Selasa, 16 Oktober 2012

Kenyataan itu Datang


Kenyataan itu Datang
Toto Endargo

Tahun 2004. Siswa SMP Negeri 2 Purbalingga.
Begitu pekanya rasa suka terhadap sesama remaja. Sedikit terabaikan dari perhatian sang idola maka rasa kecewa, cemburu dapat memenuhi alam pikirannya. Adalah Irfan yang secara pribadi beranggapan bahwa Swasti adalah pelabuhan hatinya tempat ia melempar sauh dan tempat menambatkan perahu kertasnya.

===
Sebuah ruang tamu di rumah Irfan. Irfan tiduran di kursi panjang. Jupri di depannya. Sudah sekitar lima belas menit mereka membicarakan hal ikhwal sekolahan. Dan yang paling peka bagi Irfan adalah hal seorang gadis, Swasti Prameswati. Saat Jupri memberi tahu “tingkah” Swasti ketika liburan. Irfan menjadi emosi.
“Tidak mungkin, Jupri!” debat Irfan dengan tegas! Walau terselip juga nada ragu. Jupri adalah teman akrabnya, tempat curahan hati. Baik dalam hal pelajaran, keuangan, persahabatan maupun dalam hal perasaannya pada Swasti.
“Percaya atau tidak itu terserah kamu!” kata Jupri pelan.
“Aku tidak percaya! Bohong!” sergah Irfan lagi, sepertinya ia tidak percaya lagi kepada Jupri.
“Apa yang saya ceriterakan adalah apa yang dibicarakan teman-teman!” kata Jupri dengan sabar.
“Hanya issu kan?” tanya Irfan.
“Issu juga boleh! Tapi pembuktiannya ketika kau masuk sekolah besok!” jawab Jupri seperti mengalah, tapi sesungguhnya tidak.
Sebentar kemudian Jupri pamit pulang dengan muka menunduk. Irfan dengan wajah pucat mengantarnya sampai ke pintu gerbang rumah.

Hati Irfan pedih
Ceritera Jupri telah menyentuh saraf kesedihannya. Sembilan hari sakit. Terbaring sakit adalah hal yang memprihatinkan. Walau kebetulan bertepatan dengan liburan catur wulan, namun telah membuatnya kehilangan saat-saat yang ceria dan menyenangkan sebagai remaja.
Perkemahan Sabtu malam minggu dan kegiatan penjelajahan napak tilas pasukan pelajar Irfan tidak ikut. Namun baginya yang penting adalah ternyata ia tidak bisa bercengkerama dan bergurau dengan gadis manis berhidung mungil berdagu lancip, Swasti. Irfan telah kehilangan saat–saat yang harusnya penuh kenangan bersama Swasti.

Irfan sedih!
Tidak mungkin! Swasti tentu tetap setia bersahabat denganku!” gumamnya. Ah, tapi ­­­dunia penuh dengan kemungkinan. Jika benar Swasti kembali bersahabat akrab dengan Galang?
Irfan menundukkan kepalanya. Matanya menatap kosong langit-langit kamar. Issu yang dibawa Jupri telah dibawanya ke kamar tidur, telah benar-benar membuatnya resah. Ia bangkit dan bercermin. Wajahnya tampak pucat, diusapnya kedua kelopak matanya dengan kedua jari tengahnya, mukanya tampak cekung. Penyakit thypus telah memaksanya untuk istirahat di rumah, telah mebuatnya semakin kurus dan tampak tua.

Hari Senin, hari pertama masuk sekolah.
Irfan berangkat sekolah tak lagi bersepeda, ia diantar, naik becak. Dimasukinya gerbang sekolah dengan dada berdebar. Ia rindu dengan suasana sekolah tapi ia juga khawatir dengan kenyataan yang mungkin hadir menerpanya.
Kiranya kegundahan hatinya tidak bisa berkepanjangan karena Jupri, Anton, Simon, Dudung, sudah memberi ucapan selamat datang dan pertanyaan yang lucu-lucu. Irfan harus tertawa melihat ulah kawan-kawannnya. Ia memasuki kelas 3A bersama teman-temannya. Ranti teman sekelasnya yang kuning, langsing, rambut sepundak dan manis tersenyum padanya. Irfan cocok dengan Ranti.
Ranti bagaimana kegiatan liburanmu?” tanya Irfan
Ugh, bagus ramailah. Kamu sie pakai sakit segala, yaa nggak ikut. Ketika napak tilas aku kecebur sungai, byur, basah semua” ceritera Ranti sebagai pembuka. Disusul dengan ceritera dari Dita, Asti, Bambang dan dibumbui oleh yang lain. Kelas jadi hiruk pikuk seperti pasar.
Jlitheng masuk ke kelas, mulutnya terbuka, suaranya melengking keras
He bodong, siapa yang main-main dengan kameraku? Masa ayam dan kambing di kampung di foto segala. Empat jepretan lagi. Bodong, buang, buang uang saja!”
Teman-temannya tertawa.
Peragawan tanpa busana yaa?” maksudnya hewan kan tidak berbaju.
Mana-mana? Lihat!” antusias, Ranti ingin melihat hasil foto mereka. Film dan kamera mereka, yang untuk berfotoria memang hasil patungan. Mereka menggunakan kamera manual, untuk mengambil gambar kamera harus dilengkapi dengan satu rol film. Selesai mengambil gambar maka film harus dicuci di studio dan hasilnya  adalah foto negatif, biasa disebut sebagai klise!
Jliteng mengambil sesuatu dari tasnya.
Klise! Film yang baru dicuci!
Lho kok belum dicetak, Jup? tanya Irfan pada Jupri. Jupri mengangguk
Belum. Uangnya nggak ada. Yang butuh foto silahkan lihat klisenya dengan cermat, kemudian kalau mau pesan, silakan menyebut nomor klisenya. Bayar sendiri-sendiri. Satu cetak foto, lima ratus rupiah” terang Jupri pada Irfan
Mau ikut pesan apa, Irfan?” tanya Jlitheng. Irfan diam. Ditatapnya wajah Jupri. Teman yang menurutnya baik dan dapat dipercaya.
Begini saja Jupri, aku kan tidak ikut. Anggap saja aku yang di belakang kamera. Aku punya uang dua puluh ribu rupiah. Cetak semuanya yang bagus-bagus. Foto yang nggak dibeli teman-teman menjadi milikku!” saran Irfan.
Jupri setuju. Jlitheng jelas akur. Istirahat pertama Jlitheng akan minta ijin sebentar ke studio foto. Pulang sekolah pasti sudah tercetak semua. Ship!
Di kelasnya ternyata Irfan lupa pada Swasti, gadis manis berhidung mungil, berdagu lancip. Ia sibuk memperhatikan guru mengajar. Ketika bell masuk berbunyi ia hanya sepintas melihat Swasti. Swasti berbaris di depan kelas bersama teman sekelasnya. Dada Irfan sempat berdegup keras. Ia menunduk perlahan.
Hari pertama masuk sekolah itu benar-benar mengecewakannya. Irfan tidak sempat berbincang-bincang dengan Swasti. Rupanya Swasti tidak keluar kelas saat istirahat, ia tetap di kelasnya, kelas 3C.
Irfan berpikir mungkinkah ini pertanda Swasti menghindarinya. Hati kecilnya mulai terasa nyeri. Haruskah Irfan seperti jatuh tertimpa tangga? Sudah sakit, tidak ikut kegiatan sekolah, dan kini ditinggal Swasti. Kesialan yang bertubi-tubi. Rasa nelangsa menyentuh hatinya. Ah!” sanggahnya, “Kenapa harus berpikir negatif. Aku belum bertemu Swasti, kenapa harus bersedih hati? Esok hari semoga aku sempat berbincang dengannya. Irfan berjalan perlahan meninggalkan kelasnya. Pulang naik becak.

Rabu pagi.
Jlitheng menghampirinya Irfan. Irfan baru saja datang untuk segera masuk di kelasnya.
Sejak kemarin sore teman-teman sudah melihat foto-foto ini, Irfan. Banyak yang pesan juga. Kamu tinggal pilih mana yang kamu suka. Semoga yang tak terpilih olehmu sudah dipesan teman-teman jadi aku tidak perlu cetak lagi!” kata Jlitheng nyerocos.
Sebuah album kecil di tangan Irfan, di buka di depannya. Irfan menyimak.
Satu, dua, tiga … lembar demi lembar halaman album dibuka dan disimak. Sembilan....! Lembar halaman album foto yang ke sembilan! Dada Irfan bergetar. Wajahnya memucat. Desir hatinya tak tertahankan. Digigitnya bibir bawah perlahan. Nafasnya memburu.
Sebelas anak berfoto bersama dengan latar belakang hutan pinus. Di antaranya jelas ada Swasti, berwajah ceria persis di samping Galang. Galang memegang tas milik Swasti, Irfan sangat mengenal tas milik Swasti.
Irfan mengambil nafas panjang. Diletakkannya album foto itu dan ia beranjak pergi ke belakang. Diiringi tatap mata Jlitheng dan Ranti yang kebetulan sudah bersama di kelas. Di kamar kecil Irfan mengusap matanya yang basah.
Saat pulang sekolah.
Matahari begitu terik menyiram kota Purbalingga. Irfan berdiri di pinggir jalan. Ia malas pulang. Kepalanya pening, hatinya pedih. Lambat-lambat ia berjalan sendiri menyusuri trotoar. Tema-teman telah diusirnya. Ia ingin sendiri. 
Dadanya bagai terpukul palau godam sesaat tadi ia di serambi kelas. Irfan melihat dengan jelas, lewat mata kepalanya sendiri, Swasti berjalan perlahan menyusuri serambi kelas yang panjang berdua dengan Galang. Irfan terkesiap. Badannya seketika terasa lemas dan lunglai, tak kuasa untuk menahan desir hatinya.
Ia segera duduk di bangku kelas. Di tengadahkan kepalanya. Ia menguatkan hati.
Ditutupinya wajahnya dengan kedua tangan. Thypus telah memerangkap dirinya dalam kesedihan. Barangkali jika ia tetap sehat, Irfan akan mampu menjaga keakrabannya dengan Swasti. Ternyata sehat diperlukan di segala saat, termasuk saat jatuh hati, saat harus menjaga keberadaan si jantung hati..
Yaa, Allah, kenyataan itu datang juga!”
Sementara kelas menjadi semakin sepi.
Sesepi hati dan harapannnya.
Matahari masih begitu terik menyiram kota PurbalinggaLambat-lambat Irfan berjalan sendiri menyusuri trotoar Jalan Letkol Isdiman. 
Hidup menjadi seperti sendiri, ri!


==

Purbalingga, Sabtu, 17 April 2004
Terimakasih kepada seseorang yang menjadi ide ceritera ini! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar