Selasa, 06 Mei 2025

Rara Mendut: Riwayat Disalinnya Serat Pranacitra

 Rara Mendut: Riwayat Disalinnya Serat Pranacitra

Kisah Pranacitra—Rara Mendut: bukanlah kisah sejarah yang sahih, melainkan hanya cerita rakyat yang dianggap remeh, dibuat sekadar sebagai hiburan bagi rakyat jelata.

Cinta Segitiga

Nama Rara Mendut selama ini hampir selalu dikaitkan dengan dua tokoh laki-laki: Pranacitra, sang kekasih muda yang penuh gairah, dan Tumenggung Wiraguna, seorang pejabat tinggi yang menjadi tokoh antagonis. Cerita ini begitu lekat dalam benak masyarakat, terutama karena kepopuleran buku Pranacitra, sebuah karya sastra yang sebenarnya bermula dari kisah tutur rakyat, disampaikan oleh seorang pendongeng bernama Ki Patraguna.

Bukan Kisah Sejarah

Yang menarik, dalam buku tersebut secara gamblang diakui bahwa kisah Pranacitra—dan tentu saja kisah Rara Mendut di dalamnya—bukanlah kisah sejarah yang sahih, melainkan hanya cerita rakyat yang dianggap remeh, dibuat sekadar sebagai hiburan bagi rakyat jelata. Dalam bait pembukanya disebutkan:

Abdi juru citra anengrani, carita lit remeh tinembungan, lagya karsane kang angreh, mundhut carita dhusun, saking wadya sudra met budi, ngalaya ngupa jiwa, ambabarang canglung, andongeng sarwi anggambang, angaludrug kopyah nyamatira kendhi, aran Ki Patraguna.

(Juru cerita kerajaan menyebut bahwa cerita Pranacitra hanyalah cerita kecil dan remeh, dibuat semata-mata karena kehendak penguasa yang ingin mengangkat kisah dari rakyat jelata—para pengamen, pendongeng calung yang berdandan ala ludruk dan bertutup kepala seperti kendi—dan pendongeng itu bernama Ki Patraguna.)

Riwayat Disalinnya Serat Pranacitra

Berikut ini tentang riwayat disalinnya serat Pranacitra dari naskah Berbahasa Jawa dalam tembang Dhandhanggula beserta terjemahan bebasnya:

Pupuh Awal, Pada 1 - 5

1. Raras ruming sarkaranira ris, denta peksa mangapus pustaka, atbuteng tyas tan wrin ing reh, mamrih amardi kayun, dinuk ing don nir deya ugi, kadayan darpa Iimpat, rasikaning kidung, sumengka ngangka pujangga, rarasing kang ukara kang pinarsudi, karya wedharing kata.

(Dengan keharuman tembang Dhandhanggula, menerima tugas untuk menyusun buku, meski hati terasa berat, pekerjaan ini harus tetap dilakukan, tak ada daya untuk menolaknya, karena ini adalah amanah, mengolah tembang, bercita-cita menjadi seperti pujangga, menyusun kata-kata sebaik mungkin, demi menciptakan karya yang bermakna).

2. Nahan nalika murweng kintaki, Respati Manis Rabingulawal, ping slikur Kasa taun Je, Galungan nuju tulus, Naga Trustha Amuji Tunggil, enjang gathita nawa, wit paneratipun, manedhak sungging kewala, caritane ni Rara Mendut ing Pathi, duk aneng Wiragunan.

(Kisah ini mulai kutulis pada hari Rabu Manis, tanggal 21 bulan Rabiulawal, di musim Kasa, tahun Je, dalam wuku Galungan, di bawah naungan Naga Trustha Amuji Tunggil (1798 Jawa, 1854 M), pukul sembilan pagi, aku mulai menyalin, hanya menyalin, kisah tentang Ni Rara Mendut di Pathi, saat ia berada di Wiragunan).

3. Abdi juru citra anengrani, carita lit remeh tinembungan, lagya karsane kang angreh, mundhut carita dhusun, saking wadya sudra met budi, ngalaya ngupa jiwa, ambabarang canglung, andongeng sarwi anggambang, angaludrug kopyah nyamatira kendhi, aran Ki Patraguna.

(Abdi, seorang juru cerita menilai, ini cerita kecil dan sebenarnya remeh, hanya dibuat atas kehendak penguasa, yang ingin mengangkat cerita dari kalangan rakyat biasa: dari para pengamen calung, pendongeng keliling, yang tampil seperti pemain ludruk, berpenampilan nyentrik dengan penutup kepala mirip kendi, pendongeng itu bernama Ki Patraguna).

4. Kang carita pinaringkencarik, kinen dadyakken serat wawacan, ing dasih kang tampi seren, kinarya cagak ngantuk, ala nganggur kalaning latri, tinimbang Ian paguywan, ngur macaa lothung, lilingsen karsanira sang, amepeki sanadyan dongeng pan dadi, amuwuhi kagungan.

(Cerita ini kemudian diserahkan kepada juru tulis, agar dijadikan sebuah buku bacaan, untuk dinikmati masyarakat yang sedang libur, agar tidak merasa mengantuk atau bosan. Daripada hanya bersenda gurau di malam hari, lebih baik membaca dongeng, walaupun hanya cerita sederhana, tetap bisa menjadi tambahan pengetahuan).

5. lngkang mangka purwaning palupi, caritane wong ambarang gambang, duk nguni jaman kartane, nagara ing Mataram, panjenengan kangjeng sang aji, ingkang Sinuhun Sultan, Agung ing Matarum, kana kartining nagara, sawusira bedhahe nagari Pathi, kathah jarahanira.

(Kisah ini awalnya diceritakan oleh seorang pengamen gambang, pada masa kejayaan Mataram, ketika negeri itu makmur, dan yang bertahta saat itu adalah Kangjeng Sinuhun Sultan Agung. Setelah Mataram berhasil menaklukkan negeri Pathi, banyak harta rampasan yang dibawa pulang, dan dari situlah awal mula kisah ini terbentuk).

***

Pupuh Akhir, Pada 29 -31

29. Purneng catur jajanturaneki, panedhake serat Pranacitra, rikala wus panerate, lek Ruwah kaping telu, Mandhasiya misih Dal warsi, awaling Manggakala, enjang tabah wolu, Guwa Terus Sabdeng Nata, caritanya sadaya mung nedhak sungging, dene srat Pranacitra.

(Akhirnya, perlu disampaikan bahwa penyalinan Serat Pranacitra ini selesai ditulis pada tanggal 3 bulan Ruwah, di wuku Mandhasiya, tahun Dal, pada pagi hari pukul delapan, Guwa Terus Sabdeng Nata (1799 Jawa, 1820 M). Kisah yang tertulis di sini seluruhnya hanyalah hasil penyalinan dari Serat Pranacitra).

30. Nenggih ingkang karsa mangyasani, Jeng Sinuhun Prabu kaping gangsal, kang jujuluk Sunan Sugeh, dene sugih kalangkung, garwa putra brana mas picis, duk mangapus ruwiya, durung madeg prabu , masih Pangeran Dipatya, Anom Mengkunegara dibya putraji, narendra ing Mataram.

(Adapun yang menghendaki naskah ini untuk disalin adalah Jeng Sinuhun Pakubuwana V, yang dijuluki juga sebagai Sunan Sugih—karena memang sangat kaya: kaya akan harta, perak, emas, istri, dan keturunan. Saat beliau memerintahkan penyalinan ini, beliau masih bergelar Pangeran Adipati Anom Mangkunegara, putra utama dari Raja Mataram).

31. Nulya tinedhak marang kang rayi, kang Sinuhun Prabu kaping sapta, gugula renggeng karsane, winuryan kang panuju, binengkas ing gita kang tan wrin, tinulad pan tinula, tulaning pangapus, winangun ing basa jarwa, mrih tumuntur pakaryaning kang utami, mring nak putu kang maca.

(Kemudian, naskah ini disalin kembali oleh Sinuhun Pakubuwana VII, atas kehendaknya sebagai sarana hiburan dan pelestarian budaya. Namun, beliau tidak hanya menyalin seperti aslinya, melainkan menyusun kembali isinya, menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami. Tujuannya agar hasil karya ini dapat diwariskan dan dinikmati oleh anak-cucu yang membacanya kelak).

Kesimpulan:

·         Buku tersebut secara gamblang diakui bukanlah kisah sejarah yang sahih, melainkan hanya cerita rakyat yang dianggap remeh, dibuat sekadar sebagai hiburan bagi rakyat jelata (anengrani, carita lit remeh tinembungan)

·         Kitab Pranacitra atau Rara Mendut ini adalah suatu salinan dari hasil pencatatan suatu sastra Iisan yang dituturkan oleh seorang pendongeng yang bernama Patraguna. Setelah digubah dan disusun oleh juru tulis kraton Surakarta, kitab ini dijadikan buku bacaan untuk pengisi waktu bagi para abdi dalem kraton yang sedang libur.

·         Penyalinan kitab ini dimulai pada hari Kamis Legi, tanggal 21 Rabingulawal tahun Je, dan diberi ciri Candrasangkala: Naga Trustha Amuji Tunggil (1798 Jawa, 1865 M). Inti ceritanya berkisar di masa kejayaan kerajaan Mataram, di bawah pemerintahan Sri Sultan Agung Anyakrakusuma.

·         Buku ini selesai disalin pada tanggal 3 Ruwah, tahun Dal, wuku Mandhasiya, dengan ciri Candrasengkala: Guwa Terus Sabdeng Nata (1799 Jawa, 1866 M). Tanggal 21 Rabingulawal 1798 – 3 Ruwah 1799 = 1 tahun 2 bulan 20 hari

·         Kitab aslinya disusun atas kehendak Susuhunan Paku Buwana V, yang terkenal dengan julukan Sunan Sugih, di kala beliau masih menjadi Putera Mahkota.

·         Kemudian disalin lagi atas perintah Susuhunan Paku Buwono VII, cerita disalin dengan bahasa yang mudah dipahami, agar mudah dimengerti oleh anak-cucu yang membacanya (winangun ing basa jarwa),

Pertanyaannya:

Pernyataan ini menggugah satu pertanyaan penting: jika cerita yang kita kenal selama ini hanyalah versi "hiburan rakyat," adakah versi lain yang lebih dekat dengan catatan sejarah?

Semoga bermanfaat. Salam. Toto Endargo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar