Rabu, 17 Oktober 2012

Ketika Pulang Sekolah


Ketika Pulang Sekolah
Pagu Rutoto 

SMP Negeri 2 Purbalingga. 
Trotoar depan sekolahan. 
Mei 2003.

Winda tersenyum. Ia melangkah mendekatiku. Pipinya semburat merah. Jalannya perlahan, anggun. Cantik. Dadaku berdesir. Aku hentikan sepedaku. Aku turun. Dipegangnya stang sepedaku. Bibirnya terkuak sedikit.  Aku memejamkan mata.

===
Ketika Pulang Sekolah

Langit begitu transparan sehingga sinar matahari tiada sepercikpun terhambat untuk sampai ke bumi. Terik matahari menyengat Kota Purbalingga yang sudah dua hari tiada tersiram hujan. Jalan Letkol Isdiman, di depan sekolahku seakan mengepul mengeluarkan asap karena tiada tahan atas panas yang menyengatnya.
Seperti hari-hari yang setiap kali kulakukan. Pulang sekolah kutuntun sepedaku di antara jejalan sepeda yang lain, yang seakan berebut dulu. Barang kali sudah bertahun-tahun siswa dianjurkan lewat pintu butulan di sebelah timur sekolah, di selatan ruang keterampilan, temboknya ditembus hingga tampak sebuah gang. Gang sempit sebelah timur sekolahku ini sesungguhnya tak mampu, dalam waktu yang singkat, harus menampung puluhan, bahkan ratusan sepeda sekali gus. Namun, demikianlah yang terjadi setiap usai sekolah.
Kami harus sabar dan teratur memasuki gang sempit sepanjang sekitar seratus meter ini. Tiada tahulah kapan sekolah ini mampu memberikan  fasilitas jalan yang kebih baik dari pada keadaan selama ini. Kami sungguh maklum akan kesulitan sekolah untuk mengadakan lahan jalan, membuat jalan lalu-lintas untuk sepeda siswa. Tanah pekarangan sekolah sudah mentok dikepung lingkungan penduduk. Rasanya sulit untuk membuat sebuah jalan khusus sepeda yang tiada lagi mengganggu penduduk sekitar.
Saya adalah salah satu yang berangkat-pulang naik sepeda. Sudah dua tahun sepedaku yang sederhana ini membaktikan dirinya untukku. Warna catnya masih biru, walau tidak lagi mulus namun kuusahakan tiada karat yang bisa tumbuh menghiasi raganya. Sadelnya sudah hitam kusam mungkin karena setiap kali kududuki, setiap kali pula bahkan berhari-hari tergesek-gesek pantatku saat mengontelnya. Namun rem sepedaku termasuk awet, hingga kini masih juga cukup pakem setiap kali kugunakan.
Ada sebuah angan-anganku yang sampai kini rasanya belum memuaskan hatiku. Sepeda ini mempunyai tempat untuk berboncengan. Namun seingatku, boncengan ini hanya diduduki oleh teman-temanku putra. Padahal, tentu saja, aku sangat ingin suatu saat ada teman putriku berkenan duduk di belakangku dengan nyaman. Ah, mana mungkin gadis sekarang mau gonceng sepeda. Kalau motor jelas sangat banyak kemungkinannya. Itulah nasib saya dan sepeda saya sampai saat ini!
Busyet, saya harus berterus terang sajalah! Bahwa penghuni sekolahku tentu saja ada anak putri yang cantik. Untuk tahun ini mayoritas siswa pasti tahu anak kelas 3C yang namanya Winda. Winda Hapsari. Dia tidak cantik tapi sungguh manis dan lembut. Lentik bulu matanya hadap ke atas. Hidungnya tak bisa dikatakan mancung tapi begitu serasinya di antara kedua pipinya yang sedikit gembil. Rambutnya dibiarkan lurus hingga menyentuh punggungnya. Kalau ia pakai bando rasanya aku harus memujanya setiap saat, rambutnya dibuat sedemikian rupa hingga di atas dahinya ada tekukan rambut yang melengkung membuat semacam jambul yang menurutku seperti makota. Dan aku mengaguminya. Tepatnya aku tertarik untuk setiap kali menatapnya. Jatuh hati seperti di sinetron-sinetron itu, tentu saja aku tiada berani. Mana mungkin Winda suka padaku. Akbar, Akbar Legawa, pemuda tanggung bersepeda butut. Mana mungkin Winda mau kugonceng sepeda. Kasihan raganya, salah-salah malah jadi memar-memar pantatnya.
Kukayuh sepedaku, dari ujung gang senggol di sebelah timur sekolah, ke arah barat. Gang senggol inilah yang menghubungkan pintu butulan dengan jalan raya. Saat itu di depan sekolahan masih agak ramai, masih saja ada siswa yang jajan batagor, somai, es jus atau mungkin beli cilok. Tabiat siswa kelaparan, yang dilakukan setiap pulang sekolah, bukan makan di rumah tapi malah makan jajan di pinggir jalan.
“Akbar turun dulu!” Badrun memanggilku. Badrun berada persis di bawah lengkung pintu gerbang. Aku turun dari sepeda.
“Apa panas-panas panggil-panggil?” tanyaku. Badrun mendekatiku
“Tolong! PR matematika yang tadi segera dikerjakan ya!”
“Idih seperti majikan saja! Main perintah! Kenapa?” tanyaku lagi.
“Nanti jam-jam lima aku ke tempatmu. Nurunlah!” kata Badrun sambil memegang stang sepedaku. Nurun atau nyontek hasil pekerjaan saya adalah hobby si Badrun. Bagusnya dia kalau nyontoh di rumah, tidak ndadak pagi-pagi.
Dan sesungguhnya ... ya Tuhan, Winda muncul bareng Tata. Keluar dari gerbang sekolah. Wajahnya kemerahan terkena terik matahari, cantik sekali. Tasnya tersangkut di pundak kanannya, setumpuk buku dikepitnya di depan dada. Aku menatapnya sekilas. Ini kesempatanku untuk menyapanya.
“Pulang Winda?” tanyaku.
“Iya. Sedang ceritera apa, Bar?” jawabnya disambung tanya. Dadaku seketika berkembang, membesar. Bahagia!
“Ini Badrun mau pinjam PR saya nanti sore!” jawab saya sambil sedikit promosi bahwa saya termasuk nara sumber per-PR-an. Artinya saya adalah termasuk jago dalam hal mengerjakan PR.
“PR matematika yaa?” tanya Tata ikut setor kata. Saya mengangguk.
“PR dari buku paket yaa? Kalau dari buku paket berarti soalnya sama!” kata Tata. Maksudnya karena gurunya sama, walau kelasnya berbeda tapi biasanya soal yang dijadikan untuk PR sama.
“Iya, PR-nya paling-paling sama yaa? Biasanya kan sama!” kata Winda menegaskan.
Sejenak kemudian Winda mengedarkan pandangan matanya ke depan. Winda sedang mencari Kang Getas, tukang becak langganan keluarga. Kang Getaslah yang setiap hari mengantar dan menjemput Winda sekolah. Orangnya sopan usianya sekitar empat puluh tahun. Tapi Kang Getas kali ini tidak kelihatan.
“Mana Kang Getas?” tanya Tata. Winda menggeleng.
“Tidak ada. Belum datang. Sabarlah! Mungkin sedang tanggung mengantar orang!” jawab Winda.
“Ya sudah saya temani sebentar nunggu Kang Getas!” kata Tata. Lalu kami berempat bergeser sedikit ke barat. Di trotoar, di bawah pohon Akasia, di depan rumah tetangga sekolah. Tiga menit kemudian Badrun pamit pulang dulu. Alasannnya mau membantu bapaknya memperbaiki pintu kamar mandi.
Dua puluh menit berlalu. Kini kami bertiga, saya, Winda dan Tata. Tata lebih banyak bicara dari pada Winda. Ngobrol tentang temannnya si Aniek yang marah-marah di kelas. Saya jadi pendengar dan dengan senang hati menatap pipi Winda yang kemerahan karena terik matahari. Ada bintik-bintik keringat berderet di bawah hidungnya. Lengang. Anak-anak tukang jajan sudah habis. Pulang atau entah kemana. Penjual jajanan juga pergi, pindah untuk jualan di tempat lain.
“Kok Kang Getas, belum datang juga yaa?” celetuk Tata.
“Nggak tahu bagaimana pulangnya ini? Naik becak yang lain saja apa yaa?” gumam Winda. Ia agak bimbang. Masih sabar menunggu Kang Getas atau naik becak yang lain. Tata menatapku tajam.
“Sudah pulang diantar Akbar saja. Dalane rata, enak ikih!” usul Tata yang membuat jatung saya seakan lepas. Usul yang bagus. Dada saya berdebur keras.
“Kasihan, Tata! Jauh!” jawab Winda sambil memegang lengannya.
“Akbar kamu mau kan ngantar Winda ke Jalan Ketuhu?” tanya Tata langsung ke saya. Barangkali wajah saya masih sedikit pucat. Tapi pucat karena mendapat kebahagiaan. “Kelakon mboncengna Winda!” kata batin saya. Aku mengangguk!
“Winda mau nggak?” tanya Tata kepada Winda. Winda mengangguk! Hari yang mengesankan. Winda berkenan, mau kuantar gonceng sepeda.
“Winda! Asli! Temenan! Aku ditunggu ibuku, katanya mau ke Purwokerto. Sudah ya kamu diantar Akbar!” katanya pada Winda. Winda kembali mengangguk.
“He, Bar!” sapa Tata padaku, “Goncengkan Winda dengan baik. Hati-hati, jangan nubruk-nubruk!” pesannya dan kemudian Tata melenggang ke barat. Tata rumahnya di Jalan Lawet. Luar biasa, saya dan Winda, di tepi jalan depan sekolahan, hanya berdua. Menurutku, indah sekali.
“Kamu kuat goncengkan aku?” tanya Winda sambil tersenyum.
“Ya, kuat yaa!” jawab saya malu-malu.
“Ban sepedamu gembes atau nggak? Nanti malah meletus di jalan. Repot!” pertanyaan Winda sangat pelan. Sungguh saya merasakan sifat keibuan dari Winda. Ia menunjukkan sifat wanita yang hati-hati. Saya tidak menjawab tapi segera saja ban sepeda saya pencet. Astaghfirullah. Sedikit gembos. Kurang angin. Kalau dipaksa untuk goncengan pasti ban luar pecah-pecah dan mengakibatkan ban dalam banyak bocoran. Saya sedikit panik. Namun senyum Winda membuat saya percaya diri.
“Kurang angin yaa?” tanyanya sambil ikut mencet ban sepedaku.
“Iya! Winda, saya ke sekolahan sebentar ya, pinjam pompa!”
“Ya, cepat ya! Saya tunggu disini!” jawab Winda penuh keibuan.
Segera saya menuntun sepeda masuk ke sekolahan. Di sekolahan memang disediakan sebuah pompa sepeda. Siapa saja boleh memakainya. Bisa untuk mompa sepeda, tapi seringnya untuk mompa bola volley, bola basket atau bola sepak. Sekolah sudah sepi. Saya mencari pak Prapto.
“Pak pinjam pompa!” permohonanku kepada Pak Prapto, penjaga yang mukim di sekolahan. Dibantu Pak Prapto ban sepeda kupompa. Tak pencet, cukup. Inilah hari kebahagiaanku. Alllah sungguh mendengar doa makhluk-Nya yang bernama Akbar Legawa.
Banyak orang berkata bahwa doa yang dikabulkan adalah doa orang-orang yang teraniaya. Tapi Tuhan Maha Penyayang, tanpa saya dianiaya terlebih dulu pun, tetap saja doa saya, keinginan saya dikabulkan. Memboncengkan Winda!
“Winda, kau akan seperti burung Parkit yang nangkring di ranting pohon beringin. Akulah sang beringin itu, yang memberimu perlindungan, kesejukan, dan mengantarmu sampai ke rumahmu dengan segala keikhlasan” khayalanku.
“Terima kasih, Pak” ucapanku kepada Pak Prapto dengan nada ceria.
Kutepuk perlahan boncengan sepeda agar tak ada debu menenpel. Keluar dari pintu sekolahan yang berpintu besi, yang berada di pinggir timur, mepet tembok pembatas, sebelah ruang kepala sekolah. Kulihat Winda masih berdiri. Aku naiki sepadaku, kukayuh perlahan di halaman depan sekolah.
Sampai di bawah lengkung pintu gerbang. Winda tampak tersenyum. Ia melangkah mendekatiku. Pipinya semburat merah. Jalannya perlahan, anggun. Cantik. Dadaku berdesir. Aku hentikan sepedaku. Aku turun. Dipegangnya stang sepedaku. Bibirnya terkuak sedikit.  Aku memejamkan mata. Bidadari ada di depanku.
 “Akbar, maaf ya!” aku menatapnya, “Itu Kang Getas sudah datang!” Jarinya menunjuk ke arah utara. Di sebelah utara di bawah pohon Akasia peneduh jalan. Ada Kang Getas dengan becaknya. Kang Getas menganggukan kepala, sopan, ia menghormatiku. Sejenak kemudian becaknya dikayuh menyeberang jalan yang kebetulan lengang. Becak meluncur sigap ke depan Winda. Aku tertegun. Diam membisu. Becak menghadap ke barat. Bagian belakang becak oleh Kang Getas diangkat sedikit, Winda segera melangkahkan kaki dan duduk manis. Kedua kakinya merapat, lutut menyerong ke utara. Rapi, tas dan buku-bukunya di pangkuannnya. Becak, pengayuh dan penumpang siap menuju Jalan Ketuhu, Karangaglik. Aku terdiam! Tertegun!
“Maaf Bar!  Terimakasih sudah menemaniku nunggu jemputan!” kata Winda sambil tersenyum. Telapak tangan kanannya diangkat, digoyang-goyang, tampak jari-jarinya yang lentik digetarkan. Kang Getas mengayuh becaknya lebih cepat dari biasanya.
Matahari semakin terik menerpaku. Ada sesuatu yang secara tiba-tiba mengganjal di tenggorokanku. Ada rasa panas yang terasa di pelupuk mataku. Sepeda kukayuh pelan ke barat. Aku melamun. Rasanya tadi aku lupa menjawab ucapan terimakasih Winda.
Langit tetap terik. Seterik panas di dalam dadaku. Segalau nelangsa bersemayam di lubuk hatiku.

Purbalingga, 9 Mei 2003

Untuk Winda, terimakasih atas inspirasi yang telah kau berikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar