Kamis, 21 November 2019

BABAD JATI TUKUNG - #4

BABAD JATI TUKUNG - #4
Toto Endargo

Gunung Tukung
Gunung Tukung, mungkin tepatnya Bukit Tukung atau Igir Tukung. Letaknya di seberang timur Sungai Klawing, masuk wilayah Dusun Pagendolan, Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Purbalingga. Tinggi bukit ini hanya sekitar 200 meter dpl. (disebut gunung jika tingginya lebih dari 600 meter dpl.) membujur dari utara ke selatan. Penuh dengan tanaman keras seperti mahoni, albasika, sengon, kelapa, laban, waru laut, jati, dan bambu. Batas utara, di Dukuh Jendol, dan batas selatan, di Dukuh Mesir, panjangnya hanya sekitar satu setengah kilometer. Bukit Tukung diapit oleh lahan pesawahan tadah hujan. Sebenarnya diapit oleh dua sungai, Sungai Klawing dan Sungai Onje. Letak Sungai Klawing terlampau rendah sehingga cukup kesulitan untuk menaikkan airnya sampai ke sawahnya, sedang Sungai Onje juga termasuk sungai tadah hujan, jika kemarau terlalu panjang sungai menjadi kering.
Tidak semua warga Onje mengenal nama Gunung Tukung walau sebenarnya nama ini sudah dikenal oleh leluhur mereka sejak dahulu. Penulis dikenalkan dengan Gunung Tukung oleh Mbah Mulyadimeja, dari Dukuh Banawati, Onje. Kata tukung menjadi unik ketika diberikan untuk nama bukit. Tukung umumnya untuk menyebut jenis unggas, ayam, yang tidak berekor. Ayam tukung, karena tak berekor maka tak segagah ayam yang berekor, ayam yang memiliki kekurangan. Kenapa bukit, atau katakanlah gunung, di tlatah Desa Onje ini diberi nama Gunung Tukung?
Barangkali karena tidak seperti layaknya sebuah gunung, misal Gunung Slamet, yang disebut gunung di samping karena tingginya juga karena bentuknya yang mengerucut, nyaris membentuk segitiga atau trapesium, Gunung Tukung bentuknya sangat datar dari ujung utara sampai selatan cenderung sama tingginya, tidak ada bagian yang melandai sehingga tidak membentuk trapesium apalagi segitiga.
Kenapa Gunung Tukung, bukan Gunung Onje atau Gunung Pagendolan, padahal arena Gunung Tukung yang dekat Pundhen Jatiragas itu masuk wilayah Dusun Pagendolan. Dengan nama Gunung Tukung, kata tukung seakan menggambarkan rasa keprihatinan yang dalam. Karena seperti tertulis di atas, bahwa tukung menunjukkan anggota tubuh yang tidak lengkap, yang umumnya, seharusnya  ada tapi jadi tidak ada. Misteri tukung!
Kini untuk sampai ke Gunung Tukung sangat mudah, bisa lewat Desa Onje, bisa juga lewat Desa Sindang. Jika lewat Desa Onje, ada dua jembatan penghubung. Yang pertama lewat gang sebelah SD Onje 1, ikuti jalan kecil, bikinan desa, itu. Lalu lewati jembatan di atas Kedhung Nini, sampailah di dekat SD Onje 2, di dusun Dhukuh Jendhol. Di balik Dhukuh Jendhol itulah Gunung Tukung, jika ingin mendaki ada jalan lidhigan yang berkelok naik turun di punggung bukit. Jika naik sepeda motor maka ikuti jalan semen sampai bertemu jembatan Kedhung Dhukuh, terus saja. Ada pertigaan, belok kiri. Jalan semen yang sedikit menanjak, mendaki bukit, hingga sampai di Dusun Pagendolan. Yang kedua masih lewat Desa Onje, depan Masjid Sayid Kuning, ada pertigaan, belok kanan, terus sampai ke pertigaan yang ke Jembatan Kedhung Dhukuh. Ikuti jalan semen yang ke kanan, ada Makam Wangsantaka, belok kiri. Silahkan mendaki bukit pakai sepeda motor. Sebenarnya ada beberapa alternatif untuk sampai ke Gunung Tukung, tapi yang paling nyaman adalah lewat Jembatan Kedhung Dhukuh.
Sekitaran Gunung Tukung terdapat tempat-tempat istimewa di antaranya: Kedhung Nini, Kedhung Dhukuh, Kedhung Maung, Makam Wangsantaka, Sumber Air Igir Tukung, Tugu Anjir, dan ada satu makam lagi dekat Kedhung Nini. Jangan lupa puncaknya Gunung Tukung adalah Pundhen Jatiragas. Tempat lain yang unik adalah pundhen di Dusun Mesir, Petilasan Tepusrumput di Igir Surti, Kedhung Pertelu-nya Kali Onje dan Pundhen Sarapada di Dukuh Limbuk.
Babad Jati Tukung.
Babad Onje berakhir tragis, kejayaan kadipaten begitu singkat, padahal penguasanya anak kandhung Raja Pajang yang sangat terkenal. Pundhen Jatiragas adalah tempat dimakamkannya seluruh piyandel utama Kadipaten Onje. Nama Jatiragas seakan menjadi simbol terpuruk dan terbenamnya Kadipaten Onje, meranggasnya trah kerajaan yang seharusnya tumbuh kokoh berdaun rimbun, yang terjadi malah hidup, tumbuh, tanpa daun, meranggas. Nama Tukung, juga seakan-akan melambangkan ketidak sempurnaan Kadipaten Onje, tukung, tidak berekor, putus tidak lestari sebagai sebuah kadipaten.
Menyimak peristiwa dan nama dalam Babad Jati Tukung, ternyata terkandung roh keprihatinan yang mendalam di Kadipaten Onje, diperlukan mawas diri untuk lebih mendalami jejak para leluhur, sehingga jejak para leluhur itu dapat menjadi tuntunan hidup kita semua, muaranya akan membawa kita untuk semakin tekun manekung puja kepada Kang Murbeng Dumadi. Meningkatnya rasa prihatin akan meningkatkan kepasrahan diri kepada kebesaran Yang Maha Besar dan pada akhirnya meningkatkan rasa syukur dan ketaqwaan yang hakiki.
Bercermin dari peristiwa dan nama yang ada semoga dapat membimbing pecinta budaya, dan khususnya pemerintahan Desa Onje, untuk lebih memperhatikan tempat-tempat wigati, sebagai jejak para leluhur yang harus dirawat secara proposional, tempat yang dulunya sangat diyakini sebagai tempat dikeramatkan, semoga tetap keramat dan terawat. Keramat sebagai tempat untuk ngalap berkah dan tetap terawat dalam adab dan budaya ziarah.

Blater, 17 November 2019
Diawali dari: Babad Jati Tukung #1

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar