Milik Drona
Toto Endargo
Akibat kecenderungan
wayang Banyumas yang menilai bahwa Pendita Drona adalah tokoh yang kurang baik,
situs purba pun diambil sebagai bahan untuk mendiskreditkan tokoh tersebut.
Inilah ceriteranya.
Tersebutlah dahulu kala
ketika Sungai Serayu dan Sungai Klawing belum berwujud. Tlatah Banyumas masih
berupa hutan belantara. Namun demikian saat itu para Pandawa dan Kurawa sudah
bermukim, dan kedua kubu setiap kali bersitegang, berebut pengaruh dan kemenangan.
Dalam dunia wayang Pendhita
Drona adalah Maha Guru di AKABKA, Akademi Angkatan Bersenjata Kerajaan Astina.
Beliaulah ahli politik sekaligus ahli strategi perang, sehingga wajar jika
Drona menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
Nasehatnya adalah sabda pandhita, artinya sekali bernasehat pasti sangat bertuah. Sayangnya, ketika para Kurawa menginginkan kebanggaan diri, ingin sebuah kemenangan atas Pandawa, Pandhita Drona mudah dirayu. Sehingga mengadakan sebuah lomba yang secara pasti pada akhirnya nanti Kurawalah yang menjadi pemenangnya.
Nasehatnya adalah sabda pandhita, artinya sekali bernasehat pasti sangat bertuah. Sayangnya, ketika para Kurawa menginginkan kebanggaan diri, ingin sebuah kemenangan atas Pandawa, Pandhita Drona mudah dirayu. Sehingga mengadakan sebuah lomba yang secara pasti pada akhirnya nanti Kurawalah yang menjadi pemenangnya.
Karena ini wayang
Banyumas, Pandhita Drona pun berkiat dan keluarlah muslihatnya.
"Sebuah lomba yang cukup spektakuler untuk kemenangan Kurawa!" janjinya kepada si sulung Kurawa, Duryudana.
Lomba membuat sungai yang akan bermuara di laut selatan. Dengan memperhitungkan jarak dan data geologis maka Kurawa akan dipilihkan tempat yang mudah dan berjarak pendek. Sedang Pandhawa akan diberi tempat yang sulit dan lebih jauh.
Kurawa pasti akan dipimpin oleh Duryudana dan Pandhawa pasti akan dipimpin oleh Bima. Namun demikian pihak Kurawa masih tetap ragu untuk memenangkan pertandingan. Sebelum lomba Duryudana bertanya kepada Pandhitha Drona, “Apakah yakin Kurawa akan menang?”
"Sebuah lomba yang cukup spektakuler untuk kemenangan Kurawa!" janjinya kepada si sulung Kurawa, Duryudana.
Lomba membuat sungai yang akan bermuara di laut selatan. Dengan memperhitungkan jarak dan data geologis maka Kurawa akan dipilihkan tempat yang mudah dan berjarak pendek. Sedang Pandhawa akan diberi tempat yang sulit dan lebih jauh.
Kurawa pasti akan dipimpin oleh Duryudana dan Pandhawa pasti akan dipimpin oleh Bima. Namun demikian pihak Kurawa masih tetap ragu untuk memenangkan pertandingan. Sebelum lomba Duryudana bertanya kepada Pandhitha Drona, “Apakah yakin Kurawa akan menang?”
“Oh, bojog, bojog, bojog....! Ngger.., Kurawa
pasti menang! Kurawa pasti menang! Kurawa pasti menang! Kalau kurawa kalah,
potong milik saya ini!” kata Begawan Drona sambil menunjuk ke bawah perutnya.
Dengan janji tersebut kini hati dan tekad Duryudono lebih mantap.
Maka dipanggil seluruh
warga Kurawa yang jumlahnya seratus, dan Pandawa yang jumlahnya hanya lima
orang, diumumkanlah hal lomba tersebut.
“Ngger...!” begitulah
Begawan Drona memulai amanatnya, “Untuk menguji keterampilan kalian dalam hal
mengatasi berbagai rintangan, maka Perguruan Sokalima mengadakan semacam
lomba..!”
“Hemmmm!” Bima memulai
bicara dengan “nggerem”, mengeluarkan suara rendah, “Lomba apakah, Bapa Guru Drona, bapakku!” Bima
selalu memanggil dan menganggap bahwa gurunya adalah juga bapaknya.
Cerita singkatnya maka
pada akhirnya Kurawa memulai membuat sungai dari sebuah gunung kecil di sebelah
timur Gunung Slamet, kini wilayah Purbalingga, dan Pandhawa dari pegunungan
jauh di sebelah timurnya lagi, kini masuk wilayah Wonosobo.
Kurawa berkumpul di
sebuah bukit. Barangkali karena grogi untuk memulai lomba maka menjadikan
beberapa satria Kurawa terkencing-kencing, dan bukit itu kini dikenal dengan
nama Gunung Beser.
Pandhawa memulai membuat
sungai dari dataran tinggi Dieng. Ritual yang dilakukan oleh Bima adalah
melepas bajunya, lalu ia menancapkan “senjata” miliknya ke tanah. Sesaat
kemudian ketika “senjata”-nya dicabut, jadilah sebuah mata air. Tempat tersebut
kini disebut sebagai Tuk Bima Lukar,
mata air tempat Bima melepas baju. Sementara Kurawa memulai membuat sungai
dengan cara mencoba-coba menggali dari beberapa tempat.
Alkisah, konon untuk
melancarkan dan mempercepat penggalian sungai dengan menggunakan senjata Bima
ini, pihak Pandhawa mohon kepada dewa Bayu agar diberi kemudahan. Seketika
Bethara Bayu tanpa diketahui pihak Kurawa menciptakan seorang putri cantik dari
daun kajang, sebangsa palem yang tumbuh di rawa-rawa. Putri itu terlihat oleh
Bima. Sangat cantiknya. Maka Bima lantas berkata, “Sira ayu!” Dan putri ayu ini
kemudian berjalan di depan Bima dengan menyingsingkan kainnya sehingga kelihatan
kedua betisnya. Putri berjalan ke arah barat, tidak ke selatan. Bima pun
berkali-kali mengatakan, “Sira ayu! Sira ayu!” Ketika semakin cepat Bima
mengejar, semakin cepat pula putri ayu berjalan, sehingga jarak keduanya tetap,
tidak semakin jauh pun tidak semakin dekat. Demikianlah “senjata” Bima tanpa
disadari telah mampu membelah bumi, membuat sebuah sungai yang akhirnya sampai
di laut selatan. Putri menghilang, kembali menjadi daun kajang. Konon karena
Bima mengatakan, “Sira ayu!” berkali-kali maka sungai bikinannya diberi nama
Bengawan Sira Ayu, Bengawan Serayu, Kali Serayu! Sungai serayu dari tuk Bima
lukar arahnya ke barat, kini melintasi Wilayah Banjarnegara, Purbalingga,
Banyumas dan Cilacap.
Kurawa sangat terkejut
ketika jalur yang harus digali ternyata terpotong oleh sebuah sungai baru,
sungai yang dibuat oleh Bima, maka alur galian mereka dicoba untuk sejajar
dengan sungai Serayu. Namun usaha ini gagal.
Galian mereka lama-kelamaan mendekati sungai Serayu. Sehingga terbentuklah bentuk tanah yang menyerupai sungut atau congot, yaitu dari jarak yang lebar kemudian menyempit seperti membuat sudut, menyempit, menyempit, dan akhirnya menyatu.
Galian mereka lama-kelamaan mendekati sungai Serayu. Sehingga terbentuklah bentuk tanah yang menyerupai sungut atau congot, yaitu dari jarak yang lebar kemudian menyempit seperti membuat sudut, menyempit, menyempit, dan akhirnya menyatu.
Demikianlah tanah yang
seperti sungut itu diberi nama Congot. Karena segala perhitungan tidak tepat,
tidak sesuai yang diangankan mereka, perkiraan mereka meleset, kelawung, maka sungai tersebut diberi
nama Bengawan Kelawung, Bengawan Kelawing, Sungai Klawing.
Dengan kekalahan para
Kurawa, Pandhita Drona pun menepati janjinya. Bagian depan miliknya dipotong,
dhell! Potongannnya berubah menjadi batu. Batunya berbentuk seperti miliknya.
Batu istimewa tersebut diletakkan di sekitar Congot, pertemuan antara Sungai
Serayu dengan Sungai Klawing. Dengan dipotongnya miliknya itu, maka Pandhita
Drona tidak punya anak lagi. Kebetulan saat itu dia sudah punya seorang anak.
Anaknya bernama Aswatama.
utak atik gatuk,. hemm gak apa itulah budaya 'kita' lokal wisdom,. legenda2 sejenis ini yg sekarang hilang dari dunia pengetahuan anak2 sd, smp, sma setempat,. yang tidak tau sejarah lingkungan mereka,..
BalasHapusmeskipun terlihat seperti dongeng/fiksi,/khayalan ,. gak apa,. toh supermen, betmen, 11-12 sama yg ini.
lanjutkan mas broo cerita2 sejenis,. seperti; bandung bondowoso,. sangkuriang,. lutung kasaung dll,.. ini bukan musrik,./syirik,. tapi ini salah satu kekayan budaya oral masyarakat tradisi kita yang penuh dengan 'sanepan' / kiasan,.
juga bisa dikatakan petuah,.
salam budaya,.