Sabtu, 19 November 2016

JATISABA NAN KLASIK

JATISABA NAN KLASIK
Toto Endargo

Naskah awal dari Mas Anifuddin Azis
Kisah Klasik untuk Masa Depan (1)
   Copas: 26 April 2010 Jam 19:13

    SMP Negeri 2 Purbalingga, Jatisaba, akhir tahun 1990.
Jatisaba! Nama sebuah desa yang terasa asing dan mungkin karena letaknya yang terasa jauh sekali. Iya, Jatisaba! Kata “jati” saja sudah merujuk pada kata yang umum dihubungkan dengan hutan jati. Mungkinkah Desa Jatisaba banyak pohon jatinya? Sebuah angan-angan di benakku. Lalu ada kata “saba”, saba dalam bahasa Banyumas berarti; “pergi ke segala arah yang tak jelas untuk mencari sesuatu”. Jadi ketika menyebut nama Desa Jatisaba maka bayangan saya adalah sebuah desa yang sangat jauh dan masih banyak pohonnya seperti hutan jati.
Jatisaba, adalah nama desa dimana saya harus sekolah saat di kelas dua. Untuk diketahui bahwa SMP Negeri 2 Purbalingga punya kelas jauh, artinya kelas yang tidak menyatu dengan kelas induknya, tidak di Jalan Letkol Isdiman 194 Purbalingga, tapi letak kelasnya di Desa Jatisaba. Tradisinya yang diatur untuk diajar di kelas jauh adalah mereka yang duduk di kelas dua. Kelas satu dan kelas tiga tetap di sekolah induk.
Sekolah induk di Jalan Letkol Isdiman 194, alamat yang rasanya meragukan. Sebab nomor rumah di sebelah sekolahan nomor 92 dan 96. Kenapa sekolahanku nomor 194? Pasti ada yang keliru dengan penomoran ini. Yang benar tentu Letkol Isdiman 94, bukan 194. Ada guru yang sempat berargumen bahwa kekeliruan ini kemungkinannya berawal dari mesin stensil. Mesin stensil telah mencetak tanda titik dua (:) menjadi tercetak seperti angka satu. Kemungkinannya di kertas stensil ditulis alamat; Jalan Letkol Isdiman : 94, Purbalingga. Kertas stensil lalu diputar, dicetak di mesin stensil, tinta mengalir agak mlobor, sehingga tanda titik dua menjadi gandheng, membentuk seperti angka satu di depan angka 94, maka dibacanya menjadi 194. Nah, mbloboran inilah yang di kantor pusat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mungkin di Jakarta atau di Semarang dibaca sebagai angka satu (bukan tanda titik dua) dan dijadikan sebagai alamat yang kemudian tertulis dalam data nomenklatur. Maka jadilah 194 menjadi nomor yang paten dan resmi. Alamat SMP Negeri 2 Purbalingga adalah di Jalan Letnan Kolonel Isdiman 194, Purbalingga. Padahal yang benar tentunya Jalan Letkol Isdiman 94, Purbalingga.  
Besok belajar di kelas jauh, di Jatisaba. Bayangan Jatisaba sebagai tempat yang menakutkan memang sering diutarakan oleh mereka yang pernah belajar di Jatisaba. Hem, pernah juga seorang kakak kelas memberitahuku dengan nada menakut-nakuti, "Ngemben ya, angger qo kelas loro, sekolahe nang Jatisaba. Jatisaba kuwe adoh, tur ngliwati kuburan Cikalong! Medeni!” Tentu saja perasaan saya menjadi tambah takut.
   Kuburan Cikalong adalah nama sebuah makam yang konon keramat. Sering dihubungkan dengan sosok “mahluk gaib” menyeramkan yang dapat tiba-tiba muncul di depan kita saat melewati wilayahnya. Makam Cikalong terdiri dari dua bagian, di kanan jalan dan di kiri jalan. Jalan membelah kuburan sehingga mau tidak mau semua yang ke Jatisaba harus lewat tengah kuburan. Makam yang penuh pohon besar dan pohon kamboja. Ada terlihat banyak batu nisan dan bau kembang kamboja Ih, menakutkan!
Benar saja, saat pertama ke Jatisaba, ternyata terasa jauh juga, kalau biasanya saya bersepeda dari alun-alun belok kanan, lewat SMP Negeri 1 Purbalingga, terus lewat depan Bakso Darmin, bablas ke timur, lurus lewat perempatan Banteng, Koramil dan sampai di sekolahan, kali ini rutenya lain.
Dari alun-alun masih harus lurus terus, tugu Bancar lurus lagi, pasar Bancar masih terus lurus...dan sampailah di kuburan yang ada di sebelah kiri jalan, kuburan Jatisaba, tempat nenek moyangnya Yuli Safrudin dikuburkan. Setelah kira-kira lima puluh meter saya berada di tengah kuburan karena di kanan-kiri jalan ada kuburan. Yang kiri jauh lebih luas daripada yang ada di kanan jalan. Busyet, ternyata ketika lewat kuburan Cikalong ini tidak seseram bayangan saya. Tidak seseram yang digembar-gemborkan oleh kakak-kakak kelas.
Dari kuburan itu, di timur kuburan, sudah terlihat bangunan yang tampak kusam dan tidak terlalu luas. Bangunannya berbentuk huruf U, atau seperti bentuk formasi barisan angkare. Ada enam kelas. Satu di sebelah ujung timur-utara, di pojok timur, di depan-timur, bagian tengah adalah semacam lorong yang dijadikan ruang guru, di depan-barat, di pojok barat dan di ujung barat-utara. 
Memilki halaman sekolah yang juga tidak terlalu luas, setidaknya hanya cukup untuk berkumpul dalam upacara bendera dari anak-anak di tiga kelas, sekitar 120 siswa. Halaman sekolah ditumbuhi rumput agak tinggi, cukup becek jika musim hujan. Di pingir sebelah jalan diberi pagar bambu, gethek. Ada empat pohon cemara, di depan. Tiga pohon di pinggir timur. Di pinggir barat ditanami pohon turi. Di halaman belakang ada WC untuk siswa dan guru. Ada sebuah pohon nangka. Sumur pakai timba. Kantin berbentuk empleg-empleg di pojok timur-utara. Penjualnya Mbok Min, istrinya Pak Min, pesuruh sekolah, yang tukang nge-bell.  
Ya itulah sekedar yang saya ingat dari gedung SMP Negeri 2 Purbalingga, cabang Jatisaba. Saya tidak tahu tentang sejarahnya anak kelas dua SMP Negeri 2 Purbalingga sebulan sekali digilir ke Jatisaba. Kelas dua saat saya sekolah ada enam kelas yaitu Kelas 2A sampai Kelas 2F. Kalau bulan ini anak kelas 2 A, B, dan C ke Jatisaba, maka kelas 2 D, E, dan F tetap di induk, di Bancar. Bulan depan berganti, kelas D, E. F di Jatisaba dan kelas A, B, C di induk. Demikian seterusnya bergantian tiap bulan.
Pagi ini, saya yang duduk di kelas 2C dapat giliran di Jatisaba. Bersemangat untuk menuntut ilmu. Ada rasa senang dan juga sedih dapat giliran di Jatisaba. Senang karena kelas di Jatisaba katanya cenderung lebih bebas. Tidak sedisiplin di induk. Suasana lingkungan lebih luas. Ada pemandangan alam. Dapat melihat sawah, kebun tebu, gunung Slamet. Tempat bermain lebih bebas. Dapat jalan-jalan di sawah. Dapat bermain air di parit kecil pinggir sawah. Dapat mencari belut dan ikan kecil-kecil. Namun demikian ada juga rasa sedih karena tempatnya yang menjadi lebih jauh.
Sepeda saya taruh di parkiran yang terletak di ujung timur bangunan sekolahan. Parkiran sepeda sangat sederhana. Di bagian depan dan samping sekolahan diberi emperan, tiang dan seluruh penopang atap dibuat dari bambu. Atapnya seng yang saya yakin bukan seng baru, bukan seng yang dibeli dari toko, tapi sekedar seng bekas. Itulah dengan kondisi atap parkiran yang dibuat seadanya hingga pada suatu saat atapnya itu ambruk. Beruntung pas atapnya ambruk tidak ada anak yang berada di parkiran. Kalau ada pasti semua siswa yang keambrukan terkena sakit tetanus. Sebab terluka oleh atap seng yang sudah karatan kronis, banyak mengandung penyebab tetanus.

........ bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar