempatan saat Budi tersentak, Misribut mampu membalikkan keadaan dengan cara menggeliat secara tiba-tiba. Budi sekarang yang terlentang di pinggir tebing. Dengan Jurus Belalang Kaget maka kaki kiri Misribut dimanfaatkan untuk menjejak pundak Budi. Pundak Budi berhasil dihentak dengan kaki kirinya. Dhess! Tak sangka, Budi meluncur ke jurang sungai. Budi ingat jurus monyet menangkap nyamuk, dua detik, secepatnya Budi menangkap pergelangan kaki Mis Ribut sebelum sempat ditarik. Taap! Kena! Bersamaan dengan bergulirnya badan Budi ke bibir sungai, meluncur pula Eko Misribut ke tepi tebing sungai. Budi melepaskan kaki Misribut. Byur, badan Budi masuk ke dalam air, empat gelas air sungai diembatnya. Hilang sudah bayangan Ayut. Ia tak ingin mati. Ia menggapai-gapai di dalam air. Kemampuannya berenang menjadikan ia dapat menghirup udara lagi.

Sementara itu Misribut sekitar tiga detik tertahan di bibir tebing, segenggam rumput sempat menahannnya, namun kemudian dengan dada tergores rerumputan, berikutnya ia terseret dan melayang di atas air Sungai Klawing. Ada perasaan kosong sejenak dan kemudian byur, badannya tenggelam ditelan air sungai. Ia menghentak-hentakkan kedua kakinya. Beruntung ia berada persis sejengkal di dinding sungai sehingga dengan cara berpegang tebing sungai ia berhasil kembali menghirup udara sore dengan dada berdebar, perut sedikit bertambah gendut terisi air sungai.

Ia menoleh ke kiri, dilihatnya Budi basah kuyup, baju dan kumisnya basah, di tepi sungai tujuh meter darinya, mukanya lebam. Budi pun memperhatikan Misribut yang berpegangan tebing sungai. Mukanya lebam. Kini penonton berhamburan menjenguk kedua jagoan yang tercebur di sungai. Mereka ketakutan kalau keduanya mati tenggelam. Soleh Yuwono berteriak, “Uwis, uwis, mbok mati!” Suparto, Bangun Beri, Heru, Budi Kuryanto, Soleh Yuwono, Wasis Budi Santosa, beberapa tukang becak, anak-anak Bancar bermunculan di tepi sungai.

“Cepet mbonceng!” kata Bangun Beri Prastowo kepada Budi Kumis, dua menit kemudian.

Dengan perasaan melayang, muka terasa pedih dan tebal, pakaian basah kuyup, Budi Kumis diselamatkan oleh Bangun Beri Prastowo dari pandangan orang-orang yang segera saja menjadi kerumunan di tepian sungai. Ketika ia menoleh tampak Eko Misribut pun diboncengkan oleh Budi Kuryanto menghindari kerumunan orang. Setengah jam kemudian Taman Maerakaca kembali sepi. Pohon Waru kini ditemani rumput-rumput yang bosah-basih!

Konon, walau sore harinya berkelahi, namun esok paginya, keduanya tetap masuk sekolah. Keduanya hadir dengan muka seperti bertopeng, bengep bin lebam. Ayut atau Ruli Agyu Suhesti sampai lama baru tahu bahwa pertempuran di Taman Maerakaca itu adalah karena memperebutkan dirinya.

Konon Ayut sesungguhnya tidak suka kepada keduanya, dan konon sesungguhnya Ayut suka pada salah seorang gurunya, namun konon pula, justru gurunya tidak tahu bahwa sesungguhnya Ayut suka padanya.


He, he, ceritera ini ada yang sungguh-sungguh terjadi dan ada yang sekedar ndablus, terutama pada kalimat-kalimat di alinea terakhir.
Mohon maaf untuk semua yang terlibat dalam ceritera ini.
Salam!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar