Selasa, 09 Oktober 2012

Bukit Berbunga

Cerita Remaja

BUKIT BERBUNGA
Toto Endargo

Ini kisah yang terjadi pada awal tahun 1992.
Kemanjaan anak perempuan kadang membuat repot orang lain. Adalah si Noni, saat sore menjelang senja minta sate ayam. Repot! Uang bukan masalah, masalahnya justru karena penjual sate ayam ada di tengah kota.
“Armand” panggil Pak Supono kepada anaknya yang gantheng, tiru bapaknya.
“Dalem, Pak” jawab Armand sopan. Bapaknya memberinya uang lima ribu rupiah. Armand menerima dengan enggan.
“Mesti disuruh! Disuruh apalagi sore-sore begini?” gerutunya dalam hati.
“Adikmu, Noni, minta sate ayam. Tolong dibelikan! Beli tiga puluh sindik!” perintah bapaknya.
“Nggih Pak!” jawabnya. 
Tapi di hati ia berkata, “Awas, Noni! Gara-gara kamu saya jadi gentayangan, sepedahan ke tengah kota” Gerutunya.
Dengan rasa enggan jam empat seperempat sore dia mengayuh sepeda ke tengah kota.



Di tahun-tahun tersebut masih belum banyak penjual sate. Tempat parkir masih banyak diisi sepeda. Bahkan di depan beberapa toko masih berdiri tempat parkir sepeda yang terbuat dari kayu. Belum ada tukang parkir. Di barat masjid besar ada penjual sate ayam. Terkenal dengan nama Sate Ayam Mak Siti.

Demikianlah. Kipas bambu berkibar di tangan penjualnya, asap mengepul membawa aroma sate ke sekitarnya. Tujuh menit Armand duduk di kursi warung, menatap jalan di depan Foto Jelita. Dan matanya terbeliak ketika serombongan remaja putri keluar dari toko Harum: Denti, Septi, Ikaputri, Indah, Yulia Eko, dan Erli. Cewek dari Bancar sampai dari Blumbang rupanya sedang kompak. 
Enam teman putrinya ini, dengan pesona masing-masing segera terpola di benak Armand.

“Saya harus bersama mereka!” kata batinnya. Ada emosi kuat untuk segera bergabung dengan enam cewek yang saling berboncengan. Ia pun beranjak dari kursi, segera berdiri di trotoar.

“Septi!” teriaknya. Septi yang diboncengkan oleh Ikaputri yang nafasnya “ngos-ngosan” pun menengok ke arah suara pemanggilnya.

“Kemana?” teriak Armand bersamaan dengan reaksi Yulia Eko yang memberi senyum termanisnya buat Armand. Septi tidak menjawab, hanya tangannya menunjuk-nunjuk ke arah barat. Berlalulah tiga sepeda ke barat. Armand memperhatikan mereka sampai lehernya memanjang. Mereka terus ke barat, tidak lewat Gang Mayong. Kemana? Dua menit kemudian pesanan selesai.

“Mas, sekawan ewu gangsal atus!” kata petugas sate. Kembali lima ratus. Armand segera mengambil sepeda dan mengayuhnya ke barat. Tidak segera pulang. Lebih penting bergabung dengan teman putrinya dari pada segera menunaikan perintah bapaknya atas permintaan adiknya.

“Noni ikih, ngapa. Bali Mahgrib bae ora papa!” gumamnya.

Langit Purbalingga sedikit meredup. Ada beberapa burung blekok melintas. Burung gereja sudah tidak selincah ketika siang. Ada dua ekor guguk menyeberang jalan. 
Bis jurusan Wonosobo sebentar lagi akan melintas membelah kota. Bis jurusan Bobotsari ngetem di pertigaan Mirah. Disebut pertigaan Mirah sebab disitu ada Toko Mirah, toko terlengkap pada jamannya, sekarang berubah menjadi Kompo Motor. 
Persis di trotoar sudut jalan, depan Toko Mirah ini ada penjual kaset, belum ada CD. Rupanya enam remaja putri SMP Negeri 2 Purbalingga ini butuh menambah koleksi lagu.
“Pak lagu nostalgia ada?” pertanyaan Yulia Eko. Maka sang penjual, orang Blumbang, menunjukkan lagu-lagu lama: Koes Plus, D’Lloyd, Tetty Kadi, Panbers. Yulia Eko menggelengkan kepala. Kemudian ditunjukkan kaset lagunya Titik Sandhora dan Hetty Koes Endang, Yulia Eko tetap menggelengkan kepala. 
Akhirnya Yulia Eko diminta untuk menyanyikan sedikit lagu yang dimaksud, ternyata dia bersedia, maka dengan suara pas-pasan Yulia Eko melantunkan lagu idamannya.
“Nostalgia..... masa .. berpacaaaa.. ran .... yang tak dapat terlupakan ...!” 
Seketika sang penjual tertawa geli.
“Wow.. itu lagu dangdut. Judulnya Terbayang-bayang, penyanyinya Haji Ona Sutra”. 
Busyet!
Armand kini sudah melewati pertigaan Gang Mayong. Ia sudah melihat bahwa rombongan cewek berada di depan toko Mirah. Ia ragu untuk terus mengayuh sepedanya. Bingung, haruskah membawa sate di depan mereka? Kalau ada yang minta sate, wah bisa habis.
Maka sepeda diparkir di depan Toko Besi Jadi, dekat Toko Mas Prayogi. Bungkusan sate dicantelkan di tempat pompa yang atas. Setiap sepeda jengki umumnya dilengkapi dengan pompa tangan. Letaknya di antara dua wangkringnya. Jika tidak ada pompanya maka besinya yang mencuat bisa digunakan untuk mencantelkan sesuatu.
Armand dengan percaya diri berjalan menghampiri rombongan cewek. Maka semakin sibuklah bakul kaset melayani kemanjaan para remaja ini.
“Coba ini Pak!” pinta Denti. Lagunya Chrisye, “Tinggalah kusendiri dalam sepi ini .....” Sendiri Lagi.
“Coba ini, Pak!” pinta Erli. Maka terdengarlah, “Malu aku malu, pada semut merah...”
Armand mencoba menyenangkan semua pihak. Ia melakukan gerakan yang menunjukkan bahwa ia suka kepada lagu yang keluar dari tape recorder dengan sound system yang mengandalkan bunyi bass!
“Coba ini, Pak!” pinta Indah. Setelah musik intro terdengarlah, “Yang .. hujan turun lagi, di bawah payung hitam ku berlindung ... “ lagunya Ratih Purwasih, Antara Benci dan Rindu.
Kini Yulia Eko memegang sebuah kaset dari Uci Bing Salmet. Armand melihatnya lalu bertanya.
“Lagu apa itu, Ek?” Yulia Eko Winarni panggilannya cukup Eko.
“Bukit Berbunga!” jawab Yulia Eko sambil tertawa cerah sekali. Menatap gerakan badan Yulia Eko ketika tertawa, seketika ada lintasan usil di benak Armand.
“Ek, nggak usah beli kaset Bukit Berbunga. Pakai saja baju dengan motif bunga nanti kan bukitnya langsung berbunga!” kata Armand sambil tertawa. Penjual kaset pura-pura tidak dengar.
“Apa?” tanya Yulia Eko yang belum begitu paham arah gurauan Armand, “Apa maksudmu?”
“He, he, he, .. maksudku, kalau kamu pakai baju berbunga nantikan bukitmu .....”
“Bodoh!” suara Yulia Eko keras. Dipukulnya lengan Armand, Armand menghindar.
“Pukul saja, Ek!” perintah Denti dan Ika membela Yulia Eko. Keduanya jadi ribut.

Di saat itu pula terdengarlah suara Septi nimbrung.
“Eh, lihat itu ada guguk, barangkali guguknya orang kaya ya. Guguknya diberi makan sate!”
Tratab! Jantung Armand mendadak berdegub keras. Terbayang sate ayam di sepedanya.
“Mana, Sep?” tanyanya.
“Itu!” jawab Septi sambil menunjuk dua ekor guguk yang sedang rebutan sate.
Armand tanpa pamit lari ke arah sepedanya. Melihat dua ekor guguk ia pun jongkok pura-pura mengambil batu. Guguk pun takut, keduanya menyingkir, berjalan pelan ke arah timur sambil membawa bungkusan yang isinya berceceran. Sate ayam. 
Armand memegang stang sepeda. Kepalanya ditundukkan. Ada sekat di tenggokannya. Terlintas wajah bapaknya. Wajah adiknya. Tanpa pamit Armand mengayuh sepedanya bagai layangan putus.
Ahh, gara-gara asyik mengejar rombongan teman putri, sate ayamnya yang cemanthel di sepedanya di parkiran habis disikat guguk.
Esok harinya di sekolahan, Septi dan rombongannya baru tahu bahwa Armand tanpa sengaja telah berbaik hati memberi makan sate ayam kepada dua guguk di pinggir jalan.
“Kawus!” komentar singkat Yulia Eko Winarni yang kemarin dipoyoki si Bukit Berbunga.

Konon sejak istrinya tahu kisah ini, sang istri agak pikir-pikir untuk mengijinkan Armand bertemu kembali dengan anggota “komplotan” ini.


Semoga tidak ada yang tersinggung dengan ceritera ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar