Senin, 06 Maret 2017

KUDA PINTU

Cerita Anak
Kuda Pintu
Toto Endargo

Pulang sekolah Gomang segera meletakkan tas sekolahnya di lantai, di pojok kamar. Bagian dari kebiasaan buruk yang dilakukannya setiap hari. Celana dan baju sekolah dilemparkan saja di depan kamar mandi. Ibunya setiap kali harus menasehatinya agar dapat berlaku baik dan tertib. Tapi kebiasaan buruk ini tidak juga berangsur baik, tetap dilakukannya tiap hari dan setiap kali. Dengan demikian setiap kali pula ibunya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala.

Kebiasaan anak taman kanak-kanan ini ada lagi yang cukup menyebalkan. Gomang sangat suka bermain Play Station dan menonton TV, di kamarnya setiap pulang sekolah. Barangkali salahnya orangtua juga kenapa dibelikan perangkat Play Station. Yang terjadi adalah seperti dua kutub magnet yang berbeda muatan, selalu ingin lengket saja, begitulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara tangan Gomang dengan remot TV atau stik PS. Sungguh menyebalkan, karena hal tersebut menjadikan anak malas belajar, malas berkegiatan lain yang lebih kreatif. Malas pula beraktivitas yang menggunakan tenaga, sejenis olah raga. Posisi tubuh menjadi terbiasa statis di depan layar TV.
Siang kali ini pun begitu, sepulang sekolah, segera disambarnya remot TV. Mulutnya bernyanyi perlahan.  Baju dan celana sekolah dilempar. Hanya bercelana dalam dan berkaos singlet ia memperhatikan layar TV.
"Gomang cuci kaki dulu!" teriak lbunya. Ibunya sangat perhatian dan sayang padanya. Tapi kali ini pun, seperti juga kali yang lain. Perintah Ibunya hanya dijawab dengan teriakan "Ya... Buu.. !" Sementara Gomang tetap tidak beranjak dari remotnya di depan TV. Ia menunggu perintah ibunya sampai tiga-empat kali lagi.
Gomang dengan malas mencuci muka dan kakinya. Lalu kembali ke kamar, memegang remot TV. Ia seakan tiada merasa lapar sepulang sekolah.
"Makan dulu, Gomaaang!" perintah ibunya ketika ia berganti memegang stik PS. Gomang yang baru saja cuci muka dan cuci kaki sudah naik ke tempat tidur sambil mengendalikan stiknya.
Saat ini ia suka CD PS tentang balapan kuda. Gomang kini sedang mengendalikan kuda yang bernama Tunder Value. Kuda berwarna coklat, badannya langsing tinggi, jika berjalan kepalanya mengangguk-angguk dan ekornya mengibas-ibas. Gagah dan meyakinkan untuk memenangkan balapan.
“Yaa Buu ... !" kembali jawaban khasnya melengking tinggi menggema di kamarnya yang sekarang dikunci dari dalam. Ibunya sudah dua kali memintanya untuk segera makan. Perutnya belum begitu lapar. Dia tadi makan rames di kantin sekolah. Lebih asyik main PS dari pada makan siang.
Sembilan ekor kuda nampak saling kejar di layar TV. Gomang sibuk mengatur tombol stik. Sinar matanya berkilat-kilat. Mulutnya bergerak komat-kamit mengikuti irama lari kuda Tunder Value, jagoannya.
"Horre, menang! Menang!” teriaknya kegirangan. Kini ia turun dari tempat tidur. Membuka pintu bufet. Di atas bufet inilah PS dan TV-nya bertengger. Ada banyak CD PS di dalam bufet. Ia jongkok di depan bufet dan memilih-milih CD. Lututnya digerak-gerakkan untuk menggoyang-goyang pintu bufet. Tiga menit kemudian ia telah berdiri di samping pintu bufet dengan sebuah CD balap kuda yang lain.
Hatinya gembira. Ia membayangkan dirinya sebagai joki. Penunggang kuda balap yang tangguh. Tapi tentu saja di kamar itu tidak ada kuda sungguhan. Tidak ada kuda yang bisa dinaikinya. Pintu bufet yang tingginya sekitar sepuluh centimeter lebih tinggi jika dibandingkan dengan tinggi selangkangan Gomang, menarik perhatiannya. Apalagi saat pintu bufet itu sedang bergoyang-goyang. Ditatapnya pintu bufet degan tajam. Ada ide merasuki pikirannya.
“Inilah kuda balapku!” kata hatinya. Ia sangat girang, maka dibelainya daun pintu bufet. Gomang merasa mendapat mainan baru. Ia tertawa sendiri di kamar yang terkunci dari dalam itu. Dia berniat untuk duduk di atas pintu bufet yang sedang terbuka itu. Naik kuda pintu. Naik kuda Tunder Value.
Sementara dari luar kamar ibunya mengetuk-ketuk pintu. Demi keamanan, anak kecil tidak boleh di dalam kamar sendirian dengan pintu terkunci. Kalau terjadi sesuatu sulit untuk segera menolongnya. Di samping itu saat ini Gomang harus makan siang.
“Buka pintunya! Makan dulu, baru mainan!” kata ibunya dari luar sambil mengetuk pintu kamar. Gomang merasa terganggu. Namun dibukanya juga pintu kamarnya, “Semakin cepat pintu kamar dibuka, akan semakin cepat ibunya berlalu!" pikirnya.
Benar!
"Tidak usah dikunci!" pinta ibunya sambil menaruh sepiring nasi dengan lauknya di meja belajar. Gomang memang sering makan di meja belajar. Ibunya keluar sambil menutup pintu kembali. Tidak ditutup rapat. "Tidak usah dikunci!" pesan Ibunya lagi.
Begitu ibunya ke luar kamar. Gomang segera mengambil selimut. Ditaruhnya selimut itu di pintu bufet. Dibuatnya menjadi seperti pelana kuda balap. Gomang segera ancang-ancang untuk meloncat. Ia bermaksud menempatkan pantatnya, duduk di pintu bufet yang berpelana selimut itu. Ia pun dengan gagahnya meloncat.
 “Yaap!” teriaknya sambil menghentakkan kedua sikunya ke belakang.
Gayanya seperti joki meloncat naik kuda balap... huup! Gropyak!  Engsel pintu bufet tak kuasa menahan berat badannya. Gomang terkesiap! Jantungnya bagai terpisah dari badannya. Melayang sejenak.
Gedhubrag!
Gomang jatuh tanpa kendali. Kepalanya membentur tempat tidur yang ada di belakangnya. Beruntung membentur bagian yang empuk. Gomang tergelepar. Ia meringis. Ingin menangis tapi malu. Jantungnya berdebaran.
Begitu mendengar suara gedhubrag, Ibunya segera masuk ke kamar. Menurut Gomang tiba-tiba saja ibunya seperti sudah ada di sisinya. Gomang kini duduk termangu. Pandangannya kosong.
Busyeet! Ibunya menatap dengan tajam, diperhatikannya Gomang. Rupanya tak ada cedera pada dirinya. Ibunya mengambil nafas panjang. Panjang sekali! Gomang menundukkan muka. Malu untuk mengangkat mukanya.
“Oh, Gomang barusan naik kuda pintu ya?" tanya Ibunya penuh selidik. Ada selimut yang menempel di daun pintu bufet yang kini terjerembab. Layar TV masih menyajikan tayangan balap kuda dari perangkat PS.
“Iya, Bu!” jawab Gomang lirih. Ada rasa sakit di selangkangannya. Ditahannya rasa sakit itu. Ia malu memberitahu Ibunya.
Gomang masih gemetar saat Ibunya membelai kepalanya, memeriksa keadaan dirinya akibat jatuh naik kuda pintu.
“Makanya turuti kata-kata ibumu!” kata ibunya sambil membimbing Gomang ke meja makan. Ada rasa kasih dan kasihan yang terpancar dari sikap dan sorot mata Ibunya.
“Jangan lagi-lagi naik kuda pintu ya!” Gomang hanya mengangguk pelan. Di batin ia berjanji untuk menuruti nasehat Ibunya.
Kapok! Takan ada lagi naik kuda pintu di kamar Gomang.
Rasain!


Purbalingga, 24 September 2003


Tidak ada komentar:

Posting Komentar