Kamis, 09 Maret 2017

KETIKA PERHATIANMU BERCABANG

Cerita Remaja
KETIKA PERHATIANMU BERCABANG
      Toto Endargo

SMP Negeri 2 Purbalingga.
Tahun 2000. Kelas IIIE. Kelas di pojok utara. Ada kolam ikan di depan kelas. Bambu kodok dengan daun berwarna hijau, andong merah, puring, kangkung-kangkungan, bunga soka di sekeliling kolam dan pakis Alai (asplenium tenerum) yang menempel di batu karang buatan membuat suasana kelas begitu berkesan.
Hari Selasa.
“Untuk siapa?” tanyaku kepada Laras. Ia memohon dan menjajariku di koridor kelas. Aku sedang berjalan ke selatan, ke perpustakaan, saat istirahat kedua.
“Untuk Wiranto!” jawab Laras datar. Wajahnya polos tanpa dosa. Sementara dadaku berdesir. Ada rasa tak suka seketika menggedor-gedor dadaku.
“Untuk Wiranto Adi, kelas IIIC?” tanyaku agak sedikit nada menyelidik.
“Iya! Kenapa?” pertanyaan Laras seperti penuh tekanan pada kata kenapa. Aku menunduk perlahan. Ada cemburu menyentuh kalbu.
===

Hari Rabu. Pukul satu seperempat dini hari. Aku gelisah di kamarku. Kamar menjadi sesak dibandingkan hari-hari kemarin. Bunyi radio tak lagi menghiburku. Lagu yang terdengar justru membuatku semakin nelangsa. Perhatian Laras telah bercabang. Laras tega! Sadar atau tidak sadar sesungguhnya Laras telah membentangkan padang perburuan, membuat arena persaingan antara aku dan Wiranto. Di padang yang Laras bentangkan ada api cemburu yang membakarku. Inilah yang kurasakan. Pepat, penat, sangat menggelayut di benak!
“Laras aku tidak tahu apa yang harus kulakukan agar aku masih selalu bersahabat baik denganmu. Aku masih selalu berusaha. Aku merasa kesulitan untuk menjajagi hatimu. Hanya karena kita sekelas saja, saya masih mampu menjaga jarak denganmu. Kini, mungkin di hatimu telah hadir seorang tokoh baru, ia hadir resmi dalam kehidupanmu. Aku terlambat mengetahui ini! Wiranto Adi! Tentu ia beberapa lapis di atasku. Lebih baik Wiranto dari pada diriku. Wiranto Adi, ia mempunyai masa depan yang lebih nyata dibanding aku. Semua mata tahu siapa orang tua Wiranto. Laras, kau pasti menyadari hal tersebut” gumamku ketika aku membayangkan Laras, Wiranto dan diriku sendiri.
Seperti yang kujanjikan pada Ati Larasati, dini hari ini telah kusiapkan Tabel Logaritma yang ia inginkan. Aku memang punya dua buku Tabel Logaritma. Laras tahu itu! Aku pernah bercerita padanya.
Kenapa Laras meminjam buku padaku, bukan untuk dirinya sendiri? Kenapa malah nanti dipinjamkan kepada Wiranto Adi? Kenapa Wiranto tidak beli saja buku Tabel Logaritma sendiri? Kenapa harus pinjam ke Laras? Ahh!
Dan di pagi sebelum adzan shubuh dikumandangkan, aku teringat peristiwa kemarin.
“Kenapa harus pinjam padamu, Laras?” tanyaku  heran. Saya berhenti berjalan. Agak menepi, memberi jalan untuk anak-anak yang lewat. Persis di depan kelas IIB.
“Tak tahulah. Tadi pagi di kantin. Kebetulan jajan bareng. Ia bilang pinjam ....” kupotong keterangan Laras sebelum selesai. Ada rasa marah yang harus kutahan.
“Terus, Laras, jawab apa?” tanyaku dengan penuh selidik, memotong kata-kata Laras.
“Jawab iya saja. Soalnya Wiranto baik lho sama saya!” jawab Laras memuji Wiranto. Saya tatap mata Laras. Ia membalas menatapku. Aku mengalah. Kualihkan tatapanku ke Bunga Mandakaki yang ada di pojok taman pemisah deretan kelas antara bagian timur dan barat.
“Menurut saya, setiap orang ingin berbuat baik untuk kamu, Laras!”
“Kenapa? Rasanya kok tidak!” Mata Laras menatapku. Wajah Laras sedikit dimiringkan. Ia membetulkan letak rambut di atas telinganya. Matanya berkerejap. Cantik.
“Salah satu sebabnya, karena kamu cantik, Laras!” jawabku agak bergetar.
“Ah!” suara yang keluar dari bibir Laras. Mungkin Laras jengah dengan keterus-teranganku itu. Wajahnya sedikit memerah. Mata Laras menatapku lagi. Redup dan menunduk. Aku diam membisu. Hening menyergap pikiranku, mungkin Laras juga.
Serambi sekolah ini jadi terasa asing. Lebih asing dari biasanya. Rasanya angin tidak lagi bertiup. Ramainya anak istirahat tak masuk dalam memoriku. Aku berada pada suasana yang tak biasa. Aku tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk di hati Laras. Dia masih menunduk. Sementara desir dadaku adalah desir kekhawatiran akan kehilangan dirinya. Khawatir bahwa tidak lama lagi, aku menjadi sosok asing di depan Laras. Sedikit ada rasa lega karena aku telah jujur berkata bahwa Laras cantik. Sejenak kemudian Laras menghela nafas. Bola matanya berputar.
“Aku sudah terlanjur janji padanya! Tolonglah saya!” rajuk Laras kemudian.
Aku menyadari posisiku. Aku tak bisa menolak permintaannya. Laras berhak untuk menolong siapa saja, termasuk Wiranto Adi, anak yang penuh potensi di masa depan. Kutarik nafasku panjang-panjang, menetralisir perasaanku yang bergejolak, menepis rasa dengki yang memprovokasi hatiku.
“Baiklah, Laras! Besok semoga aku tak lupa untuk membawanya. Atau harus kuantar ke rumahmu?” jawabku menawarkan diri.
“Enggak, besok saja!” dan waktu istirahat kedua habis. Bell berbunyi. Kuurungkan niatku ke perpustakaan. Aku dan Laras menuju kelas. Baris. Galau di dadaku siang itu membuat aku tak konsentrasi pada pelajaran terakhir.
Setelah berdoa akhir pelajaran, saya bergegas keluar, arah selatan. Menyusuri serambi kelas beramai-ramai menuju tempat parkir sepeda. Kali ini sebenarnya Laras tak perlu jalan ke selatan. Kalau tidak karena aku, dia bisa langsung menuju ke pintu gerbang depan yang hanya dua puluh meter dari pintu kelas kami. Tiba-tiba ia di sebelahku. Menghentikan langkahku.
“Jangan lupa bukunya!” katanya singkat. Saya menangkap maksudnya.
“Besok akan aku bawakan. Semoga aku tidak lupa!” jawabku dengan sedikit terpaksa. Laras tersenyum. Ia membalikkan badan. Rambutnya yang panjangnya sepinggang lebih, hitam berkilat, berkibar-kibar. Laras menengok ke belakang. Menatapku sedetik.
“Besok, yaa!” kalimatnya singkat. Dan dia melangkah cepat ke utara, nyaris berlari. Dadaku berdesir. Kibasan rambutnya seakan menyentak dinding jantungku. Laras benar-benar memberi perhatian khusus kepada Wiranto.
Sepenggal peristiwa di hari yang membuatku gelisah. Bagian dari kisah hidupku telah tergelar. Ada rasa pedih menusuk kalbu. Pulang sekolah dengan hati perih, campuran dengki dan cemburu. Matahari yang terik semakin membuatku tidak nyaman. Panas. Sepeda aku genjot perlahan ke arah barat. Ada perca-perca fatamorgana di jalan Letkol Isdiman yang beraspal. Siangpun berlalu.
===
Hari Rabu,
Pukul 05.32. Saya berdiri di depan cermin. Tas sudah menempel di punggungku. Aku bergumam sendiri. Menatap sosok sederhana di dalam cermin; “Laras, pagi ini di tasku yang kusayangi ini terdapat Tabel Logaritma yang kau inginkan. Yang akan kau pinjamkan kepada Wiranto Adi. Dan tahukah Laras? Di antara debar dadaku sekarang ada desir hati yang terasa perih, sendu menyentuh kalbu. Tapi aku harus tabah, Laras! Aku laki-laki! Laki-laki tidak boleh cengeng. Aku ingin menangis, tapi aku tidak boleh menangis! Apapun yang akan terjadi atasku, betapapun aku tak suka, aku harus mampu mengatasinya!” Kututup mataku sejenak dengan kedua telapak tanganku. “Hari ini aku telah bangun sangat dini hari, dan aku akan berangkat lebih pagi dibanding hari kemarin. Aku tak ingin patah semangat! Semangat!”
===
Aku menunggu Laras di bangkuku. Teman-teman sekelas satu demi satu hadir. Masuk ke kelas dengan berbagai tingkah mereka. Aku ingin sendiri. Aku ingin menikmati kepedihan hati ini sendiri. Maka aku pura-pura sibuk mengerjakan sesuatu, sehingga teman-teman segan mendekatiku.
Laras kau pasti tidak tahu rasa hati ini. Atau mungkin justru kau pura-pura tidak tahu. Ah terserahlah, Laras! Kau punya segala hak sebagai remaja! Laras punya hak untuk berteman dengan siapapun! Kita cuma bersahabat baik. Rasanya aku harus menyadari bahwa tak pantas punya perasaan berat hati atau cemburu melihat diri Laras bersahabat dengan Wiranto Adi!
Sembilan menit setelah aku sendiri. Laras hadir! Bajunya putih. Rapi, badge nama ada di sebelah kanan dengan benang-benang jahit yang tidak sempurna. Jejak setrika telah membuat badge nama itu menjadi tampak rapi. Ada jepit rambut dengan hiasan bunga seruni kecil, putih, disisi kiri. Antingnya menebarkan kilat cahaya kerdip kecil menghias daun telinganya. Senyumnya seketika kau berikan untukku. Aku melambung, Laras! Sungguh cantik kau pagi ini! Tuhanku, aku tidak bisa berpaling! Laras meletakkan tas di bangkunya.
“Assalamu’alaikum, Laras!” sapaku resmi. Aku ingin bersikap netral pagi ini. Tangan segera kususupkan ke tasku. Mengambil Tabel Logaritma.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Laras ramah. Laras duduk di depanku. Begitu santai. Aku heran tidak tahukah dia, bahwa semalam aku nyaris tak bisa tidur. Bahkan aku takut ada bekas-bekas kurang tidur yang tampak di wajahku.
“Mana Tabel Logaritmanya?” tanya Laras langsung. Aku terkesiap. Laras tidak lupa pada janjinya kepada Wiranto Adi. Benar-benar menjadi tokoh baru si Wiranto ini. Dan aku akan menjadi makhluk asing di mata Laras.
“Ini Laras!” jawabku sambil menyodorkan Buku Tabel Logaritma. Laras tersenyum cerah. Aku mencoba mengimbangi senyum cerahnya.
“Terimakasih, kau baik!” diterimanya buku dariku. Kutatap matanya. Mata yang ceria. Aku iri atas perhatian Laras pada Wiranto. Bahagialah ia mendapat perhatian dari Laras. Laras menghela rambutnya ke belakang, tersenyum untukku dan kemudian ia berlalu meninggalkanku.
Aku terpaku di bangkuku. Mataku mengikuti langkah Laras ke kelas IIIC, di seberang. Ada Wiranto di pintu kelas. Laras dan Wiranto terlihat serah-terima buku. Buku Tabel Logaritma milikku. 
Ada rasa sesak memenuhi dadaku, perlahan merambat ke tenggorokanku, berhenti di sana. Kugigit bibirku. Ada yang hampir merembes di kedua mataku. Ahh, desahku perlahan. Aku harus tabah. Aku laki-laki. Tapi aku manusia juga.
Masih kulihat Laras dan Wiranto bergurau sebentar. Ceria. Aku bangkit. Cepat langkahku ke arah tempat sepeda, langsung aku ke kamar kecil yang ada di sebelah parkiran sepeda. Bukan untuk kencing! Aku harus mencuci muka menghapus air mata yang mungkin sempat keluar. Bell masuk berbunyi. Pelan aku menuju kelas. Sulit aku bertatap muka dengan siapapun. “Ya Allah, selamatkanlah hamba-Mu ini dari kesedihan hati”, doaku dalam hati. Beruntung jam pertama pelajaran Fisika saya mampu menyimak. Jam ketiga Bahasa Jawa. Lewat.
===
Istirahat pertama.
Aku berjalan menyusuri koridor kelas yang panjang. Sendiri. Tiba-tiba kembali lagi Laras menjajariku. Tak kusangka. Dua hari ini rupanya Laras tak peduli pada teman-teman akrabnya. Harapanku kembali muncul, ada rasa sejuk yang menyentuhku. Laras masih mau memperhatikan aku. Setidaknya saat ini di depan kelas, di tengah lingkungan sekolah. Padahal jika dicermati puluhan pasang mata selalu ada saja yang memperhatikan keakraban Laras denganku. Peduli amat!
“Mau kemana, Laras? Jajan apa?” tanyaku perlahan sambil terus berjalan.
“Enggak! Bagaimana soal Fisika tadi, kamu bisa apa nggak?” tanya Laras. Tadi Fisika menyajikan soal listrik. Mencari berapa besar arus dan tegangan listrik pada hambatan yang dihubung seri dan paralel. Kebetulan saya paham konsep hubungan tersebut sehingga menurut saya, saya bisa. Ada catatan pengerjaan soal di bukuku.
“Kenapa? Kau mau pinjam buku catatanku?” tanyaku penuh ragu.
“Iya, kalau boleh!” dadaku berdesir. Tak tahulah! Kali ini aku jadi tidak suka dengan permintaan pinjamannya. Menurutku, Laras memperhatikan aku kalau dia lagi butuh saja. Kalau tidak butuh barangkali dia tidak akan mendekatiku.
Ah.., buru-buru perasaan itu segera kutepis. Laras tentu tidak sejahat itu. Aku saja yang terlalu banyak pengharapan. Aku telah berpikiran buruk, aku menundukkan kepala.
“Laras, tidak usah pinjam. Nanti kutuliskan saja di bukumu. Berikan buku fisikamu, nanti malam kutuliskan dengan rapi!” tawaran dan saranku sebagai ungkapan permohonan maaf karena busuk sangkaku.
“Sungguh?” tanyanya dengan mata membulat
“Sungguh Laras! Kalau boleh akan kuantar juga ke rumahmu!” kataku.
“Aduh, aku akan senang sekali!” jawab Laras sambil menatapku
“Sungguh Laras? Kau senang?” tanyaku tak percaya
“Lho, yaa sungguh. Masa Laras bohong sama kamu!” jawabnya ceria
“Laraaaas!” panggilku dalam hati.
Dan di siang itu aku merasa kembali menjadi sahabat Laras yang paling dekat.
Ternyata pula ketika aku datang ke rumahnya, ibu Laras sangat ramah menyambutku!
Aku suka!

Purbalingga, 25 April 2000

Dari ku untuk mu
Terimakasih untuk Larasati, atas idemu cerita ini saya tulis.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar