Kamis, 24 November 2016

BUKU ONCEN-ONCEN ANYAR

BUKU ONCEN-ONCEN ANYAR
Toto Endargo

Sekitar tahun 1962-1968 saya duduk di bangku kelas I SR sampai kelas VI SD. Kelas I, sekolahan saya di Dusun Tjitrakusuma, atau disebut sebagai Traksuma. Namanya masih Sekolah Rakyat. Guru saya Pak Sangid, sudah sepuh. Kalau ngajar ngasta tuding, membawa bilah bambu. Diajar masih menggunakan sabak dan grip. Sabak dan grip berwarna hitam, konon dibuat dari serpihan batu yang dipadatkan. Sabak berbingkai kayu. grip adalah alat tulis semacam pensil.
Kelas II.
Di kelas II ini sekolahan yang di Citrakusuma ditinggalkan. Pindah ke sekolah baru yang ada di tepi lapangan, di dekat Dusun Jambangan dan di tepi jalan yang menuju dusun Serang. Sebelah utara sekolahan ada gudang mbako, milik PT GMIT (Gading Mas Indonesian Tobacco). Di kelas II ini, setiap hari, sebagai bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa, ngoko diselingi krama. Meja di kelas baru sudah menggunakan meja dan kursi yang terpisah. Di Citrakusuma bangkunya pakai meja gandheng, mejanya gandheng dengan tempat duduknya.
Di kelas II, siswa sudah ada yang menggunakan buku. Buku dari kertas merang. Alat tulisnya sudah pakai potlot, pensil. Ada pulpen merek Tatung, pulpen harus diisi tinta. Anak kecil belum bisa pakai pulpen sehingga kalau mencoba nulis pakai pulpen, maka setiap kali itu pula tulisannya mblobor, hanya mengotori buku. Di kelas II saya masih ingat, mulai diajar membaca, siswa berusaha menghafalkan teks yang ada di buku. Ada gambar dicetak hitam, dua benda mirip bulatan lonjong, yang di bawahnya ada huruf-huruf yang harus di eja, m – i, m – i, mi-mi, mimi. Saya belum paham bahwa itu adalah gambar hewan yang namanya Mimi, sehingga gambar itu hanya dilihat tapi tidak diamati secara maksimal. Guru juga tidak memberitahu bahwa itu adalah gambar hewan yang umumnya ada di pinggir pantai dan namanya mimi. Saya tidak mengamati serius, sepertinya di atas ada semacam sungut panjang. Gambar mimi ini, bagi saya saat itu, tidak menarik untuk dicermati. Lain lagi kalau gambar burung elang, misalkan, maka gambar itu akan tersimak lebih cermat, paruhnya, kakinya, bulunya, cakarnya, matanya, bentuk badannya, dan semua bagian yang lain, diamati untuk dibandingkan dengan burung elang yang sesungguhnya, atau minimal yang pernah dilihat. 
   Guru saya kalau nggak salah Bu Titi. Orangnya ceking, kulitnya putih. Sangat sabar. Seperti guru baru. Cara ngajarnya jauh berbeda dengan Pak Sangid, yang ngajar di kelas I. Di kelas satu ada rasa takut kepada guru, walau tahu bahwa pak guru itu sesungguhnya baik dan sayang kepada muridnya. Ada lagi yang kadang mengisi atau mengajar di kelas dua. Benar-benar tidak tahu namanya, orangnya tidak tinggi, agak gemuk, yang masih terbayang saat beliau pakai baju coklat pramuka tanpa setangan leher. Rasanya di kelas II gurunya tidak serius-serius amat cara ngajarnya. Gonta-ganti guru yang mengajar. 
Kelas III
Di kelas III baru ada pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang asing, karena saat itu di rumah, di lingkungan kampung dan di kelas semua menggunakan Bahasa Jawa, bahkan cenderung Banyumasan. Sehingga di awal-awal saya merasa sedikit kesulitan dengan Bahasa Indonesia, pernah diajari sedikit oleh teman sekelas, anak dari Mangunegara yang bernama Tuhad. Anaknya jauh lebih tinggi dari saya dan di kelas III ini, ia termasuk anak yang mindhoni, menduakali, pernah tidak naik kelas.
 Di kelas III ini sepertinya saya diajar oleh guru perempuan, Bu Halimah, konon orang Purbalingga. Saat kelas tiga ini, jika tidak salah sudah mulai ada bolpoin. Alat tulis bertinta yang sangat praktis. Dicorat-coret di kertas, tintanya tidak mblobor. Di kelas III ini saya mencoba menghafalkan sebuah wacana yang ada di buku paket. Judulnya Jatmiko Ngrokok. Belajar menghafalnya di Traksuma, di rumahnya Wa Ayat, Pak Gedhe Ayat Notohardjono. Wa Ayat juga suka ngrokok. Rokok priyayi. Pakai kertas papir, tembakonya tembako sigaret, yang kalau beli tembakaunya lembut dan dalam bungkusan rapi, tidak pakai klembak menyan. Kalau Eyang Kakung, Mbah Wirjodihardjo rokoknya pakai klembak menyan. Rokok Wa Ayat, linthingannya kecil-kecil. Saya kadang mencoba membuat linthingan, hanya ngelinthing dan tidak pernah merokok. Ini wacana dengan judul Jatmiko Ngrokok:
Jatmika ngrokok
Jatmiko durung sekolah
Dheweke isih cilik
Weruh rokoke bapake
Gumlethak ing meja
Njupuk siji, banjur diudud
............. saya lupa! Namun wacana ini menceriterakan bahwa akhirnya Jatmiko sakit kepala.

Kelas IV.
Kelas IV menempati kelas yang ada di pojokan. Kelas yang pernah digunakan untuk panggung perpisahan. Rasanya saya pernah tiduran di panggungnya sebelum pagi harinya dipakai. Saya diajar oleh guru putra, Pak Rahyono, kalau nggak salah. Saya mulai mengenal lagu nasional yang asing seperti Indonesia Tanah Air Beta, Nyiur Melambai, lagu daerah Angin Mamiri, dan Oi Nani Keke. Lagu nasional yang tak asing adalah lagu Indonesia Raya, Garuda Pancasila, Hallo-hallo Bandung, dan Maju Tak Gentar. Guru mbakyu saya di kelas enam adalah Pak Sahidin, orang Purbalingga. Guru yang terkenal kereng, artinya guru yang mengajar dengan disiplin keras untuk kebaikan para siswanya. Tapi saat itu ada rumor bahwa ternyata Pak Sahidin suka dengan anak putri Mangunegara yang bernama Nuhyati (?). He, he!
Kelas IV mulai mengenal geografi. Mengenal peta Kecamatan Mrebet, peta Kabupaten Purbalingga. Kenal bahwa ada Kawedanan Bukateja. Bukateja dalam bayangan saya adalah wilayah yang sangat indah yang memiliki cahaya matahari cerah, terutama di pagi hari. Bukateja dari dua kata “buka” dan “teja”. Teja adalah kata lain dari awan yang terkena cahaya matahari di pagi dan sore hari. Jadi buka-teja adalah wilayah yang di sana tempat awal matahari membuka sinarnya, membuka teja, menyibak dunia. 
  Kalimanah adalah wilayah yang juga asing. Di Kalimanah dikenal dengan gudang berasnya. Dan yang mengesankan dari peta Kabupaten Purbalingga, selain ada Gunung Slamet, di utara Bobotsari, dalam peta ada tergambar segitiga kecil, lambang sebuah gunung, di situ ada tulisan G. Beser. Berarti ada sebuah gunung di utara Bobotsari, namanya Gunung Beser. Namun ketika ada gambar peta lagi yang lebih bagus dan berwarna, nama Gunung Beser tidak tercatat, sampai sekarang! Namun secara lisan ada nama gunung yang cukup dikenal di utara Bobotsari yaitu Gunung Plana, bukan Gunung Beser. 
Kelas V dan Kelas VI
Kelas V, diajar Pak Kawangid dan mulai dapat menikmati membaca buku. Dan di kelas V itu ada buku yang sampulnya hijau muda, seperti ada gambar ronce-ronce, seperti ronce di tepian korden jendela. Judulnya Oncen-oncen Anyar. Dan setiap kali membaca kata oncen-oncen, saya justru membayangkan sebagai ronce-ronce. Ronce-ronce artinya buku bacaan yang isinya bermacam-macam bab yang menarik seperti ronce-ronce. Padahal harusnya oncen-oncen, terjemahannya adalah: sajian baru, atau gubahan baru, atau hasil kajian baru. 
  Buku Oncen-oncen Anyar jadi buku bacaanku sampai kelas VI. Kelas VI diajar oleh Pak Ruchyat yang dalang wayang dari Selaganggeng. Pak Ruchyat pernah pamer kecrek wayang ke kelas. Yang membawa kecrek temanku, Lastri. Kecrek dibuat oleh mbahnya Lastri yang menjadi tukang pandai besi di Desa Bojongsari. Pernah juga nonton Pak Ruchyat mendalang di Pendapa Kecamatan Mrebet. Pendapanya masih madhep ngidul. Ada selentingan, bahwa Pak Ruchyat suka dengan seseorang perempuan cantik di dusun Bak, Citrakusuma. He, he!
Nah, benar bahwa Buku Oncen-oncen Anyar ini memuat berbagai hal. Dari yang bersifat kedaerahan sampai yang bersifat internasional.
Yang saya ingat judul dan ceritanya adalah:
Menyang Losari.
Menceriterakan tentang pergi berwisata ke Pantai Losari, Makassar, naik mobil sedan. Namun di tengah jalan mobilnya mogok. Yang saya bayangkan Losari, Brebes. Jadi sewaktu awal membaca saya tidak begitu paham bahwa yang dimaksud di cerita itu adalah Pantai Losari, Makassar. Dan sampai cerita berakhir tak ada pula tulisan Makassar.
Pabrik Karet Goodyear.
Menceriterakan tentang kegiatan di pabrik Goodyear, Bogor. He, he, dulu saya membayangkan di pohon karet itu bergelantungan ban sepeda, ban mobil, karet gelang, dll. Jadi segala barang yang dibuat dari karet itu semuanya tinggal ngambil dari pohon karet. Belum bisa membayangkan yang dimaksud dengan kegiatan di sebuah pabrik.
Ratu Kang Ora Bisa Sare.
Menceriterakan tentang seorang raja yang tidak bisa tidur. Berhari-hari tidak dapat tidur. Sang raja lalu keluar istana tanpa pengetahuan siapapun dan menyamar. Dia masuk ke sebuah hutan karena tertarik bunyi cethok-cethok yang tiada henti. Dan ia pun bertemu dengan seorang blandhong, penebang pohon, yang sedang menebang pohon. Sang blandong berkeringat, makan seadanya, istirahat, merebahkan diri di bawah pohon dan tidur mendengkur. Sang raja segera mengambil kampak sang blandong. Sang raja lalu bekerja menebang pohon sampai mengeluarkan banyak berkeringat dan tangannya melepuh. Ketika merasa sangat lelah ia berhenti menebang pohon. Makan makanan sisa dari sang blandong. Istirahat dan kemudian dia tertidur nyenyak di tanah, beralas daun, di bawah pohon. Sang Raja sangat berkenanm si Blandhong pun diajak ke kerajaan dan ditugasi membuat sebuah hutan di belakang kerajaan. Setiap kali Sang Raja sulit tidur maka ia bekerja keras sampai mengeluarkan banyak keringat, salah satunya adalah dengan cara bekerja menebang pohon.
Apa Kang Digrayang Dadi Emas.
Menceriterakan seorang raja yang serakah pada barang-barang yang terbuat dari emas. Dia akhirnya mempunyai kemampuan apa yang disentuh tangannya berubah menjadi emas. Malah seluruh istana dan taman disentuhnya agar menjadi emas. Celakanya makanan pun ketika tersentuh tangannya berubah menjadi emas. Sang Raja pun tidak bisa makan berhari-hari. Akhirnya sang raja sadar akan keserakahannya. Ia mohon untuk kembali normal dan lalu menjadi raja yang lebih bijaksana.
Tembang Macapat
Ada banyak lirik tembang macapat. Berikut yang saya ingat.

Dandanggula
Yogyanira kang para prajurit,
Lamun bisa samya anulada,
Kadya nguni caritane,
Andelira sang prabu,
Sasrabahu ing Maespati,
Aran Patih Suwanda,
Lelabuhanipun,
Kang ginelung tri prakara,
Guna kaya purun ingkang den antepi,
Nuhoni trah utama,

Pucung
Mandeg mangu
Si kancil ing lampahipun
Sakedap angungak
Sigra denira andelik
Ngulat-ulat si kancil sadangu nira

    Megatruh
Sigra milir sang gethek sinangga mbajul
Kawan dasa kang njageni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kering
Sang gethek lampahnya alon

    Maskumambang
Gereng-gereng Gatutkaca sru anangis
Sambate wlas arsa
Luhnya wara wayan mili
Gung tinameng astanira

    Gambuh
Jurutaman cinatur
Wiratretna yeku wastanipun
Darbe menco juga bangkit tata janmi
Ing swarane amuhung
Den umbar acolat-colot

    Sinom
Lah sira iku wong apa, 
Wani malbeng taman sari, 
Rupamu bagus taruna, 
Pinangkanira ing ngendi, 
Lan sapa kang wewangi, 
Angakua mumpung durung, 
Palastra siya-siya
Baya tan kulak pawarti,
Lamun kene tan kena katekan priya.

Sun iki dhutaning nata, 
Prabu Kenya Majapait, 
Kekasih Damarsasangka, 
Atma mantune ki patih, 
Magang anyar wak mami, 
Lah ta Bisma praptaningsun, 
Ing ngutus sang narpendyah
Kinen mocok murdantaji,
Lahge mara Minakjingga ingsun banda.

Sesegan Durma
Damarwulan
Aywa ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Lah Bisma den prayitno
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiga nira nuli

Menakjingga
Ywa katon lanang priyangga
Malesa genti larih
Jamaking ngayudya
Prawasa pin rawasa
Aja pijer bekak bekik
Agiyak-giyak
Dudu trapeng narpati

Ya le ya nang
Apa ta saujarira
Jer ingsun nora gigrig
Tanding lawan sira
Tambah wong sayuta
Ing  ngarsa sakethi wuri
Kadanga dewa
Ingsun nora gumingsir

Asmaradana:
Anjasmara ari mami, 
masmirah kulaka warta, 
dasihmu tan wurung layon, 
aneng kutha Probolinggo, 
prang tandhing lan Urubisma, 
kariya mukti wong ayu, 
pun kakang pamit palastra.

Wus begjane awak mami
Tan tulus mangestuning dyah
Dhasar gembeng tur acingeng
Aja gawe wirang Bisma
Mara gek patenana
Eman-eman wong abagus
Yen kongsi tumeking lena

Iba dukaning narpati,
Ratu Ayu Majalengka,
yen sira nemahi layon,
benjang yen ingsun kapanggya,
paran atur manira
mestine ingsun katempuh,
apa pepulihing duka.

Ada semacam pantun atau tepatnya geguritan dengan judul: Wulung. Hanya ingat sebait, ini pun karena Pak Gedhe Ayat Notohardjono telah mengajariku menyanyikannya. Lagunya sederhana namun berulang-ulang seperti berpantun.
          Wulung
Mungguh aku dadi wulung
Aku mabur nduwur gunung
Nduwur jurang cerung-cerung
Kali lan segara agung
Lalu ada juga cerita yang cukup unik. Cerita tentang orang yang ketakutan terhadap hantu. Padahal bukan hantu.
Contohnya:
Ketakutan terhadap bunyi kreket-kreket di rumah sepi, ternyata itu bunyi seng dan paku karena perubahan cuaca dari siang menjadi malam, dari panas menjadi dingin. Seng mengkerut, sehingga menimbulkan bunyi kreket-kreket di antara paku dan seng saat bergesekan.
Ketakutan terhadap bunyi klening-klening di rumah sepi, bunyi sendok teh memukul gelas, ternyata itu bunyi sendok teh yang disentuh oleh ekor cicak yang ningkrang di gelas dan asyik menunggu mangsa, nyamuk yang akan masuk ke dalam sisa air di dalam gelas untuk bertelur. Polah cecak itulah yang membuat bunyi klening-klening di tengah kegelapan malam.
Ketakutan terhadap bunyi desir yang mengikutinya ketika seseorang pulang menjala ikan. Ternyata itu bunyi tali jala yang jatuh kleweran dan terseret-seret sepanjang jalan sehingga menimbulkan bunyi desir yang selalu mengikutinya. Bunyinya seiring dengan kecepatan orang itu berjalan. Ketika jalan pelan desirnya pelan, ketika jalan cepat desirnya cepat. Ketika berhenti desirnyapun berhenti. Orang itupun ketakutan dan lari kencang diiringi bunyi yang juga semakin kencang.
Ketakutan terhadap bayangan yang dikira pocong. Ternyata itu adalah efek lapisan lilin pada daun pisang muda. Ketika daun pisang terkena angin, maka daun pisang muda itu bergoyang-goyang juga, karena efek lapisan lilin yang putih yang menempel di daun pisang itulah yang tampak dari jauh dan dikira gerakan pocong yang sedang berloncatan. Peristiwa ini sangat nyata terjadi di saat terang bulan, terutama bulan sabit. Cahaya bulan jatuh di daun pisang muda yang tegak berdiri dan berlapisan lilin. Lalu kena angin. Daun pisang berherak seperti gerakan pocong.
Ada juga artikel yang bersifat cerita lucu, humor. Dimana kini dikau buku Oncen-oncen Anyar. Dulu di SD banyak, berceceran, kini rasanya hilang tak berbekas.
==
Dan setelah saya jadi guru di SMP Negeri 2 Purbalingga. Kenangan masa sekolah di SD selalu terbawa-bawa. Saya ingin nyanyi, ingin nembang macapat yang liriknya saya ambil dari buku Oncen-oncen Anyar, ingin nembang secara resmi di sebuah pertunjukan. Dan akhirnya kesampaian juga. Baru dua kali saya nembang macapat secara resmi di pertunjukan yaitu saat main kethoprakan.
Yang pertama pada acara perpisahan tahun 1986/1987. Tempatnya di Gedung Film, Braling Theater. Kethoprakan waktu itu mementaskan lakon Ajisaka. Saat itu sekolah masih punya dua perangkat gending, pelog dan slendro. Ada ekstrakurikuler gendingan, yang ngajar Pak Darso, seorang anak muda yang penuh fitalitas berkesenian Jawa. Dalam kethoprak Ajisaka itu, saya jadi Ajisaka, Pak Sumedi jadi Dewatacengkar, Pak Muklas jadi patih, ada Mas Hadi jadi prajurit. Kethoprak dan tembang benar-benar diiringi musik gamelan hidup, sungguhan, bukan gamelan dari laptop. Yang nonton waktu itu Kepala Sekolah Pak Soewito, BA, para guru dan para siswa. Saat tantang-tantangan antara Ajisaka dan Dewatacengkar, kami nembang. Konon Pak Soewito sempat terharu ketika kami nembang, sebab katanya lama tidak mendengar orang ber-macapat tembang durma!
    Liriknya sedikit saya ubah dan dinyanyikan bergantian:
 Ajisaka, aywa ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
   Mangsa sun mundura
   Dewata den prayitno
   Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Curiga nira nuli

Dewacengkar, apa ta saujarira
Jer ingsun nora gigrig
Tanding lawan sira
Tambah wong sayuta
Ing  ngarsa sakethi wuri
Kadanga dewa
Ingsun nora gumingsir

Yang kedua November 2016, pada acara Silaturahmi Hari Ulang Tahun Emas Alumni 1966 SMP Negeri II Purbalingga. Kethoprakan dengan lakon Aryo Penangsang Gugur. Saya jadi dhalang. Di tengah adegan Aryo Penangsang membaca surat dari Sultan Hadiwijaya itulah saya nembang Durma dengan irama seperti yang diajarkan Pak Kawangid atau Pak Ruchyat. Atau diajari oleh Wa Ayat dan kalau Dandanggula kemungkinan oleh Lik Wondo. Saya lupa siapa yang ngajari saya nembang macapatan yang pasti sejak SD saya sudah macapatan.
Liriknya saya ubah sedikit:
He, Penangsang
Apa ta saujarira
Jer ingsun nora gigrig
Tanding lawan sira
Tambaha wong sayuta
Ing  ngarsa sakethi wuri
Kadanga dewa
Ingsun nora gumingsir

Lalu pada adegan Sutawijaya atau Senopati perang melawan Aryo Penangsang ada tantang-tantangan lebih dulu, siswa nembang Durma sekenanya. Dengan lirik yang juga sedikit saya ubah, kata curiga diubah menjadi pusaka, karena Sutawijaya membawa Pusaka Tombak Kyai Plered, dan tembang dinyanyikan bergantian:
Senopati,
Aywa ngucireng ngayuda
Baliya sun anteni
Mangsa sun mundura
Penangsang den prayitna
Katiban pusaka mami
Mara tibakna
Pusaka nira nuli

Kelas VI SD, pernah ikut lomba nyanyi macapat tingkat kecamatan Mrebet. Saya nembang Pangkur – Jinejer Neng Weda dan nembang Dandanggula – Jago Kluruk. Jadi Juara II. Dilatih oleh Pak Hardjosuwirjo, harusnya dengan tembang Sinom - Bonggang Kang Tan, bukan Dandanggula. He, he, masa kecil yang menjadi bekal masa tua. Masa tua dengan bekal tembang macapat masa kecil. 

          Pangkur
Jinejer neng Wedhatama
Mrih tan kemba-kembenganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yen tan mikani rasa,
Yekti sepi asepa lir sepah samun,
Samangsane pakumpulan,
Gonyak-ganyuk nglelingsemi.


(Disajikan dalam surat Wedhatama,
agar jangan malas menimba pengetahuan,
walaupun sudah tua dan pikun,
jika tidak memiliki adab pengetahuan,
niscaya akan sunyi-hampa bagai ampas sia-sia,
di dalam setiap pertemuan,
cenderung berlaku ceroboh dan memalukan).


    Tembang pangkur yang sangat berkesan adalah yang berlirik kisah Ratu Kalinyamat. Sebab dulu sewaktu kelas V di dekat rumah ada Tobong Kethoprak. Ibaratnya tiap malam nonton kethoprak. Saya kenal sejarah Demak, Pajang, Majapahit, Mataram, Pemberontakan Trunajaya, Untung Surapati, beserta tokoh-tokohnya juga dari nonton kethoprak. Kenal pula kisah Kamandaka, Damarwulan, Jemblung Umarmaya-Umarmadi, Suminten Edan, sampai dengan Joharmanik juga dari kethoprak. Kadang diselingi dengan Wayang Orang. Saya jadi mengenal cerita wayang baik dari Mahabarata maupun dari Ramayana.

   
   Pangkur dengan lirik Ratu Kalinyamat bagi saya jadi master untuk nembang pangkur.

    Nimas Ratu Kalinyamat
    tilar wisma mratapa aneng wukir
    tapa wuda sinjang rambut
    neng wukir Danaraja
    ampratignya tan arsa tapihan kondur
    yen tan ana adiling Hyang
    patine sadulur mami

    ( Nimas Ratu Kalinyamat,
      meninggalkan rumah, bertapa di gunung
      bertapa telanjang, berkain rambut
      di Gunung Danaraja
      bertekad tidak akan berbusana dan pulang
      jika belum ada keadilan dari Yang Kuasa
      terbunuhnya saudara saya )


    Tembang yang membuat suasana menjadi nyaman dan sejuk, seakan merasakan suasana pedesaan di pagi hari, khususnya di desa Citrakusuma saat itu, adalah tembang Dandanggula berikut.


Dandanggula
Jago kluruk rame kapiyarsi
Lawa- kalong luru pandhelikan
Jrih kawanen ing samune
Wetan bang sulakipun
Mratandhani yen bangun enjing
Rembulan wis gumlewang
Sakuloning gunung
Ing padhesan wiwit  obah
Lanang-wadon asamya anyambut kardi
Nyang sawah lan nyang pasar

(Ayam jantan berkokok sudah terdengar rame,
Kelelawar-kalong mencari tempat sembunyi
Takut terkejar suasana terang
Di timur, cahaya merah sudah tampak
Pertanda jika pagi telah tiba
Bulan sudah bergeser
Ke barat puncak gunung
Di pedesaan mulai aktif
Pria-wanita bersama-sama akan bekerja
Ada yang ke sawah dan ke pasar) 


Demikian sedikit cerita tentang masa kecil bersama dengan Buku Oncen-oncen Anyar. Oncen-oncen Anyar yang pernah saya baca dan kini saya rindukan. 
Semoga bermanfaat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar