Ketika Pulang Sekolah
Pagu Rutoto
SMP Negeri 2 Purbalingga.
Trotoar depan
sekolahan.
Mei 2003.
Winda
tersenyum. Ia melangkah mendekatiku. Pipinya semburat merah. Jalannya perlahan,
anggun. Cantik. Dadaku berdesir. Aku hentikan sepedaku. Aku turun. Dipegangnya
stang sepedaku. Bibirnya terkuak sedikit.
Aku memejamkan mata.
===
Ketika Pulang Sekolah
Langit begitu transparan sehingga sinar
matahari tiada sepercikpun terhambat untuk sampai ke bumi. Terik matahari
menyengat Kota Purbalingga yang sudah dua hari tiada tersiram hujan. Jalan Letkol
Isdiman, di depan sekolahku seakan mengepul mengeluarkan asap karena tiada tahan
atas panas yang menyengatnya.
Seperti hari-hari yang setiap kali
kulakukan. Pulang sekolah kutuntun sepedaku di antara jejalan sepeda yang lain,
yang seakan berebut dulu. Barang kali sudah bertahun-tahun siswa dianjurkan
lewat pintu butulan di sebelah timur sekolah, di selatan ruang keterampilan,
temboknya ditembus hingga tampak sebuah gang. Gang sempit sebelah timur sekolahku
ini sesungguhnya tak mampu, dalam waktu yang singkat, harus menampung puluhan,
bahkan ratusan sepeda sekali gus. Namun, demikianlah yang terjadi setiap usai
sekolah.
Kami harus sabar dan teratur memasuki gang
sempit sepanjang sekitar seratus meter ini. Tiada tahulah kapan sekolah ini
mampu memberikan fasilitas jalan yang
kebih baik dari pada keadaan selama ini. Kami sungguh maklum akan kesulitan sekolah
untuk mengadakan lahan jalan, membuat jalan lalu-lintas untuk sepeda siswa. Tanah
pekarangan sekolah sudah mentok dikepung lingkungan penduduk. Rasanya sulit
untuk membuat sebuah jalan khusus sepeda yang tiada lagi mengganggu penduduk
sekitar.
Saya adalah salah satu yang
berangkat-pulang naik sepeda. Sudah dua tahun sepedaku yang sederhana ini
membaktikan dirinya untukku. Warna catnya masih biru, walau tidak lagi mulus
namun kuusahakan tiada karat yang bisa tumbuh menghiasi raganya. Sadelnya sudah
hitam kusam mungkin karena setiap kali kududuki, setiap kali pula bahkan
berhari-hari tergesek-gesek pantatku saat mengontelnya. Namun rem sepedaku termasuk
awet, hingga kini masih juga cukup pakem setiap kali kugunakan.
Ada sebuah angan-anganku yang sampai kini
rasanya belum memuaskan hatiku. Sepeda ini mempunyai tempat untuk berboncengan.
Namun seingatku, boncengan ini hanya diduduki oleh teman-temanku putra. Padahal,
tentu saja, aku sangat ingin suatu saat ada teman putriku berkenan duduk di
belakangku dengan nyaman. Ah, mana mungkin gadis sekarang mau gonceng sepeda.
Kalau motor jelas sangat banyak kemungkinannya. Itulah nasib saya dan sepeda
saya sampai saat ini!
Busyet, saya harus berterus terang sajalah!
Bahwa penghuni sekolahku tentu saja ada anak putri yang cantik. Untuk tahun ini
mayoritas siswa pasti tahu anak kelas 3C yang namanya Winda. Winda Hapsari. Dia
tidak cantik tapi sungguh manis dan lembut. Lentik bulu matanya hadap ke atas.
Hidungnya tak bisa dikatakan mancung tapi begitu serasinya di antara kedua
pipinya yang sedikit gembil. Rambutnya dibiarkan lurus hingga menyentuh
punggungnya. Kalau ia pakai bando rasanya aku harus memujanya setiap saat,
rambutnya dibuat sedemikian rupa hingga di atas dahinya ada tekukan rambut yang
melengkung membuat semacam jambul yang menurutku seperti makota. Dan aku
mengaguminya. Tepatnya aku tertarik untuk setiap kali menatapnya. Jatuh hati
seperti di sinetron-sinetron itu, tentu saja aku tiada berani. Mana mungkin Winda
suka padaku. Akbar, Akbar Legawa, pemuda tanggung bersepeda butut. Mana mungkin
Winda mau kugonceng sepeda. Kasihan raganya, salah-salah malah jadi memar-memar
pantatnya.
Kukayuh sepedaku, dari ujung gang senggol
di sebelah timur sekolah, ke arah barat. Gang senggol inilah yang menghubungkan
pintu butulan dengan jalan raya. Saat itu di depan sekolahan masih agak ramai,
masih saja ada siswa yang jajan batagor, somai, es jus atau mungkin beli cilok.
Tabiat siswa kelaparan, yang dilakukan setiap pulang sekolah, bukan makan di
rumah tapi malah makan jajan di pinggir jalan.
“Akbar turun dulu!” Badrun memanggilku. Badrun
berada persis di bawah lengkung pintu gerbang. Aku turun dari sepeda.
“Apa panas-panas panggil-panggil?” tanyaku.
Badrun mendekatiku
“Tolong! PR matematika yang tadi segera
dikerjakan ya!”
“Idih seperti majikan saja! Main perintah!
Kenapa?” tanyaku lagi.
“Nanti jam-jam lima aku ke tempatmu. Nurunlah!” kata Badrun sambil memegang stang
sepedaku. Nurun atau nyontek hasil pekerjaan saya adalah hobby si Badrun.
Bagusnya dia kalau nyontoh di rumah, tidak ndadak
pagi-pagi.
Dan sesungguhnya ... ya Tuhan, Winda
muncul bareng Tata. Keluar dari gerbang sekolah. Wajahnya kemerahan terkena
terik matahari, cantik sekali. Tasnya tersangkut di pundak kanannya, setumpuk
buku dikepitnya di depan dada. Aku menatapnya sekilas. Ini kesempatanku untuk
menyapanya.
“Pulang Winda?” tanyaku.
“Iya. Sedang ceritera apa, Bar?” jawabnya
disambung tanya. Dadaku seketika berkembang, membesar. Bahagia!
“Ini Badrun mau pinjam PR saya nanti
sore!” jawab saya sambil sedikit promosi bahwa saya termasuk nara sumber
per-PR-an. Artinya saya adalah termasuk jago dalam hal mengerjakan PR.
“PR matematika yaa?” tanya Tata ikut setor
kata. Saya mengangguk.
“PR dari buku paket yaa? Kalau dari buku paket
berarti soalnya sama!” kata Tata. Maksudnya karena gurunya sama, walau kelasnya
berbeda tapi biasanya soal yang dijadikan untuk PR sama.
“Iya, PR-nya paling-paling sama yaa? Biasanya
kan sama!” kata Winda menegaskan.
Sejenak kemudian Winda mengedarkan
pandangan matanya ke depan. Winda sedang mencari Kang Getas, tukang becak
langganan keluarga. Kang Getaslah yang setiap hari mengantar dan menjemput Winda
sekolah. Orangnya sopan usianya sekitar empat puluh tahun. Tapi Kang Getas kali
ini tidak kelihatan.
“Mana Kang Getas?” tanya Tata. Winda
menggeleng.
“Tidak ada. Belum datang. Sabarlah!
Mungkin sedang tanggung mengantar orang!” jawab Winda.
“Ya sudah saya temani sebentar nunggu Kang
Getas!” kata Tata. Lalu kami berempat bergeser sedikit ke barat. Di trotoar, di
bawah pohon Akasia, di depan rumah tetangga sekolah. Tiga menit kemudian Badrun
pamit pulang dulu. Alasannnya mau membantu bapaknya memperbaiki pintu kamar
mandi.
Dua puluh menit berlalu. Kini kami bertiga,
saya, Winda dan Tata. Tata lebih banyak bicara dari pada Winda. Ngobrol tentang
temannnya si Aniek yang marah-marah di kelas. Saya jadi pendengar dan dengan
senang hati menatap pipi Winda yang kemerahan karena terik matahari. Ada
bintik-bintik keringat berderet di bawah hidungnya. Lengang. Anak-anak tukang
jajan sudah habis. Pulang atau entah kemana. Penjual jajanan juga pergi, pindah
untuk jualan di tempat lain.
“Kok Kang Getas, belum datang juga yaa?”
celetuk Tata.
“Nggak tahu bagaimana pulangnya ini? Naik
becak yang lain saja apa yaa?” gumam Winda. Ia agak bimbang. Masih sabar
menunggu Kang Getas atau naik becak yang lain. Tata menatapku tajam.
“Sudah pulang diantar Akbar saja. Dalane rata, enak ikih!” usul Tata yang
membuat jatung saya seakan lepas. Usul yang bagus. Dada saya berdebur keras.
“Kasihan, Tata! Jauh!” jawab Winda sambil
memegang lengannya.
“Akbar kamu mau kan ngantar Winda ke Jalan
Ketuhu?” tanya Tata langsung ke saya. Barangkali wajah saya masih sedikit
pucat. Tapi pucat karena mendapat kebahagiaan. “Kelakon mboncengna Winda!” kata
batin saya. Aku mengangguk!
“Winda mau nggak?” tanya Tata kepada Winda.
Winda mengangguk! Hari yang mengesankan. Winda berkenan, mau kuantar gonceng
sepeda.
“Winda! Asli! Temenan! Aku ditunggu ibuku,
katanya mau ke Purwokerto. Sudah ya kamu diantar Akbar!” katanya pada Winda.
Winda kembali mengangguk.
“He, Bar!” sapa Tata padaku, “Goncengkan Winda
dengan baik. Hati-hati, jangan nubruk-nubruk!” pesannya dan kemudian Tata melenggang
ke barat. Tata rumahnya di Jalan Lawet. Luar biasa, saya dan Winda, di tepi
jalan depan sekolahan, hanya berdua. Menurutku, indah sekali.
“Kamu kuat goncengkan aku?” tanya Winda
sambil tersenyum.
“Ya, kuat yaa!” jawab saya malu-malu.
“Ban sepedamu gembes atau nggak? Nanti
malah meletus di jalan. Repot!” pertanyaan Winda sangat pelan. Sungguh saya
merasakan sifat keibuan dari Winda. Ia menunjukkan sifat wanita yang hati-hati.
Saya tidak menjawab tapi segera saja ban sepeda saya pencet. Astaghfirullah. Sedikit
gembos. Kurang angin. Kalau dipaksa untuk goncengan pasti ban luar pecah-pecah
dan mengakibatkan ban dalam banyak bocoran. Saya sedikit panik. Namun senyum Winda
membuat saya percaya diri.
“Kurang angin yaa?” tanyanya sambil ikut
mencet ban sepedaku.
“Iya! Winda, saya ke sekolahan sebentar ya,
pinjam pompa!”
“Ya, cepat ya! Saya tunggu disini!” jawab Winda
penuh keibuan.
Segera saya menuntun sepeda masuk ke
sekolahan. Di sekolahan memang disediakan sebuah pompa sepeda. Siapa saja boleh
memakainya. Bisa untuk mompa sepeda, tapi seringnya untuk mompa bola volley,
bola basket atau bola sepak. Sekolah sudah sepi. Saya mencari pak Prapto.
“Pak pinjam pompa!” permohonanku kepada
Pak Prapto, penjaga yang mukim di sekolahan. Dibantu Pak Prapto ban sepeda kupompa.
Tak pencet, cukup. Inilah hari kebahagiaanku. Alllah sungguh mendengar doa
makhluk-Nya yang bernama Akbar Legawa.
Banyak orang berkata bahwa doa yang
dikabulkan adalah doa orang-orang yang teraniaya. Tapi Tuhan Maha Penyayang,
tanpa saya dianiaya terlebih dulu pun, tetap saja doa saya, keinginan saya dikabulkan.
Memboncengkan Winda!
“Winda, kau akan seperti burung Parkit yang
nangkring di ranting pohon beringin. Akulah sang beringin itu, yang memberimu
perlindungan, kesejukan, dan mengantarmu sampai ke rumahmu dengan segala
keikhlasan” khayalanku.
“Terima kasih, Pak” ucapanku kepada Pak
Prapto dengan nada ceria.
Kutepuk perlahan boncengan sepeda agar tak
ada debu menenpel. Keluar dari pintu sekolahan yang berpintu besi, yang berada
di pinggir timur, mepet tembok pembatas, sebelah ruang kepala sekolah. Kulihat Winda
masih berdiri. Aku naiki sepadaku, kukayuh perlahan di halaman depan sekolah.
Sampai di bawah lengkung pintu gerbang. Winda
tampak tersenyum. Ia melangkah mendekatiku. Pipinya semburat merah. Jalannya
perlahan, anggun. Cantik. Dadaku berdesir. Aku hentikan sepedaku. Aku turun.
Dipegangnya stang sepedaku. Bibirnya terkuak sedikit. Aku memejamkan mata. Bidadari ada di depanku.
“Akbar,
maaf ya!” aku menatapnya, “Itu Kang Getas sudah datang!” Jarinya menunjuk ke
arah utara. Di sebelah utara di bawah pohon Akasia peneduh jalan. Ada Kang
Getas dengan becaknya. Kang Getas menganggukan kepala, sopan, ia menghormatiku.
Sejenak kemudian becaknya dikayuh menyeberang jalan yang kebetulan lengang.
Becak meluncur sigap ke depan Winda. Aku tertegun. Diam membisu. Becak
menghadap ke barat. Bagian belakang becak oleh Kang Getas diangkat sedikit, Winda
segera melangkahkan kaki dan duduk manis. Kedua kakinya merapat, lutut
menyerong ke utara. Rapi, tas dan buku-bukunya di pangkuannnya. Becak, pengayuh
dan penumpang siap menuju Jalan Ketuhu, Karangaglik. Aku terdiam! Tertegun!
“Maaf Bar!
Terimakasih sudah menemaniku nunggu jemputan!” kata Winda sambil
tersenyum. Telapak tangan kanannya diangkat, digoyang-goyang, tampak
jari-jarinya yang lentik digetarkan. Kang Getas mengayuh becaknya lebih cepat
dari biasanya.
Matahari semakin terik menerpaku. Ada
sesuatu yang secara tiba-tiba mengganjal di tenggorokanku. Ada rasa panas yang terasa
di pelupuk mataku. Sepeda kukayuh pelan ke barat. Aku melamun. Rasanya tadi aku
lupa menjawab ucapan terimakasih Winda.
Langit tetap terik. Seterik panas di dalam
dadaku. Segalau nelangsa bersemayam di lubuk hatiku.
Purbalingga, 9 Mei 2003
Untuk Winda, terimakasih atas inspirasi
yang telah kau berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar