Tulisan di Buku Fisika
Oleh : Pagu Rutoto
Aku malas pulang. Aku ingin terbang.
Terbang jauh bersama Dita. Tapi Dita sudah pulang. Mulai pagi ini dia bagai langit nan bermendung, saat Dita mengembalikan buku fisikaku, wajah yang tak ramah.
===
Langit masih terang benderang.
Matahari sudah lewat dari titik kulminasinya. Sekolah
sudah selesai hari ini.
Para siswa sudah banyak yang pulang. Aku menundukkan kepala. Dita di depanku menatap pohon glodogan yang menjulang tinggi, angin kering masih bertiup lembut. Menyapu debu tipis di halaman sekolah. Masih beberapa anak di parkiran, ada pula yang di utara lapangan basket.
Para siswa sudah banyak yang pulang. Aku menundukkan kepala. Dita di depanku menatap pohon glodogan yang menjulang tinggi, angin kering masih bertiup lembut. Menyapu debu tipis di halaman sekolah. Masih beberapa anak di parkiran, ada pula yang di utara lapangan basket.
"Kita harus pulang!” kataku datar. Dita
menganggukan kepala. Bibirnya rapat menyimpan kata-kata. Matanya
menatapku lirih. Aku tak mampu menebak isi hatinya.
"Kamu sakit?'' tanyaku. Dita menggelengkan kepala.
Kupegang tas sekolahnya. Aku membimbingnya berdiri. Tapi Dita bergeming,
tetap diam di bangku panjang di depan kelas VII E.
"Kamu marah padaku?" Dita menggelengkan kepala.
"Ada sesuatu yang membuatmu gundah?" Dita
mengangguk. Aku terdiam.
"Apa ?"
"Besok aku akan bertanya padamu" kata Dita
"Kenapa harus besok? Sekarang saja!” saranku.
"Tidak!” jawabnya dan dia beranjak dengan cepat menuju
ke sepedanya. Aku terpaku di tempatku.
Kutatap langkah Dita di halaman kelas. Kutatap pula pucuk
pohon glodogan yang paling tinggi. Ada lambaian daun kecil yang
seakan mengejekku. “Rasain loe!”
Serambi kelas ini jadi saksi, Dita diam membisu di depanku.
Menjadi saksi ketika aku terpukul dengan kediamannya. Memang ada rasa khusus
antara aku dan Dita. Saling menyapa. Cerita bersama. Belajar bersama.
Aku di kelas 2F dia di kelas 2E. Kelas-kelas bersebelahan,
seakan satu RT. Kadang aku pinjam catatannya. Dita juga
sering pinjam catatanku. Kemarin Dita pinjam padaku Buku Fisika. Hal
cahava. Rupanya dia kesulitan tentang melukis bayangan benda pada cermin datar.
Aku bisa. Aku punya catatan cara melukiskan bayangan benda pada cermin
datar Dita pinjam. Aku suka. Sangat senang jika Dita berkenan pinjam
bukuku. Dengan marahnya, mungkinkah pinjaman buku fisika ini sebagai pinjaman
terakhir Dita padaku? Sungguh memprihatinkan.
“Ah, Dita jangan marah padakuI”
Aku malas pulang. Aku ingin terbang. Terbang jauh bersama
Dita. Tapi Dita sudah pulang. Mulai pagi ini dia bagai langit nan
bermendung, saat Dita mengembalikan buku fisikaku, wajah yang tak ramah.
Aku duduk di bangku panjang, di tempat tadi Dita duduk.
Kubuka tas kesayanganku! Buku fisika yang bersampul biru
kubuka-buka. Kusimak halaman tentang cara melukis bayangan benda pada cermin
datar. Lima menit. Kubuka-buka lagi halaman demi halaman sampai ke akhir
halaman. Halaman terakhir penuh dengan tulisan. Halaman
ini kadang kugunakan untuk menghitung, menulis jawaban, sket gambar
dan lain-lain. Dan di pojok kanan bawah terdapat tulisan: “Isna Agustina,
selamat valentine, Isna! Selalu salam manis buatmu!”
Dadaku terkesiap! Mungkin inilah yang menjadikan
Dita terdiam. Isna memang manis tapi aku lebih memilih Dita. Dita lebih
lembut lebih sopan. Tidak terlalu banyak tingkah. Sederhana,
berambut panjang. Dulu rambutnya pernah di potong pendek.
Ketika berambut-pendek itu, dia pernah memasang jepit rambut dari segala
sisi kepalanya. Di kanan, kiri, tengah, belakang, samping, miring, tegak,
pokoknva rungseb! Tapi Dita ditakdir cantik, panjang atau pendek model
rambutnya dia tetap cantik, lembut dan manis. Dan aku suka!
Lalu bagaimana dengan tulisan di buku fisika ini? Apa
alasanku pada Dita? Aku harus datang padanya.
===
Senin sore 14 Februari 2005. Aku
datang ke tempat Dita. Aku bercelana jean, T shirt biru, dengan
tulisan di dada ‘No Fear’, siapa takut? Sepatuan. Pakai bau-bauan. Harus
meyakinkan! Aku datang ke tempat Dita ditemani Argo. Teman akrabku satu
bangku.
“Assalamu'alaikum" salamku di depan pintu. Ya,
ampun.Ibunya yang membukakan pintu.
“Maaf, Bu. Mau bertemu Dita. Dita ada, Bu?”
“Ada! Duduk dulu!" Ibunya baik. Aku
pernah bertemu dengannya empat kali. Tapi baru kali ini aku bertamu, dan
bertemu di rumah ini.
Dita keluar. Berbaju pink. Lembut sekali,
berlengan cekak, sehingga lengannya tampak panjang dan utuh. Krah bajunya
model sanghai, ujung krah yang bulat sangat serasi dengan bentuk pipinya.
Bawahannya rok dengan warna yang cenderung pink
juga, namun lebih tua. Ah.cantiknya, Dita!
“Dita, jika aku salah, maafkan saya! Kenapa kamu
marah padaku” kata-kataku sejenak setelah sebentar menatapnya kagum.
“Maafkan saya!” Dita diam. Matanya redup menatap vas bunga
dipojok ruang.
" Ada huhungan apa kamu dengan Isna!" kata Dita
langsung, sesuai ramalanku.
" Maaf Dita. Kau pasti baca tulisan di buku fisikaku!”
“Iya!”
“Tulisan di buku fisika itu memang tulisanku, tapi itu isi
hati Argo" Kutatap Argo. Kupancarkan permohonan bantuan lewat
sorot mataku.
“Ia ingin kirim salam buat Isna!”
Argo memiringkan muka. Jalan pikirannnya klop denganku.
"Maaf Dita" sela Argo kemudian,”Itu aku yang minta
tolong pada Endra! Kebetulan nulisnya di buku Endra, bukan di bukuku!”
Wajah Dita sedikit berubah. Matanya berkilat. Bibirnya
terkuak.
“Kirim salam! Kau jatuh hati pada Isna?" Tanya Dita
pada Argo. Argo mengangguk pelan.
Dita menatap Argo lekat-lekat. Matanya bulat.
Bola matanya sesaat seperti berputar. Bibirnya berkemik, kemudian
tersenyum manis sekali. Ada wajah cerah menghiasi Dita. la
mengangguk.
“Aku tahu sekarang, kau suka pada
Isna” suara Dita lembut.
“Betul, Dita!” potongku, “Dia mau membuat kartu Valentine.
Argo minta tolong membuat sket kata” Dita menatap Argo.
“Tulisan di buku fisika itulah kata-kata yang kusarankan!”
Dita tersenyum. Berdiri dan mengulurkan tangan untuk Argo.
“Isna gadis yang manis dan baik hati. Selamat
Argo!" Dita bersalaman dengan Argo. Lalu menyalami aku. Lirih
ia bicara.
"Maafkan aku, Endra!" Aku mengangguk.
Bumi kembali berputar, terang benderang di jagat kecilku.
==
Dengan damai misi damai telah terlaksana. Aku berdua
pulang. Di tengah jalan Argo tertawa.
“Sebenarnya kamu tertarik pada Isna, kan?” pertanyaan tajam
dari Argo untukku.
“Iya. Tulisan itu juga isi hatiku. Terimakasih! Kamu telah
menolongku” jawabku jujur
“Dita terlalu percaya padamu. Ia gadis yang baik”
“Benar!”
"Sesungguhnya aku tak pernah minta tolong untuk
membuatkan kata-kata itu! Kita telah bersandiwara di depan Dita!” komentar
Argo.
Sebelas menit kami berdua membisu. Aku menelusuri memori
bersama Isna.
“Benar kata Dita”, kataku datar, “Isna memang manis dan baik
hati! Sayanglah kamu padanya!”
“Bodong! Kamu jahat! Kasihan Dita! Kamu bohongi Dita!”
gerutu Argo.
“Tapi Isna memang manis kan?” tanya Endra.
Argo mengangguk! Dadanya berdesir! Wajah Isna terbayang di
benaknya.
“Sayangi Dita! Jangan ganggu Isna!” pesan Argo. Endra
mengangguk. Keduanya bersalaman. Ada desir perih di hatiku. Hati yang
bercabang.
Bodong, mbok!
====
Purbalingga, 14 Februari 2005
Terimakasih untuk Dita atas ide dan “model” yang kalian
berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar