Cerita
Remaja
IBUMU LAGI
Toto Endargo
SMP
Negeri 2 Purbalingga
Kisah
sekitar tahun 2005. “Bahwa cinta tak pandang usia” begitu kata hati Etha. Maka
tak heran gadis manis yang bernama Etha ini jatuh hati kepada adik kelasnya. “Rasanya
naif banget. Ah, peduli amat!! Menurut UUD 1945, setiap warga negara berhak
berserikat dan berkumpul, tentu berhak pula memilih idaman hati” tekad Etha.
Mulanya
cukup konyol. Saat pelajaran PPKn, guru menerangkan tentang contoh hak warga
negara baik di Indonesia maupun di luar negeri. Hanya karena iseng. Ketika
mendengar kata luar negeri, Etha jadi melamun. Membayangkan punya pujaan hati
orang bule. Busyet seperti artis. Etha yang duduk di bangku depan, dekat pintu
kelas, segera menundukkan kepala, memejamkan mata dan berdoa, “Ya Allah berilah
hamba seorang cowok yang cakep dan baik hati, syukur bule”.
Sebelas detik kemudian Etha membuka matanya .. byar!
Sebelas detik kemudian Etha membuka matanya .. byar!
Astghfirullah!
Ada cowok lewat persis di depan pintu kelas. Barangkali cowok ini dari kamar
kecil. Cakep. Asing. Peristiwa kebetulan ini membuat dada Etha langsung berdebar
kencang. Cowoknya tidak tinggi-tinggi amat, kulitnya sawo matang, Jawa banget,
rambut agak jabrik. Kelas berapa? Jelas bukan anak kelas tiga. Mungkin kelas
dua. Anak pindahankah? Dia cakep banget! Ah, tapi mana mungkin Etha suka kepada
anak kelas dua? Peduli amat!
Segera
Etha mengadakan investigasi khusus. Mencari data cowok penggoda hatinya. Nama
lengkapnya Rizal Wibisono. Anak baru! Pindahan! Kelas dua F. Suka Basket. Nama
panggilannya Rizal. Satu kelas dengan Ririn teman akrabnya. Kenapa Ririn tidak
ceritera tentang anak baru. Oh, barangkali belum sempat.
Hari
ini, sore hari. Matahari masih terlalu terik menerpa lapangan basket. Ketika
Etha berdua dengan Nevi menunggu kegiatan ekstrakurikuler laboratorium. Dari bangku
di selatan ruang guru ia melihat Rizal. Rizal sedang bermain bola. Sendirian.
Indah sekali. Menurut Etha, Rizal memiliki bakat jadi pemain Basket. Cara
dribelnya, loncatnya, shooting! Luwes! Lentur! Seragam basketnya, modis.
Mendunia.
Ah,
Rizal! Kedua tangannya, setiap kali terulur, bola meluncur bagai peluru meriam
sundut, melayang, melengkung menuju lingkaran besi, target point. Tidak seluruh
lemparannya masuk. Namun ketika bola lemparannya sejenak mampir di atas ring,
berputar, bagai berjalan di atas lingkaran besi, meliuk, Etha tidak sadar
menahan nafas, terpekik kecil, dan ... masuk! Bola menembus jaring, jatuh
memantul. Etha bertepuk tangan. Rizal menoleh. Menatap. Sebentar banget. Etha
terkesiap.
Ugh!
Debar
di dada Etha meningkat. Ia belum sempat kenalan. Bagai ada jarak. Malu. Etha
boleh cerewet di muka teman-temannya. Suaranya ramai bagai ember bodhol, ember rusak. Tapi hal Rizal, ia justru terdiam.
Pucat! Jari jemarinya dingin!
Nevi
Hapsari digamitnya. Berjalan melintasi lapangan upacara. Ada bangku panjang di
depan Ruang Laborat IPA. Keduanya duduk di situ. Berlindung di balik rimbunnya pohon
bogenvile, mata Etha tetap menatap lapangan basket. Rizal terus bermain
sendirian. Dribel, meloncat, melempar. Dan setiap kali pula mengusap hidungnya.
Rizal....!
“Nevi!
Tolong aku kenalkan dengan Rizal! Tolooong!” rengeknya manja.
“Lha,
itu anaknya!” jawab Nevi, “Aku juga belum kenal! Malu!”
“Duh,
gimana? Kenapa dia harus kelas dua? Jadi sulit nyambungnya!”
“Minta
tolong Ririn. Kan Rizal sekelas dengan Ririn!”
“Maluuuuu!”
rengek Etha pelan.
“Bodhoh!
Kalau malu yaa sudah, lupakan Rizal. Tidak usah merengek! Kamu sama Nova Eka
Nursidik saja” gerutu dan saran Nevi.
“Aaa..,
haaa, bagaimana? Tolong Viiii!” rengek Etha manja.
Dan
kini sudah mulai banyak anak di lingkungan sekolah. Ada Pandu, Boby, Willy,
Ririn dan Risma. Mereka datang dan ikut bermain bola basket. Berlomba memasukan
bola. Bunyi ring basket, bunyi dentuman lantai, bunyi papan basket, gedebug bunyi sepatu ke lantai lapangan semakin
sering terdengar.
“Etha,
kamu berani beradu muka dengan Rizal apa enggak?” tanya Nevi.
“Maksudmu?”
“Bodhoh!
Kalau kamu berani, nanti dibantu Ririn, kita kenalan, bersalaman!”
“Maluu!
Enggak beraniii...!” kata Etha dengan mulut meringis panjang seiring bunyi
vokal iiii!
“Kalau
begitu, pakai surat!” saran Nevi dengan wajah semringah. Jalan keluar yang
bagus!
“Maluu!
Enggak mauuu..!” jawab Etha sambil memiringkan wajah, matanya berputar.
“Pakai
surat, kan tidak bertemu muka!” gerutu Nevi.
“Iya,
tapi kalau suratnya tidak dirahasiakan. Diberikan kepada teman-temannya. Aku
malu suratku beredar dan dibaca ramai-ramai oleh anak putra! Enggak! Moooh!”
logika Etha.
“Habis!”
pikir Nevi.
Tahun
2005 belum musim HP, belum kenal istilah SMS. Komunikasi rahasia para pelajar
cenderung masih menggunakan surat. Telpon rumah sudah banyak yang memiliki.
Pada tahun-tahun tersebut pertambahan pelanggan telepon cukup besar, maka nomor
telpon ada penambahan angka di awal. Misal SMP Negeri 2 Purbalingga nomor
telpon aslinya 333, berubah menjadi 91333, sebentar kemudian ditambah angka 8,
akhirnya, kini (0281) 891333.
Valentine tinggal dua hari lagi.
Etha berencana membuat memori yang mengesankan bagi dirinya. Ia ingin memberi
coklat pada Rizal. Inilah tantangan!
Cinta monyet. Kenal belum, bicara
dengan Rizal sepatah dua patah kata juga belum, boro-boro ngobrol, say hello saja sulit namun hati Etha
sudah merasa dekat banget. Gila kan? Bukan gila, yang benar adalah:
tergila-gila!
“Etha, kenalannya pakai telpon saja!” usul Nevi di
suatu kesempatan.
“Ini nomor telepon rumahnya. Aku dapat dari Ririn.
Kalau kau berani silahkan bicara padanya!” kata Nevi.
“Uh, terima kasih, Nevi. Kamu
baik banget!" Iangsung dada Etha melayang. Mabuk!
“Kalau mau telepon, minum dulu
minuman bersoda agar kalau bilang hallo, jadi HELLLLLOOO ... seperti
orang bersendawa, antob. Meniru iklan
minuman bersoda di TV.
Etha kini menjadi lebih berani,
karena hanya lewat telepon, tanpa harus bertatap muka dengan Rizal. Pelabuhan
hati seakan semakin dekat. Uh... dasar dimabuk cinta. He, he, tapi kini Etha
bingung. Dalam bertelepon nanti, Etha harus menyamar atau harus berterus
terang? Ah masa bodoh yang penting Etha ingin mendengar suara Rizal. Suara yang
membuat hatinya berdegup kencang laksana gelombang tsunami di wilayah Aceh.
“Rizal... Rizal .. Rizal...!”
nama yang selalu Etha sebut dalam buaian mimpinya. Rizallah yang membuatnya
tergila-gila. Kini Etha tak lagi harus menyembunyikan sepotong cinta di
hatinya. Saatnya merintis tautan hati.
Etha mengangkat gagang telepon di
sebuah warnet dekat sekolahan. Etha bagai pahlawan maju perang. Dadanya
bergetar, belum pernah Etha merasa panas dingin semacam ini. Belum bicara saja
sudah gemetar. Tapi hasrat mesti terungkap. Menurut Etha, hari ini ia harus
ngobrol dengan Rizal. Hati-hati dia dial
nomor telepon rumah Rizal. Nevi di sampingnya.
"Kring Kring, kring ...!”
suara yang sangat wajar dari dering telepon, namun kali ini bagai suara dewa pencabut
sukma. Etha harus bertahan dalam seluruh debar dadanya. Suara lembut perempuan
dewasa terdengar masuk ke telinga Etha. Mata Etha berputar. Tentu Ibunya!
“Hallo, Bu, maaf. Mau bicara
dengan Rizal. Dia ada, Bu?" katanya dengan jantung deg-degan. Langsung
tanpa basa-basi.
“Oh.. ya. Saya ibunya. Rizal ada,
ini dari siapa?” jawaban yang menyejukkan hati.
"Ehmm... dari Ranti, teman
sekolahnya” jawab Etha berbohong. Ternyata orang jatuh hati jadi bisa
berbohong. Bohong itu dosa! Lupakan dulu si dosa itu, yang penting si Rizal
ini.
"Sebentar saya panggil dulu
ya" jawabnya. Manis sekali kata di sana. Ternyata ibunya, ramah sekali di
telepon ini. Etha berpikir apa yang akan Etha katakan pada Rizal .
“Hallo..! Ini Rizal, ini dengan
siapa?" sebuah suara yang mendebarkan dadanya. Rizal!
"Ini Etha, kamu kenal
nggak?" jawabnya berbohong lagi. Nafas Rizal sempat terdengar di
telinganya.
“Etha? Bukan Ranti? Etha,
sekolahmu di mana?” Tanya Rizal dengan nada datar.
“Aku sama sepertimu, di SMP 2
Purbalingga. Aku kelas 3 B. Kamu kenal nggak?"
"Oh, kenal, tahu mbak! Tapi
maaf, mbak, saya sedang membantu Bapak masang genteng. Maaf ya, Mbak. Sekian
saja dulu!" kata-kata Rizal. Klik, suara telepon terputus.
“Sebentar ... ! Uhh...!” rajuk
Etha sambil menghentakkan kaki. Suara Rizal terngiang di telinganya. Walau
kesal namun Etha senang juga! Rizal ternyata anak yang rajin ya, bantuin
Bapaknya masang genteng. Etha fly, melayang. Akhirnya suara Rizal sempat juga
terdengar dan merasuki telinganya, walau sebentar.
Hari
Minggu siang, Etha telepon, yang menerima ibunya. Rizal belum pulang. Sore
harinya Etha telepon lagi, yang menerima ibunya. Rizal sedang pergi, sedang
beli minyak tanah. Hari Senin siang, Etha menelepon lagi, yang menjawab telepon
ibunya. Masya Allah ibunya lagi!
“Rizal...,
kenapa yang menerima teleponku harus ibumu lagi?" Etha mengomel sendirian.
Hatinya perih. Sedih! Etha pun jadi takut untuk menelepon lagi. Takut kalau
yang menerima ibunya Rizal.
"Ibumu lagi ....!"
Langit
sore ini cerah sekali. Tapi dada Etha sebal. Ingin nangis. Ingin berteriak.
Kini Etha yakin bahwa Rizal sebenarnya tak suka padanya bahkan barangkali tak
mengenalnya. Ah Rizal, Rizal! Ada bayangan Supangat Adi Purnomo berkelebat,
kecil dan mbingungi!
“...
sebab cinta tidak mesti bersatu, biarlah kucumbui bayangmu, dan kusandarkan
harapanku” dendang Etha pelan, dengan hati teriris, lagunya Ebiet G Ade, Untuk
Sebuah Nama. Dinyanyikan saat ada gundah di hati Etha. Saat Etha sadar atas kedekatan
Rizal dan Ririn.
Waktu
terus berjalan, waktu pun menyaksikan Rizal dan Ririn, berdua bermain basket.
Purbalingga, 3 Maret 2005
Pro:
Etha. Trim’s atas pengakuanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar