Kamis, 05 Juni 2025

Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni

 Politik Dalam Pewayangan (15): Kebohongan dan Kepalsuan – Wisanggeni

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Cerita Pewayangan

Wisanggeni adalah tokoh pewayangan yang dikenal sebagai putra Arjuna dan Dewi Dresanala, putri Batara Brama. Sejak lahir, Wisanggeni sudah menunjukkan kecerdikan dan kesaktiannya yang luar biasa. Hal ini membuatnya sering disebut sebagai "dewa terakhir," karena bahkan para dewa di Kahyangan merasa segan terhadap kebijaksanaan dan kekuatannya.

Dalam pementasan wayang, Wisanggeni sering digambarkan sebagai sosok yang mampu mengungkap dan menyelesaikan berbagai masalah. Tidak ada kebohongan, kepalsuan, atau kejahatan yang bisa bertahan lama di hadapannya. Baik itu kecurangan yang dilakukan oleh para raksasa, Kurawa, maupun para dewa sendiri, semuanya dapat terungkap dengan jelas ketika berhadapan dengan Wisanggeni. Keberaniannya dalam menentang ketidakadilan dan kepalsuan menjadikannya simbol perjuangan melawan kebohongan.

Korelasi dengan Politik di Indonesia

Dalam dunia politik Indonesia, tokoh seperti Wisanggeni yang berani mengungkap kebenaran sangat dibutuhkan. Namun, dalam praktiknya, membongkar kebohongan dan kecurangan politik tidak selalu berakhir dengan kemenangan seperti dalam kisah pewayangan. Banyak orang yang mencoba mengungkap kebohongan justru menghadapi berbagai tantangan berat, baik berupa tekanan hukum, pembunuhan karakter, maupun kriminalisasi.

Beberapa kasus berikut mencerminkan perjuangan dalam mengungkap kebohongan di dunia politik:

1.      Roy Suryo – Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini pernah mengungkap dugaan ketidaksesuaian terkait Fufu Fafa, yang diklaim sebagai milik Gibran. Pengungkapan ini memicu perdebatan di publik dan memperlihatkan bagaimana informasi dapat digunakan untuk menyoroti transparansi politik. (hold.id, 10 Oktober 2024)

2.      Bambang Tri Mulyono – Menyatakan bahwa ijazah Presiden Joko Widodo tidak sah dan membawa kasus ini ke ranah hukum. Namun, ia justru dijatuhi hukuman 6 tahun penjara karena dianggap menyebarkan berita bohong. Kasus ini menjadi pelajaran bahwa tanpa bukti kuat, upaya mengungkap kebenaran bisa berbalik menjadi bumerang. (news.detik.com, 18 April 2023)

3.      Rismon Hasiholan Sianipar – Secara gigih berusaha membuktikan bahwa ijazah Joko Widodo dari UGM adalah palsu. Meskipun ia memiliki keyakinan kuat atas klaimnya, namun belum ada keputusan hukum yang mendukung pernyataannya. (neodetik.news, 13 Maret 2025)

4.      Kajari Mamuju Raharjo Yusuf Wibisono – Mengungkap bahwa nomor ijazah Haris Halim yang tercatat di arsip ternyata milik orang lain. Yang meloloskannya, Komisioner KPU Mamuju Tengah, Imran Tri Kerwiyadi, divonis 3 tahun penjara. (detiksulsel, 21 Januari 2025)

5.      Lalu Nursai – Terbukti menggunakan ijazah palsu paket C dalam pencalonan pemilihan legislatif 2024. Politisi PPP tersebut divonis 9 tahun penjara. (radarlombok.co.id, 15 Maret 2025)

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa kepentingan kekuasaan sering kali membayangi upaya pencarian kebenaran. Siapa pun yang mencoba membongkar kebohongan harus siap menghadapi risiko besar, termasuk ancaman hukum, tekanan politik, dan bahkan risiko sosial. Hal ini menunjukkan bahwa dunia politik tidak sesederhana dunia pewayangan, di mana kebenaran selalu menang dengan mudah.

Belajar dari Pewayangan

Dari kisah Wisanggeni, kita dapat belajar bahwa keberanian untuk mengungkap kebenaran harus diiringi dengan kebijaksanaan, tanggung jawab, dan kesiapan menghadapi konsekuensi. Dunia politik membutuhkan individu-individu yang memiliki integritas dan keberanian untuk menegakkan kebenaran. Namun, mereka juga harus memiliki strategi yang matang dan dasar bukti yang kuat agar perjuangan mereka tidak sia-sia.

Selain itu, peran masyarakat dalam mendukung pengungkapan kebenaran juga tidak bisa diabaikan. Jika hanya mengandalkan satu sosok yang berani seperti Wisanggeni, maka kemungkinan besar mereka akan dilumpuhkan oleh sistem yang lebih kuat. Oleh karena itu, budaya kritis, keterbukaan informasi, dan penguatan hukum yang adil adalah hal-hal yang harus terus diperjuangkan.

Penutup

Wisanggeni menjadi simbol bahwa kebohongan tidak akan bertahan selamanya, dan kebenaran akan selalu menemukan jalannya untuk terungkap. Namun, dalam politik, mengungkap kebenaran bukanlah tugas yang mudah. Butuh keberanian, ketekunan, serta kesiapan menghadapi berbagai rintangan. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin menjadi Wisanggeni di era modern harus siap menghadapi perlawanan dan risiko besar dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Semoga bermanfaat. Toto Endargo

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana

#totoendargo

#purbalingga

#kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar