Sabtu, 31 Mei 2025

Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional

Ketika Ular Kobra Dianggap Biasa, Kepala Babi Jadi Isu Nasional 

Refleksi atas Ketimpangan Respons terhadap Dua Peristiwa Berbeda  

Oleh: Toto Endargo  

Dua Peristiwa, Dua Realitas Sosial 

Baru-baru ini, dua peristiwa terjadi dalam waktu berdekatan, namun menimbulkan reaksi publik dan institusi yang sangat berbeda. Di satu sisi, ada pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo—yang langsung disambut kehebohan media, investigasi kepolisian, dan gelombang simpati dari berbagai pihak. Di sisi lain, dua kali keberadaan ular kobra yang diduga sengaja dilepaskan di sekitar rumah Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta, hanya disikapi sebagai kabar biasa, tanpa langkah tegas dari lembaga berwenang. 

Padahal, jika dilihat dari sudut pandang ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa manusia, kasus kobra jauh lebih berbahaya. Sengatan simbolik dari kepala babi memang mencederai marwah, tetapi gigitan kobra bisa membunuh. 

Bahaya Nyata vs. Ancaman Simbolik 

Ular kobra bukan hanya menimbulkan rasa takut, tapi juga ancaman medis yang serius. Di lingkungan padat penduduk, keberadaan ular berbisa seharusnya ditanggapi dengan protokol darurat, pengamanan lokasi, serta penyelidikan menyeluruh. Namun, hingga kini belum terlihat respons yang serius dari aparat keamanan atau instansi perlindungan satwa maupun keselamatan publik. 

Sementara itu, aksi pengiriman bangkai tikus dan kepala babi ke kantor media nasional memang mengandung simbol intimidasi, namun tidak bersifat membahayakan secara fisik. Bahwa kejadian ini ditangani serius adalah wajar, tapi mengapa hal serupa tidak dilakukan pada peristiwa yang bahkan bisa menyebabkan kematian? 

Langkah-Langkah Kontroversial Dedi Mulyadi 

Perlu diakui, Dedi Mulyadi bukan sosok tanpa kontroversi. Selama menjabat sebagai Bupati Purwakarta dan setelahnya sebagai anggota DPR RI, ia dikenal sebagai figur yang kerap mengambil langkah tak lazim dan frontal dalam membela rakyat kecil. 

Beberapa kebijakannya mendapat apresiasi, tapi sebagian juga menimbulkan gesekan. Berikut adalah beberapa langkah Dedi Mulyadi yang dianggap kontroversial dan bisa jadi menyulut ketidaksukaan dari pihak-pihak tertentu: 

1. Pembelaan Terbuka terhadap Warga Miskin Dedi sering turun langsung membela rakyat kecil, bahkan membongkar bangunan milik pengusaha yang dianggap melanggar aturan atau merugikan warga. Ini membuatnya dicintai rakyat, tapi dibenci sebagian elit atau pihak berkuasa yang merasa kepentingannya terganggu. 

2. Sikap Kritis terhadap Pemerintah Daerah Dalam berbagai pernyataan publik dan melalui akun media sosialnya, Dedi kerap mengkritik kebijakan pemerintah daerah, termasuk aparat desa dan dinas yang ia nilai tidak berpihak pada rakyat. Gaya blak-blakan ini tidak disukai sebagian kalangan birokrasi. 

3. Penanganan Satwa dan Religiusitas Dedi dikenal dekat dengan dunia satwa, dan menggabungkan antara nilai-nilai Sunda, spiritualitas, serta pelestarian budaya lokal dalam caranya memimpin. Namun pendekatan ini kadang dianggap “tidak biasa” oleh kelompok tertentu yang lebih konservatif. 

4. Aktivitas Media Sosial yang Terus-Menerus Menyudutkan Oknum Ia aktif mempublikasikan investigasi sosial secara langsung lewat kanal YouTube dan media sosial, sering kali mempermalukan oknum aparat atau pejabat di depan publik. Gaya ini meskipun membela rakyat, juga menyulut perlawanan diam-diam dari mereka yang merasa dipermalukan. 

Dengan latar belakang ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa keberadaan ular-ular kobra di rumahnya merupakan bentuk intimidasi atau teror halus yang ditujukan untuk membungkam atau memberi peringatan. Namun karena tidak ada reaksi serius dari lembaga berwenang, asumsi publik tidak terbangun dengan tegas, dan peristiwa ini perlahan lenyap tanpa pengusutan. 

Standar Ganda dalam Penanganan Insiden 

Yang menjadi persoalan utama bukan semata-mata siapa yang menjadi korban, tapi bagaimana negara menempatkan respons terhadap dua insiden yang sama-sama berpotensi meresahkan. Bahwa media nasional dan aparat keamanan bergerak cepat dalam kasus simbolik, tapi lamban dalam kasus yang melibatkan ancaman nyata, menunjukkan adanya standar ganda dalam sistem. 

Publik tentu berhak bertanya: apakah keselamatan warga negara hanya berarti penting jika menyentuh institusi besar atau figur tertentu? Apakah nyawa manusia bisa dipertaruhkan hanya karena persoalan lokasi, status, atau opini politik? 

Penutup: Perlunya Sikap Adil dan Tegas 

Negara, lewat lembaga-lembaganya, seharusnya hadir dengan pancaindra yang sama tajamnya terhadap semua bentuk ancaman—baik simbolik maupun fisik. 

Ketika ular berbisa dianggap enteng, dan kepala babi dibesar-besarkan, maka ada yang tidak beres dalam sistem prioritas penanganan. 

Keadilan bukan hanya soal hukum, tapi soal kepekaan. Dan jika kepekaan negara hanya hadir untuk sebagian, maka yang lain akan terus merasa tidak penting.

Sabtu, 17 Mei 2025

Kisah Kelahiran Bondan Kejawen Menurut "Serat Carub Kandha"


 Kisah Kelahiran Bondan Kejawen Menurut "Serat Carub Kandha"

Berikut ini adalah kutipan langsung dari sebuah serat “Carub Kandha, Carang Seket” khusu cerita kesepuluh yang di dalamnya terdapat kisah kelahiran Bondan Kejawen.

Penulis buku ini adalah H. Muhamad Pakih, atau Kiyai Tajam, sama dengan H. Abdul Jalil, dari Kampung Pekarungan, Kotamadya Cirebon. Selesai ditulis pada hari Jumat Pon, pukul 17.00, tanggal 26 Julkaidah Tahun He, atau Tahun 1324 H (1906 M).

Tersurat dalam Tembang Balabak, demikian:

1.     Carang sapuluh king pang Carub Kandhaning, jawane ingkang tumurun maring sultan-sultaning mangkone kasultanan Jawa muwah maring wali jawine

2.     Sunan kawaliyan kang campur terasing ngarabe ingkang sami murwa agamane sami, jawane saking warisan asal-usule iki jawane.

3.     Kang saweneh saking Sunda andum waris sirane asalira saking ibu kang pinanggih, wawahe kedadiyan aja kaelokan mring, mbesuke

4.     Wong kang nyelang negara dudu turuning tilapi katambuhan tan weruh asal pinanggih mbesuke kaya Maostikta kaslap Demak tan ngawruhi titise,

5.     Kesamaran Demak kaslang Pajang dening besuke utawa mbesuk ing Pajang kaslan dening Matrame utawa besuk Matram kaslang Swareki ujare.

6.     Pon iku sejatine turun waris, samare carang sing Aryang Banga ingkang kapundi, pditane iku putra Aryang Banga ingkang nami, tekade

7.     Ki Gedhe Matalarasa mangka iki, putrane Gedheng Metir namanira turunane, putrane Gedheng Majatengah iku iya nuli, putrane.

8.     Ki Gedheng Maja akeh dhuk nama nuli, turune Apeputra Ki Gendheng Kartadipuri, gampunge ing tapanira lami agesang nuli, nurute.

9.     Ika peputra estri ingkang kekalih, namane ingkang aneng Nyai Rara Kembang iki, namane kang sepuh Nyi Wandan Jenar nata jawi, karsane.

10.  Sang ngalaga Brawijaya Surasaki, luware nganglu wantune dadiya tekan wangsit, doyane yen sang prabu arep waras panangluning, turane.

11.  Sang Prabu kuduwa manganggo mring estri, wandane Wandan kuning warnine mangko saiki, tangtune tangtu kena sira waras kang tumuli, benjinge.

12.  Sang Prabu anitah mantri angulati, istrine ingkang mangrupi wandanan jenar iki, rupane datan antara wus kapendhak mring gadis, putrane.

13.  Putranira Kartadipura utami, ature wus kahatur marang sang nata dumadi, karsane sang prabu manggih usada nuli guling, karsane.

14.  Kaih Nyi Wandan Surasa kang lelariki, warase dadiya Nyi Wandan nuliya garbini, raose salamining sang prabu langkung asengit, ewahe.

15.  Aningali Nyi Wandan Jenar milasi, tembunge kantos binabar lanang payayineki, rupane sang prabu ngandika aken buwang maring, alase.

16.  Drapon sidhem catu ilang wartaneki, mantrine kang kinen buwang klangkung welas ireki, tingale kalangkung ing pelagipun jabang bayi, rupane.

17.  Dadya api-api kesah ngalas iki, ingkale kale ora den simpen ing dhewekneki, umahe umah kang sempar ja ana kang ngawruhi, karsane.

18.  Den tik-itik kaduga merjaka iki, lawase ingaranan sang Jaka Bondan Kejawi, parenge sareng-sareng sang jaka kagungan pikir, pyambeke.

19.  Ingkang den buwang dening kang ramaneki, asike dadiya apepolos ning alas iki, dirine angantepi kasutapaning ireki. karepe.

20.  Wus awor lawan siluman gunungneki, gununge ing guwa tigang taun lamine reki lawase anggenipun atetapa mbucal diri, darate.

21.  Sanak raja minamuwa eprineki, darate iki pujine epri ing daratneki, ujare Hyang Aluhur ing benda arkitah iki, semune.

22.  Mujikaken mulyakaken Bondan Kajawi, mulane malah jodo kelawan bangsa Banujin, istrine bisa adang pari gegedhengan iki, bisane.

23.  Dadi sega tan susah tinutu malih, kwasane tan ana suwe lamon sesawah iki, gunane lawan bisa nandhur kapas ingkang iki, uwohe.

24.  Thethukulan tan susah anganthi malih, bisane lawan bisa anenun rasukan iki, ujare ujare ingkang tampa dongdoman malih, tenune.

25.  Lawan geni kang dadi ilang gegeting, regede leledhuging sinjang sewet wutu iki, mulane tanpa kara lami-lamining ngaurip, gesenge.

26.  Bondan Kejawan nuli peputra iki, Ki Gedhe ing Pamanahan iya iku besuking, turune tumurun kasultanan Mataram benjing, turune.

27.  Kutha mulya kelawan malih putraning, turune Bondan Kejawan nama Ki Pandan Jawi, namane iya iku ingkang gadhang trah turaning, batose.

====ooo0ooo====


Terjemahan bebas:

1.     Ceritera yang kesepuluh ini adalah salah satu dari Aneka Ragam Ceritera, kali ini bermaksud memaparkan Sultan-sultan hingga sekarang ini, merupakan kesultanan Jawa dengan wali Sanga di Jawa ini adalah semua keturunan dan

2.     semua Sunan dan kewalian yang bercampur dengan darah keturunan Arab, yang masing-masing saling memuliakan agama. Semuanya ini semula merupakan warisan luhur dari seluruh leluhur.

3.     Ada yang termasuk Sunda merupakan pembagian wana karena ada hubungannya dari garis ibu yang dapat diper temukannya, sehingga jangan sampai terseling atau terselip oleh keturunari yang bukan dari garis keturunannya.

4.     Orang yang nyelip di dalam negara yang bukan turun wars akan bercampur menjadi satu sehingga kelak di kemudian hari tidak diketahui asal dari mana sesungguhnya. Seperti terjadi terhadap Majapahit yang terselip oleh Demak, banyak yang tidak diketahui asal-usul keturunannya.

5.     Kita mendapatkan kesamaran terhadap Demak yang terselang oleh Pajang menimbulkan keraguan pada akhirnya. Atau kelak kemudian hari di Pajang terselang oleh Mataram, Atau kelak Mataram akan terselang oleh suara-suara maupun pengaruh-pengaruh lainnya.

6.     Semua itu sesungguhnya merupakan turun waris atau ialah sebagai pembagian waris. Kesamaran itu terjadi dari ceritera yang bersumber dari Arya Banga yang mana sesungguhnya anak Arya Banga yang mana? Sesungguhnya anak Arya Banga yang bernama

7.     Ki Gedheng Matalarasa bertekad untuk meluruskan. Maka Ki Gedheng Matalarasa beranak Ki Gedheng Metir namanya, turunannya ialah bernama Ki Gedheng Majatengah. Lalu Ma-jatengah beranak yang memakai gelar perempuan

8.     pula ialah Ki Gedheng Maja. Ki Gedheng Maja beranak Ki Gedheng Kartadipura, kemudian ia melakukan tapanya sepanjang hidupnya. Lalu ia beranak perempuan

9.     dua orang, disebutnya ialah Nyai Rara Kembang sedangkan yang tua disebutnya Nyai Wandan Jenar telah menjadi raja di tanah Jawa. Bisa kejadian ini disebabkan ketika itu

10.  sang perwira Raja Brawijaya Surasaki sedang menderita sakit gawat, sehingga datanglah wangsit dari salah seorang tamunya. Apabila sang prabu ingin sembuh dari penyakit yang dideritanya itu

11.  sang prabu harus beristri dengan seorang perempuan. Dalam wangsitnya itu perempuan berwarna kulit kuning. Oleh karenanya sang prabu harus berjodoh dengan yang disebut Nyi Wandan Kuning, atau wanita berkulit kuning langsat, Dari akibat perkawinannya itulah sang raja bakal sembuh dari sakit yang dideritanya itu.

12.  Lalu sang raja memerintahkan seorang mantrinya untuk mencari seorang puteri yang berkulit kuning langsat itu. Tidak lama kemudian perempuan yang dicarinya itu ketemu,

13.  ialah tidak lain seorang gadis anak Ki Kartadipura. Kartadipura merelakan, anaknya itu diserahkannya kepada sang raja Majapahit, pertama bermaksud agar sang raja akan sembuh dari penyakitnya. Maka sudah dipertemukan dalam peraduan sang raja.

14.  Ternyata sembuhlah sang prabu setelah bersanggama dengan gadis itu. Dan tidak lama maka buntinglah Nyi Wandan Selanjutnya sang prabu bersifat membenci Nyi Wandan Tanpa ada yang menjadi sebab sang prabu sangat membenci kepada istrinya seorang ini.

15.  Apalagi setelah melihat kandungan perempuan itu lahir seorang bayi laki-laki, sang prabu memerintahkan agar bayi itu dibuang saja di tengah rimba.

16.  Agar supaya hilang berita dari segala kejadian ini. Namun mantrinya yang diperintahkan sang prabu merasa kasihan kepada bayinya itu. Sebab bayinya sangat bagus sekali.

17.  Oleh karena itu ia hanya berpura-pura pergi ke rimba dengan membawa bayinya. Begitu pula walaupun ia merasa sayang kepada bayinya, namun tidak ia pelihara dalam rumahnya sendiri, la simpan bayinya ini di tempat dan di sebuah rumah yang jarang didatangi tamu.

18.  Setelah dewasa dan telah menjadi seorang pemuda, diteliti teliti telah diberinya nama sang Jaka Bondan Kejawen Dan sang mantri itu berkehendak sama-sama dengan pemuda ini dalam hatinya, bahwa

19.  Anaknya yang dibuang oleh ayahandanya ini dijadikan tanda di dalam rimba itu dengan melakukan bertapa sehingga mencapai hasil memuaskan.

20.  la telah bercampur gaul dengan semua siluman gunung. Pemuda itu bertapa di guha selama tiga tahun, benar-benar membanting raga.

21.  Berfamilian dengan anak raja peri, baik peri darat maupun peri laut. Ia dipuji dan dikagumi oleh para peri darat, kata-nya, "Engkau telah mendapat restu dan rido Hyang Maha-luhur."

22.  Mereka semua makhluk halus memujakan dirinya dan hormati dirinya, oleh karena itu ia dijodohkan dengan puteri golongan bangsa Banujin, Istrinya itu bisa memasak nasi hanya dengan padi saja,

23.  namun telah menjadi nasi, jadi tidak melalui proses ditumbuk dulu supaya menjadi beras. Apabila berladang atau bersawah sekejap sudah bisa dipaneni. Menanam kapas sekejap sudah langsung menjadi bahan pakaian.

24.  Tanam-tanaman tidak usah menunggu lama sekejap bisa berbuah dan dapat langsung dinikmati hasil buahnya. Begitu pula istrinya pandai menenun dan pakaian yang dibuatnya itu tanpa memakai jahitan.

25.  Mencuci pakaian bukan dengan air, tetapi dengan api semua menjadi bersih dan bahkan wutuh kembali sebagai pakaian baru saja. Begitulah seluruh kehidupan sang

26.  Bondan Kejawen, kemudian tidak lama ia mempunyai anak yang menurunkan kepada Ki Gedheng Pamanahan yang kelak menurunkan Kasultanan Mataram.

27.  Sebuah kerajaan yang paling mulia di Jawa dan lagi turunan-nya yang lain, sebagai putera dari Bondan Kejawen ini adalah Ki Pandan Jawi namanya. Dialah yang bakal menjadi terah darah langsung yang memiliki semangat perjuangan ayahan-danya.

 

====ooo0ooo====

 

Semoga bermanfaat!

Selasa, 06 Mei 2025

Power Point Banyumasan Dalam Tradisi Begalan

 




Power Point Banyumasan Dalam Tradisi Begalan

Ternyata model tayangan semacam power point sudah ada sejak kuna-makuna di wilayah Banyumas, cermati saja dalam pertunjukan tradisi Begalan. Banyumas pancen maen!

 

Power Point

Power point adalah adalah bagian dari Microsoft Office, salah satu perangkat lunak di komputer untuk mengolah bahan presentasi, berbentuk dokumen dalam bentuk slide. Slide ini pasti sangat berguna dalam dunia pendidikan, ekonomi, bisnis, pemerintahan, dan tentu saja di bidang yang lain.

Konon Power Point dikenal memiliki kekuatan ekstra efisien, sehingga sangat memudahkan para penggunanya untuk memengaruhi para konsumen presentasinya. Bagi para guru yang tak begitu menguasai bahan ajarnyapun, masih menjadi tetap mudah mentransfer teorinya kepada para siswanya.

 

Begalan

Ini adalah salah satu tradisi budaya yang ada di masyarakat suku Jawa, terutama di Banyumas. Kenapa di Banyumas? Konon peristiwa Begalan ini pertama kali ada pada saat Raden Adipati Tjokronegoro, menjadi bupati Banyumas yang ke 14, sekitar tahun 1850.

Begalan terinspirasi dari peristiwa dibegalnya Adipati Banyumas saat memboyong menantunya dari Wirasaba ke Banyumas. Putri bungsu Adipati Wirasaba bernama Dewi Sukesi dikawinkan dengan putra sulung Adipati Banyumas yang bernama Pangeran Tirtakencana, pernikahan dilakukan di Wirasaba, sekitar 20 Km dari Banyumas.

Seminggu setelah menikah, diboyonglah kedua mempelai ke Banyumas, namun di tengah jalan, setelah menyeberangi Sungai Serayu, rombongan dihadang oleh seorang begal yang berpostur tinggi besar. Begal ingin merampas barang bawaan rombongan pengantin tersebut. Sang begal ketika melawan para pengawal dari Wirasaba dan Banyumas, kalah. Begal lari masuk hutan yang saat itu terkenal lebat dan wingit.

 

Napak Tilas

Napak tilas, mengikuti jejak peristiwa tersebut, sebagai peringatan dan tuntunan kepada masyarakat lahirlah tradisi Begalan. Tuntunannya, jika mengawinkan putra sulung, hendaknya diadakan upacara Begalan. Unsur utama Begalan ada tiga yaitu: Begal, orang yang dibegal, dan barang bawaan yang akan dibegal.

Nama begal dan korbannya tidak pasti, ada yang menggunakan nama Ki Karya dan Ki Guna, Gunareka – Rekaguna, Suratani – Suradenta,  Sabdaguna – Rekadaya dll, terserah kepada para pelaku. Semua barang bawaan yang diangkut dengan cara dipikul, disebut brenong kepang.

Di samping ketiga hal tersebut ada juga yang perperan sebagai penari dan juga cucuk laku. Sebagai tontonan mereka mempertunjukkan tarian, dialog, dan lawakan yang diiringi dengan musik gending dengan gamelan yang terbatas.

 

Perkakas Sebagai Slide

Barang yang dibawa melalui pikulan, brenong kepang, antara lain; ilir, ian, cething. kusan, saringan ampas, tampah, sorok, centhong, siwur, irus, kendil, dan wangkring (pikulan yang ada kakinya). Para perkakas inilah yang sesungguhnya, jaman sekarang, disebut slide, bagian dari alat bantu presentasi. Simbol-simbol yang harus dibaca dengan cermat karena penuh filosofi, nasehat hidup yang berharga.

Sementara tokoh begal harus membawa sebuah pedang kayu, sebagai senjata, disebut wlira. Pada saatnya wlira digunakan untuk memecah kendhil, menjadi pertanda bahwa upacara inti Begalan telah berakhir. Para penonton yang paham, umumnya langsung saling berebut untuk dapat memiliki salah satu barang dari brenong kepang tersebut.

 

Makna Slide

Slide dalam acara begalan, ujudnya adalah perkakas dapur yang dibawa dalam wakringan. Satu per satu tokoh begal akan bertanya tentang makna perkakas yang dibawa oleh koprban, dan segera pula dijawab oleh korbannya tentang makna “slide” yang dibawanya.

Banyak nasehat yang bermunculan hasil menterjemahkan lambang-lambang yang dalam bentuk perkakas begalan, baik untuk masyarakat umum maupun khusus untuk para pengantin.

Begitulah kreatifitas orang-orang jaman dahulu, cara menyampaikan nasehat atau petuah diujudkan dalam slide yang berupa perkakas rumah tangga.

Apa makna slide dalam bentuk; ilir, ian, cething. kusan, saringan ampas, tampah, sorok, centhong, siwur, irus, kendil, dan wangkring (pikulan yang ada kakinya)?

 

 

Fungsi dan Filosofi Perkakas Begalan

Sedikit fungsi dan makna filosofi perkakas dalam tradisi begalan, brenong kepang, antara lain sebagai berikut:

 

1.     Ilir dan ian,

ilir adalah kipas anyaman bambu lebih kurang panjang dan lebarnya 35 cm, sedangkan iyan dibuat dari anyaman bambu, berbentuk persegi, panjang dan lebarnya sama sekitar satu meter.

Ilir dan ian berpasangan, digunakan secara bersamaan untuk menghasilkan sega dengi, nasi yang enak, punel. Nasi di-ler di atas ian, lalu dikipasi pakai ilir sambil dikoleh-kaleh pakai centhong, hasilnya nasi menjadi dingin dan pulen.

Kedua perkakas ini mengandung arti bahwa sepasang suami istri harus bisa salung kerjasama untuk mendapatkan kebaikan di dalam remah tangga yang nyaman, damai dan bahagia.

 

2.     Cething, adalah tempat, wadah, nasi dari anyaman bamboo, memiliki wengku, pinggiran cething yang belingkar. Mengandung arti bahwa setiap orang yang bekeluarga telah memasuki sebuah tempat, wadhah, yang memiliki peraturan perundangan (negara, agama, organisasi), diwengku oleh tatanan hidup atau aturan-aturan tertentu, tidak bisa berbuat semaunya sendiri.

 

3.     Kusan, kukusan, alat menanak nasi dari anyaman bamboo, digunakan untuk mematangkan nasi, hasil karon. Melambangkan bahwa mereka yang telah berumah tangga, hendaknya memiliki pemikiran yang lebih matang, bijak, selalu dipikirkan masak-masak sebelum mengambil sikap dan kesimpulan.

 

4.     Saringan ampas, disebut kalo, gunanya untuk membuat air santan, memeras parutan kelapa. Memiliki filosofi bahwa orang dewasa hendaknya selalu bisa menyaring setiap berita dan peristiwa agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman. Ambil yang baik sebagai bekal kehidupan dan hindari yang buruk untuk mengindari munculnya masalah negative, saringlah semua peristiw deangan hati-hati.

 

5.     Tampah, dari kata tampa, nampa, dibuat dari anyaman bambu, berbentuk seperti piringan melingkar, biasa digunakan untuk menaruh sayuran dan menampi beras, memisahkan beras dari gabah dan kerikil. Memiliki makna bahwa suami atau istri harus legawa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, berusaha untuk memilah, mengurangi hal-hal yang buruk dan memanfaatkan potensi yang positif.

 

6.     Sorok, adalah alat memasak yang berbentuk bulat, terdapat banyak lubang, bertangkai panjang, berfungsi terutama untuk menyerok, meniriskan, mengangkat hasil goreng-gorengan. Konon memiliki makna bahwa hidup harus cermat jangan suka sarak-sorok, jangan mudah mengambil sesuatu yang bukan seharusnya, dan berusaha untuk mampu mengentaskan diri dari berbagai kesulitan, baik dalam bentuk kesulitan ekonomi sampai pun mampu mengentaskan anaknya sampai ke jenjang kedewasaan dan kemandirian berumah tangga.

 

7.     Centhong, alat untuk mengambil nasi matang, mengandung arti bahwa hidup berumah tangga hendaknya mampu mengambil kesempatan untuk mendapatkan rejeki yang baik, mampu menyediakan kebutuhan semacam makanan untuk keluarga, jangan bermalas-malasan, cekatan dan pantang mundur.

 

8.     Irus, alat masak untuk mengambil dan mencampur sayur, terbuat dari kayu atau batok kelapa. Bermakna bahwa hidup hendaknya mampu mengambil dan mengkombinasi pengetahuan dan pengalaman hidup untuk menekuni mata pencahariannya, seperti sebagai pedagang, petani, pegawai, pejabat dan profesi yang lain.

 

9.     Siwur, alat untuk mengambil dan mencurahkan air, gayung. Bermakna bahwa hidup hendaknya suka berderma, membantu orang lain ketika mendapatkan rejeki. Berusaha memberi dan memenuhi kebutuhan istri dan anaknya dengan perhitungan yang adil.

 

10.  Kendhil, adalah tempat untuk menyimpan air minum. Bahwa orang berumah tangga hendaknya mau menabung, menyimpan sesuatu yang berharga, walaupun hanya sedikit.

 

11.   Sapuada, sapu sada, sapu lidi. Bermakna bahwa di dalam berumahtangga handaknya antara suami, istri dan juga anak, selalu bergotong royong membangun keluarga yang sehat, kuat, beriman, terhormat dan menjadi teladan di masyarakat.

 

12.  Muthu dan ciri, tempat bercampurnya berbagai rasa, jika dengan resep yang terukur akan menghasilkan rasa yang mirasa, enak, nikmat. Kedua benda tersebut melambangkan bahwa di dalam berumah tangga hendaknya mampu meramu segala situasi dan kondisi, baik secara materi maupun psikologi, agar dapat mewujudkan suasana rumah tangga yang nyaman dan nikmat. Muthu dan ciri, untuk menghaluskan bumbu, artinya suami dan istri hendaknya punya perasaan yang halus, peka terhadap perasaan pasangannya.

 

13.  Kekeb, adalah alat berbentuk cembung, terbuat dari tanah liat, umumnya berfungsi sebagai penutup, seperti tutup wajan, dandang, dan juga panci. Memiliki makna bahwa suami dan istri hendaknya mampu untuk saling menutupi kekurangan pasangannya, juga dapat saling menjaga diri dan kehormatan masing-masing.

 

14.  Soled, sejenis sendok ceper terbuat dari kayu atay besi, sendok berukuran besar, digunakan untuk mengaduk sayur saat memasak atau menggoreng, memiliki makna bahwa orang berumah tangga hendaknya menyadari dinamika kehidupan, wolak-waliking jaman, jangan terlena dengan kenyamanan, rajin mengurus rumah dan tidak boleh bermalas-malasan.

 

15.  Pari, padi yang masih bergagang, memiliki makna bahwa seiring dengan waktu hendaknya rumah tangga yang dibangun semakin berisi, sejahtera, semua penghuninya tahu diri, rendah hati, ibaratnya semakin berisi semakin menunduk.

 

16.  Beras Kuning dan Uang Logam, dua barang ini dimasukkan ke dalam kendhil, dan pada saatnya akan dipecah menggunakan pedang wlira oleh pembegal. Bermakna bahwa dalam berumah tangga hendaknya punya niat untuk hidup mulia, sejahtera, dengan cara memiliki simpanan yang berharga, baik dalam bentuk materi, maupun yang non materi, seperti pahala, harga diri dan kehormatan rumah tangga.

 

17.  Janur kuning, konon dari kata jannah (surga), nur (cahaya), laku (perbuatan) dan bening (jernih), memiliki makna bahwa orang berumah tangga harus berperilaku dan punya niat yang jernih sehingga rumah tangganya di tengah masyarakat seperti memancarkan cahaya surga.

 

18.  Wangkring, adeg-adeg, semacam standar pikulan dari bambu, tempat untuk mengantungkan abrag-abrag, perlengkapan brenong kepang; memiliki makna bahwa di dalam menjalani hidup berumah tangga, berat ringan, senang susah hendaknya dinikmati bersama antara suami istri.

 

19.  Pikulan, adalah sepotong bambu atau kayu yang digunakan untuk memikul, di masing-masing ujungnya ada sebuah wangkring. Pikulan atau embatan memiliki makna bahwa suami atau istri memiliki beban yang harus dipikul bersama, masing-masing hendaknya mampu memberikan pertimbangan (embatan) jika ada maslah yang harus dipecahkan bersama.

 

Kesimpulan

Bahwa semua barang-barang yang disebut brenong kepang ternyata seperti powerpoint, memiliki makna, perlambang yang mengandung nasehat penting bagi masyarakat. Pada prakteknya tidak semua barang yang dibawa dijadikan sebagai bahan dialog dalam peristiwa begalan.

Ternyata pendahulu orang Banyumas itu, begitu istimewanya, cara mereka menyampaikan nasehat atau petuah kehidupan, halus dan jenaka, cukup melalui lambang-lambang peralatan dapur yang diujudkan dalam dialog.

Namun demikian sering terjadi kekeliruan dalam memahami adat begalan ini, ada yang berpikir bahwa peralatan dapur itu seolah-olah nyata, mengandung kekuatan yang dapat mendatangkan berkah, rejeki, dan keberuntungan. Padahal yang pasti adalah jika semua nasehat dilakukan dengan serius, niscaya kebahagiaan berumah tangga akan tercapai dengan penuh berkah.

Jadi jika saat rebutan brenong kepang Anda mendapatkan kusan, kukusan, itu adalah petunjuk, bahwa Anda dalam berumah tangga, hendaknya harus, memiliki pemikiran yang matang, lebih bijak, dan selalu memikirkan masak-masak sebelum Anda bersikap dan berkesimpulan.

Oke!

 

Semoga bermanfaat

Salam

Toto Endargo

.