Cerita Anak
Gomang Bisa!
Toto Endargo
Gomang sendirian di kamarnya. Ia sedang bicara sendiri di depan cermin.
Bentuk mulutnya di atur-atur. Dimancungkan, dipleotkan, dan kemudian bibirnya
ditarik ke belakang. Di saat lain bibirnya dibuatnya seperti corong. Lucu.
Itulah Gomang di waktu kecil, saat berumur kurang lebih tiga tahun.
Ada kebiasaan khas yang selalu dilakukannya, yaitu memperhatikan orang
lain yang sedang sibuk. Lalu dia merasa dapat mengerjakan apa yang dilakukan
oleh orang yang diperhatikannya itu.
Suatu hari ia memperhatikan pak tukang menggergaji bambu untuk
memperbaiki pagar. Segera saja ia bicara, “Gomang, bisa! Gomang, bisaa!”
katanya sambil mendekat dan minta gergaji yang dipakai pak tukang. Ia pun
mencoba memotong bambu. Tentu saja tenaga dan keterampilannya belum memadai. Ia
berkutat sampai beberapa lama. Ngotot memegang gergaji dan tidak memberikan
kesempatan pak tukang untuk meneruskan pekerjaannya. Tentu saja membuat orang
lain kesal. Demikianlah kurang lebih kebiasaan khas si Gomang sehari-hari.
Suatu ketika Gomang masuk ke kamar ibunya. Tanpa banyak bicara ia naik
ke tempat tidur. Menggelundungkan dirinya seperti trenggeling melindungi diri.
Ibunya diam saja. Ibunya sedang memakai lipstik merah. Gomang tertegun melihat
gerakan ibunya memoles bibir lewat cermin yang menghadap kepadanya. Ia sangat
tertarik.
“Ternyata ibu memiliki mainan yang menarik,” pikirnya. Warna merah
sungguh menarik minatnya.
“Gomang, bisa! Gomang bisa!” serunya keras-keras. Ia menghampiri ibunya.
Ia mencoba mengambil lipstik dari tangan ibunya. Ibunya berkelit.
“Jangan ah! Anak kecil tidak boleh pakai lipstik!” sergah ibunya,
“Apalagi Gomang anak laki-laki, tidak pantas pakai lipstik!”
“Gomang bisa! Gomang bisaa! Pinjam Bu! Pinjam!” pintanya manja sambil
memegang tangan Ibunya. Dengan kesal diberikannnya lipstik merah itu kepada
Gomang.
Gomang kemudian berdiri di depan cermin. Bibirnya dimonyongkan ke depan.
Lipstik dioleskan dengan kasar di sekitar bibirnya. Ia tertawa-tawa melihat
sekitar mulutnya berwarna merah. Pipinya, dahinya pun dioles lipstik merah. Ia
sungguh senang melihat wajahnya di cermin bercoreng warna merah. “Gomang bisa!”
gumamnya.
Pengalaman mengoles bibir dengan lipstik adalah hal yang menyenangkan
bagi Gomang, namun hal itu mengkhawatirkan bagi ibunya. Masa lipstik mahal
untuk mainan. Tidak boleh lagi Gomang mubaih
lipstik. Tidak boleh terulang! Maka kini di meja rias tidak ada lagi lipstik.
Semua lipstik disimpan di dalam laci dan dikunci. Dan setiap pakai lipstik,
terutama saat mengoles bibir, berusaha agar tidak ketahuan Gomang. Bisa brabeh!
Dua hari kemudian. Gomang teringat lagi mainan pengoles bibir. Maka
dengan diam-diam dia memasuki kamar ibunya. Ternyata tidak langsung ke meja
rias. Ia loncat dulu ke tempat tidur, bergulung-gulung seperti trenggiling.
Berdiri dan loncat-loncatan di tempat tidur. Karena cermin kebetulan menghadap
ke tempat tidur sehingga gomang bisa melihat segala tingkahnya. Mulutnya
dimonyong-monyongkan.
Perlahan dia turun dari tempat tidur. Duduk di bangku rias di depan
cermin. Kembali mulutnya dimonyong-monyongkan. “Gomang bisa!” gumamnya. Pandangannya
mulai mencari-cari sesuatu di meja rias. Lipstik. Ia masih ingat bentuknya.
Jika tutupnya dibuka akan terlihat bentuk silinder. Baunya khas. Warnanya
merah.
Dia sedikit bingung karena tak ada lagi lipstik seperti kemarin. Maka
setiap benda yang ada di meja rias dipegang dan diperiksanya. Wajahnya langsung
semburat cerah saat ia menemukan benda yang diidamkannya. Lipstik. “Gomang
bisa!”
Dibawanya benda tersebut ke tempat tidur. Dia ingin mengoleskan lipstik
ke bibirnya dan beberapa tempat di wajahnya tanpa harus menghadap cermin. Dengan
kasar lipstik dibuka tutupnya. Ada bau khas yang agak lain dengan lipstik kemarin.
Gomang tak peduli. Lipstik dengan tangkai hitam. Silindernya lebih besar dan
lebih pendek dari lipstik yang kemarin. Ujung lipstik yang bentuknya seperti
lilin itu segera dioleskan ke bibirnya yang atas. Begitu dioleskan, seperti ada
angin menerpa hidungnya. “Gomang bisa!” suara batinnya. Sedetik kemudian bibirnya
yang bawah. Ada angin semriwing yang meningkat menerpa dimulutnya disertai bau
menyengat. Sedikit pait. “Gomang bisa!” gumamnya lirih.
Sepuluh detik kemudian. Gropyak! Terdengar ada benda dilemparkan dan
jatuh dilantai. Gomang berteriak “Panas! Panas!” Gomang berlari keluar kamar. Muka
Gomang merah, air mata mengalir. Mulutnya digosok-gosok pakai kedua tangannya. Ibunya
yang sedang menikmati sinetron langsung terbangun. Kaget! Panik! “Apa?”
teriaknya
“Panas! Panas!” kata-kata Gomang tidak begitu jelas. Ibunya panik. Dipegang
dan ditatapnya Gomang. Sejenak kemudian ada bau mentol semribit dari arah bibir
Gomang. Jelas sekarang. Seketika diambilnya segelas air hangat dan serbet
makan. Segera dibersihkannya mentol di bibir Gomang dengan serbet makan yang
dicelupkan ke air hangat.
“Panas! Panas!” keluh Gomang setiap kali, tapi sudah tidak sekeras awalnya.
Kakinya dihentak-hentakkan ke lantai. Badannya dingin karena panik. Gomang lari
ke kamar mandi. Mulutnya kini dimonyongkan dan mendesis-desis. Tanpa sempat
membuka celana, sudah ada air mengalir membasahi kakinya. Rupanya Gomang sangat
panik dengan akibat lipstiknya.
Tujuh menit kemudian suasana sudah terkendali. Gomang sudah rapi lagi.
“Ohh, kamu pasti pakai lipstik ya?” kata Ibunya sambil menahan tawa
sampai matanya basah. Campuran antara kasihan dan geli. Gomang hanya menganggukkan
kepala. Ibunya masuk ke kamar dan mengambil benda yang tergeletak di lantai.
Benda yang ternyata telah membuat Gomang gemetaran.
“Dengarkan, Gomang. Ini bukan lipstik!” Gomang diam saja, benda di
tangan ibunya dipandangnya dengan enggan, “Ini balsem gosok. Menthol,
menggosoknya di dahi, atau di leher. Bukan di bibir!” terang ibunya. Gomang
diam saja. Bola matanya tetap membesar namun sinar matanya tampak meredup.
Merasa salah dan kalah!
“Pantas, rasanya sedikit pait, panas, dan semriwing! Panas! Ihh!” batin
Gomang.
“Gomang bisa! Gomang bisa!” ledek ibunya sambil jongkok di depan Gomang
dan menatap wajahnya. Gomang merengut.
Sejak itu Gomang tak mau main-main dengan lipstik.
Kapok!
Purbalingga, 7 Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar