Kenyataan
itu Datang
Toto Endargo
Tahun 2004. Siswa SMP Negeri 2 Purbalingga.
Begitu
pekanya rasa suka terhadap sesama remaja. Sedikit terabaikan dari perhatian
sang idola maka rasa kecewa, cemburu dapat memenuhi alam pikirannya. Adalah Irfan
yang secara pribadi beranggapan bahwa Swasti adalah pelabuhan hatinya tempat ia
melempar sauh dan tempat menambatkan perahu kertasnya.
===
Sebuah ruang tamu di rumah Irfan. Irfan tiduran di
kursi panjang. Jupri di depannya. Sudah sekitar lima belas menit mereka
membicarakan hal ikhwal sekolahan. Dan yang paling peka bagi Irfan adalah hal
seorang gadis, Swasti Prameswati. Saat Jupri memberi tahu “tingkah” Swasti ketika liburan. Irfan
menjadi emosi.
“Tidak
mungkin, Jupri!” debat Irfan dengan tegas! Walau terselip juga nada ragu. Jupri adalah teman akrabnya,
tempat curahan hati. Baik dalam hal pelajaran, keuangan, persahabatan maupun
dalam hal perasaannya
pada Swasti.
“Percaya
atau tidak itu terserah kamu!” kata Jupri pelan.
“Aku
tidak percaya! Bohong!” sergah Irfan lagi, sepertinya ia tidak percaya lagi kepada Jupri.
“Apa
yang saya ceriterakan adalah apa yang dibicarakan teman-teman!” kata Jupri
dengan sabar.
“Hanya
issu kan?” tanya Irfan.
“Issu
juga boleh! Tapi pembuktiannya ketika kau masuk sekolah besok!” jawab Jupri
seperti mengalah, tapi
sesungguhnya tidak.
Sebentar
kemudian Jupri pamit pulang dengan muka menunduk. Irfan dengan wajah pucat mengantarnya
sampai ke pintu gerbang rumah.
Hati
Irfan pedih
Ceritera
Jupri telah menyentuh saraf kesedihannya. Sembilan hari sakit. Terbaring sakit adalah hal yang
memprihatinkan. Walau
kebetulan bertepatan dengan liburan catur wulan, namun telah membuatnya kehilangan
saat-saat yang ceria dan menyenangkan sebagai remaja.
Perkemahan
Sabtu malam minggu
dan kegiatan penjelajahan napak tilas pasukan pelajar Irfan
tidak ikut. Namun
baginya yang penting
adalah ternyata ia tidak
bisa bercengkerama dan bergurau dengan gadis manis berhidung mungil berdagu
lancip, Swasti. Irfan
telah kehilangan saat–saat yang harusnya penuh kenangan bersama Swasti.
Irfan sedih!
“Tidak mungkin! Swasti tentu tetap setia bersahabat denganku!” gumamnya. Ah, tapi dunia penuh dengan kemungkinan. Jika
benar Swasti kembali bersahabat akrab dengan Galang?
Irfan
menundukkan kepalanya. Matanya menatap kosong langit-langit kamar. Issu yang dibawa Jupri telah
dibawanya ke kamar tidur, telah benar-benar membuatnya resah. Ia bangkit
dan bercermin. Wajahnya tampak pucat, diusapnya kedua kelopak matanya dengan kedua
jari tengahnya, mukanya tampak cekung. Penyakit thypus telah memaksanya untuk
istirahat di rumah, telah mebuatnya semakin kurus dan tampak tua.
Hari
Senin, hari pertama
masuk sekolah.
Irfan
berangkat sekolah tak lagi bersepeda, ia diantar, naik becak. Dimasukinya gerbang sekolah dengan dada berdebar. Ia
rindu dengan suasana sekolah tapi ia juga khawatir dengan kenyataan yang mungkin
hadir menerpanya.
Kiranya kegundahan hatinya tidak bisa berkepanjangan karena Jupri, Anton, Simon, Dudung, sudah memberi ucapan selamat datang dan pertanyaan
yang lucu-lucu. Irfan harus tertawa melihat ulah kawan-kawannnya. Ia memasuki
kelas 3A bersama teman-temannya. Ranti teman sekelasnya yang kuning,
langsing, rambut sepundak dan manis tersenyum padanya. Irfan
cocok dengan Ranti.
“Ranti bagaimana kegiatan liburanmu?” tanya Irfan
“Ugh, bagus ramailah. Kamu sie pakai sakit segala, yaa nggak ikut. Ketika napak tilas aku kecebur sungai, byur, basah
semua” ceritera Ranti sebagai pembuka. Disusul dengan ceritera dari Dita, Asti, Bambang dan dibumbui oleh yang lain. Kelas jadi hiruk pikuk
seperti pasar.
Jlitheng
masuk ke kelas, mulutnya terbuka, suaranya melengking keras
“He bodong, siapa yang
main-main dengan kameraku? Masa ayam dan kambing di kampung di foto segala. Empat jepretan lagi. Bodong, buang, buang uang saja!”
Teman-temannya tertawa.
“Peragawan
tanpa busana yaa?”
maksudnya hewan kan tidak berbaju.
“Mana-mana? Lihat!” antusias, Ranti ingin melihat hasil foto mereka. Film dan kamera mereka, yang untuk berfotoria memang hasil patungan. Mereka menggunakan kamera manual, untuk mengambil gambar kamera harus dilengkapi dengan satu rol film. Selesai mengambil gambar maka film harus dicuci di studio dan hasilnya adalah foto negatif, biasa disebut sebagai klise!
Jliteng
mengambil sesuatu dari tasnya.
Klise! Film yang baru dicuci!
“Lho kok belum dicetak, Jup?” tanya Irfan pada Jupri. Jupri mengangguk
“Belum. Uangnya nggak ada. Yang butuh foto silahkan lihat klisenya dengan cermat, kemudian kalau mau pesan, silakan menyebut nomor klisenya. Bayar
sendiri-sendiri. Satu
cetak foto, lima ratus rupiah” terang Jupri pada Irfan
“Mau ikut pesan apa, Irfan?” tanya Jlitheng. Irfan diam. Ditatapnya wajah
Jupri. Teman yang menurutnya baik dan dapat dipercaya.
“Begini saja Jupri, aku
kan tidak ikut. Anggap saja
aku yang di belakang kamera.
Aku punya uang dua puluh ribu rupiah. Cetak semuanya yang bagus-bagus. Foto
yang nggak dibeli teman-teman menjadi milikku!” saran Irfan.
Jupri
setuju. Jlitheng jelas akur. Istirahat pertama Jlitheng akan minta ijin sebentar ke studio foto. Pulang sekolah pasti sudah
tercetak semua. Ship!
Di kelasnya ternyata Irfan lupa pada Swasti,
gadis manis berhidung mungil, berdagu lancip. Ia sibuk memperhatikan guru mengajar. Ketika bell masuk berbunyi ia hanya
sepintas melihat Swasti. Swasti berbaris di depan kelas bersama teman sekelasnya. Dada Irfan sempat berdegup keras.
Ia menunduk perlahan.
Hari pertama masuk sekolah itu benar-benar mengecewakannya. Irfan tidak sempat
berbincang-bincang dengan Swasti. Rupanya Swasti tidak keluar kelas saat istirahat, ia tetap di kelasnya, kelas
3C.
Irfan
berpikir mungkinkah ini pertanda Swasti menghindarinya. Hati kecilnya mulai
terasa nyeri. Haruskah Irfan seperti jatuh tertimpa tangga? Sudah sakit, tidak ikut kegiatan sekolah, dan kini ditinggal Swasti. Kesialan yang
bertubi-tubi. Rasa nelangsa menyentuh hatinya. “Ah!” sanggahnya, “Kenapa harus berpikir negatif. Aku belum bertemu Swasti,
kenapa harus bersedih hati? Esok hari semoga aku sempat berbincang dengannya”. Irfan berjalan perlahan
meninggalkan kelasnya. Pulang naik becak.
Rabu
pagi.
Jlitheng menghampirinya Irfan. Irfan baru saja datang untuk segera masuk di kelasnya.
“Sejak kemarin sore teman-teman sudah melihat foto-foto ini, Irfan. Banyak yang pesan juga. Kamu tinggal pilih mana yang kamu
suka. Semoga yang tak terpilih olehmu sudah dipesan teman-teman jadi aku tidak
perlu cetak lagi!” kata Jlitheng
nyerocos.
Sebuah
album kecil di tangan Irfan, di buka di depannya. Irfan menyimak.
Satu, dua, tiga … lembar demi
lembar halaman album dibuka dan disimak. Sembilan....! Lembar halaman album foto yang ke sembilan! Dada Irfan bergetar. Wajahnya memucat.
Desir hatinya tak tertahankan. Digigitnya bibir bawah perlahan. Nafasnya
memburu.
Sebelas
anak berfoto bersama dengan latar belakang hutan pinus. Di antaranya jelas ada Swasti, berwajah ceria persis di samping Galang. Galang
memegang tas milik
Swasti, Irfan sangat mengenal tas milik Swasti.
Irfan mengambil nafas panjang. Diletakkannya album foto itu dan ia beranjak pergi ke
belakang. Diiringi tatap mata Jlitheng dan Ranti yang kebetulan
sudah bersama di kelas. Di
kamar kecil Irfan mengusap matanya yang basah.
Saat pulang sekolah.
Matahari
begitu terik menyiram kota Purbalingga. Irfan berdiri di pinggir jalan. Ia
malas pulang. Kepalanya pening, hatinya pedih. Lambat-lambat ia berjalan sendiri menyusuri
trotoar. Tema-teman telah diusirnya. Ia ingin sendiri.
Dadanya bagai terpukul palau godam sesaat tadi ia di serambi kelas. Irfan melihat dengan jelas, lewat mata kepalanya sendiri, Swasti berjalan perlahan menyusuri serambi kelas yang panjang berdua dengan Galang. Irfan terkesiap. Badannya seketika terasa lemas dan lunglai, tak kuasa untuk menahan desir hatinya.
Dadanya bagai terpukul palau godam sesaat tadi ia di serambi kelas. Irfan melihat dengan jelas, lewat mata kepalanya sendiri, Swasti berjalan perlahan menyusuri serambi kelas yang panjang berdua dengan Galang. Irfan terkesiap. Badannya seketika terasa lemas dan lunglai, tak kuasa untuk menahan desir hatinya.
Ia segera duduk di bangku kelas. Di tengadahkan kepalanya. Ia menguatkan hati.
Ditutupinya wajahnya dengan kedua tangan. Thypus telah
memerangkap dirinya dalam kesedihan. Barangkali jika ia tetap sehat, Irfan akan
mampu menjaga keakrabannya dengan Swasti. Ternyata sehat diperlukan di segala
saat, termasuk saat jatuh hati, saat harus menjaga keberadaan si jantung hati..
“Yaa, Allah,
kenyataan itu datang
juga!”
Sementara
kelas menjadi semakin sepi.
Sesepi
hati dan harapannnya.
Matahari masih begitu terik menyiram kota Purbalingga. Lambat-lambat Irfan berjalan sendiri menyusuri trotoar Jalan Letkol Isdiman.
Hidup menjadi seperti sendiri, ri!
Purbalingga, Sabtu, 17 April 2004
Terimakasih kepada seseorang yang menjadi ide ceritera ini!
Matahari masih begitu terik menyiram kota Purbalingga. Lambat-lambat Irfan berjalan sendiri menyusuri trotoar Jalan Letkol Isdiman.
Hidup menjadi seperti sendiri, ri!
==
Terimakasih kepada seseorang yang menjadi ide ceritera ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar