Selasa, 06 Mei 2025

Balada Tumenggung Wiraguna, Jejak Tokoh Keturunan Onje di Mataram

 Balada Tumenggung Wiraguna, Jejak Tokoh Keturunan Onje di Mataram

“Kang jumeneng patih ingkang putra Kiyai Wiraguna, ingkang ibu Kiyai Wiraguna asal saking Onje, nunten dipun-prentah tiyang dhusun dhateng Kiyai Wiraguna” ----- (Kutipan dari kitab: Punika Serat Sejarah Babad Onje, Halaman 108)

Onje sebuah desa di Kecamatan Mrebet Purbalingga, memilii kisah-kisah unik yang tidak saja bersifat lokal, namun ternyata meluas hingga tedhak-turunnya mampu menjadi tokoh yang ikut mempengaruhi keberadaan Kerajaan Mataram.

Tindhik Diboyong ke Pajang

“Seneng ya si Tindhik dejek, degawa maring Pajang. Dadi selir rajane ndean. Pancen kae bocah koh ayu pisan. Pantes angger dadi putri krajan” demikian kata-kata yang diucapkan oleh para perempuan di desa Onje saat itu.

Tindhik adalah gadis desa yang sederhana namun cantik, lahir sekitar tahun 1572. Ketika ada jumenengan dalem Adipati Anyakrapati sekitar tahun 1580 seorang pejabat Kasultanan Pajang yang ikut mengantarkan Ki Tepus Rumput dari Pajang, terpesona dengan cahaya cerah yang memancar dari wajah Tindhik.

Maka dengan sopan dan sangat bermartabat, dikunjungilah orang tua si Tindhik untuk minta diijinkan membawa Tindhik ke Pajang. Tindhik akan dimuliakan kehidupannya di lingkungan kerajaan. Tahun 1580 itu, Tindhik berusia 8 tahun, diboyong ke Pajang oleh seorang pejabat Kasultanan Pajang.

Kedatangan Ki Tepus Rumput hadir di Pajang, datang bersama jebeng Anyakrapati yang masih berusia 10 tahun, adalah sesuai pesan Sultan bahwa apabila jebeng putranya sudah mampu melempar tombak, hendaknya dihadapkan ke Kanjeng Sultan. Dari peristiwa tahun 1580 tersebut, maka lahirlah sebuah kadipaten baru di wilayah lembah Klawing dengan nama Kadipaten Onje, dan jebeng putranya dinobatkan sebagai adipati dengan gelar Adipati Anyakrapati.

Setelah penobatan para pengantar dari Pajang pun kembali ke Pajang. Ketika kembali ke Pajang itulah pejabat Kasultanan Pajang memboyong Tindik untuk ikut serta ke Negeri Pajang. Adapun yang ditugaskan untuk mendampingi Adipati Anyakrapati dan bermukim di Onje hanya ada tujuh keluarga.

Tindhik dan Wiratjati

Pejabat Kasultanan Pajang yang membawa Tindhik, memiliki putra laki-laki yang tampan bernama Ki Wiratjati. Ki Wiratjati adalah pemuda yang sopan dan tahu diri, walau berada dekat dengan Tindhik, tidak sedikitpun meninggalkan perilaku sopandan hormatnya kepada wanita. Padahal Wiratjati sesungguhnya sangat mengagumi keberadaan Tindhik.

Tujuh tahun kemudian, tahun 1587, Tindhik si gadis Onje itupun dijodohkan dengan Ki Wiratjati, seorang prajurit tangguh dan putra pejabat Kasultanan. Rumah tangga yang dibangun Ki Wiratjati dengan Nyai Tindhik berjalan bahagia, hingga pada sekitar tahun 1590, nyai Tindhik melahirkan bayi laki-laki, oleh ayahnya diberi nama Gunajati.

Kata guna dalam nama Gunajati, adalah kata yang diambil dari nama tokoh wayang yang diidolakan oleh Ki Wiratjati, yaitu Palguna - Palgunadi. Palguna adalah nama lain dari Arjuna. Palgunadi adalah tokoh otodidak yang sangat berbakat dalam olah keprajuritan, sampai Arjuna pun iri dengan kemampuan Palgunadi. Dan kata jati adalah bagian dari nama ayahnya, Wiratjati.

Gunajati Prajurit Muda

Gunajati pun dididik dan dilatih menjadi prajurit yang gamben, prajurit yang mumpuni dan tangguh. Ki Wiratjati yang dari Pajang menyeberang ke Mataram. Menjadi Lurah Prajurit di bawah kekuasaan Panembahan Senapati sampai tahun 1601.

Pengalaman Ki Wiratjati saat mengabdi kepada Panembahan Senapati dalam memperluas wilayah kekuasaan, sampai dengan pernah mendampingi Raden Mas Jolang, di tahun 1600, menghadapi pemberontakan Adipati Pragola I dari Kadipaten Pati.

Pengalaman keprajuritan itulah yang menjadi modal untuk membekali Gunajati mengarungi dunia keprajuritan. Tahun 1601 saat Panembahan Senapati wafat, Gunajati anak Ki Wiratjati dengan Nyi Tindhik dari desa Onje, berusia 11 tahun, sudah berusaha magang untuk menjadi seorang prajurit.

Raden Mas Jolang, yang dikenal juga dengan nama Raden Mas Rangsang, putra tertua Panembahan Senapati menggantikan ayahnya, menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Anyakrawati (NB. Adipati Onje gelarnya Adipati Anyakrapati).

Raden Mas Jolang sangat mengenal Ki Wiratjati, sehingga sangat mengenal pula kepada prajurit yang bernama Gunajati, putra Ki Wiratjati. Raden Mas Jolang yang bergelar Sunan Anyakrawati hanya 12 tahun menjadi raja. Beliau wafat dalam sebuah kecelakaan saat berburu kijang di hutan Krapyak.

Sehingga Gunajati mengabdi ke Mas Jolang hanya dari usia 11 tahun sampai berusia 23 tahun. Gunajati mendaftar menjadi prajurit sejak umur 15 tahun, dan di umur tujuh belas tahun Gunajati resmi menjadi prajurit yang mengabdi kepada Sunan Anyakawati, yang dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.

Karena sangat teguh dan patuh sebagai prajurit maka Gunajati mendapat jabatan sebagai ketua kelompok prajurit dengan sebutan sebagai Ki Panji Gunajati. Diberi gelar panji karena kasih sayangnya Sunan Anykrawati kepada Gunajati. Gelar Panji sesungguhnya hanya untuk keturunan keluarga kerajaan. Dan di saat Sunan Anyakrawati wafat tahun 1613, dia telah sampai pada tataran sebagai lurah yang memiliki kekuasaan dan wilayah tertentu, gelarnya Ki Lurah Gunajati.

Ki Lurah Wiraguna

Tahun 1613 Raja Mataram berganti dari Sunan Anyakrawati kepada Raden Mas Jatmika. Raden Mas Jatmika, menjadi raja dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, dan lebih dikenal dengan nama, Sultan Agung (1613 – 1645) atau juga Sultan Kuwasa. Saat pergantian itu Ki Lurah Gunajati berusia 23 tahun. Kanjeng Sultan Agung sangat perhatian terhadap Ki Lurah Gunajati yang masih sendiri, maka disarankan untuk segera menikah.

Gadis pilihan Ki Lurah Gunajati juga seorang gadis sederhana, anak petani, cantik dan tampak dewasa, bernama Rara Printen. Gunajati menikah tahun 1615, saat usianya 25 tahun, sedang istrinya berusia 15 tahun. Pada saat itulah oleh Kanjeng Sultan Agung berkenan memberi nama khusus keprajuritan, untuk Gunajati, dengan nama baru Wiraguna, sehingga kini gelarnya adalah Ki Lurah Wiraguna. Wiraguna dari kata wira yang berarti keberanian untuk maju perang dan kata guna yang memiliki arti kemampuan untuk mengatasi berbagai persoalan.

Sultan Agung sendiri, menikahi istri yang kedua, pada tahun 1617, dengan gadis sederhana yang cantik, putri dari Ki Jajar. Jajar adalah pangkat terendah dari para abdi dalem di Kasultanan Mataram. Gadis itu bernama Rara Lembayung. Ia mencintai Sultan Agung dengan tulus dan setia. Konon istri pertama sangat cemburu dan iri dengan keharmonisan Sultan Agung bersama Rara Lembayung. Sampai tega memberi racun untuk menyingkirkannya. Namun pada akhirnya Rara Lembayung pun diangkat sebagai permaisuri dan diberi gelar sebagai Ratu Batang.

Rara Printen

Salah satu istri Ki lurah Wiraguna bernama Rara Printen, adalah gadis Jawa yang konon kecantikannya diibaratkan bagaikan sebuah boneka hasil pahatan para dewa, dipahat khusus dan dianugerahkan kepada Ki Lurah Wiraguna.

Tak jauh beda dengan Nyi Tindhik yang aslinya, rumahnya dekat sungai Klawing di Onje, maka Rara Printen pun rumahnya dekat sungai sehingga suka bermain-main di plataran sungai. Sungai yang ada dan membelah ibukota Mataram saat itu yang berada di wilayah Kerta (Kotagede).

Rara Printen pada akhirnya dikenal sebagai wanita yang pandai menjadi ibu rumah tangga, pandai merawat kesehatan dan juga pandai merawat kecantikan diri. Begitu bangga dan bahagianya Ki Lurah Wiraguna memiliki istri si Rara Printen atau ada yang menyebutnya sebagai Laksmi Pujiwati.

Kiyai Tumenggung Wiraguna.

Prestasi Ki Lurah Wiraguna dalam olah keprajuritan sungguh membanggakan, penuh pengabdian. Pada saat Adipati Pragola II, pada tahun 1627, dianggap memberontak, Ki Lurah Wiraguna berperan penting dalam mengatasi serangan para prajurit pemberontak dari Kadipaten Pati tersebut. Oleh Sultan Agung, Ki Lurah Wiraguna secara luar biasa dinaikkan jabatannya, sehingga menjadi setingkat wedana, jabatannya kini adalah sebagai tumenggung, dan gelarnya menjadi Kiyai Tumenggung Wiraguna.

Peran tumenggung di Kasultanan Mataram adalah menjadi pimpinan yang bertanggung jawab dan memiliki hak untuk memeriksa segala tindakan raja. Punya hak dan kewajiban untuk merawat seluruh piyandel, senjata-senjata milik raja dan kerajaan. Mengawasi dan mengendalikan perilaku raja dan para pejabat kerajaan. Punya hak untuk mengetahui hal ikhwal kerajaan baik yang bersifat rahasia maupun yang bersifat terbuka. Menjadi penasehat kerajaan.

Menyerang Batavia

Tahun 1628 Sultan Agung melakukan perlawanan terhadap kongsi dagang Belanda, VOC (Vereenigde Oostindische Companie, Persatuan Perusahaan Hindia Timur). Sultan Agung menyerang Batavia.

Ki Tumenggung Wiraguna yang saat itu berusia 38 tahun, adalah salah satu yang ditugaskan untuk menyerang VOC di Batavia. Tumenggung Wiraguna memimpin pasukan Mataram mengepung Batavia dua kali yaitu pada tahun 1628 dan 1629.

Tumenggung Wiraguna pada pertempuran pertama ditugaskan untuk membawa sekitar 10.000 prajurit. Mengepung Batavia dari arah timur. Sempat menembus pertahanan VOC dan berhasil mendekati benteng VOC yang ada di dekat pantai. Sayang ketika pada penyerbuan pamungkas, di tengah serangan, pasukannya kehabisan amunisi dan logistik makanan. Sehingga saat VOC menyerang balik, pasukan Wiraguna terpaksa ditarik mundur.

Pada serangan kedua Wiraguna membawa sekitar 15.000 prajurit dan menyerang dari selatan. Tempat Wiraguna mengatur pasukan, berada di sekitar 20 kilometer dari benteng VOC. Tempat untuk mengatur serangan saat itu, diberi nama Kawiragunan. Namun kini, wilayah tersebut lebih dikenal dengan nama Ragunan.

Untuk serangan kedua ini, Tumenggung Wiraguna berhasil mengalahkan pasukan VOC yang ada di beberapa tempat. Namun lagi-lagi kekurangan logistik makanan, menjadikan Tumenggung Wiraguna harus segera menarik pasukannya, sebelum kekalahannya semakin parah.

Kekurangan makanan ini menyebabkan banyak prajurit yang berusaha mencari makan di Sungai Ciliwung, yang saat itu, di samping ikan, banyak terdapat pula udang, kerang dan juga kepiting. Mereka tidak tahu bahwa udang, kerang dan kepiting, sesungguhnya membawa bakteri kolera (Vibrio Cholerae).

Jadilah prajurit yang berada di tepi Sungai Ciliwung, banyak yang terlalu banyak mengkonsumsi hewan-hewan tersebut, akibatnya mereka menderita sakit kolera.

Saat mengetahui banyak prajurit yang sakit kolera, oleh Ki Tumenggung Wiraguna, justru mereka yang sakit itu, diharuskan menggunakan air Sungai Ciliwung untuk buang-buang sepuasnya. Maka air Sungai Ciliwung pun menjadi seperti sengaja dicemari dengan bakteri kolera.

Hasilnya adalah, pasukan VOC yang memanfaatka air Sungi Ciliwung terjangkit sakit kolera. Bahkan Gubernur Jendral VOC, yang kembali menjabat mulai tahun 1627, bernama Jan Pieterzoon Coen, juga terkena wabah penyakit kolera.

Lalu bagaimana mengatasi wabah kolera di kubu Wiraguna? Konon salah satu persiapan maju perang, pasukannya telah pula membawa obat-obatan atau jejamuan. Jamu yang dinilai paling baik untuk mengatasi diare, kolera, adalah mengkonsumsi jamu yang saat meramunya disertai dengan cabe jawa (piper retrofractum). Demikianlah dengan mengkonsumsi cabe jawa hal korban akibat adanya wabah kolera di kubu Wiraguna dapat diminimalisir.

Wabah kolera di kubu VOC, adalah sebagai hasil usil prajurit Mataram yang sengaja buang-buang di air Sungai Ciliwung. Akhirnya Gubernur Jendral VOC, yang pada tahun 1621, menghabisi, membunuh hampir 15.000 penduduk Kepulauan Banda, Maluku itu pun, Jan Pieterzoon Coen, meninggal dunia pada tanggal 21 September 1629, karena kolera. Kawus!

Rara Mendhut

Karena jasanya Wiraguna yang dinilai berhasil menewaskan Jan Pieterzoon Coen, dan memenangkan perang di beberapa wilayah Batavia. Ki Tumenggung Wiraguna pada tahun 1630, diberi hadiah seorang putri cantik hasil boyongan dari Kadipaten Pati, bernama Rara Mendhut, untuk dijadikan istri-selirnya.

Konon Rara Mendhut (17 tahun) ini, karena kecantikannya banyak laki-laki yang jatuh hati kepadanya termasuk Kanjeng Adipati Pragola II. Namun Rara Mendhut tidak mau dijadikan istri-selir, baik oleh Almarhum Adipati Pragola II maupun oleh Ki Tumenggung Wiraguna (40).

Ki Tumenggung Wiraguna pun menghukum Rara Mendhut. Dia diharuskan membayar pajak kepadanya setiap hari. Rara Mendhut pun menyanggupinya, hanya mohon untuk diijinkan menjual rokok. Permohonan itu diijinkan oleh Tumenggung Wiraguna, dengan prediksi Rara Mendhut, pastinya, tetap tidak akan mampu untuk membayarnya.

Namun ternyata dengan kiat jitu Rara Mendhut, banyak lelaki yang berkenan untuk membayar berapapun putung rokok jualan si cantik Rara mendhut. Dengan demikian jebakan Tumenggung Wiraguna tidak berhasil. Hingga pada suatu saat Rara Mendhut hatinya tertambat kepada pemuda gantheng yang bernama Pranacrita (23 tahun) pemuda dari desa Batakenceng.

Mengetahui Rara mendhut jatuh cinta kepada Pranacitra dan Pranacitra malah sempat melarikan Rara Mendhut dari pengawasannya, Tumenggung Wiraguna marah. Diutusnya para prajurit untuk menagkap Pranacitra.

Pranacitra dan Rara Mendhut dalam pelariannya terjebak, tidak mampu menyeberangi Sungai Oya, sehingga keduanya tertangkap. Tumenggung Wiraguna menghukum Pranacitra dengan membunuhnya, namun di saat keris Tumenggung Wiraguna masih berlumuran darah Pranacitra, keris tersebut direbut oleh Rara Mendhut dan digunakannya untuk bunuh diri.

Berakhirlah kehidupan yang romantis Rara Mendhut – Pranacitra. Namun atas kebijaksanaan Ki Tumenggung Wiraguna, untuk mengabadikan cinta kasih keduanya, maka diperintahkannya agar kedua jasad Rara Mendhut – Pranacitra dikubur dalam satu liang lahat. Berakhir pula romantisme kisah cinta Romeo dan Yuliet versi Mataram.

Raden Mas Sayyidin

Sultan Agung dengan permaisuri kedua, Rara Lembayung atau Ratu Batang, melahirkan Raden Mas Sayyidin, yang lahir pada tahun 1618. Sayiyidin dari Bahasa Arab yang memiliki arti “pemimpin”, harapannya kelak menjadi pemimpin yang mumpuni. Namun, konon, ternyata R.M. Sayyidin, sejak muda, memiliki perilaku yang cukup meresahkan, utamanya, kaum wanita. Dia suka merayu baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.

Kisah yang sempat membuat ayahnya, Sultan Agung, merasa malu adalah saat R.M. Sayyidin berusia 18 tahun (1636). Yang menjadi korban skandalnya, sebuah perilaku yang memalukan itu, adalah justru Keluarga Ki Tumenggung Wiraguna (46), tokoh penting Mataram yang sangat dibanggakan oleh Sultan Agung.

Skandal Rara Pinten

Seperti diceriterakan bahwa salah satu istri Ki Tumenggung Wiraguna yang bernama Rara Printen, memiliki paras yang elok, sangat cantik. Walaupun sudah berumur 36 tahun, wajah dan penampilan Rara Printen bagaikan remaja usia 23 tahun. Kecantikan inilah yang menjadikan R.M. Sayyidin putra Kanjeng Sultabn Agung di Mataram itu, sangat tergoda dan keyungyun.

Sehingga pada suatu waktu, ketika Ki Tumenggung Wiraguna mendapat tugas dari ayahnya untuk aktivitas di luar Kotaraja Mataram, telah menjadi kesempatan dan dimanfaatkan oleh R.M. Sayyidin untuk membawa lari, dan memaksa Rara Printen melayani hasrat libidonya. Brabeh!

Kemarahan Ki Wiraguna

Peristiwa tersebut tentu saja membuat sangat marahnya Ki Tumenggung Wiraguna, hanya saja karena itu anak rajanya dan dimungkinkan menjadi putra mahkota maka kemarahan itu diwujudkan dalam tindakan yang terukur. Dengan dibantu dan didampingi oleh Pangeran Alit, adik dari R.M. Sayyidin, Ki Tumenggung Wiraguna segera melaporkan peristiwa hitam itu kepada Kanjeng Sultan Agung.

Pemicu Dendam

Tak terkatakan marah dan malunya Sultan Agung dengan kejadian tersebut. Maka Sultan Agung segera bertitah, R.M. Sayyidin harus secepatnya mengembalikan Rara Printen kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Titah itupun segera dipatuhi oleh R.M. Sayyidin.

Tindakan berikutnya R.M. Sayidin segera diusir, diungsikan ke sebuah pesantren di Pasuruan, dititah untuk belajar Agama Islam, di bawah bimbingan Syeh Jangkung atau yang lebih dikenal dengan nama Syeh Saridin.

Mulai saat itu ada kekhawatiran yang tersirat di lubuk hati Ki Tumenggung Wiraguna, yaitu mencemaskan adanya dendam pribadi R.M. Sayyidin terhadap dirinya, istrinya dan tentu saja kepada anggota keluarganya yang lain.

Ramalan Nyi Roro Kidul

Seperti menjadi perbincangan masyarakat, bahwa raja-raja Mataram memiliki hubungan khusus dengan ratu pantai selatan yang dikenal dengan nama Nyai Roro Kidul. Kemampuan Nyai Roro Kidul dalam hal ikut terlibat dalam mendampingi keberadaan Kasultanan Mataram sudah tidak diragukan lagi. Hingga pada suatu ketika Nyai Roro Kidul memberi tahu Kanjeng Sultan Agung bahwa pemerintahannya hanya sampai tahun 1644. Begitulah konon ramalan Nyai Roro Kidul.

Atas pemberitahuan tersebut dan kepercayaan terhadap kemampuannya maka sejak tahun 1640 jabatan-jabatan penting Kasultanan Mataram dipercayakan kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Diantaranya Ki Tumenggung Wiraguna diangkat sebagai panglima perang, hakim tertinggi dan penasehat utama Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma.

Menyadari usianya sudah menjelang akhir, ditugaskannya kepada Ki Tumenggung Wiraguna untuk membuat sebuah pemakaman raja-raja yang baru, di sebuah bukit. Maka dibangunlah sebuah pemakaman di sebuah puncak bukit, yang kini dikenal dengan nama Makam Imogiri, jaraknya sekitar 5 kilometer dari pusat istana Mataram saat itu.

Patih Mataram

Di tahun terakhir usia Sultan Agung, Ki Tumenggung Wiraguna diangkat sebagai patih Kasultanan Mataram. Adapun yang menjadi patih sebelumnya, saat Sultan Agung berkuasa diantaranya adalah putra dari Ki Juru Martani yang bernama Pangeran Mandura dengan gelarnya sebagai Adipati Mandaraka II. Lalu Tumenggung Singaranu disebut pula pernah menjadi patih dibawah kekuasaan Sultan Agung.

Dan pada tahun 1644 saat Sultan Agung sakit keras jabatan patih justru diserahkan kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Dengan usianya yang 54 tahun dan pengalamannya Ki Tumenggung Wiraguna diserahi penuh untuk mengelola kasultanan Mataram sebagai wakil dari Sultan Agung yang sedang sakit.

Pada tahun tahun 1645 Sultan Agung wafat. Meninggalnya Sultan Agung ini tersurat dalam buku Punika Serat Sejarah Babad Onje, halaman 108, dengan kalimat: “Nunten ketampen dhateng Kanjeng Sultan Kuwasa gugur ing padhomasan”, terjemahan bebasnya adalah: Lalu digantikan oleh Kanjeng Sultan Kuwasa (Agung) yang wafat di tempat tinggalnya (di istana).

Amangkurat I

Pesan Sultan Agung sebelum meninggal, bahwa yang menggantikannya, menempati tahta Kasultanan Mataram adalah R.M. Sayyidin. Setelah dinobatkan sebagai penguasa Mataram, R.M. Sayyidin dikenal dengan nama gelarnya Sultan Amangkurat (Amangkurat I). Amangku = memangku, menguasai, Rat = bumi, negara; maksud gelar tersebut adalah R.M. Sayyidin adalah seorang penguasa yang mampu menguasai negara yang luas dan terhormat.

Dan kekhawatiran yang tersirat di lubuk hati Ki Tumenggung Wiraguna, tentang dendam pribadi R.M. Sayyidin terhadap dirinya, istrinya dan tentu saja kepada anggota keluarganya yang lain, kini semakin menghimpitnya.

Blambangan Merdeka

Sepeninggal Sultan Agung, Mataram dianggap mengalami kemunduran di dalam pemerintahan, kebijakan cara berpolitik Amangkurat I tidak sebanding dengan saat ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusuma berkuasa. Keadaan ini pun dimanfaatkan oleh Mas Sanepa Handoyokusumo, putra Pangeran Tawangalun I, untuk nerintis memisahkan diri dari Mataram, sebagai penguasa Kerajaan Blambangan yang merdeka.

Mas Raka Sanepa atau sering disebut dengan nama Mas Kembar (Saudara kembarnya bernama Pangeran Wilabrata), pada saatnya menjadi penguasa Blambangan, bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Tawangalun II, atau Susuhunan Macanputih (1649 – 1652 dan 1655 – 1691). Kadipaten Blambangan pun telah berubah menjadi Kerajaan Blambangan, yang memiliki kedudukan yang sejajar dengan Kasultanan Mataram.

 

Penugasan Wiraguna

Tahun 1646, berarti baru setahun Amangkurat I memerintah, di saat Kadipaten Blambangan begitu cepat telah ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram membuaut Amangkurat I sangat marah. Segera dibentuk pasukan untuk menggempur Blambangan, yang jaraknya sekitar 550 kilometer dari Kotaraja Mataram. Butuh sekitar sepuluh hari perjalanan pasukan, untuk sampai ke sasaran.

Dan ketika Amangkurat I teringat peristiwa saat melarikan Rara Printen, maka tugas ke Blambangan dengan mantap diberikannya kepada Ki Tumenggung Wiraguna. Dendam pribadi yang menjadi pertimbangan utama atas penugasan tersebut. Kesempatan untuk menghabisi hidup Ki Tumenggung Wiraguna dengan alasan yang mapan.

Sepuluh tahun yang lalu setidaknya ada empat orang yang telah menjadikan R. M. Sayyidin diasingkan ke Pasuruan, yaitu: Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya, Tumenggung Asmarandana dan Pangeran Alit. Kini hidup mereka ada di tangan Amangkurat I, penguasa Kasultanan Mataram yang harus dipatuhi.

Pertempuran Blambangan

Begitulah, sesuai titah Amangkurat I maka ditetapkan senapati perang dari Mataram adalah Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya dan Tumenggung Asmarandana. Kedatangan pasukan Mataram pun sudah diketahui oleh pasukan Blambangan yang dibantu oleh pasukan dari Tanah Bali, dengan senapatinya Ki Lurah Yabana dan Senapati Panjipati, dan di belakangnya adalah pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Tawangalun dan Senapati Wiranagara.

Dalam pertempuran yang sengit itu, dari pimpinan Mataram yang tewas adalah Ki Rangga, dan Ki Citrayuda sedang dari Blambangan yang tewas adalah Senapati Panjipati dan Ki Lurah Yadana.

Pangeran Tawangalun dan Ki Wiranagara pun lari mengungsi ke Bali. Ketika melawan pasukan khusus dari Bali yang dipimpin oleh Senapati Panji Arungan, pasukan Mataram berhasil menewaskan Panji Arungan. Pasukan Blambangan dan pasukan dari Bali telah kalah, namun Pangeran Tawang Alun selamat.

Sementara itu di alun-alun Mataram, Pangeran Alit yang berniat memberontak pun, telah tewas saat dikeroyok oleh prajurit Mataram. Kini Kiyai Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya sadar, sepertinya jika keduanya pulang ke Mataram pun, kemungkinan besar akan tewas di bawah dendam Amangkurat I.

Kiyai Tumenggung Wiraguna Tewas

Peperangan yang sengit itu terjadi sekitar tahun 1647, menjadikan Ki Tumenggung Wiraguna (57 tahun) kelelahan dan sakit cukup parah. Harta rampasan dan para putri boyongan disuruhnya untuk diberangkatkan dahulu kembali ke Mataram.

Tumenggung Wiraguna diangkut belakangan dan ketika sampai di Kediri, karena sakitnya Ki Tumenggung Wiraguna pun meninggal dunia, dengan pesan untuk dimakamkan dimana beliau meninggal. Ki Tumenggung Danupaya sangat bersedih, dan kemudian mengirim utusan ke Mataram untuk memberi tahu kepada Sang Raja. Utusan berangkat dengan segera.

Demi menerima berita meninggalnya Ki Tumenggung Wiraguna, Amangkurat I pun segera memberi perintah kepada prajurit Singanagara dan Martalulut, untuk segera melacak dan mengubur mayat Ki tumenggung Wiraguna dimana saja ditemukan serta segera pula membunuh anak cucunya.

Perintah Keji Amangkurat I

Benarlah begitu jenazah Ki Wiraguna ditemukan segera dikuburkan, serta dibunuh dan dikubur pula 12 orang yang dianggap sebagai keluarga Ki Tumenggung Wiraguna di tempat tersebut. Tumenggung Danupaya tak mampu melihat kekejian perintah Amangkurat I, maka beliau segera mengambil racun dan menenggaknya, tewas pula Ki Tumenggung Danupaya.

Kini tinggal Ki Tumenggung Asmaradana, yang memimpin pasukan menuju Mataram namun saat berhenti di Desa Taji, datang utusan dari istana yang harus segera melaksanakan tugas keji dari rajanya, membunuh Ki Tumenggung Asmarandana. Maka dibunuh dan tewas pula Ki Tumenggung Asmarandana. Lunas sudah dendam pribadi yang keji Amangkuyart I kepada Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya, Tumenggung Asmarandana dan Pangeran Alit.

Wiraguna Jejak Onje di Mataram

Begitulah awal dan akhir putra dari Nyai Tindhik, gadis desa Onje yang bergelar Kiyai Tumenggung Wiraguna, yang dapat menjadi kebanggaan masyarakat Onje bahwa salah satu keturunannya telah menjadi bangsawan terkenal di Kasultanan Mataram.

Wiraguna adalah tokoh sejarah yang patut dihormati, saksi dan pendukung kejayaan Mataram dalam kekuasaan Sultan Agung. Namun Wiraguna juga saksi atas kemunduran Mataram akibat perebutan kekuasaan di antara keluarga kerajaan.

Wiraguna adalah panglima perang yang tangguh, tanggon, berani, cerdas dan selalu setia kepada raja dan tanah leluhurnya. Pantas disebut sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena telah berjuang mengusir penjajah yang kala itu dalam wujud sebagai VOC.

Biodata Wiraguna

Ayah Ki Lurah Wiratjati dari Kasultanan Pajang yang setia mendampingi Panembahan Senopati di Kasultanan Mataram.

Ibu Nyai Tindhik dari Kadipaten Onje, yang lahir sekitar tahun 1572, di usia 8 tahun diboyong ke Kasultanan Pajang. Menikah tahun 1587 dengan Ki Lurah Wiratjati.

Kiyai Tumenggung Wiraguna, lahir di pajang sekitar tahun 1590. Nama kecil Ki Gunajati.

Riwayat keprajuritan:

Bersama Panembahan Senopati

Tahun 1601, Gunajati berusia 1 - 11 tahun diasuh dan dilatih untuk berusaha magang menjadi prajurit Mataram.

Bersama Sunan Anyakrawati (1601 – 1613)

Saat berusia 17 – 23 tahun resmi menjadi prajurit Mataram dibawah kekuasaan Mas Jolang atau Sunan Anyakrawati, mendapat gelar Ki Panji Gunajati dan sempat pula menjadi lurah prajurit, Ki Lurah Gunajati.

Bersama Sultan Agung (1613 – 1645)

Saat berusia 25 tahun (1615), Ki Lurah Gunajati menikah dengan gadis yang bernama Rara Printen. Oleh Sultan Agung diberi nama khusus sebagai Ki Lurah Wiraguna.

Pada saat Adipati Pragola II, tahun 1627, memberontak, Ki Lurah Wiraguna berperan penting dalam mengatasi serangan prajurit Kadipaten Pati dan oleh Sultan Agung, Ki Lurah Wiraguna secara luar biasa dinaikkan jabatannya, sebagai tumenggung, dengan gelar Kiyai Tumenggung Wiraguna.

Saat berusia 38 tahun, memimpin pasukan Mataram mengepung Batavia dua kali, tahun 1628 dan 1629. Jejak tempat untuk mengatur serangan kini dikenal dengan nama Ragunan. Dan dianggap sebabagi penyebab tewasnya Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterzoon Coen.

Pada tahun 1630, Kiyai Tumenggung Wiraguna diberi hadiah seorang putri cantik hasil boyongan dari Kadipaten Pati, bernama Rara Mendhut, untuk dijadikan istri-selirnya. Namun Rara Mendhut memilih tewas bersama kekasihnya, yang bernama Pranacitra.

Tahun 1640 oleh Sultan Agung, jabatan-jabatan penting Kasultanan Mataram dipercayakan kepada Ki Tumenggung Wiraguna, antara lain:

Diangkat sebagai panglima perang, hakim tertinggi dan penasehat utama Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusuma. Memprakarsai pembangunan Makam Imogiri.

Dan pada tahun 1644 dalam usia 54 tahun Ki Tumenggung Wiraguna diserahi jabatan sebagai Patih Mataram, bertugas mengelola kasultanan Mataram dan mewakili Sultan Agung yang sedang sakit.

Bersama Sultan Amangkurat I

Tahun 1646, sesuai titah Amangkurat I, agar Kiyai Tumenggung Wiraguna menuju kematiannya, maka ditetapkan menjadi Senapati Perang Kasultanan Mataram untuk menaklukkan Kerajaan Blambangan. Peperangan sengit itupun menjadikan Ki Tumenggung Wiraguna kelelahan dan sakit cukup parah.

Tahun 1647, dalam perjalanan pulang, Kiyai Tumenggung Wiraguna (57 tahun) wafat. Kemudian atas kekejian Amangkurat I, segera dihabisi pula seluruh keluarga Kiyai Tumenggung Wiraguna yang jumlahnya 12 orang dengan cara dibunuh. Biadab!

Hikk!

Demikianlah Balada Kiyai Tumenggung Wiraguna, dari kelahirannya sampai wafatnya. Sebuah kisah pilu dari seorang yang sangat berjasa bagi berdirinya Kerajaan Mataram, namun wafat bersama keluarganya, karena kekejian Amangkurat I, salah satu penguasa Mataram yang kejam.

Desa Onje, sebuah desa tua di Kecamatan Mrebet, Purbalingga, ternyata memiliki kisah unik yang tidak saja bersifat lokal, namun mampu meluas tak terbatas, hingga ada tedhak-turunnya yang mampu menjadi tokoh penting, yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan Kerajaan Mataram di jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo.

.

Semoga bermanfaat.

Toto Endargo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar