Kadipaten Mesir di Onje
Toto Endargo
Ada peribahasa atau ungkapan dalam bahasa Jawa bahwa “desa mawa cara, negara mawa tata” yang artinya bahwa setiap desa, setiap negara mempunyai cara dan aturan masing-masing sesuai kondisi setempat. Kondisi suatu wilayah inilah yang menimbulkan cerita yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Bagian dari cerita yang ada di Kabupaten
Purbalingga adalah Desa Onje, Kecamatan Mrebet. Desa yang menjadi sumber cerita cikal bakal
para adipati di Kabupaten Purbalingga. Seperti umumnya sebuah desa tentu terdiri
dari beberapa padukuhan. Dukuh atau sekarang secara umum disebut sebagai dusun.
Beberapa nama dukuh di Onje adalah Dukuh Onje, Dukuh Pagendolan, Dukuh Mesir,
Dukuh Pedhalangan, Dukuh Banawati dan Dukuh Kutabangsa.
Nama dukuh yang cukup menarik adalah
Dukuh Mesir. Menarik sebab nama Mesir adalah nama negara di Benua Afrika bagian
timur-laut, di sisi Laut Merah, bertetangga dengan negara-negara di jazirah Arab.
Secara umum nama Mesir sangat berhubungan dengan kisah nabi Musa. Kenapa di
dusun terpencil ini memakai nama Mesir, nama dari sebuah negara yang besar dan
termasyhur? Berikut inilah konon cerita sepintas tentang Dukuh Mesir di Desa
Onje.
Dukuh Mesir berada di Onje sebelah
timur, di seberang timur sungai Klawing. Jika ingin ke Dukuh Mesir dapat
menggunakan sepeda motor. Dari depan Masjid Sayid kuning ke timur sedikit lalu
belok kanan di pertigaan gang beraspal. Lewat gang beraspal ini terus ke
selatan sampai menemukan pertigaan yang ke arah timur. Arah timur ini menuju ke
pinggir Sungai Klawing, tempat wisata tubing. Ada jembatan sederhana melintang
di atas Sungai Klawing. Jembatan dibuat dari besi, berpandasi beton, sebagai
alas jembatan, dulu dari papan kayu, namun kini sudah diganti dengan lempengan
besi, lebar jembatan sekitar dua meter. Dari jembatan ini harus belok kanan,
arah ke selatan dan menyusuri tepi sungai, lurus terus sampai melewati dua
jembatan. Jembatan pertama pembatasnya dibuat dari semen, namanya Kali Onje.
Berikutnya menjelang jalan naik yang cukup curam ada jembatan lagi dengan
pembatas dibuat dari besi, namanya Kali Bogo. Setelah jalan menanjak akan
terlihat bangunan seperti pintu gerbang Majapahit, itulah pintu gerbang situs
di Dukuh Mesir.
Rara Surtikanti
Cerita tentang Dukuh Mesir yang berhubungan erat dengan Kadipaten Onje dimulai dari putri cantik yang menjadi istri Adipati Tegal, Rara Surtikanti, lebih terkenal dengan nama Surti. Bahwa Kadipaten Onje pada akhirnya diperintah oleh dua orang adipati. Penguasa pertama adalah Ki Tepus Rumput yang diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Kyai Adipati Ore-ore. Penguasa kedua adalah Adipati Anyakrapati, anak "tiri" Ki Tepusrumput.
Seperti diketahui bersama bahwa istri
pertama Adipati Onje II, Adipati Anyakrapati adalah Dewi Pakuwati, putri
Adipati Cipaku. Dari pernikahan ini menurunkan dua putra dan satu putri. Raden
Mangunjaya, Raden Cakrakesuma dan Rara Banawati. Sebagai putra-putri adipati
maka ketiganya diberi wilayah dan tempat tinggal di barat Kadipaten Onje.
Rara Kuningwati dinikahkan dengan
Ngabdullah Syarif. Ngabdullah Syarif adalah penghulu Kadipaten Onje, seorang
ulama mumpuni, pengelola dan pengurus serta Imam Besar di Masjid Onje. Setelah memperistri
putri Adipati Onje, Ngabdullah Syarif, yang berasal dari Cirebon ini diberi gelar
sebagai Raden Sayyid Kuning.
Rara Surtikanti, lebih dikenal dengan nama Surti. Sejak kecil ia akrab dengan Ki Lebdakandhah. Setiap ki dhalang mengadakan pentas, Rara Surti ingin dan minta selalu di sampingnya. Dari keakraban keduanya, maka Surti lebih pantas sebagai anak ki dhalang dibandingkan sebagai putri adipati.
Dusun Limbuk
Ada
satu dukuh lagi yang menggunakan nama unik dari tokoh wayang perempuan, biyung
emban, Limbuk. Dukuh Limbuk ada di sebelah timur dukuh Mesir. Dukuh Limbuk masuk wilayah Desa Banjaran, Kecamatan Bojongsari. Dari Dusun Mesir belok ke kiri, ke timur, dengan mengikuti jalan yang sedikit berliku dan menanjak sampailah di Dukuh Limbuk.
Punden yang ada di Dukuh Limbuk adalah Ki Salapadha dan istrinya yang dimakamkan di Dukuh Limbuk. Keduanya meninggal ketika ada serangan Belanda. Dipercaya bahwa wulu wetu, hasil bumi, hasil menderes menyadap nira, membuat gula diyakini oleh penduduk Dukuh Limbuk bahwa semuanya penuh berkah.
Ada tempat yang cukup menarik pula, namanya Pejahjaran. Dahulu kala ketika ada perang Diponegoro, kuda-kuda perang sampai juga ke wilayah Limbuk ini. Pertempuran dengan naik kuda terjadi. Beberapa kuda terkena senjata dan mati. Kuda mati inilah yang memunculkan nama Pejahjaran, kadang dijelaskan malah jadi Pejajaran. Padahal yang benar Pejahjaran. Pejah bahasa jawa krama artinya: mati. Jaran nama lain dari: kuda. Jadi Pejahjaran artinya Kuda tewas. Tewas dalam pertempuran.
Di samping cerita di atas, dikisahkan pula bahwa dahulu ada seorang dari Dukuh Limbuk yang sangat sakti. Tokoh ini memiliki kesaktian linuwih yaitu dapat mengubah dirinya menjadi seekor harimau Siliwangi. Karena Macan Siliwangi dari Pejajaran maka ajiannya disebut sebagai ajian Pejajaran. Tokoh ini dimakamkan di sekitar perbatasan Desa Onje dengan Desa Sindang, makamnya disebut sebagai Makam Pejajaran.
Menarik sekali untuk membicarakan keunikan di Desa Onje. Dengan nama-nama yang tersaji di wilayah Onje ini maka dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan wayang dahulu sepertinya sangat favorit di Kadipaten Onje.
Suatu hari Rara Surtikanti sebagai
remaja yang cantik, di usia 17 tahun, diajak oleh ayah angkatnya untuk
mendampinginya ikut pentas di Kadipaten Tegal. Melihat kecantikan Rara Surti, Sang Adipati Tegal sangat terpesona dan jatuh cinta. Adipati Tegal segera melamarnya
untuk diperistri. Rara Surtikanti
mendampingi suaminya bertempat tinggal di Tegal. Dari perkawinan Adipati Tegal dengan Putri
Surtikanti lahirlah bayi laki-laki
sebagai turus keturunan Ki Adipati Anyakrapati. Cucu
adipati Onje dari adipati Tegal ini diberi nama Raden Nur Alim. Nur Alim tumbuh
dengan pendidikan dari dua sisi yang agak berbeda. Sisi ibunya adalah budaya
kesenian, budaya tuntunan dan hiburan. Budaya yang diambilkan dari cerita
Mahabarata – Ramayana. Sedang dari sisi ayahnya yang Adipati Tegal diajarkan
tentang budi pekerti beragama. Ia mendapat cerita-cerita dari kisah para nabi.
Cerita-cerita dari wilayah Timur-Tengah, Irak, Iran, Arab, Mesir bahkan sampai
Turki. Dengan kombinasi inilah Nur Alim bersikap, menghayati dan memaknai
hidup.
Rara Surtikanti
Cerita tentang Dukuh Mesir yang berhubungan erat dengan Kadipaten Onje dimulai dari putri cantik yang menjadi istri Adipati Tegal, Rara Surtikanti, lebih terkenal dengan nama Surti. Bahwa Kadipaten Onje pada akhirnya diperintah oleh dua orang adipati. Penguasa pertama adalah Ki Tepus Rumput yang diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Kyai Adipati Ore-ore. Penguasa kedua adalah Adipati Anyakrapati, anak "tiri" Ki Tepusrumput.
![]() |
Peta Desa Onje - Dukuh Mesir |
Adipati Anyakrapati gemar sekali
dengan kesenian wayang maka nama anak-anaknya diambil dari tokoh wayang.
Adipati Anyakrapati mengagumi tokoh Prabu Salya dari Mandaraka yang memenangkan
sayembara di Negara Mandura dengan ajian Candrabirawanya. Istri Prabu Salya bernama
Dewi Pujawati atau Dewi Setyawati. Dewi Setyawati adalah putri yang sangat cantik
dan setia yang diberikan oleh Begawan Bagaspati kepada Prabu Salya. Anak-anak
Prabu Salya bernama Dewi Erowati, Banowati dan Surtikanti.
Ada seorang dhalang yang menjadi kesayangan
Adipati Anyakrapati. Dhalang tersebut diangkat sebagai dhalang kadipaten,
diberi nama Ki Lebdakandhah. Dhalang ini lebih mahir memainkan wayang golek
dibandingkan memainkan wayang kulit. Maka Ki Lebdakandhah lebih terkenal
sebagai dhalang wayang golek daripada dhalang wayang kulit. Ki Lebdakandhah dan
keluarganya dibuatkan rumah, diberi fasilitas wayang, gending, dan kebutuhan
yang lain. Kini bekas mukim sang dhalang dikenal dengan nama Dukuh Pedhalangan.
Istri kedua Adipati Onje II, bernama
Dewi Kelingwati, putri Adipati Pasirluhur. Sebuah kadipaten yang wilayahnya
luas dan disegani sejak jaman kerajaan Demak. Dari perkawinannya dengan Adipati
Onje II ini Dewi Kelingwati dikaruniai dua orang anak perempuan yaitu Rara
Kuningwati dan Rara Surtikanti.
Rara Surtikanti, lebih dikenal dengan nama Surti. Sejak kecil ia akrab dengan Ki Lebdakandhah. Setiap ki dhalang mengadakan pentas, Rara Surti ingin dan minta selalu di sampingnya. Dari keakraban keduanya, maka Surti lebih pantas sebagai anak ki dhalang dibandingkan sebagai putri adipati.
Ketika ada peristiwa tragis nan
memilukan di Kadipaten Onje, yaitu terbunuhnya kedua istri Adipati Anyakrapati
oleh Sang Adipati sendiri. Usia
Rara Surtikanti waktu itu sekitar 6 tahun. Ibunda Rara Surtikanti ikut menjadi korban dan meninggal dunia. Kepergian ibunya pun menjadikan Surti seakan
kehilangan kedua orang tuanya. Surti semakin lengket dengan Ki Dhalang
Lebdakandhah. Surti semakin suka ikut pentas bersama Ki Dhalang Lebdakandhah. Rara
Surti kepada Ki Dhalang menganggapnya sebagai ayah angkat. Hingga pada akhirnya
Rara Surti suka juga belajar kesenian wayang, sedikit-sedikit belajar menjadi
sinden.
Seiring dengan perjalanan waktu usia Rara Surtikanti menginjak remaja dewasa, umur 17 tahun. Suatu hari Surti diajak ayah angkatnya pentas di Kadipaten Tegal. Adipati Tegal terpikat dengan kecantikan sang putri Onje ini. Melamarnya dan keduanya menikah di Tegal. Dari pernikahan ini Surti dikaruniai seorang anak laki-laki.
Karena mengikuti kehendak putranya yang ingin menetap di daerah Onje, Rara Surti pun akhirnya menetap dan kembali ke Onje. Akhirnya kembali menghadap Tuhan di Onje juga. Konon Rara Surti makamnya ada di dekat makam kakeknya, Ki Tepusrumput. Tepatnya di sebuah bukit yang kini disebut sebagai Igir Surti. Namun karena dahulu ada bencana alam, tanah terban, tanah ambles yang melanda Igir Surti maka bencana ini mengakibatkan makam kedua tokoh Onje ini ikut terkubur tiada tersisa. Igir Surti letaknya di sebelah timur Desa Onje, masuk wilayah Desa Tangkisan.
Seiring dengan perjalanan waktu usia Rara Surtikanti menginjak remaja dewasa, umur 17 tahun. Suatu hari Surti diajak ayah angkatnya pentas di Kadipaten Tegal. Adipati Tegal terpikat dengan kecantikan sang putri Onje ini. Melamarnya dan keduanya menikah di Tegal. Dari pernikahan ini Surti dikaruniai seorang anak laki-laki.
Karena mengikuti kehendak putranya yang ingin menetap di daerah Onje, Rara Surti pun akhirnya menetap dan kembali ke Onje. Akhirnya kembali menghadap Tuhan di Onje juga. Konon Rara Surti makamnya ada di dekat makam kakeknya, Ki Tepusrumput. Tepatnya di sebuah bukit yang kini disebut sebagai Igir Surti. Namun karena dahulu ada bencana alam, tanah terban, tanah ambles yang melanda Igir Surti maka bencana ini mengakibatkan makam kedua tokoh Onje ini ikut terkubur tiada tersisa. Igir Surti letaknya di sebelah timur Desa Onje, masuk wilayah Desa Tangkisan.
Dusun Limbuk
![]() |
Punden - Salapada |
Punden yang ada di Dukuh Limbuk adalah Ki Salapadha dan istrinya yang dimakamkan di Dukuh Limbuk. Keduanya meninggal ketika ada serangan Belanda. Dipercaya bahwa wulu wetu, hasil bumi, hasil menderes menyadap nira, membuat gula diyakini oleh penduduk Dukuh Limbuk bahwa semuanya penuh berkah.
![]() |
Brug gantung. Banjaran - Limbuk |
Di samping cerita di atas, dikisahkan pula bahwa dahulu ada seorang dari Dukuh Limbuk yang sangat sakti. Tokoh ini memiliki kesaktian linuwih yaitu dapat mengubah dirinya menjadi seekor harimau Siliwangi. Karena Macan Siliwangi dari Pejajaran maka ajiannya disebut sebagai ajian Pejajaran. Tokoh ini dimakamkan di sekitar perbatasan Desa Onje dengan Desa Sindang, makamnya disebut sebagai Makam Pejajaran.
Menarik sekali untuk membicarakan keunikan di Desa Onje. Dengan nama-nama yang tersaji di wilayah Onje ini maka dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan wayang dahulu sepertinya sangat favorit di Kadipaten Onje.
Raja Namrut
![]() |
Jalan Menuju Dusun Mesir |
Setelah dewasa cucu
Adipati Onje II ini ingin menetap di Onje, tempat buyutnya babad, trukah negeri Onje. Namun buyut dan kakeknya sudah meninggal dunia. Tak ada yang bersedia menggantikan jabatan buyut dan kakeknya.
Kadipaten Onje suwung. Sebagian besar keturunan Sang
Adipati Onje II justru lebih senang bertani daripada
berkuasa menjadi adipati. Kadipaten Onje pun telah surut, dan
bukan lagi tempat untuk seorang adipati. Raden Nur Alim pun tidak mau meneruskan pemerintahan Onje yang sudah
dinodai oleh peristiwa pembunuhan terhadap neneknya itu.
Sang cucu Adipati Onje II ini kemudian tinggal di Onje. Namun tidak mau bertempat tinggal di barat
Sungai Klawing, tempat Adipati Onje II berkuasa. Ia ingin membangun kadipaten
di sebelah timur Sungai Klawing seperti yang pernah didirikan oleh Ki
Tepusrumput, buyutnya.
Akhirnya setelah bersemedi Raden Nur
Alim memilih tempat di tekukan Sungai Klawing. Belokan Sungai Klawing seakan memeluk Negeri Mesir. Di sebelah tenggara Kadipaten Onje
II dan di sebelah selatan Kadipaten Onje I. Raden Nur Alim bercita-cita jadi raja besar.
Tempat tinggalnya diberi nama Negeri Mesir. Negeri besar yang
dikenalnya dalam cerita Nabi Musa. Dan gelar untuk dirinya adalah Raja Namrut. Nama raja yang dikenalnya dalam cerita Nabi
Ibrahim. Raja yang cerdas, gigih, sombong namun punya kekuasaan yang sangat
luas. Lama kelamaan
banyak orang yang tunduk kepada cucu Adipati Onje II ini. Bahkan menurut cerita Mesir dijadikan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang sakti dari kawasan Banyumas, di jaman itu.
Di Slinga, sebuah desa
tetangga Mesir, Raja Namrut membangun sebuah benteng dan sebuah saluran air
yang dalam, bangunan tersebut dimaksudkan untuk keamanan Negeri Mesir. Ia berharap Mesir menjadi kerajaan yang besar dan luas. Di sekitar kadipaten dibuat pula benteng
pertahanan berupa parit yang dalam. Melingkar hingga bertemu dengan dalamnya
tebing Kali Boga di utara kadipaten. Dengan demikian setiap musuh yang datang ke Negeri Mesir dapat terawasi. Jika menyerang akan terhalang lebih dahuluoleh derasnya Sungai Klawing. Sebelah timur Negeri Mesir terdapat bentang alam berupa pegunungan sebagai benteng pengamatan dan pertahanan, dan disebut sebagai Pager Gunung. Raja Namrut benar-benar memperhitungkan keamanan dan kenyamanan negerinya.
Hingga pada suatu hari ada utusan dari Raja Mataram, sebagai penerus kerajaan Pajang, mengharap Raja
Namrut agar bersedia menghadap ke Raja Mataram. Raja Namrut merasa terhina dan berniat memberontak. Sifat sombong dan suka marah meluap seketika. Ia
tidak ingin tunduk kepada Raja Mataram. Namun beruntung, atas saran dan bujukan dari para kerabatnya, yang
berpendapat bahwa Mataram adalah negara yang sangat kuat dan besar, Mataram tidak boleh dianggap remeh, maka Raja Namrut pun
urung memberontak ke Mataram. Ia pun pada akhirnya tunduk terhadap kekuasaan Mataram.
Situs di Dukuh Mesir
![]() |
JOGLO DI ATAS SITUS |
Konon ada seorang kyai dari Kendal, Jawa Tengah yang
mendapat wangsit untuk membangun petilasan, makam kuno, di Dukuh Mesir ini. Maka dengan
menggandeng rekanan di wilayah Purbalingga, dan dengan dalih mendapat ijin dari Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang maka hadirlah orang-orang ke Dukuh Mesir. Mereka datang ke Dukuh Mesir, mencermati apa yang ada di dalam situs, membongkar, menggali dan membangun bangunan baru di situs yang
belum maksimal digali sejarahnya itu.
![]() |
DUA BATU YANG AWALNYA DI POJOK BATUR |
![]() |
MAKAM DI DALAM JOGLO |
Busyeeet!
Segera pembangunan di Dukuh Mesir ini
dihentikan. Kyai Kendal pun kabur. Nasi telah menjadi bubur. Situs sudah rusak dan tak mungkin
dikembalikan lagi. Keaslian situs di Dukuh Mesir tak lagi ada. Yang ada
bangunan baru, setengah jadi, yang konon adalah mushola. Kalau mushola kenapa di dalamnya ada
dua makam. Ada tonggak kayu setinggi satu meter. Kini kedua makam ini ditutupi dengan kain hijau mengelilingi empat sisi
bangunan joglo.
Sedih!
Purbalingga, 26 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar