Cerita Remaja
Senyum Aneh
Toto Endargo
23Feb2010
Filed under: Antara Kita
Author: totoendargo
Jatuh cinta sungguh sesuatu yang mengesankan namun kadang
justru mempersulit diri. Seseorang yang jatuh hati ada kecenderungan
mencari-cari kegiatan yang ada hubungannnya dengan idaman hati.
Tak terkecuali
cinta monyet yang sempat menghampiri Dwiana Prihartanto, anak SMP Negeri 2
Purbalingga yang suka nulis puisi ini. Anak kelas 3A ini, tertarik kepada Indah
Tarnowati anak kelas 3C. Bara perhatian sudah bersemi sejak sama-sama di SD
Purbalingga Wetan 3.
“Dwi, Indah mriyang kae. Bali jam ketiga, pas
olahraga. Bali nunggang becak” celethuk Resting Rolina di depan
perpustakaan sambil berlalu. Dwiana terkesiap. Jika tidak karena sesuatu yang
serius tidak mungkin Indah Tarnowati pulang jam ketiga. Pas olahraga?
Jangan-jangan jatuh saat olahraga.
“Apalagi saat dikau sakit, Indahku, saat sehat pun engkau
ada di dadaku!” puisi yang tercetus di benaknya. Ia membayangkan telah hadir di
rumah Indah.
“Indah, di pintumu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling!”
saduran kalimat dari puisinya Chairil Anwar.
Pelajaran IPS Ekonomi bener-benar tidak masuk dalam pikirannya.
Ia membayangkan berada di rumah Indah. Ia hadir menengok sakitnya. Ada senyum
dan ucap terimakasih dari Indah. Oh, betapa mengesankan!
Tiga temannya telah meledeknya dengan lontaran kata yang
membuatnya melamun saat diajar.
“Tirulah tindakan Napoleon. Serangan yang berhasil adalah
serangan yang dilakukan secara tiba-tiba!” Nasehat Aniffudin
“Yen wani aja wed-wedi, tapi yen wedi aja
wani-wani!” kata Riza Junianto
“Percuma wanine neng majalah dinding thok.
Puisi-puisi melulu. Gombal!” kata Wayoeng
“Oh, bocah dewulang, ngalamun bae!” suara Bu Titie
Purwati sambil menatap Dwiana.
“Mikirna Indah Tarnowati, Bu!” suaranya Risa Hermawan,
tak kalah keras dengan suara yang lain.
Pelajaran usai!
Dwiana berlari ke kelas 3E. Himawan adalah dewa penolong
baginya. Akan kulabuhkan permohonanku untukmu sahabatku! Kau harus menemaniku
ke rumah Indah. Bukit kan kudaki, lautan kan kuseberangi! Apalagi hanya ke
tempat Indah di Bancar! He, he, he..
“Indah, di pintumu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling!”
***
Pukul tiga sore. Hari Kamis Wage.
Dwiana dan Himawan bersepeda dari penambongan ke Bancar. Ada
debar di dada Dwiana. Wajah Pak Istarno, yang belum dikenalnya, dibayangkannya
seseorang yang dapat membuatnya takut. Himawan ikut hanya bermodal setia kawan.
Ayah Indah dibayangkannya di depan pintu dengan kumis melintang, berseragam
POLRI dengan pistol di pinggang.
“Kamu nggak takut pada bapaknya, Dwi?” tanya Himawan dengan
jidat agak mengkerut.
“Takut juga sie. Ini kesempatan. Alasan yang jitu main ke
tempat Indah!” jawab Dwiana.
Kedua sepeda dijagrag dengan hati-hati. Rumah Indah sepi.
“Assalamu’alaikum!” kata pembuka yang sudah disiapkan. Sepi!
Tiada jawaban.
“Assalamu’alaikum!” kata kedua. Sepi. Dua remaja tanggung
ini saling berpandangan.
Lima menit kemudian. Sesaat setelah bunyi mobil. Seorang
wanita dengan kebaya pink mendekati keduanya.
“Lho, ini siapa? Kok nggak masuk?” sapa awal ibu-ibu
berkebaya pink ini.
“Saya, anu .., saya Dwiana, Bu! Teman Indah, Bu!”
“Lho, Indah dimana? Kok nggak masuk? Saya Ibunya Indah! Ayo
masuk!” ajak Bu Istarno sangat ramah, “Ini siapa?” tanyanya kemudian kepada
Himawan, “Himawan, Bu!”
Bu Is membuka pintu depan. Dan sebuah ruang tamu menyapa
ketiganya. Kedua remaja ini pun duduk dengan sopan. Ada seberkas sinar ceria
membayang di jidat Dwiana. Kepercayaan dirinya menguat. “Kepercayaan tanda
menyerbu!” ia ingat puisinya Chairil Anwar.
“Lho, rumah kok sepi begini. Pada kemana?” kata Bu Istarno
seperti kepada dirinya sendiri.
“Ibu baru dari Banjarnegara, bersama-sama ibu-ibu
Bhayangkari. Tadi berangkatnya pagi, dan ini baru sampai ke rumah” penjelasan
Bu Istarno, “Mau minum apa?” tanyanya, “Sebentar yaa!” lanjutnya.
Bu Istarno masuk ke ruang dalam, kemudian terdengar ia
memanggil seseorang dengan panggilan, “Biii!”. Tujuh menit kemudian seorang
yang barangkali tadi dipanggil Bi ini datang membawa nampan berisi tiga cangkir
teh manis. Ah, sepiring kue. Luar biasa!
Berikutnya Bu Istarno ikut duduk menemani keduanya. Tanya
alamat rumah dan mengulangi lagi tanya nama dan kelas berapa. Dijawabnya dengan
sopan. Dwiana pun mengungkapkan perhatian lebihnya kepada Indah, siapa tahu Bu
Is jadi mertuanya! He, he..!
“Maaf, Bu. Saya sebenarnya mau nengok Indah, Bu. Katanya
sakit!”
“Lho, Indah sakit? Saya malah nggak tahu. Ceriteranya
bagaimana?”
“Tadi pagi, Indah katanya jatuh saat olah raga. Berdarah.
Lalu indah dinaikkan becak, pulang!”
“Jam berapa dia sakit?”
“Sepertinya sekitar jam sembilan, Bu!” Jam Sembilan berarti
Bu Is sudah berangkat ke Polres, bhayangkarian! Betapa mulianya hati kedua anak
ini, begitu batinnya.
“Oh, jadi mas Dwi sama Mas Wawan ini mau nengok Indah yang
katanya sakit!”
“Iya, Bu. Katanya berdarah lagi!” jawab Himawan dengan mimik
muka memelas.
“Mau melihat apanya yang berdarah?” tanya Bu Is yang
memahami alam pikiran keduanya.
“Iya, Bu!” jawab Dwi dengan polos. Ada rasa santai yang
mendominasi jidat.
“Kuehnya dimakan! Tehnya diminum!” katanya sambil
menyodorkan piring kue! Keduanya mengambil satu-satu. Bu Is berdiri.
“Ibu belum tahu juga kalau Indah sakit. Coba indah saya cari
dulu ya?” katanya.
***
Ada kepuasan yang mengalir ke benak Indah setelah semangkok
bakso pedas melewati lidahnya. Rasa pedas dan panas masih tersisa, bau
bakso di samping jembatan, dan bunyi grojogan air sungai masih terngiang. Makan
bakso berdua teman sekampung!
Bagaikan pancaran magnet yang ditebarkan oleh ibunya, ia
merasa bahwa harus segera pulang. Benar juga. Tiga puluh meter dari
belakang rumah ia ketemu ibunya.
“Indah, kamu sakit! Kenapa keluyuran?” tegur ibunya dengan
tegas. Haah!
“Kamu jatuh saat olahraga?” tanya ibunya lagi. Indah
menggeleng.
“Ayo masuk! Itu ada temanmu nengok kamu. Dia katakan kamu
sakit!”
Indah masih belum paham kata-kata ibunya. Namun keduanya
segera masuk rumah. Indah ke kamar mandi mencuci tangan, muka, dan kaki. Ibunya
sudah menunggunya di kamar.
“Benar, tadi pagi kamu pulang jam sembilan?” Indah
mengangguk.
“Naik becak?” Indah mengangguk.
“Berdarah?” Indah mengangguk.
“Lho, kamu sakit apa? Itu teman-temanmu mau lihat lukamu!”
Indah menggeleng.
“Ibuuuu !” teriak Indah pelan. Mulutnya dimajukan. Jari
telunjukknya ditempelkan ke bibirnya. Ibunya terbeliak kaget. Kedua pipi
ibunya dipeganngnya dengan kedua telapak tangannya.
“Massa Ibu nggak tahu kenapa saya dianggap sakit?”
“Kenapa?” Indah mendekatkan bibir ke telinga Ibunya. Ketika
bibirnya bergerak ada bunyi, “Biasa, Bu. Setiap remaja wanita kan setiap bulan
ada yang datang!”
“Astaghfirullah..!” sebut ibunya, “ Jadi kamu tadi di
sekolahan ………” Indah mengangguk sebelum kata Ibunya selesai. Membayangkan wajah
kedua remaja putra teman Indah yang polos sang Ibu tidak kuasa untuk menahan
tawa. Setelah tahu yang datang siapa. Indah ikut tertawa juga.
Lima menit kemudian Indah ke ruang tamu dengan wajah cerah
ceria. Ibunya di belakangnya. Dwiana dan Himawan terheran-heran. Bagaimana
mungkin Indah secerah ini, kalau tadi pagi sakit, berdarah, hingga dinaikkan
becak! Ajaib!
“Kamu sakit apa Indah? Mana yang sakit?” tanya Dwiana begitu
polos. Indah hanya tersenyum. Ibunya tersenyum juga. Senyum yang aneh.
Tujuh menit kemudian keduanya berpamitan. Badrun tetangga
Indah menyaksikan wajah lesu Dwiana Prihartanto saat berpamitan. Senyum aneh
Indah Tarnowati masih tersungging saat kedua sepeda dipancal ke arah barat.
Konon sampai kini peristiwa yang terjadi di tahun 1991 ini,
Dwiana Prihartanto belum juga tahu kenapa Indah Tarnowati di hari itu pulang
jam ketiga. Dan senyum aneh itu sampai kini selalu menggelantung di benaknya.
“Indah, di pintumu aku mengetuk. Aku tidak bisa berpaling!”
Demikianlah!
==
*) Kepada semua pihak yang terlibat dalam ceritera ini saya
mohon maaf, karena setidaknya ada rahasia yang tanpa dipaksa saya ceriterakan.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar