Kamis, 05 Juni 2025

Politik Dalam Pewayangan (14): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir

 Politik Dalam Pewayangan (13): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir

Politik Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata

Aswatama, di penghujung Perang Bharatayuda, menemui Duryudana yang dalam kondisi sekarat. Dalam keadaan kritis itu, Duryudana mengangkat Aswatama sebagai senapati perang yang baru. Dengan amarah membara dan dendam mendalam terhadap Drestajumena yang membunuh ayahnya, serta terhadap anak-anak Pandawa, Aswatama mencari cara membalas dendam tanpa harus menghadapi mereka secara langsung di medan perang. Dengan sumber daya terbatas dan hanya didampingi dua orang sekutu, ia memilih strategi yang tidak lazim.

Aswatama meniru taktik burung pemangsa yang menyerang anak-anak burung lain di sarangnya. Ia membobol pondasi istana Wirata dan menggali lorong bawah tanah (gangsir) hingga menembus tempat para pangeran Pandawa dan sekutunya beristirahat. Serangan mendadaknya berhasil—Drestajumena, Srikandi, Pancawala, dan lainnya tewas dalam tidur mereka. Dengan bangga, Aswatama memberitahukan keberhasilannya kepada Duryudana. Namun, sebelum sempat merayakan kemenangan ini, Duryudana akhirnya tewas akibat luka pertempuran.

Korelasi dengan Politik di Indonesia

Kisah Aswatama mencerminkan bagaimana seseorang yang menghadapi jalan buntu dalam mencapai tujuannya dapat beralih ke strategi tidak lazim, bahkan melanggar etika dan norma. Dalam politik, pendekatan ini sering kita jumpai—ketika cara konvensional sulit dilakukan, maka strategi alternatif yang sering kali tidak terduga, bahkan manipulatif, dijalankan demi meraih kepentingan tertentu.

Kasus Pemotongan Dana PIP

Salah satu contoh nyata adalah pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di beberapa sekolah di Jawa Barat, seperti di SMP Negeri 1 Karangpawitan Garut (sumber: Priangan Insider, 24 Februari 2025), SMP Negeri 1 Kutawaluya Karawang (Kompas.com, 19 Februari 2025), dan SMA Negeri 7 Kota Cirebon (Liputan6.com, 19 Februari 2025). Sejumlah oknum legislatif yang menghadapi jalan terjal dalam mengakses dana aspirasi memilih jalan pintas dengan memotong dana PIP—yang sejatinya tidak boleh dipotong. Tindakan ini akhirnya terungkap dan menuai kecaman publik.

Manipulasi Regulasi dalam Pilpres 2024

Strategi ala Aswatama juga tampak dalam konteks Pilpres 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba mengubah aturan batas usia calon wakil presiden membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres. Sebelum putusan itu, Gibran belum memenuhi syarat, tetapi dengan perubahan aturan yang mendadak, ia menjadi layak. Ini adalah contoh bagaimana mekanisme hukum dapat dimanfaatkan secara cerdik untuk mencapai tujuan politik tertentu (sumber: Kompas.com, 8 November 2023).

Hal serupa juga terjadi dalam naiknya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Proses yang berlangsung cepat dan terkesan mulus hingga ke puncak partai mengingatkan kita pada taktik Aswatama—di mana langkah-langkah politis dijalankan secara cepat, tepat, dan dengan efek kejut yang menguntungkan pihak tertentu.

Taktik "Aswatama Gasir" dalam Politik

  • Serangan Fajar dalam Pemilu: Membobol pendukung lawan dengan amplop yang lebih tebal menjadi strategi politik dalam memenangkan pemilih.
  • Kasus Nazaruddin dan Grup Permai: Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, menggunakan perusahaan bodong dalam transaksi gelap guna mendapatkan proyek pengadaan barang sebagai sumber dana partai (sumber: PUKAT FH UGM, 7 Mei 2013).
  • Manipulasi Anggaran Studi Banding: Studi banding yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran sering kali disalahgunakan sebagai dalih untuk pelesiran gratis dengan memanfaatkan anggaran negara, yang berujung pada pemborosan anggaran (sumber: Antikorupsi.org, 28 September 2010).

Belajar dari Pewayangan

Dari kisah Aswatama, kita belajar bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Keberhasilan yang diraih melalui cara-cara licik, manipulatif, atau melanggar etika pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi buruk. Dalam kasus Aswatama, tindakannya memicu kemarahan Pandawa, dan ia pun menerima kutukan Krishna yang menyebabkan hidupnya berakhir dalam penderitaan dan kesepian.

Bagi para politikus Indonesia, penting untuk memahami bahwa strategi politik yang melenceng dari etika hanya akan membawa dampak negatif dalam jangka panjang. Kepercayaan publik bisa hilang, legitimasi bisa runtuh, dan sejarah akan mencatat tindakan-tindakan tersebut dengan perspektif yang tidak menguntungkan.

Penutup

Politik dan pewayangan selalu menghadirkan cerminan yang menarik bagi kehidupan nyata. Kisah Aswatama mengajarkan kita bahwa politik yang dimainkan dengan cara-cara licik mungkin berhasil dalam jangka pendek, tetapi pada akhirnya dapat berujung pada kehancuran diri sendiri. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kita harus belajar dari sejarah dan memilih jalur politik yang berintegritas.

Semoga bermanfaat. Maturnuwun.

Toto Endargo

Catatan: Artikel ini pernah dimuat di Kompasiana

#totoendargo

#purbalingga

#kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar