Politik Dalam Pewayangan (13): Dana Aspirasi – Aswatama Gasir
Politik
Dalam Pewayangan dan Kehidupan Nyata
Aswatama, di penghujung Perang
Bharatayuda, menemui Duryudana yang dalam kondisi sekarat. Dalam keadaan kritis
itu, Duryudana mengangkat Aswatama sebagai senapati perang yang baru. Dengan
amarah membara dan dendam mendalam terhadap Drestajumena yang membunuh ayahnya,
serta terhadap anak-anak Pandawa, Aswatama mencari cara membalas dendam tanpa
harus menghadapi mereka secara langsung di medan perang. Dengan sumber daya
terbatas dan hanya didampingi dua orang sekutu, ia memilih strategi yang tidak
lazim.
Aswatama meniru taktik burung
pemangsa yang menyerang anak-anak burung lain di sarangnya. Ia membobol pondasi
istana Wirata dan menggali lorong bawah tanah (gangsir) hingga menembus tempat
para pangeran Pandawa dan sekutunya beristirahat. Serangan mendadaknya berhasil—Drestajumena,
Srikandi, Pancawala, dan lainnya tewas dalam tidur mereka. Dengan bangga,
Aswatama memberitahukan keberhasilannya kepada Duryudana. Namun, sebelum sempat
merayakan kemenangan ini, Duryudana akhirnya tewas akibat luka pertempuran.
Korelasi
dengan Politik di Indonesia
Kisah Aswatama mencerminkan
bagaimana seseorang yang menghadapi jalan buntu dalam mencapai tujuannya dapat
beralih ke strategi tidak lazim, bahkan melanggar etika dan norma. Dalam
politik, pendekatan ini sering kita jumpai—ketika cara konvensional sulit
dilakukan, maka strategi alternatif yang sering kali tidak terduga, bahkan
manipulatif, dijalankan demi meraih kepentingan tertentu.
Kasus
Pemotongan Dana PIP
Salah satu contoh nyata adalah
pemotongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di beberapa sekolah di Jawa
Barat, seperti di SMP Negeri 1 Karangpawitan Garut (sumber: Priangan Insider,
24 Februari 2025), SMP Negeri 1 Kutawaluya Karawang (Kompas.com, 19 Februari
2025), dan SMA Negeri 7 Kota Cirebon (Liputan6.com, 19 Februari 2025). Sejumlah
oknum legislatif yang menghadapi jalan terjal dalam mengakses dana aspirasi
memilih jalan pintas dengan memotong dana PIP—yang sejatinya tidak boleh
dipotong. Tindakan ini akhirnya terungkap dan menuai kecaman publik.
Manipulasi
Regulasi dalam Pilpres 2024
Strategi ala Aswatama juga tampak
dalam konteks Pilpres 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba
mengubah aturan batas usia calon wakil presiden membuka jalan bagi Gibran
Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres. Sebelum putusan itu, Gibran belum
memenuhi syarat, tetapi dengan perubahan aturan yang mendadak, ia menjadi
layak. Ini adalah contoh bagaimana mekanisme hukum dapat dimanfaatkan secara
cerdik untuk mencapai tujuan politik tertentu (sumber: Kompas.com, 8 November
2023).
Hal serupa juga terjadi dalam
naiknya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Proses yang berlangsung cepat dan terkesan mulus hingga ke puncak partai
mengingatkan kita pada taktik Aswatama—di mana langkah-langkah politis
dijalankan secara cepat, tepat, dan dengan efek kejut yang menguntungkan pihak
tertentu.
Taktik
"Aswatama Gasir" dalam Politik
- Serangan Fajar dalam Pemilu: Membobol pendukung lawan
dengan amplop yang lebih tebal menjadi strategi politik dalam memenangkan
pemilih.
- Kasus Nazaruddin dan Grup
Permai:
Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, menggunakan perusahaan
bodong dalam transaksi gelap guna mendapatkan proyek pengadaan barang
sebagai sumber dana partai (sumber: PUKAT FH UGM, 7 Mei 2013).
- Manipulasi Anggaran Studi
Banding: Studi
banding yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran sering kali
disalahgunakan sebagai dalih untuk pelesiran gratis dengan memanfaatkan
anggaran negara, yang berujung pada pemborosan anggaran (sumber:
Antikorupsi.org, 28 September 2010).
Belajar
dari Pewayangan
Dari kisah Aswatama, kita belajar
bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Keberhasilan yang diraih
melalui cara-cara licik, manipulatif, atau melanggar etika pada akhirnya dapat
menimbulkan konsekuensi buruk. Dalam kasus Aswatama, tindakannya memicu
kemarahan Pandawa, dan ia pun menerima kutukan Krishna yang menyebabkan
hidupnya berakhir dalam penderitaan dan kesepian.
Bagi para politikus Indonesia,
penting untuk memahami bahwa strategi politik yang melenceng dari etika hanya
akan membawa dampak negatif dalam jangka panjang. Kepercayaan publik bisa
hilang, legitimasi bisa runtuh, dan sejarah akan mencatat tindakan-tindakan
tersebut dengan perspektif yang tidak menguntungkan.
Penutup
Politik dan pewayangan selalu
menghadirkan cerminan yang menarik bagi kehidupan nyata. Kisah Aswatama
mengajarkan kita bahwa politik yang dimainkan dengan cara-cara licik mungkin
berhasil dalam jangka pendek, tetapi pada akhirnya dapat berujung pada
kehancuran diri sendiri. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, kita harus belajar dari sejarah dan memilih jalur politik yang
berintegritas.
Semoga
bermanfaat. Maturnuwun.
Toto Endargo
Catatan: Artikel ini pernah
dimuat di Kompasiana
#totoendargo
#purbalingga
#kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar