Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional
Refleksi atas Ketimpangan Respons terhadap Dua Peristiwa Berbeda
Oleh: Toto Endargo
Dua Peristiwa, Dua Realitas Sosial
Baru-baru ini, dua peristiwa terjadi dalam waktu berdekatan, namun menimbulkan reaksi publik dan institusi yang sangat berbeda. Di satu sisi, ada pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo—yang langsung disambut kehebohan media, investigasi kepolisian, dan gelombang simpati dari berbagai pihak. Di sisi lain, dua kali keberadaan ular kobra yang diduga sengaja dilepaskan di sekitar rumah Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, hanya disikapi sebagai kabar biasa, tanpa langkah tegas dari lembaga berwenang.
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa manusia, kasus kobra jauh lebih berbahaya. Sengatan simbolik dari kepala babi memang mencederai marwah, tetapi gigitan kobra bisa membunuh.
Bahaya Nyata vs. Ancaman Simbolik
Ular kobra bukan hanya menimbulkan rasa takut, tapi juga ancaman medis yang serius. Di lingkungan padat penduduk, keberadaan ular berbisa seharusnya ditanggapi dengan protokol darurat, pengamanan lokasi, serta penyelidikan menyeluruh. Namun, hingga kini belum terlihat respons yang serius dari aparat keamanan atau instansi perlindungan satwa maupun keselamatan publik.
Sementara itu, aksi pengiriman bangkai tikus dan kepala babi ke kantor media nasional memang mengandung simbol intimidasi, namun tidak bersifat membahayakan secara fisik. Bahwa kejadian ini ditangani serius adalah wajar, tapi mengapa hal serupa tidak dilakukan pada peristiwa yang bahkan bisa menyebabkan kematian?
Langkah-Langkah Kontroversial Dedi Mulyadi
Perlu diakui, Dedi Mulyadi bukan sosok tanpa kontroversi. Selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta dan setelahnya sebagai anggota DPR RI, ia dikenal sebagai figur yang kerap mengambil langkah tak lazim dan frontal dalam membela rakyat kecil.
Beberapa kebijakannya mendapat apresiasi, tapi sebagian juga menimbulkan gesekan. Berikut adalah beberapa langkah Dedi Mulyadi yang dianggap kontroversial dan bisa jadi menyulut ketidaksukaan dari pihak-pihak tertentu:
1. Pembelaan Terbuka terhadap Warga Miskin Dedi sering turun langsung membela rakyat kecil, bahkan membongkar bangunan milik pengusaha yang dianggap melanggar aturan atau merugikan warga. Ini membuatnya dicintai rakyat, tapi dibenci sebagian elit atau pihak berkuasa yang merasa kepentingannya terganggu.
2. Sikap Kritis terhadap Pemerintah Daerah Dalam berbagai pernyataan publik dan melalui akun media sosialnya, Dedi kerap mengkritik kebijakan pemerintah daerah, termasuk aparat desa dan dinas yang ia nilai tidak berpihak pada rakyat. Gaya blak-blakan ini tidak disukai sebagian kalangan birokrasi.
3. Penanganan Satwa dan Religiusitas Dedi dikenal dekat dengan dunia satwa, dan menggabungkan antara nilai-nilai Sunda, spiritualitas, serta pelestarian budaya lokal dalam caranya memimpin. Namun pendekatan ini kadang dianggap “tidak biasa” oleh kelompok tertentu yang lebih konservatif.
4. Aktivitas Media Sosial yang Terus-Menerus Menyudutkan Oknum Ia aktif mempublikasikan investigasi sosial secara langsung lewat kanal YouTube dan media sosial, sering kali mempermalukan oknum aparat atau pejabat di depan publik. Gaya ini meskipun membela rakyat, juga menyulut perlawanan diam-diam dari mereka yang merasa dipermalukan.
Dengan latar belakang ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa keberadaan ular-ular kobra di rumahnya merupakan bentuk intimidasi atau teror halus yang ditujukan untuk membungkam atau memberi peringatan. Namun karena tidak ada reaksi serius dari lembaga berwenang, asumsi publik tidak terbangun dengan tegas, dan peristiwa ini perlahan lenyap tanpa pengusutan.
Standar Ganda dalam Penanganan Insiden
Yang menjadi persoalan utama bukan semata-mata siapa yang menjadi korban, tapi bagaimana negara menempatkan respons terhadap dua insiden yang sama-sama berpotensi meresahkan. Bahwa media nasional dan aparat keamanan bergerak cepat dalam kasus simbolik, tapi lamban dalam kasus yang melibatkan ancaman nyata, menunjukkan adanya standar ganda dalam sistem.
Publik tentu berhak bertanya: apakah keselamatan warga negara hanya berarti penting jika menyentuh institusi besar atau figur tertentu? Apakah nyawa manusia bisa dipertaruhkan hanya karena persoalan lokasi, status, atau opini politik?
Penutup: Perlunya Sikap Adil dan Tegas
Negara, lewat lembaga-lembaganya, seharusnya hadir dengan pancaindra yang sama tajamnya terhadap semua bentuk ancaman—baik simbolik maupun fisik.
Ketika ular berbisa dianggap enteng, dan kepala babi dibesar-besarkan, maka ada yang tidak beres dalam sistem prioritas penanganan.
Keadilan bukan hanya soal hukum, tapi soal kepekaan. Dan jika kepekaan negara hanya hadir untuk sebagian, maka yang lain akan terus merasa tidak penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar