Cerita Remaja
SEBUAH PUISI UNTUK TYAS
Toto Endargo
Di Perumahan Penambongan. Malam hari. Di kamarnya.
“Benarkah Pekik menyukai aku?” kata hati Tyas. Terbayang wajah Pekik
Pamungkas di angannya. Bibirnya berkemik, lirih sekali ia menyebut nama pemuda
ABG itu. Pekik siang tadi telah menulis puisi untuknya. Dan saat ini sebuah
senyum membayang di bibir Tyas. Sebuah buku yang tampak tidak bermutu karena
penuh dengan coretan dan tulisan asal-asalan ada di depannya.
===
Empat hari pada pekan ini bagaikan ada sebuah pesta. Di SMP Negeri 2
Purbalingga, di bulan April 2003. Sekolah menyajikan berbagai lomba olah raga
dan seni. Kegiatan mid semester genap. OSIS menyelenggarakan berbagai lomba
atau pertandingan antar kelas, juga antar individu. Bidang akademis, bidang
seni maupun olahraga. Seluruh siswa diberi kesempatan untuk memilih menu
kegiatan apa yang mereka mampu dan sukai.
“Ambilah dan nikmatilah apa yang kau bisa!” begitu tema yang ada di dada
setiap pengurus OSIS. Benar-benar seperti sebuah pesta, dua belas mata lomba
dilombakan, sajian yang menyenangkan bagi para siswa yang aktif.
Salah satu mata lombanya adalah karaoke. Menyanyi dengan iringan musik dari
CD Player. Seksi Karaoke mengambil tempat di selatan ruang guru. Sangat
terbuka. Siapapun boleh mendaftar. Siapapun bisa menonton seluruh peserta yang
tampil. Satu demi satu peserta tampil dan dinilai. Maka ketika siang datang,
peserta pun sudah berkurang.
Karena sudah tidak padat lagi antrean untuk tampil berkaraoke maka ada kekosongan waktu, ada jeda waktu sebelum ada peserta yang siap untuk melantunkan lagu. Di meja
petugas sekaligus sebagai tempat para juri berkeruman, kelompok Tyas ada disitu. Tyas, Wilis, Wangi,
Dita, Kinanti, Asti dan yang lain.
Sebuah buku tulis terbuka tergeletak di meja petugas. Entah buku siapa
tidak ada yang tahu. Berbagai coretan
dan tulisan membekas di buku itu. Wilis meraihnya. Dan disiapkannya sebuah ballpoint. Ia ingin menulis sesuatu.
Bibirnya berkemik. Ditulisnya sebuah kalimat yang selalu dikenangnya. Tentang
cinta pertamanya yang sangat berkesan. Walau kini telah putus hubungan, telah
berakhir cinta pertamanya, namun hal kenangan sebagai roh cinta, sangat sulit
untuk dilupakan.
“First love lies deep – cinta pertama sangat abadi” disorongkannya tulisan
itu pada Wangi. Wangi mengerutkan kening. Walau gagap dalam pelajaran Bahasa
Inggris tapi Wangi berharap dapat menterjemahkan kalimat tersebut.
“Cinta pertama adalah kebohongan yang dalam!” celemong Wangi, begitulah
menurut terjemahannya. Walau Wilis dianggapnya tidak tepat betul dalam menyusun kalimat dan menterjemahkan tulisannya sendiri, Wangi tidak hendak mempersoalkannya. Biarlah!
Dita yang ikut menyimak tulisan Wilis dan tanggapan Wangi, tak tahan menahan
bibirnya. Keluarlah kata-kata Dita dari sela bibirnya yang kadang lebih mancung
dari hidungnya.
“Ah gombal! Sebutannya saja cinta pertama! Kalau ada cinta pertama berarti
ada cinta kedua, cinta ketiga dan seterusnya. Iya kan?” pertanyan yang tak
perlu dijawab oleh kelompoknya.
“Berarti cinta pertama itu mudah dan pasti bubar sebab cinta pertama
sesungguhnya adalah awal dari perjalanan cinta-cinta berikutnya!” kata Dita
lagi sambil memutar bola matanya. Tyas yang memegang mik, hatinya tergelitik.
Ia tertarik untuk ikut memperbincangkan tentang cinta.
Tyas adalah cewek yang sepintas, sampai dia kelas III pun seperti tidak
tertarik kepada seorang cowokpun. Ia mendekat. Ia taruh mik di atas sound
system dan dengan jempol diacungkan ia nimbrung.
“Aku setuju Dita. Cinta pertama tidak abadi dan yang pasti .....” kata Tyas
sambil menulis di buku amburadul itu. Gerombolan cewek itu memperhatikan
tulisan Tyas.
“first love is foolish and full of falsehoods – cinta pertama adalah bodoh
dan penuh kepalsuan” kata Tyas, tersenyum sambil menunjuk-nunjuk hasil tulisannya.
Disorongkannya tulisan itu ke depan Wilis. Wilis merengut, ia tersinggung. Hal
yang berseberangan dengan pendiriannya. Pelecehan terhadap cinta pertamanya
yang sangat berkesan. Namun di tengah teman-temannya ia harus bersabar hati.
“Apa alasanmu menulis ungkapan seperti ini?” tanya Wilis agak sewot. Tyas
tersenyum-senyum saja. Itu memang pendapat Tyas sendiri. Bukan njiplak dari
ungkapan yang pernah didengarnya.
“Kau ingin bukti kebenaran dari ungkapan ini?” tanya Tyas kepada Wilis.
Wilis mengangguk. Tyas tersenyum.
“Tapi Wilis tidak boleh marah. Sebab contohnya dari Wilis sendiri!” Wilis
merenung, memiringkan sedikit kepalanya. Matanya yang bulat berputar.
“Coba katakan!” tantang Wilis. Tyaspun tersenyum kembali
“Contohnya mudah. Cinta pertamamu kepada Anwar, kan perilaku yang bodoh!”
“Kok, bodoh?” sergah Wilis.
“Coba keistimewaan apa yang ada pada diri Anwar. Apa coba? Mulutnya?
Otaknya? Rambutnya? Coba ...?” tantang Tyas sambil menatap Wilis.
“Terserah saya!” jawab Wilis sekenanya.
“Tapi kau kan menangis ketika kusarankan putus dengannya. Cinta pertamamu
yang bodoh binti bodong, kan?” kata Tyas.
Wilis menunduk.
Anwar memang bengal. Ia tidak serius sebagai pelajar. Nilainya jeblok.
Omongannya sering tidak bermutu. Cengengesan. Bajunya dan rambutnya tidak
pernah rapi. Pokoknya secara defacto Anwar itu wagu! Anwar adalah sang idola,
artinya di samping idiot polahe ala! Tapi bagaimana lagi? Anwar cinta pertama
Wilis. Terlanjur. Yah, diteruskan saja walaupun saat itu ia malu dan memalukan.
Wilis ingin nangis. Ada rasa kecewa. Tapi...
“Diam!” Teriak Wilis lirih. Tyas dan teman-temannya tersenyum
“Cinta pertama penuh kepalsuan!” penjelasan Tyas berikutnya.
“Pada cinta pertama isinya cuma puja dan janji. Keduanya pasti dikatakan
paling cakeplah, paling ideallah dan lah-lah yang lain. Masing-masing berjanji
akan sehidup semati. Ingin selalu berdua sampai tua! Byuuhh!” mulut Tyas
mencibir. Wilis merengut, dahinya terlipat.
“Padahal pada akhirnya bubar! Mungkin bertahan sebulan, dua bulan atau
berapalah. Tapi bubar juga kan? Seperti kamu!” kata Tyas sambil tangannya ditaruh
di pundak Wilis. Wilis jengah.
“Kenapa bubar? Sebab pada akhirnya, kedua pihak sampai kepada cinta kedua.
Bahkan bisa jadi yang satu, misalkan Wilis, saat itu masih di arena cinta pertama, tapi
yang satunya, misal Anwar, malah sudah sampai di cinta yang ketiga!” kata Tyas
seperti penuh kepuasan. Tyas seakan sedang menunjukkan sikapnya bahwa ia tidak
suka dengan cinta. Wilis diam membisu. Ada pembenaran di benaknya atas pendapat
Tyas.
Terik matahari sangat menyengat, tiba-tiba dari lapangan basket Pekik
Pamungkas menerobos gerombolan Tyas. Wajahnya memerah terkena sengatan
matahari. Tapi Pekik tetap cakep. Badannya termasuk tinggi, hidungnya mancung.
Alisnya tebal. Potongan rambutnya mirip-mirip aktor Korea, Bae Young Jun.
Namanya menunjukkan bahwa ia asli orang Jawa. Pekik artinya cakep, Pamungkas
artinya akhir. Pekik Pamungkas berarti dia diharapkan cakep sampai akhir.
Memang dia cakep. Di samping itu dia cukup sopan dan pintar.
“Aduh, aku istirahat sebentarlah! Panas banget!” keluhnya. Wajah Pekik
tampak merah hitam karena menahan terik panasnya matahari siang di lapangan
basket.
“Pekik, basket putra yang menang mana?” tanya Tyas pada Pekik. Pekik yang
ditugasi ngurusi pertandingan basket diam saja, namun menatap Tyas. Tyas
membalas dengan memelototkan matanya yang bulat. Saat itulah, sejenak kemudian
ada banyak semburat kecantikan Tyas yang terpancar lewat wajahnya. Pekik
menangkap pendar kecantikan Tyas, dipejamkannya matanya.
“Basket belum selesai. Masih istirahat!” jawab Pekik dan kemudian ia
berusaha bersandar ke meja juri karaoke. Tangannya menyentuh buku yang terbuka
di meja. Pekik paham tulisan yang ada di buku
itu, tulisan Tyas dan Wilis. Pekik sering melihat tulisan keduanya di
majalah dinding. Matanya berkerjapan. Pekik tersenyum perlahan
“Ini pasti tulisanmu, Tyas!” tebaknya, “Ini tulisanmu!” katanya sambil menunjuk
Wilis. Tyas dan Wilis mengangguk. Pekik membaca tulisan di buku itu. Lalu...!
“Pinjam ball pointnya! Boleh kan aku nulis juga di sini?” tanyanya entah
pada siapa tapi tatapan matanya pada Tyas. Tyas diam saja. Teman-temannya juga
diam. Dan dinikmatinya polah Pekik yang sudah menggeser buku itu ke depan
dirinya.
Wilis memberinya ballpoint.
“Sebuah puisi untukmu Tyas. Boleh yaa?” katanya. Kemudian tangannya
bergerak. Sambil berdiri ia menulis di meja juri. Mata Tyas menatap ujung pena.
Ada debar di dada Tyas. Dan debar itu semakin meningkat cepat seiring dengan
bulir-bulir kata yang ditulis oleh Pekik.
Puisi untuk Tyas
Langit begitu cerah di siang hari ini
Matahari terik menyengat menyentuh bumi
Semoga dikau tetap ceria di hari-harimu
Jika esok langit kan cerah kembali
Kuharap
Aku masih diberi kesempatan bersamamu
Aku masih diperkenankan melihat senyummu
dan
Aku akan selalu mengenangmu di perjalananku
dari: P. Pamungkas
“Terimakasih!” kata Pekik sambil mengembalikan ballpoint. Kemudian ia
berlari ke lapangan basket. Jadi wasit. Tyas tertegun. Diraihnya buku tulis
itu. Wilis menatapnya. Teman-teman lain ingin ikut membaca puisi Pekik. Dan
tangan Tyas yang gemetar telah menggelar buku itu di depan mereka. Memberi
kesempatan teman-temannya membacanya. Dibacanya puisi Pekik bersama-sama.
“Puisi cinta buatmu Tyas!” kata Wangi sambil memegang pipi Tyas. Tyas
tersenyum kecil. Tyas mengambil nafas panjang. Dada Wilis bagai disendal tali
kapal, hatinya ikut tersendal. Wilis membandingkan Anwar dengan Pekik.
Membandingkan dirinya dengan Tyas. Bahagialah Tyas jika mendapatkan Pekik.
Banyak teman yang menilai lebih ideal Pekik dari pada Anwar. Wilis menunduk. Ah
biarlah Pekik memilih Tyas. Tyas rasanya lebih cantik dibanding Wilis.
Tyas lebih tinggi, wajahnya cantik, sifatnya terbuka. Hidungnya lancip,
bibirnya tipis. Bibir yang sering membuat orang merasa tersinggung dengan kata-katanya
yang nyengiti. Namun bibirnya yang
tipis itulah yang juga membuat senyum Tyas bagus sekali.
Di dada Tyas ada rasa bahagia melingkar-lingkar. Desir-desir halus seakan
menyusuri seluruh tubuhnya. Ada rasa damai menyentuhnya. Ada doa di dasar kalbu:
“Ya Allah jadikan rasa ini sebagai suatu kenyataan. Bukan sekedar mimpi di
siang hari!”
Saat kegiatan usai, nampak Tyas dan Pekik jalan berdua menyusuri serambi
ruang guru. Pekik Pamungkas mengembalikan bola basket ke ruang guru. Tyas
menunggunya di pinggir kolam. Dua kuntum teratai tersenyum padanya. Kuntum
bunga Lantana bermekaran kuning-putih ada di tepi kolam, menatap Tyas. Tyas
tersenyum-senyum sendiri. Bahagia.
Matahari siang menyaksikan dua remaja ABG ini menyusuri trotoar ke arah
barat. Menyusuri Jalan Letkol Isdiman, berbincang dalam nada yang sopan.
Keduanya membuat rasa risi di hati gadis yang lain.
“First love is stupid and full falsehood but very beautiful. Cinta pertama
adalah bodoh dan penuh kepalsuan tapi
begitu indah” kata Tyas di dalam hatinya.
Ia mencoba melupakan bahwa setelah ada cinta pertama tentu ada cinta kedua. Kapan? Pada siapa? Tak tahulah!
Ia mencoba melupakan bahwa setelah ada cinta pertama tentu ada cinta kedua. Kapan? Pada siapa? Tak tahulah!
Sebuah puisi di benak Tyas!
Pekik,
Di pintumu aku mengetuk
Aku tak ingin berpaling
===
Purbalingga, 27 April 2003
Untuk “sahabatku”
Terimakasih untuk para alumni 2003/2004,
karena kalianlah ceritera ini saya tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar