Cerita Anak
Kuda Pintu
Toto Endargo
Pulang sekolah Gomang segera meletakkan
tas sekolahnya di lantai, di pojok kamar. Bagian dari kebiasaan buruk yang
dilakukannya setiap hari. Celana dan baju sekolah dilemparkan saja di depan
kamar mandi. Ibunya setiap kali harus menasehatinya agar dapat berlaku baik dan
tertib. Tapi kebiasaan buruk ini tidak juga berangsur baik, tetap dilakukannya
tiap hari dan setiap kali. Dengan demikian setiap kali pula ibunya hanya dapat menggeleng-gelengkan
kepala.
Kebiasaan anak taman kanak-kanan
ini ada lagi yang cukup menyebalkan. Gomang sangat suka bermain Play Station
dan menonton TV, di kamarnya setiap pulang sekolah. Barangkali salahnya
orangtua juga kenapa dibelikan perangkat Play Station. Yang terjadi adalah
seperti dua kutub magnet yang berbeda muatan, selalu ingin lengket saja, begitulah
perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara tangan Gomang dengan
remot TV atau stik PS. Sungguh menyebalkan, karena hal tersebut menjadikan anak
malas belajar, malas berkegiatan lain yang lebih kreatif. Malas pula
beraktivitas yang menggunakan tenaga, sejenis olah raga. Posisi tubuh menjadi terbiasa
statis di depan layar TV.
Siang kali ini pun begitu, sepulang
sekolah, segera disambarnya remot TV. Mulutnya bernyanyi perlahan. Baju dan celana sekolah dilempar. Hanya bercelana
dalam dan berkaos singlet ia memperhatikan layar TV.
"Gomang cuci kaki
dulu!" teriak lbunya. Ibunya sangat perhatian dan sayang padanya. Tapi
kali ini pun, seperti juga kali yang lain. Perintah Ibunya hanya dijawab dengan
teriakan "Ya... Buu.. !" Sementara Gomang tetap tidak beranjak dari
remotnya di depan TV. Ia menunggu perintah ibunya sampai tiga-empat kali lagi.
Gomang dengan malas mencuci muka
dan kakinya. Lalu kembali ke kamar, memegang remot TV. Ia seakan tiada merasa
lapar sepulang sekolah.
"Makan dulu, Gomaaang!"
perintah ibunya ketika ia berganti memegang stik PS. Gomang yang baru saja cuci
muka dan cuci kaki sudah naik ke tempat tidur sambil mengendalikan stiknya.
Saat ini ia suka CD PS tentang balapan
kuda. Gomang kini sedang mengendalikan kuda yang bernama Tunder Value. Kuda
berwarna coklat, badannya langsing tinggi, jika berjalan kepalanya mengangguk-angguk
dan ekornya mengibas-ibas. Gagah dan meyakinkan untuk memenangkan balapan.
“Yaa Buu ... !" kembali jawaban
khasnya melengking tinggi menggema di kamarnya yang sekarang dikunci dari dalam.
Ibunya sudah dua kali memintanya untuk segera makan. Perutnya belum begitu
lapar. Dia tadi makan rames di kantin sekolah. Lebih asyik main PS dari pada makan
siang.
Sembilan ekor kuda nampak saling
kejar di layar TV. Gomang sibuk mengatur tombol stik. Sinar matanya
berkilat-kilat. Mulutnya bergerak komat-kamit mengikuti irama lari kuda Tunder Value,
jagoannya.
"Horre, menang! Menang!” teriaknya
kegirangan. Kini ia turun dari tempat tidur. Membuka pintu bufet. Di atas bufet
inilah PS dan TV-nya bertengger. Ada banyak CD PS di dalam bufet. Ia jongkok di
depan bufet dan memilih-milih CD. Lututnya digerak-gerakkan untuk menggoyang-goyang
pintu bufet. Tiga menit kemudian ia telah berdiri di samping pintu bufet dengan
sebuah CD balap kuda yang lain.
Hatinya gembira. Ia membayangkan dirinya
sebagai joki. Penunggang kuda balap yang tangguh. Tapi tentu saja di kamar itu
tidak ada kuda sungguhan. Tidak ada kuda yang bisa dinaikinya. Pintu bufet yang
tingginya sekitar sepuluh centimeter lebih tinggi jika dibandingkan dengan
tinggi selangkangan Gomang, menarik perhatiannya. Apalagi saat pintu bufet itu sedang
bergoyang-goyang. Ditatapnya pintu bufet degan tajam. Ada ide merasuki
pikirannya.
“Inilah kuda balapku!” kata
hatinya. Ia sangat girang, maka dibelainya daun pintu bufet. Gomang merasa mendapat
mainan baru. Ia tertawa sendiri di kamar yang terkunci dari dalam itu. Dia
berniat untuk duduk di atas pintu bufet yang sedang terbuka itu. Naik kuda pintu.
Naik kuda Tunder Value.
Sementara dari luar kamar ibunya
mengetuk-ketuk pintu. Demi keamanan, anak kecil tidak boleh di dalam kamar
sendirian dengan pintu terkunci. Kalau terjadi sesuatu sulit untuk segera
menolongnya. Di samping itu saat ini Gomang harus makan siang.
“Buka pintunya! Makan dulu, baru
mainan!” kata ibunya dari luar sambil mengetuk pintu kamar. Gomang merasa terganggu.
Namun dibukanya juga pintu kamarnya, “Semakin cepat pintu kamar dibuka, akan semakin
cepat ibunya berlalu!" pikirnya.
Benar!
"Tidak usah dikunci!" pinta
ibunya sambil menaruh sepiring nasi dengan lauknya di meja belajar. Gomang
memang sering makan di meja belajar. Ibunya keluar sambil menutup pintu kembali.
Tidak ditutup rapat. "Tidak usah dikunci!" pesan Ibunya lagi.
Begitu ibunya ke luar kamar. Gomang
segera mengambil selimut. Ditaruhnya selimut itu di pintu bufet. Dibuatnya menjadi
seperti pelana kuda balap. Gomang segera ancang-ancang untuk meloncat. Ia
bermaksud menempatkan pantatnya, duduk di pintu bufet yang berpelana selimut
itu. Ia pun dengan gagahnya meloncat.
“Yaap!” teriaknya sambil menghentakkan kedua
sikunya ke belakang.
Gayanya seperti joki meloncat
naik kuda balap... huup! Gropyak! Engsel
pintu bufet tak kuasa menahan berat badannya. Gomang terkesiap! Jantungnya bagai
terpisah dari badannya. Melayang sejenak.
Gedhubrag!
Gomang jatuh tanpa kendali. Kepalanya
membentur tempat tidur yang ada di belakangnya. Beruntung membentur bagian yang
empuk. Gomang tergelepar. Ia meringis. Ingin menangis tapi malu. Jantungnya berdebaran.
Begitu mendengar suara gedhubrag, Ibunya segera masuk ke kamar.
Menurut Gomang tiba-tiba saja ibunya seperti sudah ada di sisinya. Gomang kini
duduk termangu. Pandangannya kosong.
Busyeet! Ibunya menatap dengan tajam,
diperhatikannya Gomang. Rupanya tak ada cedera pada dirinya. Ibunya mengambil
nafas panjang. Panjang sekali! Gomang menundukkan muka. Malu untuk mengangkat mukanya.
“Oh, Gomang barusan naik kuda
pintu ya?" tanya Ibunya penuh selidik. Ada selimut yang menempel di daun
pintu bufet yang kini terjerembab. Layar TV masih menyajikan tayangan balap
kuda dari perangkat PS.
“Iya, Bu!” jawab Gomang lirih.
Ada rasa sakit di selangkangannya. Ditahannya rasa sakit itu. Ia malu memberitahu
Ibunya.
Gomang masih gemetar saat Ibunya
membelai kepalanya, memeriksa keadaan dirinya akibat jatuh naik kuda pintu.
“Makanya turuti kata-kata ibumu!”
kata ibunya sambil membimbing Gomang ke meja makan. Ada rasa kasih dan kasihan yang
terpancar dari sikap dan sorot mata Ibunya.
“Jangan lagi-lagi naik kuda pintu
ya!” Gomang hanya mengangguk pelan. Di batin ia berjanji untuk menuruti nasehat
Ibunya.
Kapok! Takan ada lagi naik kuda
pintu di kamar Gomang.
Rasain!
Purbalingga, 24 September 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar