Selasa, 09 Oktober 2012

Milik Drona


Milik Drona
Toto Endargo

Akibat kecenderungan wayang Banyumas yang menilai bahwa Pendita Drona adalah tokoh yang kurang baik, situs purba pun diambil sebagai bahan untuk mendiskreditkan tokoh tersebut. Inilah ceriteranya.
Tersebutlah dahulu kala ketika Sungai Serayu dan Sungai Klawing belum berwujud. Tlatah Banyumas masih berupa hutan belantara. Namun demikian saat itu para Pandawa dan Kurawa sudah bermukim, dan kedua kubu setiap kali bersitegang, berebut pengaruh dan kemenangan.
Dalam dunia wayang Pendhita Drona adalah Maha Guru di AKABKA, Akademi Angkatan Bersenjata Kerajaan Astina. Beliaulah ahli politik sekaligus ahli strategi perang, sehingga wajar jika Drona menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
Nasehatnya adalah sabda pandhita, artinya sekali bernasehat pasti sangat bertuah. Sayangnya, ketika para Kurawa menginginkan kebanggaan diri, ingin sebuah kemenangan atas Pandawa, Pandhita Drona mudah dirayu. Sehingga mengadakan sebuah lomba yang secara pasti pada akhirnya nanti Kurawalah yang menjadi pemenangnya.
Karena ini wayang Banyumas, Pandhita Drona pun berkiat dan keluarlah muslihatnya. 
"Sebuah lomba yang cukup spektakuler untuk kemenangan Kurawa!" janjinya kepada si sulung Kurawa, Duryudana.
Lomba membuat sungai yang akan bermuara di laut selatan. Dengan memperhitungkan jarak dan data geologis maka Kurawa akan dipilihkan tempat yang mudah dan berjarak pendek. Sedang Pandhawa akan diberi tempat yang sulit dan lebih jauh. 
Kurawa pasti akan dipimpin oleh Duryudana dan Pandhawa pasti akan dipimpin oleh Bima. Namun demikian pihak Kurawa masih tetap ragu untuk memenangkan pertandingan. Sebelum lomba Duryudana bertanya kepada Pandhitha Drona, “Apakah yakin Kurawa akan menang?”
“Oh,  bojog, bojog, bojog....! Ngger.., Kurawa pasti menang! Kurawa pasti menang! Kurawa pasti menang! Kalau kurawa kalah, potong milik saya ini!” kata Begawan Drona sambil menunjuk ke bawah perutnya. Dengan janji tersebut kini hati dan tekad Duryudono lebih mantap.
Maka dipanggil seluruh warga Kurawa yang jumlahnya seratus, dan Pandawa yang jumlahnya hanya lima orang, diumumkanlah hal lomba tersebut.
“Ngger...!” begitulah Begawan Drona memulai amanatnya, “Untuk menguji keterampilan kalian dalam hal mengatasi berbagai rintangan, maka Perguruan Sokalima mengadakan semacam lomba..!”
“Hemmmm!” Bima memulai bicara dengan “nggerem”, mengeluarkan suara rendah, “Lomba apakah, Bapa Guru Drona, bapakku!” Bima selalu memanggil dan menganggap bahwa gurunya adalah juga bapaknya.
Cerita singkatnya maka pada akhirnya Kurawa memulai membuat sungai dari sebuah gunung kecil di sebelah timur Gunung Slamet, kini wilayah Purbalingga, dan Pandhawa dari pegunungan jauh di sebelah timurnya lagi, kini masuk wilayah Wonosobo.
Kurawa berkumpul di sebuah bukit. Barangkali karena grogi untuk memulai lomba maka menjadikan beberapa satria Kurawa terkencing-kencing, dan bukit itu kini dikenal dengan nama Gunung Beser.
Pandhawa memulai membuat sungai dari dataran tinggi Dieng. Ritual yang dilakukan oleh Bima adalah melepas bajunya, lalu ia menancapkan “senjata” miliknya ke tanah. Sesaat kemudian ketika “senjata”-nya dicabut, jadilah sebuah mata air. Tempat tersebut kini disebut sebagai  Tuk Bima Lukar, mata air tempat Bima melepas baju. Sementara Kurawa memulai membuat sungai dengan cara mencoba-coba menggali dari beberapa tempat.
Alkisah, konon untuk melancarkan dan mempercepat penggalian sungai dengan menggunakan senjata Bima ini, pihak Pandhawa mohon kepada dewa Bayu agar diberi kemudahan. Seketika Bethara Bayu tanpa diketahui pihak Kurawa menciptakan seorang putri cantik dari daun kajang, sebangsa palem yang tumbuh di rawa-rawa. Putri itu terlihat oleh Bima. Sangat cantiknya. Maka Bima lantas berkata, “Sira ayu!” Dan putri ayu ini kemudian berjalan di depan Bima dengan menyingsingkan kainnya sehingga kelihatan kedua betisnya. Putri berjalan ke arah barat, tidak ke selatan. Bima pun berkali-kali mengatakan, “Sira ayu! Sira ayu!” Ketika semakin cepat Bima mengejar, semakin cepat pula putri ayu berjalan, sehingga jarak keduanya tetap, tidak semakin jauh pun tidak semakin dekat. Demikianlah “senjata” Bima tanpa disadari telah mampu membelah bumi, membuat sebuah sungai yang akhirnya sampai di laut selatan. Putri menghilang, kembali menjadi daun kajang. Konon karena Bima mengatakan, “Sira ayu!” berkali-kali maka sungai bikinannya diberi nama Bengawan Sira Ayu, Bengawan Serayu, Kali Serayu! Sungai serayu dari tuk Bima lukar arahnya ke barat, kini melintasi Wilayah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap.
Tankocapa, tidak terkatakan, Para Kurawa pun sibuk menggali tanah, membuat sungai. Sesuai pesan Pendhita Durna, arahnya adalah dari utara ke selatan.  Sebenarnya wilayah kerja Kurawa sangat mudah untuk dikerjakan, jarak ke laut selatan juga dekat, namun watak Kurawa yang tidak segiat Pandhawa, sehingga tidak menyadari bahwa Bima telah berhasil membuat sungai yang justru memotong jalur sungai yang seharusnya mereka buat. Inilah kurang lebih wilayah yang dilalui sungai bikinan para Kurawa. Dimulai dari wilayah Karangreja, Tlahab, Pelumbungan, Limbasari, Banjarsari, Karangmalang, Bobotsari, Kalapacung, Tangkisan, Kradenan, Onje, Banjaran, Galuh, Slinga, Kalikajar, Penaruban, Purbalingga, Jatisaba, Sempor, Brecek, Lamongan, Tejasari, Toyareja, Majasem, Jetis, Karangkemiri, Gambarsari, Muntang, Sumilir, Kedungbenda, Congot.
Kurawa sangat terkejut ketika jalur yang harus digali ternyata terpotong oleh sebuah sungai baru, sungai yang dibuat oleh Bima, maka alur galian mereka dicoba untuk sejajar dengan sungai Serayu. Namun usaha ini gagal. 
Galian mereka lama-kelamaan mendekati sungai Serayu. Sehingga terbentuklah bentuk tanah yang menyerupai sungut atau congot, yaitu dari jarak yang lebar kemudian menyempit seperti membuat sudut, menyempit, menyempit, dan akhirnya menyatu.
Demikianlah tanah yang seperti sungut itu diberi nama Congot. Karena segala perhitungan tidak tepat, tidak sesuai yang diangankan mereka, perkiraan mereka meleset, kelawung, maka sungai tersebut diberi nama Bengawan Kelawung, Bengawan Kelawing, Sungai Klawing.
Dengan kekalahan para Kurawa, Pandhita Drona pun menepati janjinya. Bagian depan miliknya dipotong, dhell! Potongannnya berubah menjadi batu. Batunya berbentuk seperti miliknya. Batu istimewa tersebut diletakkan di sekitar Congot, pertemuan antara Sungai Serayu dengan Sungai Klawing. Dengan dipotongnya miliknya itu, maka Pandhita Drona tidak punya anak lagi. Kebetulan saat itu dia sudah punya seorang anak. Anaknya bernama Aswatama.

1 komentar:

  1. utak atik gatuk,. hemm gak apa itulah budaya 'kita' lokal wisdom,. legenda2 sejenis ini yg sekarang hilang dari dunia pengetahuan anak2 sd, smp, sma setempat,. yang tidak tau sejarah lingkungan mereka,..

    meskipun terlihat seperti dongeng/fiksi,/khayalan ,. gak apa,. toh supermen, betmen, 11-12 sama yg ini.
    lanjutkan mas broo cerita2 sejenis,. seperti; bandung bondowoso,. sangkuriang,. lutung kasaung dll,.. ini bukan musrik,./syirik,. tapi ini salah satu kekayan budaya oral masyarakat tradisi kita yang penuh dengan 'sanepan' / kiasan,.
    juga bisa dikatakan petuah,.

    salam budaya,.

    BalasHapus