Cerita Remaja
KETIKA PERHATIANMU BERCABANG
Toto Endargo
SMP Negeri 2 Purbalingga.
Tahun 2000. Kelas IIIE. Kelas di pojok utara. Ada kolam ikan di depan
kelas. Bambu kodok dengan daun berwarna hijau, andong merah, puring,
kangkung-kangkungan, bunga soka di sekeliling kolam dan pakis Alai (asplenium
tenerum) yang menempel di batu karang buatan membuat suasana kelas begitu berkesan.
Hari Selasa.
“Untuk siapa?” tanyaku kepada Laras. Ia memohon dan menjajariku di koridor
kelas. Aku sedang berjalan ke selatan, ke perpustakaan, saat istirahat kedua.
“Untuk Wiranto!” jawab Laras datar. Wajahnya polos tanpa dosa. Sementara
dadaku berdesir. Ada rasa tak suka seketika menggedor-gedor dadaku.
“Untuk Wiranto Adi, kelas IIIC?” tanyaku agak sedikit nada menyelidik.
“Iya! Kenapa?” pertanyaan Laras seperti penuh tekanan pada kata kenapa. Aku
menunduk perlahan. Ada cemburu menyentuh kalbu.
===
Hari Rabu. Pukul satu seperempat dini hari. Aku gelisah di kamarku. Kamar menjadi
sesak dibandingkan hari-hari kemarin. Bunyi radio tak lagi menghiburku. Lagu
yang terdengar justru membuatku semakin nelangsa.
Perhatian Laras telah bercabang. Laras tega! Sadar atau tidak sadar
sesungguhnya Laras telah membentangkan padang perburuan, membuat arena
persaingan antara aku dan Wiranto. Di padang yang Laras bentangkan ada api
cemburu yang membakarku. Inilah yang kurasakan. Pepat, penat, sangat menggelayut
di benak!
“Laras aku tidak tahu apa yang harus kulakukan agar aku masih selalu
bersahabat baik denganmu. Aku masih selalu berusaha. Aku merasa kesulitan untuk
menjajagi hatimu. Hanya karena kita sekelas saja, saya masih mampu menjaga jarak
denganmu. Kini, mungkin di hatimu telah hadir seorang tokoh baru, ia hadir
resmi dalam kehidupanmu. Aku terlambat mengetahui ini! Wiranto Adi! Tentu ia beberapa
lapis di atasku. Lebih baik Wiranto dari pada diriku. Wiranto Adi, ia mempunyai
masa depan yang lebih nyata dibanding aku. Semua mata tahu siapa orang tua
Wiranto. Laras, kau pasti menyadari hal tersebut” gumamku ketika aku
membayangkan Laras, Wiranto dan diriku sendiri.
Seperti yang kujanjikan pada Ati Larasati, dini hari ini telah kusiapkan
Tabel Logaritma yang ia inginkan. Aku memang punya dua buku Tabel Logaritma. Laras
tahu itu! Aku pernah bercerita padanya.
Kenapa Laras meminjam buku padaku, bukan untuk dirinya sendiri? Kenapa
malah nanti dipinjamkan kepada Wiranto Adi? Kenapa Wiranto tidak beli saja buku
Tabel Logaritma sendiri? Kenapa harus pinjam ke Laras? Ahh!
Dan di pagi sebelum adzan shubuh dikumandangkan, aku teringat peristiwa
kemarin.
“Kenapa harus pinjam padamu, Laras?” tanyaku heran. Saya berhenti berjalan. Agak menepi,
memberi jalan untuk anak-anak yang lewat. Persis di depan kelas IIB.
“Tak tahulah. Tadi pagi di kantin. Kebetulan jajan bareng. Ia bilang pinjam
....” kupotong keterangan Laras sebelum selesai. Ada rasa marah yang harus
kutahan.
“Terus, Laras, jawab apa?” tanyaku dengan penuh selidik, memotong kata-kata
Laras.
“Jawab iya saja. Soalnya Wiranto baik lho sama saya!” jawab Laras memuji
Wiranto. Saya tatap mata Laras. Ia membalas menatapku. Aku mengalah. Kualihkan
tatapanku ke Bunga Mandakaki yang ada di pojok taman pemisah deretan kelas
antara bagian timur dan barat.
“Menurut saya, setiap orang ingin berbuat baik untuk kamu, Laras!”
“Kenapa? Rasanya kok tidak!” Mata Laras menatapku. Wajah Laras sedikit
dimiringkan. Ia membetulkan letak rambut di atas telinganya. Matanya
berkerejap. Cantik.
“Salah satu sebabnya, karena kamu cantik, Laras!” jawabku agak bergetar.
“Ah!” suara yang keluar dari bibir Laras. Mungkin Laras jengah dengan keterus-teranganku
itu. Wajahnya sedikit memerah. Mata Laras menatapku lagi. Redup dan menunduk.
Aku diam membisu. Hening menyergap pikiranku, mungkin Laras juga.
Serambi sekolah ini jadi terasa asing. Lebih asing dari biasanya. Rasanya
angin tidak lagi bertiup. Ramainya anak istirahat tak masuk dalam memoriku. Aku
berada pada suasana yang tak biasa. Aku tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk
di hati Laras. Dia masih menunduk. Sementara desir dadaku adalah desir
kekhawatiran akan kehilangan dirinya. Khawatir bahwa tidak lama lagi, aku
menjadi sosok asing di depan Laras. Sedikit ada rasa lega karena aku telah
jujur berkata bahwa Laras cantik. Sejenak kemudian Laras menghela nafas. Bola
matanya berputar.
“Aku sudah terlanjur janji padanya! Tolonglah saya!” rajuk Laras kemudian.
Aku menyadari posisiku. Aku tak bisa menolak permintaannya. Laras berhak
untuk menolong siapa saja, termasuk Wiranto Adi, anak yang penuh potensi di masa
depan. Kutarik nafasku panjang-panjang, menetralisir perasaanku yang bergejolak,
menepis rasa dengki yang memprovokasi hatiku.
“Baiklah, Laras! Besok semoga aku tak lupa untuk membawanya. Atau harus
kuantar ke rumahmu?” jawabku menawarkan diri.
“Enggak, besok saja!” dan waktu istirahat kedua habis. Bell berbunyi. Kuurungkan
niatku ke perpustakaan. Aku dan Laras menuju kelas. Baris. Galau di dadaku
siang itu membuat aku tak konsentrasi pada pelajaran terakhir.
Setelah berdoa akhir pelajaran, saya bergegas keluar, arah selatan.
Menyusuri serambi kelas beramai-ramai menuju tempat parkir sepeda. Kali ini
sebenarnya Laras tak perlu jalan ke selatan. Kalau tidak karena aku, dia bisa
langsung menuju ke pintu gerbang depan yang hanya dua puluh meter dari pintu
kelas kami. Tiba-tiba ia di sebelahku. Menghentikan langkahku.
“Jangan lupa bukunya!” katanya singkat. Saya menangkap maksudnya.
“Besok akan aku bawakan. Semoga aku tidak lupa!” jawabku dengan sedikit
terpaksa. Laras tersenyum. Ia membalikkan badan. Rambutnya yang panjangnya sepinggang lebih, hitam berkilat, berkibar-kibar. Laras menengok ke belakang. Menatapku sedetik.
“Besok, yaa!” kalimatnya singkat. Dan dia melangkah cepat ke utara, nyaris
berlari. Dadaku berdesir. Kibasan rambutnya seakan menyentak dinding jantungku.
Laras benar-benar memberi perhatian khusus kepada Wiranto.
Sepenggal peristiwa di hari yang membuatku gelisah. Bagian dari kisah
hidupku telah tergelar. Ada rasa pedih menusuk kalbu. Pulang sekolah dengan
hati perih, campuran dengki dan cemburu. Matahari yang terik semakin membuatku
tidak nyaman. Panas. Sepeda aku genjot perlahan ke arah barat. Ada perca-perca
fatamorgana di jalan Letkol Isdiman yang beraspal. Siangpun berlalu.
===
Hari Rabu,
Pukul 05.32. Saya berdiri di depan cermin. Tas sudah menempel di
punggungku. Aku bergumam sendiri. Menatap sosok sederhana di dalam cermin; “Laras,
pagi ini di tasku yang kusayangi ini terdapat Tabel Logaritma yang kau
inginkan. Yang akan kau pinjamkan kepada Wiranto Adi. Dan tahukah Laras? Di
antara debar dadaku sekarang ada desir hati yang terasa perih, sendu menyentuh
kalbu. Tapi aku harus tabah, Laras! Aku laki-laki! Laki-laki tidak boleh
cengeng. Aku ingin menangis, tapi aku tidak boleh menangis! Apapun yang akan
terjadi atasku, betapapun aku tak suka, aku harus mampu mengatasinya!” Kututup
mataku sejenak dengan kedua telapak tanganku. “Hari ini aku telah bangun sangat
dini hari, dan aku akan berangkat lebih pagi dibanding hari kemarin. Aku tak
ingin patah semangat! Semangat!”
===
Aku menunggu Laras di bangkuku. Teman-teman sekelas satu demi satu hadir.
Masuk ke kelas dengan berbagai tingkah mereka. Aku ingin sendiri. Aku ingin
menikmati kepedihan hati ini sendiri. Maka aku pura-pura sibuk mengerjakan
sesuatu, sehingga teman-teman segan mendekatiku.
Laras kau pasti tidak tahu rasa hati ini. Atau mungkin justru kau pura-pura
tidak tahu. Ah terserahlah, Laras! Kau punya segala hak sebagai remaja! Laras
punya hak untuk berteman dengan siapapun! Kita cuma bersahabat baik. Rasanya
aku harus menyadari bahwa tak pantas punya perasaan berat hati atau cemburu melihat
diri Laras bersahabat dengan Wiranto Adi!
Sembilan menit setelah aku sendiri. Laras hadir! Bajunya putih. Rapi, badge
nama ada di sebelah kanan dengan benang-benang jahit yang tidak sempurna. Jejak
setrika telah membuat badge nama itu menjadi tampak rapi. Ada jepit rambut
dengan hiasan bunga seruni kecil, putih, disisi kiri. Antingnya menebarkan
kilat cahaya kerdip kecil menghias daun telinganya. Senyumnya seketika kau berikan
untukku. Aku melambung, Laras! Sungguh cantik kau pagi ini! Tuhanku, aku tidak
bisa berpaling! Laras meletakkan tas di bangkunya.
“Assalamu’alaikum, Laras!” sapaku resmi. Aku ingin bersikap netral pagi
ini. Tangan segera kususupkan ke tasku. Mengambil Tabel Logaritma.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Laras ramah. Laras duduk di depanku. Begitu
santai. Aku heran tidak tahukah dia, bahwa semalam aku nyaris tak bisa tidur.
Bahkan aku takut ada bekas-bekas kurang tidur yang tampak di wajahku.
“Mana Tabel Logaritmanya?” tanya Laras langsung. Aku terkesiap. Laras tidak
lupa pada janjinya kepada Wiranto Adi. Benar-benar menjadi tokoh baru si
Wiranto ini. Dan aku akan menjadi makhluk asing di mata Laras.
“Ini Laras!” jawabku sambil menyodorkan Buku Tabel Logaritma. Laras tersenyum
cerah. Aku mencoba mengimbangi senyum cerahnya.
“Terimakasih, kau baik!” diterimanya buku dariku. Kutatap matanya. Mata
yang ceria. Aku iri atas perhatian Laras pada Wiranto. Bahagialah ia mendapat
perhatian dari Laras. Laras menghela rambutnya ke belakang, tersenyum untukku
dan kemudian ia berlalu meninggalkanku.
Aku terpaku di bangkuku. Mataku mengikuti langkah Laras ke kelas IIIC, di seberang.
Ada Wiranto di pintu kelas. Laras dan Wiranto terlihat serah-terima buku. Buku Tabel
Logaritma milikku.
Ada rasa sesak memenuhi dadaku, perlahan merambat ke tenggorokanku, berhenti di sana. Kugigit bibirku. Ada yang hampir merembes di kedua mataku. Ahh, desahku perlahan. Aku harus tabah. Aku laki-laki. Tapi aku manusia juga.
Ada rasa sesak memenuhi dadaku, perlahan merambat ke tenggorokanku, berhenti di sana. Kugigit bibirku. Ada yang hampir merembes di kedua mataku. Ahh, desahku perlahan. Aku harus tabah. Aku laki-laki. Tapi aku manusia juga.
Masih kulihat Laras dan Wiranto bergurau sebentar. Ceria. Aku bangkit.
Cepat langkahku ke arah tempat sepeda, langsung aku ke kamar kecil yang ada di
sebelah parkiran sepeda. Bukan untuk kencing! Aku harus mencuci muka menghapus
air mata yang mungkin sempat keluar. Bell masuk berbunyi. Pelan aku menuju
kelas. Sulit aku bertatap muka dengan siapapun. “Ya Allah, selamatkanlah
hamba-Mu ini dari kesedihan hati”, doaku dalam hati. Beruntung jam pertama
pelajaran Fisika saya mampu menyimak. Jam ketiga Bahasa Jawa. Lewat.
===
Istirahat pertama.
Aku berjalan menyusuri koridor kelas yang panjang. Sendiri. Tiba-tiba kembali
lagi Laras menjajariku. Tak kusangka. Dua hari ini rupanya Laras tak peduli
pada teman-teman akrabnya. Harapanku kembali muncul, ada rasa sejuk yang
menyentuhku. Laras masih mau memperhatikan aku. Setidaknya saat ini di depan
kelas, di tengah lingkungan sekolah. Padahal jika dicermati puluhan pasang mata
selalu ada saja yang memperhatikan keakraban Laras denganku. Peduli amat!
“Mau kemana, Laras? Jajan apa?” tanyaku perlahan sambil terus berjalan.
“Enggak! Bagaimana soal Fisika tadi, kamu bisa apa nggak?” tanya Laras.
Tadi Fisika menyajikan soal listrik. Mencari berapa besar arus dan tegangan
listrik pada hambatan yang dihubung seri dan paralel. Kebetulan saya paham
konsep hubungan tersebut sehingga menurut saya, saya bisa. Ada catatan pengerjaan
soal di bukuku.
“Kenapa? Kau mau pinjam buku catatanku?” tanyaku penuh ragu.
“Iya, kalau boleh!” dadaku berdesir. Tak tahulah! Kali ini aku jadi tidak
suka dengan permintaan pinjamannya. Menurutku, Laras memperhatikan aku kalau
dia lagi butuh saja. Kalau tidak butuh barangkali dia tidak akan mendekatiku.
Ah.., buru-buru perasaan itu segera kutepis. Laras tentu tidak sejahat itu.
Aku saja yang terlalu banyak pengharapan. Aku telah berpikiran buruk, aku
menundukkan kepala.
“Laras, tidak usah pinjam. Nanti kutuliskan saja di bukumu. Berikan buku
fisikamu, nanti malam kutuliskan dengan rapi!” tawaran dan saranku sebagai
ungkapan permohonan maaf karena busuk sangkaku.
“Sungguh?” tanyanya dengan mata membulat
“Sungguh Laras! Kalau boleh akan kuantar juga ke rumahmu!” kataku.
“Aduh, aku akan senang sekali!” jawab Laras sambil menatapku
“Sungguh Laras? Kau senang?” tanyaku tak percaya
“Lho, yaa sungguh. Masa Laras bohong sama kamu!” jawabnya ceria
“Laraaaas!” panggilku dalam hati.
Dan di siang itu aku merasa kembali menjadi sahabat Laras yang paling
dekat.
Ternyata pula ketika aku datang ke rumahnya, ibu Laras sangat ramah
menyambutku!
Aku suka!
Purbalingga, 25 April 2000
Dari ku untuk mu
Terimakasih untuk Larasati, atas idemu cerita ini saya tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar