BABAD JATI TUKUNG - #4
Toto Endargo
Gunung
Tukung
Gunung Tukung, mungkin tepatnya Bukit
Tukung atau Igir Tukung. Letaknya di seberang timur Sungai Klawing, masuk
wilayah Dusun Pagendolan, Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Purbalingga. Tinggi
bukit ini hanya sekitar 200 meter dpl. (disebut gunung jika tingginya lebih
dari 600 meter dpl.) membujur dari utara ke selatan. Penuh dengan tanaman keras
seperti mahoni, albasika, sengon, kelapa, laban, waru laut, jati, dan bambu.
Batas utara, di Dukuh Jendol, dan batas selatan, di Dukuh Mesir, panjangnya
hanya sekitar satu setengah kilometer. Bukit Tukung diapit oleh lahan pesawahan
tadah hujan. Sebenarnya diapit oleh dua sungai, Sungai Klawing dan Sungai Onje.
Letak Sungai Klawing terlampau rendah sehingga cukup kesulitan untuk menaikkan
airnya sampai ke sawahnya, sedang Sungai Onje juga termasuk sungai tadah hujan,
jika kemarau terlalu panjang sungai menjadi kering.
Tidak semua warga Onje mengenal nama
Gunung Tukung walau sebenarnya nama ini sudah dikenal oleh leluhur mereka sejak
dahulu. Penulis dikenalkan dengan Gunung Tukung oleh Mbah Mulyadimeja, dari
Dukuh Banawati, Onje. Kata tukung menjadi unik ketika diberikan untuk nama
bukit. Tukung umumnya untuk menyebut jenis unggas, ayam, yang tidak berekor.
Ayam tukung, karena tak berekor maka tak segagah ayam yang berekor, ayam yang
memiliki kekurangan. Kenapa bukit, atau katakanlah gunung, di tlatah Desa Onje
ini diberi nama Gunung Tukung?
Barangkali karena tidak seperti
layaknya sebuah gunung, misal Gunung Slamet, yang disebut gunung di samping
karena tingginya juga karena bentuknya yang mengerucut, nyaris membentuk
segitiga atau trapesium, Gunung Tukung bentuknya sangat datar dari ujung utara
sampai selatan cenderung sama tingginya, tidak ada bagian yang melandai
sehingga tidak membentuk trapesium apalagi segitiga.
Kenapa Gunung Tukung, bukan Gunung
Onje atau Gunung Pagendolan, padahal arena Gunung Tukung yang dekat Pundhen Jatiragas
itu masuk wilayah Dusun Pagendolan. Dengan nama Gunung Tukung, kata tukung
seakan menggambarkan rasa keprihatinan yang dalam. Karena seperti tertulis di
atas, bahwa tukung menunjukkan anggota tubuh yang tidak lengkap, yang umumnya,
seharusnya ada tapi jadi tidak ada.
Misteri tukung!
Kini untuk sampai ke Gunung Tukung
sangat mudah, bisa lewat Desa Onje, bisa juga lewat Desa Sindang. Jika lewat
Desa Onje, ada dua jembatan penghubung. Yang pertama lewat gang sebelah SD Onje
1, ikuti jalan kecil, bikinan desa, itu. Lalu lewati jembatan di atas Kedhung
Nini, sampailah di dekat SD Onje 2, di dusun Dhukuh Jendhol. Di balik Dhukuh
Jendhol itulah Gunung Tukung, jika ingin mendaki ada jalan lidhigan yang berkelok naik turun di punggung bukit. Jika naik
sepeda motor maka ikuti jalan semen sampai bertemu jembatan Kedhung Dhukuh,
terus saja. Ada pertigaan, belok kiri. Jalan semen yang sedikit menanjak,
mendaki bukit, hingga sampai di Dusun Pagendolan. Yang kedua masih lewat Desa
Onje, depan Masjid Sayid Kuning, ada pertigaan, belok kanan, terus sampai ke
pertigaan yang ke Jembatan Kedhung Dhukuh. Ikuti jalan semen yang ke kanan, ada
Makam Wangsantaka, belok kiri. Silahkan mendaki bukit pakai sepeda motor.
Sebenarnya ada beberapa alternatif untuk sampai ke Gunung Tukung, tapi yang
paling nyaman adalah lewat Jembatan Kedhung Dhukuh.
Sekitaran Gunung Tukung terdapat
tempat-tempat istimewa di antaranya:
Kedhung Nini, Kedhung Dhukuh, Kedhung Maung, Makam Wangsantaka, Sumber Air Igir
Tukung, Tugu Anjir, dan ada satu makam lagi dekat Kedhung Nini. Jangan lupa
puncaknya Gunung Tukung adalah Pundhen Jatiragas. Tempat lain yang unik adalah pundhen
di Dusun Mesir, Petilasan Tepusrumput di Igir Surti, Kedhung Pertelu-nya Kali
Onje dan Pundhen Sarapada di Dukuh Limbuk.
Babad Jati Tukung.
Babad Onje berakhir tragis, kejayaan
kadipaten begitu singkat, padahal penguasanya anak kandhung Raja Pajang yang
sangat terkenal. Pundhen Jatiragas adalah tempat dimakamkannya seluruh piyandel
utama Kadipaten Onje. Nama Jatiragas seakan menjadi simbol terpuruk dan
terbenamnya Kadipaten Onje, meranggasnya trah kerajaan yang seharusnya tumbuh
kokoh berdaun rimbun, yang terjadi malah hidup, tumbuh, tanpa daun, meranggas.
Nama Tukung, juga seakan-akan melambangkan ketidak sempurnaan Kadipaten Onje,
tukung, tidak berekor, putus tidak lestari sebagai sebuah kadipaten.
Menyimak peristiwa dan nama dalam
Babad Jati Tukung, ternyata terkandung roh keprihatinan yang mendalam di
Kadipaten Onje, diperlukan mawas diri untuk lebih mendalami jejak para leluhur,
sehingga jejak para leluhur itu dapat menjadi tuntunan hidup kita semua,
muaranya akan membawa kita untuk semakin tekun manekung puja kepada Kang
Murbeng Dumadi. Meningkatnya rasa prihatin akan meningkatkan kepasrahan diri
kepada kebesaran Yang Maha Besar dan pada akhirnya meningkatkan rasa syukur dan
ketaqwaan yang hakiki.
Bercermin dari peristiwa dan nama yang
ada semoga dapat membimbing pecinta budaya, dan khususnya pemerintahan Desa
Onje, untuk lebih memperhatikan tempat-tempat wigati, sebagai jejak para
leluhur yang harus dirawat secara proposional, tempat yang dulunya sangat diyakini
sebagai tempat dikeramatkan, semoga tetap keramat
dan terawat. Keramat sebagai tempat
untuk ngalap berkah dan tetap terawat dalam adab dan budaya ziarah.
Blater, 17 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar