Dhonge – Toli
Menyimak lagi dialek Banyumas.
Sering kita dengar ungkapan bahwa, “bahasa
menunjukkan bangsa”. Barangkali dengan sedikit bicara tentang dialek Banyumas
kita jadi tahu karakter orang Banyumas. Saya yakin bahwa dalam kosa kata yang
khas Banyumasan terkandung falsafah hidup orang-orang Banyumas.
Perhatikan kata, “dhonge” pada contoh kalimat berikut:
Dhonge, qo ya maring nganah, ya! = Seharusnya,
kamu ya ke sana, ya!
Dhonge, aja detegor sangkane aub! = Seharusnya, jangan ditebang supaya teduh!
Makna dari dhonge
adalah seharusnya atau sebaiknya. Sehingga setiap kalimat yang
menggunakan kata dhonge umumnya
diucapkan dengan penuh pengharapan atas terlaksananya hal-hal yang menjadi
pokok pembicaraan.
Contoh:
Bocah
sekolah, ya dhonge sing sregep sinau,
ngko dadi pinter!
( Anak
sekolah, ya seharusnya yang rajin belajar, nanti jadi pandai!)
Dhonge, bunyinya mirip pergeseran
dari bunyi kata donga (= berdoa).
Saya
tidak akan mengatakan bahwa kata dhonge berasal dari kata donga namun kedua kata tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu
untuk mengungkapkan perasaan
berpengharapan.
Di
samping berpengharapan, dengan
menempatkan kata dhonge maka
sepertinya kita telah membuat suatu kalimat yang memiliki hukum kebenaran, baik
yang bersifat anjuran maupun larangan.
Contoh:
Dhonge Badrun detakoni dhingin sedurunge
de sunati.
Seharusnya Badrun ditanya dulu sebelum
dikhitan.
Dari kalimat ini hukum yang benar adalah Badrun ditanya dulu sebelum dikhitan. Kalau
tidak ditanya dulu maka tindakan tersebut hukumnya adalah salah atau keliru!
Sebaliknya jika terdapat kata, “Dhonge aja .......” maka sifat hukumnya adalah berupa larangan dan hendaknya jangan dilanggar!
Kesimpulannya, bahwa dialek Banyumas secara tidak terasa, sesungguhnya,
setiap kali mengajari kita untuk membuat kalimat yang mengandung nilai hukum,
baik yang bersifat anjuran maupun larangan. Cukup dengan memberi kata “dhonge” atau “dhonge aja”
He, he, he, jebulane dialek Banyumas yaa maen
pisan! Iya, toli?
Perhatikan kata terakhir dari kalimat di atas!
Saya sengaja menaruh kata “toli”
Kata toli
dalam dialek Banyumas termasuk kata yang cukup unik. Dia menurut hemat saya
pada prakteknya memiliki beberapa makna. Bedakan arti toli pada kalimat berikut ini:
Toli dewarahi dhimin, nembe de prentah,
dadi teyeng dhong nggarap dhewek! (1)
Dewarahi
dhimin, toli! Nembe de prentah, dadi
teyeng dhong nggarap dhewek! (2)
Siki
teyeng nggarap dhewek! Bener omongane inyong. Iya, toli? (3)
Pertama.
Pada kalimat (1) toli memiliki makna seharusnya,
sebaiknya. Identik dengan makna kata dhonge.
Sebaiknya diajari dahulu, baru di
perintah, sehingga mampu saat kerja mandiri. (1)
Kedua.
Pada
kalimat (2) toli digunakan
sebagai kata penekan yang cenderung maido,
menyalahkan, menghujat. Dalam kalimat berikut kata toli saya ubah menjadi “yaaa”
Diajari
dahulu, yaaa! Baru diperintah, sehingga mampu saat kerja mandiri. (2)
Ketiga.
Pada
kalimat (3) toli digunakan
sebagai kata penekan yang mengandung unsur tanya. Lawan bicara ditekan untuk harus percaya atau harus menjawab iya. Identik dengan salah satu makna kata mbok. Dalam bahasa Indonesia sama dengan
fungsi “kan”.
Sekarang
mampu kerja mandiri! Betul omongan saya. Iya, kan! (3)
He, he, he!
Dengan membicarakan kata dhonge dan toli, minimal
kita dapat merasakan bahwa orang-orang Banyumas memiliki sifat, yang secara
tidak sadar diungkapkan dalam kalimat sehari-hari, bahwa pendapatnya adalah sesuatu yang penting, yang mengandung hukum
kebenaran.
Dhonge, pada maca tulisanku!
Dadi inyong ora percuma gole nulis!
Angger nulis toli
kudu nganggo mikir dhimin. Mikir memet ora dewaca, mubah! Iya, toli?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar